Categories Berita

MRP Akan Dilibatkan Dalam Pembahasan Perdasi dan Perdasus

JAYAPURA, MRP – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, melakukan pertemuan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) di gedung DPRP, Selasa (6/9/2022), guna membahas persoalan yang terjadi di Tanah Papua sejauh ini, juga menyangkut penyiapan perdasi dan perdasus.

Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw mengatakan, dalam pertemuan itu disepakati bagaimana tahapan-tahapan pembahasan perdasi dan perdasus dilakukan secara terbuka, dan memberikan kesempatan kepada MRP untuk bersama-sama melakukan pembahasan.

“Bahkan, dalam penyusunan pun boleh bersama-sama. Sehingga nanti ketika MRP ke daerah melakukan reses ada aspirasi bisa disampaikan untuk menjadi masukan,” kata Jhony Banua Rouw.

Ia memberi contoh, MRP telah mengeluarkan maklumat dan DPR Papua memberikan apresiasi, bahwa MRP melihat hal-hal yang menjadi penting untuk bagaimana memproteksi atau memberikan afirmasi kepada orang asli Papua.

Namun hal itu dinilai belumlah memiliki kekuatan hukum, maka dewan memberikan penguatan kerja sama dengan MRP sehingga bukan hanya berbentuk maklumat, tetapi juga akan didorong menjadi perdasus atau perdasi.

“Sehingga, nanti betul-betul keputusan yang dikeluarkan MRP wajib dan mengikat bagi seluruh rakyat di Tanah Papua, juga bagi pemerintah yang menjalankan itu. Dan apabila tidak menjalankan itu, ada sanksinya,” ucapnya.

Ia berharap dengan didorongnya perdasi dan perdasus ini agar adanya payung hukum, sehingga jika ada seseorang yang dengan sengaja datang ke Papua, lalu meminta pengakuan sebagai anak asli Papua atau anak adat yang diberikan karena dibayar dan sebagainya, akan kena sanksi.

“Kita ingin kalau ada pengakuan itu diberikan kepada seseorang karena dia punya jasa, pengabdian orang tuanya dan memang layak mendapatkan penghargaan itu karena dengan tahapan dan mekanisme,” katanya.

Selain itu, bagaimana menjaga hutan, Tanah Papua untuk tidak dijual, sehingga semua ingin hal tersebut mendapat kepastian hukum dan dalam pelaksanaannya bisa diawasi.

“Jadi pertemuan ini pembahasannya lebih teknis, dimana akan ada pertemuan berkala lainnya, karena dua lembaga ini mempunyai komitmen yang sama untuk semua yang terjadi di Tanah Papua diselesaikan dengan baik, dan semua hanya untuk kepentingan rakyat di Tanah Papua,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua 1 MRP, Yoel Luiz Mulait mengatakan hal-hal teknis telah dibicarakan bersama dalam rangka pembahasan perdasus dan perdasi.

MRP akan dilibatkan sejak awal, ketika ada kementerian datang sebenarnya ruang yang paling agak sulit di sini, namun MRP akan dihadirkan dimana posisi sebagai lembaga kultur yang memiliki kewenangan tertentu, untuk memproteksi dan memberikan masukan lainnya.

“Kebiasaan selama ini MRP hanya menunggu, setelah DPRP dan pemerintah bahas dikirim ke MRP, selang waktu 30 hari kemudian MRP membahas dan memberikan pertimbangan dan persetujuan lalu dikembalikan ke DPR Papua untuk ditetapkan. Tetapi kali ini modelnya berbeda, dimana Ketua DPR Papua ingin sejak awal MRP terlibat. Ini langkah maju dan hal-hal begini justru lebih mempercepat dan mempermudah dan lebih baik, sehingga bobot dari perdasus dan perdasi itu dari sisi proteksi terpenuhi,” kata Mulait.

