Categories Berita

MRP Hadiri Konferensi Badan Pekerja Klasis Wayu Wanggar Ke-II

Kegiatan Konferensi tersebut di hadiri oleh Wakil Presiden GIDI Pdt, Usman Kobak, S. Th, Ketua Wilayah Pantura GIDI Papua Pdt. Iker Tabuni, M. Th, Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib, Rektor STT GIDI Stakin Sentani Pdt. Paipen Wonda, M.Th dan juga perwakilan Pemkab Nabire dan perwakilan Pemkab Puncak Jaya. – Humas MRP

NABIRE, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menghadiri konferensi badan pekerja klasis Wayu Wanggar yang ke-II tahun 2022 di Nabire, Papua, Rabu (23/2/2022) kemarin.

Timotius Murib bersama Wakil Presiden GIDI Pdt, Usman Kobak, S. Th, Ketua Wilayah Pantura GIDI Papua Pdt. Iker Tabuni, M. Th, Rektor STT GIDI Stakin Sentani Pdt. Paipen Wonda, M.Th tiba di kabupaten Nabire pada pukul 12:00 WIT di Bandara Douw Atarure. Kemudian rombongan melanjutkan perjalanan ke distrik Wanggar untuk membuka konferensi tersebut.

Rombongan disambut baik oleh jemaat dari tiga klasis yakni Klasis Makimi, Klasis Nabire, dan Klasik Wayu Wanggar dengan penampilan tarian adat yang meriah.

Timotius Murib dalam sambutannya menegaskan, setiap klasis diharapkan terus berdiskusi dan bekerja sama sesuai tupoksi yang dimiliki masing-masing. Dengan demikian, setiap pelayanan jemaat dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan bersama.

“Sesuai tema ‘Gembalakanlah Domba-domba Ku”, bahwa setiap ketua klasis, Pendeta, dan para gembala harus menggembalakan para jemaat dengan memberikan dorongan dengan firman Tuhan agar setiap langkah hidupnya teratur sesuai dengan firman Tuhan yang telah didengar. Terus bekerja sama, saling mendorong membangun gereja dan membangun umat Allah yang hadir disini,” ungkapnya.

Murib juga mengapresiasi segala persiapan konferensi sehingga konferensi atau pemilihan ketua klasis Wayu Wanggar berjalan dengan baik selama tiga hari ke depan hingga Jumat (25/2/2022).

“Luar biasa jemaat. Segala persiapan serta penyambutan ini sungguh luar biasa,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Presiden GIDI Wilayah Papua, Pdt. Usman Kobak, juga mengapresiasi seluruh jemaat dari tiga klasis yang telah menyepakati mengadakan pemilihan ketua klasis baru di klasis Wayu Wanggar.

“Saya sebagai atasan sangat bangga atas komitmen jemaat. Konferensi atau pemilihan yang diadakan ini bagus untuk menindaklanjuti segala tanggungjawab yang telah ditundakan. Saling mendorong dan kerjasama adalah saling menggembalakan sesuai tema yang dikutip,” ujarnya. (*)

 

Read More
Categories Berita

Wakil Ketua I MRP: Revisi UU Otsus Papua Melukai Hati Rakyat Papua

Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua Yoel Luiz Mulait – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP), Yoel Luiz Mulait mengatakan, revisi UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 2 Tahun 2021 melukai hati rakyat Papua.

Menurut Yoel, rakyat Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi undang-undang tersebut.

“Kami melihat pemerintah menggampangkan persoalan Papua. Tidak melihat persoalan yang mengakar, misal ada kajian LIPI, mestinya bisa jadi rujukan bagi pemerintah dalam menyelesaikan masalah dengan baik. Kami merasa proses yang berjalan sangat melukai hati dan perasaan orang Papua,” kata Yoel dalam konferensi pers secara daring, Rabu (23/2/2022).

Padahal, Pasal 77 UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001 menyatakan, perubahan atas undang-undang dapat diajukan rakyat Papua melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) kepada DPR atau pemerintah.

Karena itu, MRP pun mengajukan gugatan terhadap UU Otsus Papua Nomor 2 Tahun 2021 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu tercatat sebagai perkara nomor 47/PUU-XIX/2021.

Yoel menegaskan, gugatan ke MK merupakan upaya konstitusional yang ditempuh MRP demi meraih keadilan.

“Kami ingin secara bermartabat menguji konstitusi. Kami tahu sembilan hakim MK adalah negarawan, bagaimana (menjaga) keutuhan NKRI. Kami berharap melalui majelis hakim MK bisa memberikan putusan yang berkeadilan bagi rakyat Papua,” ucapnya.

Yoel berpendapat, revisi UU Otsus Papua dilakukan secara terburu-buru tanpa melihat akar masalah yang sebenarnya terjadi di Papua.

Ia mengatakan, Otsus Papua tidak memberikan banyak perubahan bagi masyarakat lokal. Menurut Yoel, selama ini tidak ada kekhususan yang dirasakan di Papua.

“Kami berharap melalui pelaksanaan otsus ada suatu perubahan baik bagi rakyat Papua, tapi kenyataan yang terjadi dalam pelaksanaannya tidak ada hal yang baru. Tidak ada kekhususan di tanah Papua,” ujar dia.(*)

Sumber: https://nasional.kompas.com/

Read More
Categories Berita

MRP: Jokowi Datang ke Papua Tak Menyelesaikan Persoalan

Minggus Madai, Anggota MRP Papua Pokja Adat – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Minggus Madai menyebut belasan kali Presiden Joko Widodo datang ke Papua, tapi tidak pernah bertanya langsung terkait kondisi yang sesungguhnya terjadi di Bumi Cendrawasih tersebut.

Minggus menyebut, Jokowi bahkan tak pernah bertanya terkait konflik yang terjadi di Papua. Setiap kunjungan, kata dia, Jokowi hanya datang lalu pergi lagi. Sehingga, tak mengherankan jika setumpuk permasalahan di Papua tak pernah selesai.

“19 kali kunjungan Jokowi ke Papua tidak menyelesaikan satu pun persoalan. Pak Presiden turun naik mobil sampai ke tempat tujuan lalu kembali. Dia tidak tanya di Papua terjadi apa, daerah konflik mana, penyelesaian seperti apa. Pak Presiden tidak tanya itu,” kata Minggus dalam diskusi daring, Rabu (23/2).

Belum ada tanggapan dari pihak istana tentang pernyataan MRP ini. CNNIndonesia.com masih berupaya meminta tanggapan dari pihak istana.

Padahal, kata Minggus, banyak permasalahan yang terjadi di Papua. Ia berkata, beberapa permasalahan itu di antaranya pemekaran, konflik, pelanggaran HAM dan tumpang tindih peraturan perundang-undangan.

Menurutnya, semua permasalahan itu bisa saja diselesaikan dengan cepat jika Jokowi mengajak dialog orang Papua. Namun, sayangnya Jokowi tidak melakukan itu dalam 19 kali kunjungannya.

“Sebenarnya kalau mau selesaikan konflik di Papua gampang. Presiden dengan kunjungan 15 atau 19 kali kunjungan harusnya sudah bisa selesaikan,” kata dia.

Ia menyebut, jika Jokowi tidak bersedia melakukan dialog dengan dimediasi pihak ketiga, maka seharusnya bisa dilakukan secara langsung. Alternatifnya, Jokowi bisa menanggil pihak-pihak terkait dan mendiskusikan permasalahan yang ada.

“Mungkin adakan pendekatan dialog kalau dialog bersama orang Papua yang dimediasi tidak bisa dilakukan ya sudah, misalnya [permasalahan] Intan Jaya kenapa konflik, panggil bupati, tokoh agama, tokoh pemuda, bersama gubernur, MRP, pangdam, kapolda bagaimana kita selesaikan,” jelas dia.

“Tapi solusi yang kecil ini saja Presiden tak pernah selesaikan. Jadi orang Papua saat ini bingung,” imbuhnya.

Berbagai permasalahan terjadi di tanah Cendrawasih tersebut. Salah satunya, konflik Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan tentara Indonesia. Keduanya kerap adu senjata sampai menimbukan kerusakan bangunan dan hilangnya nyawa warga.

Beberapa pihak menyarankan agar Indonesia tidak melakukan pendekatan keamanan, melainkan dengan dialog damai. Dialog tersebut dapat dimediasi oleh pihak ketiga, seperti PBB.Berbagai permasalahan terjadi di tanah Cendrawasih tersebut. Salah satunya, konflik Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan tentara Indonesia. Keduanya kerap adu senjata sampai menimbulkan kerusakan bangunan dan hilangnya nyawa warga. (*)

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/

Read More
Categories Berita

Mentransformasi Konflik Politik Bersenjata menjadi Gerakan Politik Berpartai di Papua

Sidang Perdana diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) – HUMAS MKRI

JAYAPURA, MRP – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/2/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi Pemohon.

Otto Nur Abdullah dalam kapasitasnya sebagai Ahli yang dihadirkan MRP (Pemohon) berpandangan bahwa Papua adalah daerah konflik vertikal pasca penentuan pendapat rakyat pada 1969. Ada juga yang mengatakan konflik vertikal ini sejak 1962.

“Namun demikian, yang pasti rentang waktu konflik di Papua ini sudah sangat panjang. Bahkan jauh lebih panjang dari konflik Aceh. Sekarang Papua bisa kita katakan sudah masuk generasi ketiga,” jelas Otto kepada Pleno Hakim MK yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.

Partai Politik Lokal

Dalam situasi konflik vertikal yang berkelanjutan, lanjut Otto, secara teoritis sulit dihentikan dengan segera dan seketika. Konflik vertikal itu harus ditransformasi dulu karena sudah terlampau lama, untuk dieskalasi konflik bersenjata yang sekaligus berkenaan dengan peningkatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, UUD NRI Tahun 1945 dan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila.

“Pendekatan transformasi konflik ini dilakukan di Aceh. Namun sebelum tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menempuh jalur informal dengan mengirim utusan Mensesneg saat itu, untuk bertemu dengan Panglima GAM,” jelas Otto.

Sedangkan di Papua, kata Otto, kesadaran transformasi konflik muncul sejak diberikan status Otonomi Khusus Papua. Salah satu bentuk kesadaran transformasi konflik adalah dengan pemberian payung hukum bagi partai lokal dalam UU No. 21 Tahun 2001. Hal ini bertujuan untuk mentransformasi dari konflik politik bersenjata menjadi gerakan politik berpartai. Selain itu, partai lokal dalam perspektif teori resolusi konflik, dapat menjadi wadah untuk membentuk kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan bernegosiasi, kompromi serta mengedepankan rasa keadilan.

Hal positif lainnya, sambung Otto, sebagaimana terjadi di Aceh, partai politik lokal merupakan media yang lebih mudah diakses oleh warga Aceh dalam menyalurkan aspirasi politiknya dan dengan tanpa rasa curiga sebagai politik pusat. Di samping itu, parlemen lokal di satu pihak menjadi arena kontestasi dan di lain pihak menjadi arena kolaborasi antara partai nasional dan partai lokal dalam memperjuangkan aspirasi daerah ke tingkat nasional.

Sejarah Pembentukan Provinsi Papua

Pada kesempatan kali ini, MRP juga menghadirkan saksi M. Musa’ad yang menjelaskan pembentukan Provinsi Papua berdasarkan UU No. 1 PNPS/1962 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat Bentuk Baru, UU No. 12/2009 tentang Pembentukan Provinsi Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonomi di Provinsi Irian Barat. Selanjutnya nama Irian Barat diganti dengan Irian Jaya berdasarkan PP No. 5 Tahun 1973.

“Kemudian berdasarkan aspirasi masyarakat Papua, nama Irian Jaya diganti menjadi Papua yang dituangkan dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya No. 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya menjadi Papua dan secara resmi nama Papua dipakai sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,” urai Musa’ad.

Dalam kurun waktu yang panjang, penyelenggaraan pemerintahan di daerah Otonomi Provinsi Irian Barat hingga Provinsi Irian Jaya tidak dapat berjalan sebagaimana suatu daerah otonom yang diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk mengatur dan mengurus rumahtangga sendiri untuk mengembangkan aspirasi dan prakarsa daerah, tidak ada kebebasan dan kemandirian menjalankan kewenangan. Kebijakan sentralistik telah lama dipraktikkan di Provinsi Irian Barat sampai Provinsi Irian Jaya. Hal ini telah menimbulkan konflik yang mengarah pada terjadinya disintegrasi bangsa.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Timotius Murib mengajukan permohonan tersebut karena setelah mencermati perubahan UU Otsus Papua, terdapat klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.

Selain itu, Timotius menyebut dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua. (*)

Read More

Categories Berita

Saksi Fakta Pemrov Papua Sebut Perubahan Kedua UU Otsus Papua Tidak Aspiratif

Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/2/2022) siang. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/2/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi Pemohon.

Dr. Muhammad Ridwan Rumasukun, kapasitanya sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Papua dalam memberikan keterangan fakta pemerintah provinsi Papua mengatakan perubahan undang-undang Otonomi Khusus nomor 21 tahun 2001 haruslah bersifat aspiratif dari dan oleh masyarakat daerah yaitu orang asli Papua.

“Harus ada proses meminta pendapat masyarakat Papua, sebagaimana ketika untuk pertama kali membentuk UU Otsus nomor 21 tahun 2001,” kata Rumasukun.

Lanjutnya, tugas dan peran ini telah di atur dalam UU nomor 21 tahun 2001 yang secara konstitusional dilakukan oleh MRP dan DPRP. Gubernur Papua telah menyerahkan proses meminta pendapat rakyat Papua kepada MRP.

“MRP telah melakukan  Rapat Dengar Pendapat (RDP), tetapi kurang mendapat dukungan dan respons positif dari pemerintah, DPR dan berbagai pihak lainnya,” kata Rumasukun.

Ia menegaskan, jika proses perubahan undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua tidak melalui proses  meminta pendapat/aspirasi masyarakat daerah, maka ini adalah suatu kekeliruan, yang cenderung bertentangan dengan konstitusi.

“Sebab dalam salah satu bagian dari ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, bagian III mengenai rekomendasi, mengamanatkan .. UU Otonomi Khusus bagi daerah istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai amanat ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan,” tutur Rumasukun.

Kata Rumasukun, pasal-pasal yang di ujikan yang tertuang dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi provinsi Papua pasal 76 menjelaskan pemekaran provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi di lakukan atas persetujuan MRP dan DPRD setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan social-budaya, kesiapan Sumber Daya Manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang.

Pasal 77 terkait dengan pengujian norma denga frasa; usul perubahan atas undang-undang ini “dapat di ajukan oleh rakyat provinsi Papua melalui MRP dan DPRP” kepada DPR dan pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

“Kami berpendapat bahwa meskipun pemerintah dan DPR memiliki kewenangan dalam pembuatan suatu undang-undang, tetapi untuk undang-undang Otonomi Khusus Papua, proses dan prosedurnya serta subtansi dalam membuat atau merubah UU Otonomi Khsus Papua haruslah dilakukan dengan memperhatikan alasan dan latarbelakang dibentuknya UU nomor 21 tahun 2001 sebagaimana di atur dalam ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/1999 dan ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/2000,” kata Rumasukun.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Timotius Murib mengajukan permohonan tersebut karena setelah mencermati perubahan UU Otsus Papua, terdapat klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.

Selain itu, Timotius menyebut dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories Berita

Perubahan UU Otsus Papua Abaikan Hak OAP

Ifdhal Kasim, Zainal Arifin Mochtar, dan Herlambang Perdana Wiratraman selaku Ahli Pemohon diambil sumpahnya secara daring untuk memberikan keterangan pada sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Kamis (13/01) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

JAYAPURA, MRP – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua), pada Kamis (13/1/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 tersebut diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II).

Dalam sidang tersebut, Mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan UU Otsus Papua sebetulnya dapat diletakkan dalam konteks re-negoisasi dengan mengatur kembali tatanan pemerintah, politik, hukum, dan ekonomi dalam susunan negara RI.

