Categories Berita

MRP Tutup Bimbingan Teknis Untuk Pimpinan dan Anggotanya

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Ist

SENTANI, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menutup Bimbingan Teknis yang digelar untuk meningkatkan kapasitas pimpinan dan anggotanya, Jumat (4/2/2022).

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Bimbingan Teknis yang menghadirkan delapan pemateri itu berjalan dengan baik. Selama tiga hari, Bimbingan Teknis itu meghadirkan delapan pemateri yang membahas berbagai meteri terkait wewenang MRP selaku lembaga representasi kultural orang asli Papua, termasuk perwakilan Kepolisian Daerah Papua, Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih, WALHI Papua, Badan Pertanahan Nasional Papua, dan Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah Papua.

Bimbingan Teknis itu juga menghadirkan advokat yang tengah menjadi kuasa hukum MRP dalam permohonan uji materiil MRP atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua) di Mahkamah Konstitusi.

“Saya merasa [kebutuhan kami] terpenuhi [dengan Bimbingan Teknis itu], supaya itu menjadi bekal untuk pimpinan dan anggota MRP [untuk] melaksanakan tugas dengan baik. [MRP] bisa memberikan informasi kepada Orang Asli Papua [tentang] bagaimana perubahan [aturan Otsus Papua] yang terjadi, [dan] menyiapkan diri,” kata Murib.

Ia menyatakan Orang Asli Papua memang harus mempersiapkan diri menghadapi perubahan aturan Otsus Papua setelah UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua diundangkan.

Murib menyatakan MRP sendiri belum bisa memastikan bagaimana pemerintah pusat akan menjalankan UU Otsus Papua yang baru itu.

“Realisasi UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua itu [seperti apa], kami belum tahu. Akan tetapi, menurut MRP berharap masyarakat yang ada di 29 kabupaten/kota dan lima wilayah adat harus siap menerima kondisi perubahan yang cepat sekali terjadi itu,” ujar Murib.

Murib menduga pemerintah pusat akan segera menjalankan keinginan mereka untuk memekarkan Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi baru.

“Menurut pemerintah pusat, [pemekaran] itu kebutuhan. Walaupun MRP tidak ingin [ada] pemekaran, kemungkinan besar pemekaran itu [akan] terjadi. Masyakarat  akar rumput siap untuk menerima itu, siap untuk bersaing dengan kondisi yang ada, dan tetap melanjutkan kehidupan sehari-hari,” tuturnya.

Murib pemekaran sebuah wilayah seharusnya memperoleh persetujuan dari pemeriontah daerah setempat. “Pemekaran itu harus ada rekomendasi dari Gubernur, DPR Papua, dan juga MRP. Tapi itu diabaikan. [Dua provinsi di Tanah Papua] akan dimekarkan [dengan membentuk] empat provinsi [baru], dua di Provinsi Papua Barat dan dua di Provinsi Papua,” tuturnya.

Menurut Murib, akar rumput di lima wilayah adat yang ada di Papua belum tentu menerima rencana pemerintah pusat itu. Salah satu penyebabnya, karena banyak warga yang belum siap menerima berbagai dampak negatif pemekaran.

“Kita belum menyiapkan sumber daya manusia di akar rumput, namun pemekaran cepat terjadi. Para bupati belum menyiapkan sumber daya manusia dengan baik, tapi mereka berlomba-lomba bikin deklarasi pemekaran dan lari ke Jakarta minta pemekaran. Jadi bupati jangan buru-buru minta pemekaran,” jelas Murib.

Murib menegaskan seharusnya pemerintah pusat lebih dahulu menjalankan mandat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua)sebelum memekarkan provinsi di Tanah Papua.

“[Sudah 20 tahun implementasi Otsus di Tanah Papua, 24 kewenangan [khusus] tidak pernah dilaksanakan. Hanya empat kewenangan yang dilaksanakan, yaitu [calon] Gubernur dan Wakil Gubernur Orang Asli Papua, [pembentukan] MRP, [kucuran] Dana Otsus, dan 14 DPR Papua [yang dipilih dengan mekanisme Otsus]. Sejumlah 20 kewenangan [lainnya] tidak jalan, contohnya, pembentukan [Pengadilan] Hak Asasi Manusia,” ucap Murib.

Murib memperkirakan pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua nantinya akan menimbulkan sejumlah persoalan. [Itulah mengapa] MRP perlu pembekalan, agar MRP memberikan informasi baru kepada akar rumput, agar mereka siap menerima dan bersaing mengubah kehidupan mereka,” katanya. (*)

Sumber: Jubi

Read More
Categories Berita

MRP Tanyakan Nasib 8 Pengibar Bendera Bintang Kejora Yang Ditahan Polisi

Suasana kegiatan Bimtek yang di ikuti pimpinan dan anggota MRP saat mendengarkan pemateri – Humas MRP

SENTANI, MRP – Ketua Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua, Helena Hubi menanyakan apakah ada solusi selain pemidanaan bagi delapan orang pengibar bendera Bintang Kejora yang sedang ditahan polisi. Hubi mengingatkan, Presiden Abdurrahman Wahid sudah pernah mengizinkan bendera Bintang Kejora dikibarkan, namun kini orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora kembali dipidanakan.