Ia pun mengapresiasi langkah pimpinan DPR Papua bersama anggota menyiapkan waktu yang cukup, untuk bertemu membahas hal-hal teknis dalam penyiapan perdasi dan perdasus, untuk bagaimana pemerintah, DPR Papua, dan MRP duduk bersama membicarakan hal-hal perkembangan situasi di Tanah Papua. (*)

 

Read More
Categories Berita

DPR Papua Usulkan Masa Bhakti MRP Diperpanjang

JAYAPURA, MRP – Dewan Perwakilan Rakyat Papua bakal mengusulkan agar masa bhakti Majelis Rakyat Papua (MRP) periode 2017-2022 untuk diperpanjang. Apalagi, banyak tugas yang harus melibatkan MRP terutama pembahasan raperdasus turunan dari Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua.

Usulan itu disampaikan Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, SE dalam acara Rapat Koordinasi MRP – DPR Papua dalam rangka Konsultasi Raperdasus Provinsi Papua di Aula MRP, Kotaraja, Abepura, Kota Jayapura, Papua, Senin, 25 Juli 2022.

“Kami DPR Papua melihat MRP masih dibutuhkan dalam waktu beberapa bulan ke depan, bisa setahun dalam rangka menyiapkan raperdasus yang sangat penting. Contoh hari ini kita minta pertimbangan dan persetujuan MRP terhadap 4 raperdasus, dimasa sidang berikut kita juga ada lagi 3 raperdasus yang harus kita minta pertimbangan dan persetujuan MRP, begitu juga masa sidang berikutnya,” kata Jhony Banua Rouw.

“Untuk itu, kami berharap tadi saya tawarkan untuk sebisanya mungkin MRP kita minta perpanjang dulu sampai dengan tugas-tugas ini kita selesaikan. Kalau ini kita melakukan proses sesuai tahapan itu, artinya bulan Nopember 2022 akan terhenti dan menunggu MRP yang baru, tentu butuh waktu dan kembali lagi kita proses dari awal, karena perlu pemilihan ketua, pokja-pokja dan lainnya, tentu akan mengganggu tahapan proses non APBD kita,” sambungnya.

Untuk itu, lanjut Jhony Banua Rouw, DPR Papua akan meminta pemerintah pusat memberikan perpanjangan kepada masa bhakti MRP yang akan berakhir pada Nopember 2022 mendatang.

Diketahui, anggota MRP periode 2017 – 2022 dilantik Mendagri pada 20 Nopember 2017 di Gedung Negara, Kota Jayapura, Papua.

“Kita minta pemerintah pusat memberikan perpanjangan masa bhakti MRP sampai tahapan proses non APBD atau perdasus selesai,” imbuhnya.

Sementara itu, menanggapi usulan agar masa bhakti MRP periode 2017-2022 aga diperpanjang, tampaknya disambut positif Ketua MRP Timotius Murib.

“Memang bukan sekedar diperpanjang ya MRP, tapi sesuai dengan kebutuhan, maka pimpinan DPR Papua dalam hal ini Ketua DPR Papua sudah berpikir itu,” katanya.

Apalagi, ujar Timotius Murib, ke depan banyak tugas dan fungsi yang harus melibatkan MRP, terutama regulasi yakni Perdasus yang menjadi turunan dari UU Otsus, sehingga penting sekali kehadiran MRP dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Perdasus itu.

“Jika kita ikuti jadwal normalnya, pergantian anggota MRP representasi dari DPR Papua. Apalagi, sekarang 3 DOB itu belum ada struktur dari partai, struktur DPR provinsinya dan lainnya, sehingga kami lihat belum sempurna, sehingga pendapat dari Ketua DPR Papua untuk mengusulkan MRP diperpanjang sangat tepat,” ujarnya.

“Kita bukan minta-minta diperpanjang, tapi kebutuhan ini sangat penting, sehingga MRP diperpanjang dalam beberapa waktu ke depan dalam rangka kepentingan perdasus turunan dari UU Otsus,” pungkasnya.  (*)

Read More
Categories Berita

Wawancara Imajiner dengan Ketua MRP dan Ketua DPR Papua tentang Pokja Otsus

Ketua MRP Timotius Murib bersama ketua DPR Papua Johny Banua Rouw – Humas MRP

 

Oleh: Yosef Rumaseb)*
)* Penulis adalah anak kampung, tinggal di Biak

Ini adalah artikel (opini) yang saya buat dalam bentuk wawancara imajiner dengan  Ketua MRP dan Ketua DPR Papua tentang rencana MRP dan DPR Papua menarik kembali RUU Otsus Plus.