Ifdhal juga menegaskan proses re-negoisasi tidak berjalan dengan baik, adil, dan partisipasif. Perubahan UU Otsus Papua mengabaikan elemen yang paling penting, yaitu tidak mengakomodasi sepenuhnya proses dengar pendapat, konsultasi, dan dialog yang difasilitasi oleh MRP. Padahal partisipasi proses pengambilan kebijakan yang berdampak pada hak dan kepentingan Orang Asing Papua (OAP) itu sangat mutlak.

Dikatakan Ifdhal, deklarasi hak-hak individualisme juga mengaris bawahi pentingnya partisipasi tersebut yang ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan masyarakat adat mempunyai hak partisipasi dalam pembuatan keputusan berkenaan dengan hal-hal yang akan membawa dampak pada hak-hak mereka. Hak partisipasi tersebut dilakukan melalui perwakilan-perwakilan yang mereka pilih sesuai dengan prosedur mereka sendiri dan juga untuk mempertahankan pranata pembuatan keputusan yang mereka miliki secara tradisional.

“Maka terlihat dengan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus tidak cukup menjamin hak ini khususnya norma dapat diajukan oleh OAP melalui MRP dan DPRP sebab usul perubahan UU tidak bersifat imperatif harus melalui MRP sebagai kultural OAP bisa saja dilakukan konsultasi, rapat dengar pendapat dengan rakyat papua melalui MRP,” jelas Ifdhal dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman secara daring.

Menurut Ifdhal, dalam konteks internal self-determination terlihat Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Otsus Papua menempatkan kedudukan OAP tidak diperlakukan sama dalam kedudukan hukum dan pemerintahan. Hal ini jelas tidak sejalan dengan deklarasi hak individual yang menyatakan masyarakat adat dan warganya bebas dan sederajat dengan warga lainnya serta mempunyai hak bebas dalam menjalankan haknya tersebut didasarkan atas asal usul atau identitasnya. Selain itu, ketentuan yang tidak memperlakukan sama OAP itu juga tidak sejalan dengan konvenan internasional hak sipil dan politik.

Pada kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar hadir menjadi Ahli Pemohon lainnya. Zainal menjelaskan mengenai frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sebenarnya menjadi sesuatu yang netral. Namun begitu dilekatkan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6A huruf (a) UU Otsus Papua, maka membuat multitafsir yang sangat luar biasa dan berpotensi untuk menimbulkan ketidakpastian hukum.

Menurut Zainal, apabila sesuai dengan peraturan perundang-undangan berarti jenis peraturan perundang-undangannya bisa apa saja. Kemudian, apabila membahas mengenai otonomi khusus, kepastian hukum dalam konteks pemberian peraturan yang lebih kuat didasarkan pada aspirasi daerah lebih harus diperhatikan. Ia mengatakan,  peraturan tersebut jauh lebih baik dan lebih spesifik diatur lebih lanjut. Selain itu, sambungnya, UU ini harus dikaitkan dengan konteks kebijakan mulai dari konsep politik hukum, naskah akademik, pembahasan bahkan dengan UU sebelumnya.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Pemohon menilai adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’. Kemudian, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.(*)

Sumber: HUMAS MKRI

Read More
Categories Berita

Negara Diminta Hormati Proses Gugatan Perubahan Kedua UU Otsus di MK

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di dampinggi ketua MRP Timotius Murib saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Amensty Internasional Indonesia menilai negara (Jakarta) terus mengambil kewenangan-kewenangan yang sudah sebelumnya di berikan  kepada rakyat Papua hingga berdampak pada kerenggangan hubungan antara pemerintahan di daerah dan pusat.

Hal tersebut di sampaikan Usman Hamid, Direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia kepada wartawan, Senin, (21/2/2022).

Kata Usman, kewengan-kewenangan yang di ambil pusat seperti perubahan kedua UU Otsus Papua, pemekaran (DOB) serta kebijakan pembangunan lainnya di tanah Papua.

