Categories BeritaSiaran Pers

MRP: Pembentukan Tiga Provinsi Baru Bukan Solusi Menangani Krisis di Papua

Ketua MRP, Timotius Murib ketika menyampaikan materi dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada Rabu (27/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Pemerintah pusat kembali didesak untuk menunda dan mengevaluasi rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Tanah Papua. Pembentukan tiga provinsi baru di provinsi Papua dinilai bukan merupakan solusi dalam menangani krisis berupa konflik bersenjata, pelanggaran HAM, dan rendahnya tingkat capaian pemerintah dalam membangun kesejahteraan orang asli Papua.

Dalam media briefing yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute (PVRI) pada Rabu (27/04/22), sejumlah akademisi dan perwakilan masyarakat sipil sepakat bahwa langkah pemekaran atau pembentukan DOB bukan solusi bagi penanganan krisis Papua yang semakin kompleks. Pasalnya, strategi dalam menyelesaikan persoalan Papua melalui DOB selama ini juga tidak berjalan maksimal dan bahkan jauh dari kebutuhan orang asli Papua (OAP).

Peneliti PVRI Ainun Dwiyanti mempertanyakan sikap pemerintah pusat yang gencar mendorong langkah pembentukan DOB. Menurutnya, jika pemerintah bersungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan rakyat, sudah sepatutnya terjadi proses konsultasi kebijakan dengan OAP agar kebijakan pemerintah dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

“Jika rencana pemekaran terus berlangsung, artinya aspirasi OAP hanya untuk formalitas dan tidak menjadi konsiderasi pembuatan kebijakan. Lalu untuk siapa dan kesejahteraan seperti apa yang ditawarkan pemerintah dalam kebijakan DOB?” tanya Ainun.

Ainun juga menambahkan bahwa gencarnya penolakan masyarakat terhadap pembentukan DOB mengindikasikan bahwa kebijakan ini dianggap tidak representatif dan tidak menjadi solusi atas krisis kemanusiaan yang ada. Justru sebaliknya, menambah persoalan baru di Tanah  Papua.

“Dalam catatan PVRI, sejak awal Maret hingga April 2022 saja sudah terjadi 10 kali demonstrasi di Papua guna menolak DOB. Beberapa diantaranya berujung kekerasan aparat keamanan dan mengakibatkan 2 orang tewas di Yahukimo. Pemerintah harus melihat gejolak tersebut,” tegas Ainun.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fitriani Bintang Timur juga mengungkapkan persoalan pemekaran berkorelasi dengan masalah keamanan dan kekerasan di Papua.

“Tantangan keamanan dari pemekaran DOB meliputi, aspek struktural-militer pasca adanya provinsi baru, yaitu akan dibangunnya pos-pos komando militer baru. Meskipun pemerintah bisa mengklaim hal itu untuk keamanan dan ketertiban, kita harus sadar bahwa ramifikasi tersebut belum bisa diterima oleh masyarakat Papua mengingat kasus-kasus kekerasan pada masyarakat Papua, isu pelanggaran HAM terhadap warga sipil, dan sebagainya. Dasar dari pembentukan provinsi baru adalah luasnya wilayah yang hendak diatur dan agar distribusi akses kesejahteraan dan pembangunan merata. Alasan itu pun belum dianggap meyakinkan karena perluasan satuan territorial militer justru menimbulkan keresahan dan ketidakamanan,” ujar Fitriani.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan pendapat serupa bahwa rencana pembentukan DOB minim partisipasi dan mengindikasikan bahwa pemerintah pusat gagal dalam menjalankan kewajibannya.

“Pemerintah memiliki tiga kewajiban yang harus dipenuhi saat membuat kebijakan, yaitu duty to inform atau kewajiban untuk menginformasikan kebijakan yang akan berdampak pada mereka, lalu duty to consult atau kewajiban mengonsultasikan kebijakan, dan duty to obtain free and prior informed consent atau kewajiban memperoleh persetujuan tanpa paksaan dari orang asli Papua,” ungkap Usman.

Usman mengingatkan jika ketiga kewajiban tersebut krusial untuk pemenuhan hak-hak warga OAP karena diakui oleh ketentuan Pasal 18B UUD 1945. Laporan Amnesty International terbaru yang terkait rencana penambangan emas di Blok Wabu juga menunjukkan betapa minimnya konsultasi dan partisipasi orang asli Papua dalam proses pembuatan rencana kebijakan negara di Intan Jaya, Papua.

Hadir bersama Usman Hamid yaitu Timotius Murib selaku Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengingatkan, jika pembuat kebijakan tidak melibatkan OAP dalam keputusan-keputusan yang menyangkut Papua maka dapat menimbulkan permasalahan serius.

“Saat bertemu Presiden Jokowi, MRP menyampaikan kepada Presiden bahwa cikal bakal dari kesalahan besar yang terjadi di Papua adalah perubahan kedua UU Otsus Tahun 2021 yang disahkan tanpa konsultasi dengan lembaga negara di Papua dan masyarakat sipil Papua. Oleh karenanya, rencana pembentukan DOB juga diteruskan oleh pemerintah secara sepihak,” ujar Timotius.

Timotius menambahkan jika Tiga UU DOB yang didorong oleh Mendagri dan Komisi II DPR RI merupakan mekanisme yang salah dan illegal karena merujuk asosiasi bupati yang tidak ada di UU Otsus. Karenanya Presiden dan pimpinan DPR RI perlu menunda keputusan tersebut dan mengoreksi tindakan Menteri terkait yang keliru membaca aturan.

“Ada empat alasan penting mengapa masyarakat Papua menolak DOB. Pertama, DOB masih di-moratoriumkan oleh pemerintah. Kedua, DOB provinsi lain dan daerah-daerah kabupaten di Papua tidak memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tinggi, sehingga secara fiskal akan sangat berketergantungan berat dengan pemerintah pusat, membebani APBN. Ketiga, sumber daya manusia yang berasal dari OAP hampir tidak ada atau sedikit, mayoritas adalah warga non-Papua. Yang terakhir aspirasi DOB bukan berasal dari akar rumput dan MRP sesuai UU” imbuh Timotius.

Senada dengan Timotius, akademisi Universitas Cendrawasih Bernarda Meteray mengatakan jika 20 tahun Otsus belum membawa banyak perubahan signifikan bagi OAP. Menurutnya, pembangunan cenderung berpola nasional dan mengabaikan pola lokal, kurang menyentuh kebutuhan dan hak-hak asasi rakyat, dan pemerintah meredam perlawanan dengan memekarkan provinsi.

“Pemekaran wilayah lebih bersifat politik, berorientasi untuk meningkatkan prestise negara, bukan menunjukkan niat memajukan penduduk. Perlu dilihat dengan baik karakteristik wilayah apabila akan mengadakan pemekaran wilayah. Perubahan dan perbaikan akan terjadi hanya jika pemerintah serius mensejahterakan orang di Papua, terutama OAP,” ungkapnya.

Terkait persoalan bertambahnya provinsi di Papua, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengungkapkan jika rencana pembentukan DOB perlu dievaluasi.

“Ketua Dewan Pengarah BRIN, Ibu Megawati, sudah menyampaikan kritik terhadap Mendagri tentang kebijakan pemekaran daerah sehingga BRIN diminta melakukan riset tentang potensi pemekaran daerah,” ujarnya.

Cahyo juga menambahkan kecenderungan paradigma proses pembangunan dilaksanakan dari sudut pandang Jakarta, seperti melihat Papua dari Monas. Kebijakan pemekaran Mendagri saat  ini didasarkan pada premis bahwa ‘uang adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah di Papua’.

“Semakin banyak investasi yang berjalan, semakin lumpuh daya otonomi orang Papua. Papua akan semakin bergantung pada bantuan-bantuan dari Jakarta. Ini harus dikoreksi,” pungkas Cahyo. (*)

Humas MPR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *