Categories Berita

Penangkapan Anggota Majelis Rakyat Papua Cermin Pembungkaman OAP*

Anggota MRP Papua ditangkap – Humas MRP

MERAUKE, MRP – Merespon penangkapan anggota dan staf Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh anggota Kepolisian Resor Merauke dengan tuduhan makar, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Rapat Dengar Pendapat yang dipersiapkan oleh Majelis Rakyat Papua di Merauke merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat. Menangkap mereka secara sewenang-wenang sangatlah diskriminatif sementara kita tahu kebebasan berkumpul untuk kelompok lain justru dijamin.”

“Belum lagi, mereka dituduhkan dengan pasal makar hanya karena mengutarakan pendapat dengan damai. Ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia.”

Beberapa peserta RDP yang menunggu pemeriksaan di Aula Polres Merauke.

“Majelis Rakyat Papua merupakan perwakilan dari masyarakat Papua dan mempunyai hak untuk meminta dan mengutarakan pandangan masyarakat Papua terhadap implementasi otonomi khusus. Seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum menjamin dan melindungi hak tersebut, bukan melakukan tindakan represif yang semakin menggerus kebebasan berekspresi di sana.”

“Penangkapan terhadap mereka di Papua yang menggunakan haknya untuk berekspresi dan berkumpul, seperti kawan-kawan MPR ini, akan sulit untuk dihentikan selama pasal makar di KUHP masih diterapkan di luar ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional.”

Latar belakang

Pada 17 November 2020, 55 orang, termasuk dua anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), ditangkap oleh anggota Polres Merauke dan dituduh melanggar Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang makar.

Ke-55 orang tersebut berada di Merauke untuk menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait implementasi otonomi khusus di Papua. RDP tersebut tadinya direncanakan untuk diadakan pada tanggal 17-18 November namun dihentikan karena adanya penolakan dari Kapolres Merauke.

Tenaga ahli MRP, Wensislaus Fatubun, mengatakan kepada Amnesty International Indonesia bahwa dia, koordinator tim RDP, dua anggota MRP, dan seorang staf MRP lainnya ditahan dan diperiksa di Polres Merauke sebelum akhirnya dibebaskan pada 18 November.

Wensislaus mengatakan bahwa barang-barang tim RDP MRP, termasuk uang penunjang kegiatan RDP MRP masih ditahan oleh Polres Merauke.

MRP merupakan lembaga resmi Negara yang ditegaskan di dalam Pasal 5 UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 54/2004 Tentang Majelis Rakyat Papua. Pasal 51 PP No. 54/2004 telah menegaskan salah satu kewenangan MRP adalah untuk melakukan rapat dengar pendapat yang dilakukan oleh alat kelengkapan MRP dengan badan dan lembaga-lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuai dengan kewenangan MRP.

Wensislaus Fatubun setelah menjalani pemeriksaan di Polres Merauke.
Otoritas Indonesia kerap menerapkan pasal “makar”, dengan pengertian yang terlalu umum dan kabur sehingga tidak lagi sesuai tujuan awal dari pasal tersebut. Amnesty menilai penerapan ketentuan makar yang terlalu luas akan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat sesuai dengan ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.

Setiap individu tanpa terkecuali berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. ICCPR secara tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.

Dalam konteks nasional, hak atas kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM.

Amnesty International tidak mengambil sikap apapun terkait status politik dari provinsi manapun di Indonesia. Meski demikian, kami memegang teguh prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan kemerdekaan atau gagasan politik apapun yang dilakukan secara damai yang tidak mengandung kebencian, diskriminasi serta kekerasan.

 

*OAP: Orang Asli Papua

 

Sumber: https://www.amnesty.id/

 

Read More
Categories Berita

Ini buku kedua Benny Pakage tentang Malind dan Keprihatinan di Selatan Papua

Cover buku MAROKA EHE. Buku itu mengajak generasi muda di Papua Selatan melihat masa lalu, melihat kondisinya saat ini dan menatap masa depan. – Dok Jubi

Jayapura, MRP – Benny Wenior Pakage meluncurkan buku keduanya berjudul “MAROKA EHE; Memahami Orang Malind dan Keprihatinannya di Selatan Tanah Papua,”. Peluncuran buku dengan menghadirkan sejumlah tokoh itu dilakukan hari ini, Sabtu (1/2/2020).

“(Dalam peluncuran) menghadirkan narasumber dan peserta anak-anak muda Papua Selatan,” kata Pakage, kepada Jubi.

Dalam diskusi itu menghadirkan Pater Anselmus Amo MSC, direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, yang akan membeda buku dari sudut padang isu hak asasi manusia. Selain itu Agustinus Mahuse yang akan bicara soal bahasa Malib Kanum.

“Yang bicara ini asisten peneliti Iwan Aria dari Australia Nasional University,” ujar Pakage yang sebelumnya menulis buku biografi Panglima Organisasi Papua Merdeka, Kelly Kwalik.

Anggota DPRD Merauke, Cosmas Yem  juga akan akan berbicara hak politik dalam pesta demokrasi dan representasi orang asli Papua di Parlemen. Selain itu juga anggota  majelis rakyat Papua, Nicolas Degey yang akan mengungkap hak-hak orang asli Papua di negerinya.

Para narasumber itu akan berbicara di hadapan para pemuda dari suku-suku asli di Papua Selatan. Teramasuk para pemuda dari kabupaten Merauke, Asmat, Boven Digoel dan Mapi.

“Hadir pemuda Malind, Muyu, Mandobo, Asmat, MAPPI, senat mahasiswa STISIPOL YALEKA MARO, dan SENAT UNIV. MUSANUS, LMA,” kata Pakage menjelaskan.

Menurut Pakage dalam buku itu ia mengajak generasi muda di Papua Selatan melihat masa lalu, melihat kondisinya saat ini dan menatap masa depan. “Buku ini hanya sebagai pancingan kepada generasi mudah Papua Selatan khususnya Marind,Mappi,Asmat,Boven Digul agar bisa menulis diri mereka sendiri dengan berkaca pada buku ini,” katanya.

Ia berusaha menciptakan ruang diskusi di kalangan anak anak mudah khususnya di Merauke dengan beralih pikiran dari budaya lisan ke tulisan menambah referensi mengenai Merauke.

Anggota MRP, Nikolaus Degey, yang akan hadir dalam peluncuran itu menaruh harapan besar anak-anak asli Papua Selatan bisa makin kuat dalam arus migrasi.

“Kita bicara hari ini tantangan orang asli berdiri di tegak negerinya di tegah mayoritas orang migrasi,” kata Degey.

Menurut Degey, populasi orang di Papua Selatan sangat memprihatikan dan semakin terjepit di antara orang non Papua yang banjir sebagai tenaga kerja maupun transmigrasi.

“Jumlah anggota DPR kabupaten yang minim orang asli itu menjadi bukti orang asli makin sedikit,”katanya.

Dalam situasi itu  semua pihak harus prihatin dan bicara proteksi untuk melindungi hak-hak orang asli Papua di Selatan dan Papua. (*)

 

Sumber: Jubi.co. id

 

Read More