Categories Berita

MRP: Pemekaran Papua dan Penambahan Provinsi Tidak Menjamin OAP Sejahtera

Ketua MRP, Timotius Murib ketika menyampaikan materi dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada Rabu (27/4/2022). – Tangkapan layar Youtube Public Virtue

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua menilai pemekaran Papua untuk membentuk tiga provinsi baru tidak serta merta menjamin Orang Asli Papua akan sejahtera. Hal itu dinyatakan Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada, Rabu (27/4/2022).

Hal itu disampaikan Murib menyikapi langkah rapat paripurna DPR RI menetapkan tiga Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukkan tiga provinsi baru di Papua sebagai RUU inisiatif DPR RI pada 12 April 2022. Sejumlah tiga provinsi baru yang dibentuk dari hasil pemekaran Papua itu adalah Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Murib mengatakan saat ini sumber daya manusia Papua tidak cukup dan tidak siap untuk menghadapi pemekaran Papua. Menurutnya, tidak ada juga jaminan bahwa tiga provinsi yang dibentuk melalui pemekaran Papua akan membuka kesempatan bekerja bagi Orang Asli Papua.

“Tidak ada partisipasi masyarakat Papua dalam pemekaran. Buktinya masyarakat asli Papua di 29 kabupaten dan kota di Papua terus melakukan penolakan terhadap pemekaran,” ujar Murib.

Insert Content here Murib menyampaikan Orang Asli Papua sebenarnya ada evaluasi yang menyeluruh atas pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 20 tahun terakhir. Evaluasi itu perlu dilakukan guna melihat sejauh mana penerapan Otonomi Khusus Papua berhasil atau gagal meningkatkan kesejahteran Orang Asli Papua. “Harus evaluasi secara total dulu,” katanya.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyampaikan pemerintah pusat setidaknya harus menjalankan tiga kewajiban kepada Orang Asli Papua. Diantaranya kewajiban untuk menyampaikan informasi, mengkonsultasikan, dan memperoleh persetujuan ketika pemerintah pusat membuat suatu kebijakan. Pasalnya, sejak 2001 pemerintah pusat sudah memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Ketiga kewajiban ini dimaksudkan untuk dapat memenuhi hak-hak Orang Asli Papua, atau Hak Asasi Manusia orang-orang di Papua baik sebagai manusia, warga negara yang dijamin dalam konsitusi, maupun satuan-satuan masyarakat adat yang diakui UUD RI,” kata Usman.

Usman menyampaikan pemerintah harus mendengarkan aspirasi masyarakat Papua yang disampaikan melalui  DPR Papua dan MRP. “Karena itu berhubungan dengan tiga kewajiban yang saya sampaikan di atas itu,” ujarnya.

Menurut Usman, jika hal itu tidak dipertimbangkan dengan baik oleh pemerintah, pihaknya khawatir akan terjadi eskalasi kekerasan di Papua. Amnesty mencatat setidaknya 12 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan, termasuk peningkatan kebebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan yang kerap dialami oleh Orang Asli Papua setempat. Situasi Orang Asli Papua dikhawatirkan akan semakin memburuk jika satuan teritorial aparat kemanan semakin bertambah karena pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). (*)

Sumber: Jubi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *