Categories BeritaPokja Perempuan MRP

Kasus Mutilasi di Timika Telah Merendahkan Martabat Orang Papua

JAYAPURA, MRP – Kasus Mutilasi di Timika terhadap 4 warga sipil orang asli Papua yang di lakukan oleh aparat TNI sebagai bentuk merendahkan martabat orang asli Papua.

Hal tersebut ditegaskan Ciska Abugau, ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua ketika melakukan rapat koordinasi dengan DPR Papua beberapa waktu lalu, Selasa (13/9/2022).

Ciska menjelaskan, kasus mutilasi di Papua ini kali pertama terjadi dan dilakukan oleh aparat kepada warga sipil orang asli Papua, pembunuhan dengan senjata dan lainnya sering terjadi namun untuk kasus mutilasi ini sejarah baru di tanah Papua.

“Dengan kasus mutilasi ini, sudah merendahkan martabat orang asli Papua,” tegas Ciska.

Sementara itu, Yanni, SH anggota DPR Papua dari partai Gerindra menegaskan agar DRP Papua dan MRP harus surati Presiden RI Joko Widodo untuk menghukum pelaku mutilasi 4 warga sipil orang asli Papua dengan hukuman mati.

“Desakan ini harus disampaikan secara terbuka, karena banyak perhatian ke Papua oleh Jokowi namum dicederai dengan kasus mutilasi 4 warga sipil OAP,” tegas Yanni.

Yanni juga meminta lembaga DPR Papua dan MRP harus bersuara keras terhadap oknum institusi yang sering melakukan penjualan senjata di Papua, seakan mereka sedang memelihara konflik di Papua.

“Bila ini tidak diatasi, masalah konflik di Papua akan terus muncul dan tidak akan selesai,” kata Yanni. John Banua Rouw ketua DPR Papua juga meminta institusi aparat penegak hukum di Papua untuk tidak melakukan transaksi jual senjata dengan warga sipil di Papua.

“Ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang lakukan penjualan senjata api di Papua di harus di tertibkan oleh negara melalui institusi Presiden Jokowi,” pesannya.(*)

Sumber: Suara Papua

Read More
Categories Berita

MRP Akan Dilibatkan Dalam Pembahasan Perdasi dan Perdasus

JAYAPURA, MRP – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, melakukan pertemuan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) di gedung DPRP, Selasa (6/9/2022), guna membahas persoalan yang terjadi di Tanah Papua sejauh ini, juga menyangkut penyiapan perdasi dan perdasus.

Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw mengatakan, dalam pertemuan itu disepakati bagaimana tahapan-tahapan pembahasan perdasi dan perdasus dilakukan secara terbuka, dan memberikan kesempatan kepada MRP untuk bersama-sama melakukan pembahasan.

“Bahkan, dalam penyusunan pun boleh bersama-sama. Sehingga nanti ketika MRP ke daerah melakukan reses ada aspirasi bisa disampaikan untuk menjadi masukan,” kata Jhony Banua Rouw.

Ia memberi contoh, MRP telah mengeluarkan maklumat dan DPR Papua memberikan apresiasi, bahwa MRP melihat hal-hal yang menjadi penting untuk bagaimana memproteksi atau memberikan afirmasi kepada orang asli Papua.

Namun hal itu dinilai belumlah memiliki kekuatan hukum, maka dewan memberikan penguatan kerja sama dengan MRP sehingga bukan hanya berbentuk maklumat, tetapi juga akan didorong menjadi perdasus atau perdasi.

“Sehingga, nanti betul-betul keputusan yang dikeluarkan MRP wajib dan mengikat bagi seluruh rakyat di Tanah Papua, juga bagi pemerintah yang menjalankan itu. Dan apabila tidak menjalankan itu, ada sanksinya,” ucapnya.

Ia berharap dengan didorongnya perdasi dan perdasus ini agar adanya payung hukum, sehingga jika ada seseorang yang dengan sengaja datang ke Papua, lalu meminta pengakuan sebagai anak asli Papua atau anak adat yang diberikan karena dibayar dan sebagainya, akan kena sanksi.

“Kita ingin kalau ada pengakuan itu diberikan kepada seseorang karena dia punya jasa, pengabdian orang tuanya dan memang layak mendapatkan penghargaan itu karena dengan tahapan dan mekanisme,” katanya.

Selain itu, bagaimana menjaga hutan, Tanah Papua untuk tidak dijual, sehingga semua ingin hal tersebut mendapat kepastian hukum dan dalam pelaksanaannya bisa diawasi.

“Jadi pertemuan ini pembahasannya lebih teknis, dimana akan ada pertemuan berkala lainnya, karena dua lembaga ini mempunyai komitmen yang sama untuk semua yang terjadi di Tanah Papua diselesaikan dengan baik, dan semua hanya untuk kepentingan rakyat di Tanah Papua,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua 1 MRP, Yoel Luiz Mulait mengatakan hal-hal teknis telah dibicarakan bersama dalam rangka pembahasan perdasus dan perdasi.

MRP akan dilibatkan sejak awal, ketika ada kementerian datang sebenarnya ruang yang paling agak sulit di sini, namun MRP akan dihadirkan dimana posisi sebagai lembaga kultur yang memiliki kewenangan tertentu, untuk memproteksi dan memberikan masukan lainnya.

“Kebiasaan selama ini MRP hanya menunggu, setelah DPRP dan pemerintah bahas dikirim ke MRP, selang waktu 30 hari kemudian MRP membahas dan memberikan pertimbangan dan persetujuan lalu dikembalikan ke DPR Papua untuk ditetapkan. Tetapi kali ini modelnya berbeda, dimana Ketua DPR Papua ingin sejak awal MRP terlibat. Ini langkah maju dan hal-hal begini justru lebih mempercepat dan mempermudah dan lebih baik, sehingga bobot dari perdasus dan perdasi itu dari sisi proteksi terpenuhi,” kata Mulait.

Ia pun mengapresiasi langkah pimpinan DPR Papua bersama anggota menyiapkan waktu yang cukup, untuk bertemu membahas hal-hal teknis dalam penyiapan perdasi dan perdasus, untuk bagaimana pemerintah, DPR Papua, dan MRP duduk bersama membicarakan hal-hal perkembangan situasi di Tanah Papua. (*)

 

Read More