Saya : Syalom Bapak-Bapak yang mulia. Langsung ke pokok pertanyaan, mengapa RUU Ostus Plus hendak ditarik?

Ketua DPR Papua : Saya juga jelaskan to the point. Begini, public berpersepsi bahwa UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua atau UU Otsus Papua akan dirubah seluruhnya. Persepsi ini bisa keliru tetapi bisa benar. Pasal-pasal yang secara konstitusional memiliki dasar untuk dirubah adalah yang ada di Bab IX tentang Keuangan, misalnya Pasal 34 ayat 5 butir e, tentang dana Otsus berasal dari 2 % Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Karena masa berlakunya ditetapkan 20 tahun.  Tahun 2021 adalah tahun ke-20  Otsus Papua diundangkan. Sudah masanya  dirubah.  Opsi perubahan itu dapat berupa dana Otsus ditiadakan, atau ditambah atau dikurangi atau pun tetap. Apabila terjadi perubahan asumsi keuangan pembiayaan implementasi UU Otsus Papua itu maka terbuka kemungkinan terjadi perubahan pada pasal-pasal lain. Itu konsekwensi logis. Oleh karena itu saya katakan bahwa terbuka kemungkinan pasa-pasal lain mengalami penyesuaian pula sebagai konsekwensi dari perubahan asumsi keuangan. MRP dan DPR Papua memiliki persepsi sama bahwa perubahan itu harus melibatkan rakyat Papua. Tidak hanya pemerintah pusat.

Saya : Ada tanggapan YM [Yang Mulia] Ketua MRP Papua?

Ketua MRP Papua : Saudara dapat membaca pada pasal 77 bahwa usulan perubahan atas UU ini diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi saya garis-bawahi tiga hal. Yaitu, pertama, usulan perubahan itu diajukan oleh rakyat Provinsi Papua. Kedua, melalui DPR dan MRP Papua. Ketiga, disampaikan kepada DPR dan pemerintah RI. Jadi peran dari DPR dan MRP Papua hakekatnya adalah peran mediator atau fasilitator. Pokja yang kami bentuk ini adalah mediator. Jadi, jangan dibalik dari pusat ke rakyat.

Saya : Apabila tidak ada yang menolak perubahan UU Otsus Papua maka tidak perlu mediasi. Jadi mediator adalah konsekwensi logis dari adanya penolakan terhadap UU Otsus. Adakah penolakan? Dan mengapa  ada penolakan?

Ketua MRP Papua : Tentulah adik juga sudah mengikuti berita mengenai gelombang aksi, opini, artikel, berita dan bahkan petisi untuk menolak kelanjutan UU Otsus. MRP sebagai representasi kultural masyarakat adat Papua mengikuti dengan seksama semua berita dan opini yang masyarakat Provinsi Papua berkembang dan kami membuka ruang dialog untuk menampung semua aspirasi ini.  Secara garis besar, kami mendapatkan aspirasi dari kalangan masyarakat yang menolak perpanjangan UU Otsus yang menjelaskan alasan mereka menolak UU Otsus yaitu karena implementasi UU Otsus selama 20 tahun ini dinilai telah gagal mengatasi 4 (empat) akar masalah Papua. Otsus sebagai kebijakan affirmative bagi OAP gagal memberi jaminan untuk menyelesaikan konflik kemanusiaan di Papua. Ini merupakan konflik kemanusiaan yang terlama di Indonesia. Empat akar masalah Papua yang diidentifikasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map (2008) adalah masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM), marginalisasi orang Papua di tanahnya sendiri, masalah ketertinggalan pembangunan dan masalah distorsi sejarah politik Papua. Untuk menyelesaikan masalah distorsi sejarah politik Papua, MRP sudah mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah untuk berunding dengan ULMWP. Untuk mencegah makin termarginalnya dan makin meningkatnya penambahan apparat yang berpotensi meningkatkan pelanggaran HAM, MRP sudah menolak semua rencana pembentukan DOB alias pemekaran baik provinsi maupun kabupaten. MRP berpendapat bahwa adalah lebih baik kita duduk bersama dan berdialog untuk menyelesaikan masalah yang saat ini ada dan tidak menambah masalah di atas masalah. Itu lebih dulu. MRP mendapat gambaran bahwa pemerintah pusat tidak serius memberi perhatian untuk menjawab aspirasi yang sudah kami sampaikan. Masyarakat juga membuat kesimpulan seperti itu. Inilah yang menimbulkan kesimpulan dan aspirasi bahwa UU Otsus gagal. Sesungguhnya, UU Otsus tidak dapat dikatakan gagal, sebab UU itu benda mati. Pelaksanaannya yang gagal. Sebagai mediator, kami mendorong para implementator untuk duduk bersama dan berdiskusi untuk menjelaskan mengapa implelemtasi UU Otsus gagal dan bagaimana mencari solusi bersama untuk mengatasi kegagalan itu sekarang dan ke depan. Kita perlu membangun persepsi yang sama mulai dari persepsi tentang indicator keberhasilan implementasi UU Otsus. Itu dulu.

Saya : Apakah ada tambahan dari YM Ketua DPR Papua?

Ketua DPR Papua : DPR Papua, baik pimpinan maupun anggota, dipilih oleh rakyat dan bertugas sebagai mitra pemerintah di tingkat provinsi. Pada konteks itu, kami mengikuti dengan seksama aspirasi masyarakat yang antara lain sudah disampaikan oleh Yang Mulia Saudara Ketua MRP. Paptulah jika kita mengakui bahwa di satu sisi UU Otsus telah memberikan peluang positif untuk membangun SDM Papua. Baik di bidang kesehatan, pendidikan maupun ekonomi kerakyatan. Namun demikian, kita semua sudah mengikuti pernyataan kekecewaan yang dikemukakan antara lain oleh Saudara Gubernur Papua Bapak Enembe mengenai banyaknya rancangan perdasus dan perdasi yang diajukan ke pemerintah pusat sebagai payung hukum untuk melaksanakan UU Otsus namun telah ditolak atau tidak ditanggapi. Bahkan Bapak Enembe menyampaikan statemen bahwa beliau sudah tidak percaya pemerintah pusat dan lebih percaya jika UU Otsus digantik dengan perjanjian yang difasilitasi pihak internasional seperti yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik Aceh. Sebagai mitra eksekutif, kami menangkap adanya sikap pesimis dari mitra kami di eksekutif. Sebagai mitra dari Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, kami juga tidak menyangkal bahwa pemerintah pusat mempertanyakan kinerja pemerintah provinsi, mengapa dana banyak tetapi tingkat kemiskinan di Provinsi Papua masih yang tertinggi? Pula dari kabupaten, misalnya dari Bupati Jayapura, kami mengikuti aspirasi bahwaa implementasi UU Otsus sepertinya hanya berlaku di level provinsi dan di level  kabupaten yang diimplementasikan adalah UU Otonomi Daerah (bukan UU Otsus). Jadi saya bisa membuat kesimpulan seperti begini, pertama, di level nasional ada kecurigaan bahwa penggunaan dana Otsus tidak tepat sasaran. Ini menyangkut tata kelola pemerintahan di provinsi. Kedua, menurut provinsi, pemerintah pusat tidak tulus … seperti kasih ekor tetapi masih tahan kepala. Banyak rancangan perdasi dan perdasus sebagai paying hukum untuk mengimplemenetasikan UU Otsus tidak disetujui. Ketiga, di level kabupaten terjadi satu kapal dua nahkoda, Otsus dan Otonomi Daerah. Jadi, sama seperti yang dikemukakan oleh YM Saudara Ketua MRP, inilah antara lain pokok persoalan yang perlu kita gali dan cari solusi. Mengapa demikian dan bagaimana mengatasinya? Selama kita tidak berhasil mengatasi masalah-masalah ini maka argument untuk menolak UU Otsus tetap ada dan persepsi masyarakat yang menolak UU Otsus akan meningkat.

Saya : Bagaimana jika proses perubahan UU Otsus ini dijadikan momentum untuk menghentikan krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di tanah Papua. Antara lain yang sedang terjadi di Nduga. Bagaimana jika melalui MRP dan DPR Papua disampaikan kepada Presiden RI agar sebagai Panglima Tertinggi TNI/POLRI memerintahkan penghentian krisis kemanusiaan di Papua dan menunjukkan komitmen serius dengan melakukan proses hukum terhadap para pelaku dengan dimulai dari tubuh TNI dan POLRI. Apa tanggapan Bapak-Bapak?

Baik Ketua DPR maupun Ketua MRP Papua menjawab dengan penekanan yang sama bahwa di Indonesia yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, secara khusus sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, dan UUD 1845 Pasal 27 ayat (1) bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya” aspirasi tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu aspirasi ini akan mendapat tempat dan disampaikan bersama aspirasi lainnya kepada DPR RI dan pemerintah pusat.

(Waktu wawancara imajiner berakhir. Saya menyalami kedua Pimpinan Lembaga yang terhormat itu dan berlalu dengan harapan agar aspirasi-aspirasi ini mendapat tempat terhormat pula dalam agenda kerja Pokja MRP dan DPR Papua. Semoga). (*)

 

Sumber: Suara Papua

 

Read More
Categories Berita

MRP dan DPR Papua sepakat evaluasi Otsus harus dilakuan oleh rakyat Papua

MRP dan DPR Papua bersepakat untuk melakukan upaya bersama untuk memastikan evaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus Papua akan dilaksanakan oleh rakyat Papua. Hal itu disampaikan Ketua MRP, Timotius Murib usai bertemu Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR Papua di Kota Jayapura, Jumat (24/7/2020). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua bersepakat untuk melakukan upaya bersama untuk memastikan evaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus Papua akan dilaksanakan oleh rakyat Papua. Hal itu disampaikan Ketua MRP, Timotius Murib usai bertemu Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR Papua di Kota Jayapura, Jumat (24/7/2020).

“Hari ini kita rapat dan menyatukan persepsi untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat bersama dengan rakyat Papua. Hal itu sesuai [dengan ketentuan] Pasal 77 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua,” kata Murib.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua (UU Otsus Papua) tidak mengatur jangka waktu berlakunya Otsus Papua. Akan tetapi, kucuran “penerimaan khusus” atau Dana Otsus Papua setara 2 persen plafon Dana Alokasi Umum sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (3) huruf e UU Otsus Papua akan berakhir pada 2021. Hal itu memunculkan wacana evaluasi Otsus Papua dan revisi UU Otsus Papua.

Tempo.co melansir pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang berharap revisi UU Otsus Papua segera dibahas dan disahkan tahun ini. Hal itu dinyatakan Tito dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, 22 Januari 2020. Di pihak lain, banyak pemangku kepentingan politik di Papua justru menyatakan akan menolak atas rencana sepihak Jakarta memberlakukan “Otsus Jilid II”.

Murib menegaskan sesuai ketentuan Pasal 77 UU Otsus Papua, evaluasi Otsus Papua harus dilakukan oleh rakyat. ”Rakyat itu orang asli Papua, sebagai penerima manfaat impelementasi Otsus,” ungkapnya.

Ia menyatakan MRP bersama bersama DPRP akan menjalankan sejumlah langkah kongkrit. MRP akan berangkat  ke Jakarta untuk bertemu pemerintah pusat, meminta pemerintah pusat tidak melanjutkan pembahasan draf revisi UU Otsus Papua di DPR.

Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw mengatakan pertemuan Panitia Khusus (Pansus) Otsus Papua dengan MRP itu merupakan rapat penyatuan prespesi menyikapi wacana revisi UU Otsus Papua. Menurutnya, pertemuan itu berangkat dari suatu kesadaran bahwa DPR Papua, MRP, dan Gubernur Papua datang dari rakyat.

“Kita samakan persepsi, karena ada usulan untuk merevisi UU otsus Papua. Kami bekerja sama karena sadar, rakyat yang memilih DPR Papua. Rakyat [yang] sama memilih MRP dan Gubernur Papua,” kata Rouw usai bertemu Murib.

Ia menyatakan penyamaan persepsi itu harus dilakukan agar ketiga lembaga itu tidak terpisah-pisah dalam memperjuangkan aspirasi rakyat Papua. “Kita sudah sepakat, kita bekerja sama bersama-sama. Ini baru langkah awal, kita belum tentukan sikap,” kata Rouw.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More