Hal itu dinyatakan Helena Hubi dalam Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP yang berlangsung di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, pada Kamis (3/2/2022).

Bimbingan Teknis pada Kamis itu membahas kebijakan kepolisian dalam merespon aspirasi terkait pemenuhan hak dasar Orang Asli Papua.

Dalam sesi yang diampu Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Faizal Ramadhani itu, Hubi menanyakan perkembangan proses hukum terhadap delapan orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih, Kota Jayapura, pada 1 Desember 2021.

“Pada 1 Desember 2021, delapan mahasiswa ditahan karena mengibarkan bendera Bntang Kejora, sampai saat ini pun masih jadi tahanan Polda Papua,” kata Hubi.

Hubi menanyakan apakah polisi memiliki solusi selain pemidanaan bagi delapan orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora itu.

“Ada tidak solusi bagi delapan mahasiswa itu? Karena, tanggal 1 Desember itu dihargai orang Papua sebagai hari kemerdekaan orang Papua,” jelasnya.

Hubi juga mengingatkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sudah pernah mengizinkan orang Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Ia bertanya apakah akan ada kebijakan untuk membebaskan delapan orang yang ditahan polisi itu.

“Gus Dur sudah mengizinkan [pengibaran] bendera Bintang Kejora ketika Orang Asli Papua merayakan hari kemerdekaan Tanah Papua. Bagaimana dengan delapan mahasiswa yang ditahan, ada kebijakan untuk membebaskan mereka?” Hubi bertanya.

Komisaris Besar Faizal Ramadhani menyatakan hingga kini pihaknya masih menangani kasus pengibaran bendera Bintang Kejora oleh kedelapan orang itu. Namun ia menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memutuskan pembebasan delapan orang itu.

“Terkait delapan orang pengibaran bendera Bintang Kejora itu, sudah dalam pemberkasan. Kami sedang melengkapi berkas tersebut. Terkait ada tidaknya jalan lain [selain pemidanaan] untuk delapan orang itu, kewenangannya ada di pimpinan kami,” kata Faizal.(*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP Sebut Pemekaran wilayah tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua

Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) di Kotaraja Luar, Abepura – Ist

SENTANI, MRP – Anggota Kelompok Kerja Perempuan, Majelis Rakyat Papua, Sarah Ita Wahla menyatakan pemekaran wilayah di Papua tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua.

Wahla menyatakan berbagai pemekaran wilayah di Papua tidak memberi dampak positif bagi Orang Asli Papua, sehingga ia menolak rencana pemekaran Provinsi Papua. Hal itu dinyatakan Wahla di Sentani, Kamis (3/2/2021).

Wahla menuturkan, dirinya berasal dari Kabupaten Yahukimo, sebuah kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Kini, Kabupaten Yahukimo telah terbagi dalam 51 distrik dan 518 kampung, namun Wahla menyatakan Orang Asli Papua tidak merasakan manfaat pemekaran.

“Saya punya kabupaten di Yahukimo, itu ada 51 distrik. Orang Yahukimo bilang, ‘kami tidak perlu pemekaran’,” kata Wahla dalam sesi tanya jawab Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP yang berlangsung di Sentani, Kamis.

Wahla mempertanyakan rencana pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua.

“Pemekaran untuk siapa? Masyarakat [asli Papua] lari di gunung, di lereng. Otonomi Khusus yang khusus untuk perempuan saja kami tidak tahu [seperti apa]. Jadi, stop sudah dengan bicara pemekaran Papua. Saya ini mewakili perempuan Papua yang bicara,” jelasnya.

Wahla berharap rencana pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi baru tidak akan menimbulkan konflik baru di Papua. Ia juga mengkhawatirkan dampak pemekaran terhadap Orang Asli Papua, karena berbagai kabupaten hasil pemekaran saat ini justru memanas akibat konflik bersenjata di sana.

“Tidak usah ada pemekaran di daerah pegunungan [Papua], karena nanti ujung-ujungnya merusak orang-orang yang ada di sana saja. Tidak akan ada kesejahteraan pada pemekaran itu nanti,” ucap Wahla.

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib juga mengkritik banyaknya mantan bupati yang pergi ke Jakarta untuk meminta pemerintah pusat membentuk Daerah Otonom Baru di Papua.

Ia mengingatkan setiap pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru seharusnya dipertimbangkan masak-masak oleh Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP.

“Bupati, setelah [menjabat selama] dua periode, dia akan turun [dan] kembali jadi rakyat biasa. Di saat menganggur, [dia] pergi ke Jakarta, minta pemekaran. Pemekaran itu [seharusnya] melalui mekanisme rekomendasi Gubernur, DPR Papua, dan pertimbangan dari MRP. Ketiga mekanisme itu tidak dilalui, serta merta minta pemekaran,” kata Murib. Murib mempertanyakan mengapa pemerintah pusat malah merespon permintaan pemekaran yang diajukan mantan bupati. “Yang konyo itu,” jelasnya. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More