“Dengan mengambil kewenangan-kewenangan yang sudah sebelumnya di berikan itu sebaliknya justru makin merengangkan hubungan antara pusat dan daerah sehingga menimbulkan keteggangan politik antara Jakarta dan Papua dan pada akhirnya membuat kita semua anti negara, ngak ada menghormati dan melindungi hak-hak orang asli Papua sebagaimana yang diwajibkan oleh konstitusi atau di wajibkan oleh undang-undang,” kata Usman.

Sehingga, Amnesty Internasional Indonesia berharap rapat-rapat sekarang yang intensif di gelar oleh wakil Presiden harus mempertimbangkan proses persidangan yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan menunda sementara terbitnya keputusan-keputusan baru seperti pemekaran wilayah dan lainnya.

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib juga mengkritik banyaknya mantan bupati yang pergi ke Jakarta untuk meminta pemerintah pusat membentuk Daerah Otonom Baru di Papua.

Ia mengingatkan setiap pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru seharusnya dipertimbangkan baik dan matang oleh Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP.

“Bupati, setelah (menjabat selama) dua periode, dia akan turun dan kembali jadi rakyat biasa. Di saat menganggur, dia pergi ke Jakarta, minta pemekaran. Pemekaran itu (seharusnya) melalui mekanisme rekomendasi Gubernur, DPR Papua, dan pertimbangan dari MRP. Ketiga mekanisme itu tidak dilalui, serta merta minta pemekaran,” kata Murib.

Murib mempertanyakan mengapa pemerintah pusat malah merespon permintaan pemekaran yang diajukan mantan bupati.

“Yang konyol itu,” jelasnya. 

Sumber: Suara Papua

Read More
Categories Berita

Majelis Rakyat Papua Gugat Revisi UU Otsus Papua

Sidang Perdana diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) – HUMAS MKRI

JAYAPURA, MRP – Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, Timotius Murib mengatakan Pemohon mengajukan permohonan tersebut karena telah mencermati perubahan UU Otsus Papua karena terdapat adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.

Selain itu, Timotius menyebut dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua. “Oleh karenanya Majelis Rakyat Papua merasa tindakan pemerintah pusat tersebut telah melanggar konstitusi Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” paparnya.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’.

“Menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Berikutnya, menyatakan norma Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai usulan perubahan undang-undang ini wajib diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP,” papar Stefanus Roy Rening selaku kuasa hukum.

Nasihat Hakim

Terkait permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat sebagai Anggota Panel meminta agar Pemohon menyederhanakan dan meringkas permohonannya. Selain itu, ia meminta agar Pemohon memperjelas objek permohonannya.

“Ini objek permohonannya ada beberapa yang perlu disempurnakan atau diperbaiki. Dalam bacaan saya, dalam permohonan ini tidak konsisten menyebut dari awal sampai akhir bagian mana yang diujikan dalam permohonan ini. Apakah itu pasal, apakah itu ayat, apakah itu frasa? Coba secara konsisten supaya tadi meskipun masih susah dimengerti, tapi Mahkamah kadang-kadang masih dapat dimengerti apa yang hakikatnya diinginkan oleh Pemohon. Tapi kalau sampai tidak bisa dimengerti, kemudian (Mahkamah) berkesimpulan bahwa permohonan ini kabur,” papar Arief.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum yang dinilainya belum dicantumkan dasar hukumnya dalam permohonan.

“Pertanyaan saya juga sama nanti untuk mempertegas, apa dasar hukumnya? Apa yang menguatkan mereka bisa mewakili keberadaan kelembagaan MRP tersebut untuk maju di depan forum pengadilan, di dalam dan luar pengadilan? Apa dasarnya yang menguatkan itu? Karena dalam undang-undang tidak ada, itu harus ada dasar yang kuat untuk menunjukkan itu,” jelas Enny.

Ketua Panel Hakim Aswanto memberi waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan tersebut diterima Kepaniteraan MK selambatnya pada 5 Oktober 2021. (*)

Sumber: https://www.mkri.id/

Read More
Categories Berita

Sikap MRP dan Konsekwensi Hukum Pembangunan Bandar Antariksa di Biak

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Dok

JAYAPURA, MRP — Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga kultural orang asli Papua menyatakan menolak pembangunan Bandar Antariksa di Saukobye, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak Numfor, Papua.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan lembaga yang sedang ia pimpin tersebut secara lembaga menolak pembangunan Bandar antariksa di Biak. Dia mengaku MRP telah melakukan pemantauan dan menjaring aspirasi di Biak pada September tahun 2021 yang berkaitan dengan rencana pembangunan Bandar antariksa.

Hasil pemantauan itu, MRP menemukan bahwa masyarakat pemilik hak ulayat di lokasi pembangunan Bandar antariksa menolak. Dari data yang MRP kumpulkan, sudah ada upaya negosiasi yang dilakukan antara masyarakat dengan pemerintah Pusat untuk membicarakan tentang pelepasan kawasan pembangunan Antariksa.

Menurut Murib,  MRP sedang agendakan untuk melakukan pertemuan dengan LAPAN supaya MRP mendapat penjelasan detail tentang dampak pembangunan satelit ini.

“Jadi MRP Tahun ini ketemu dengan Lembaga Antariksa untuk menyampaikan konsekuensi dari pada pembangunan ini dan peluncuran nantinya. Nanti ada persentasi dari Lembaga Antariksa baru MRP akan ambil keputusan,” jelasnya kepada Suara Papua pada 17 Januari 2022.

Dia  menegaskan, sebelum ada pembicaraan dan mendapat penjelasan dari LAPAN, MRP pada prisipnya tetap menolak pembangunan Antariksa di Biak.

“MRP tetap menolak. Walaupun masyarakat adat itu sudah bicara dengan pihak pemerintah tentang proses pembangunan dan masyarakat adat juga bicara ganti rugi tanah tapi MRP tetap menolak karena MRP tahu contoh-contoh peluncuran di Benua lain kita kan sudah baca, jadi MRP pada prinsipnya menolak.”

“Karena pembangunan itu akan berdampak pada Orang Asli Papua pemilik hak ulayat yang sudah turun temurun tinggal, menetap dan hidup disitu. Jadi MRP secara lembaga menolak,” tegas Murib.

Apolos Sroyer, Ketua Dewan Adat Kainkain Kankara Byak kepada Suara Papua mengatakan, pihaknya mempunyai ide untuk ke depan tidak boleh ada investasi dengan skala besar di seluruh pulau Biak. Karena dikuatirkan akan mendatang kerugian dan kerusakan bagi masyarakat adat.

“Kami belajar dari beberapa tempat yang pernah meluncurkan satelit. Bukannya kami takut dan tidak tahu teknologi ataupun ilmu pengetahuan yang sedang pekembang ini. Kami sudah tahu siapa yang akan diuntungkan dan dirugikan dalam proyek pembangunan Bandar antariksa,” jelasnya.

Menurut konvenan internasional tahun 1972 tentang keantariksaan Perjanjian antariksaan negara pengorbit atau peluncur negara peluncur ruang angkasa apabila terjadi kegagalan teknis maka dia tidak akan membayar kepada masyarakat ataupun negara yang dia luncurkan barang itu.

“Ini membuat kami khawatir apabila terjadi sesuatu di Biak nanti misalnya pada perusahaan ini peluncuran ini maka mereka tidak akan mengganti rugi karena ganti rugi mereka adalah tadi pajak dengan investasi bagi hasil usaha Negara,” ungkapnya.

Apolos dan masyarakat adat yang berada pada sikap menolak kuatir dengan dampak yang akan terjadi. Terlebih ketika tidak ada kejelasan tentang siapa yang bertanggujawab jika pengorbitan gagal, lalu mimbulkan dampak buruk.

Dalam visi membangun Papua untuk lebih hijau kedepan, lanjut Apolos, masyarakat adat tidak mau teknologi itu dapat merusak lingkungan jadi apakah teknologi itu akan rama lingkungan kah atau tidak.

Yang terpenting menurut dia adalah masyarakat mendapat penjelasan yang detail tentang segala dampak baik dan buruk dari proyek pembangunan Bandar antariksa itu dari ahlinya, bukan dari pemerintah kabupaten biak atau dari para peneliti di Jakarta.

“Kami tidak tahu mau pakai Pemerintah Kabupaten kah Jakarta Kami tidak mau jadi ini barang besar maka tidak bisa dihadapi dan pola pikir yang kecil. kita bicara Biak saja tidak cukup. Saya tidak akan mau bicara dengan orang-orang di pemerintah Biak Pemerintah Provinsi, karena saya itu bagian dari mereka sama-sama butuh penjelasan detail dari ahlinya,” urainya.

Baca Juga:  Masyarakat Adat di Sorong Menolak Pembangunan KEK

Dalam konteks ini ia menegaskan lagi, sebagai pemilik hak ulayat duduk harus bicara dengan pihak LAPAN agar dijelaskan oleh ahlinya, bukan dari pemprov atau pemerintah kabupaten.

“Kalau mau bicara orang-orang itu [Pemprov dan Pemkab Biak] saya kira itu bukan levelnya. Karena ini kita bicara nasib masa depan rumah orang Papua,” katanya.

Menurut Apolos, apa yang ia maksudkan adalah masyarakat adat harus beradab, harus dipandang sebagai subyek.

“Stop sudah masuk mengobjekan masyarakat. masyarakat harus didudukan melalui kepala adat ataupun pemiliknya harus duduk dan bicara, yang pemiliknya ini bicara bukan orang lain akhirnya nanti tidak sesuai dengan pemilik.”

“Kami tetap tolak karena dia berpotensi menghancurkan ekosistem kehidupan masyarakat adat. Kami hidup karena alam. Kami tidak pernah makan satelit baru hidup, dari dulu moyang kami sampai saat ini dan seterusnya akan pakai makanan hasil  alami dari tanah kami,” tegas Apolos.

Harus Mengakui Hak Masyarakat Adat

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel D. Gobay memberikan pandangan dari aspek hukum soal pembangunan Bandar antariksa di Biak. Menurut dia, hak masyarakat adat  diakui dalam UUD 1945 Pasal 18D dan itu menjadi dasar konstitusional eksistensi masyarakat adat dan hak-haknya. Juga diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999.

Hak-hak masyarakat adat secara tegas diatur dalam UU Otsus. Sehingga dalam hal pemanfaatan hak ulayat, pemerintah diwajibkan menjadi mendiator yang akan mempertemukan masyarakat adat dan investor.

“Itu perintah UU Otsus,” tegas Gobay.

Ia menegaskan, pemerintah tidak boleh lakukan hal di luar UU. Pemerintah harus lakukan sesuai dengan UU sebagaimana diatur dalam UU Otsus yang di dalamnya mengakui eksistensi masyarakat adat dan petunjuk teknis bagi investor.

“Kalau masyarakat ada menolak, itu hak masyarakat ada yang tidak boleh dipaksa. Kalau yang terjadi adalah penolakan, maka kembali ke pemerintah sebagai mediator dan melihat penolakan sebagai apa. Kalau pemerintah melihat itu sebagai alasan yang tidak masuk akal, saya pikir itu masuk dalam konteks pemaksaan dan pemerintah menujukkan sedang mengabaikan UU Otsus,” urainya.

Jika masyarakat telah menempuh lewat lembaga adat, ritual adat, tapi pemerintah tetap memilih Biak sebagai lokasi bandar antariksa maka hal itu dapat dikatogeorikan sebagai pemaksaan. Maka harus dikritisi secara hukum karena masuk kategori tindakan pelanggaran hukum terhadap hak masyarakat adat.

Gobay memberikan penekanan pemerintah dalam konteks konstitusi. Secara tegas pada Pasal 28I ayat 4 (UUD 1945) menyampaikan bahwa penghormatan, perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM adalah tugas negara melalui pemerintah.

“Berkaitan dengan penolakan masyarakat, ini lagi-lagi mempertanyakan sikap pemerintah dalam menjalankan amanah Pasal 28I ayat 4. Kalau kemudian pemaksaan yang terjadi, maka secara jelas menunjukkan bahwa pemerintah melanggar pasal tersebut,” bebernya.

Sementara, LAPAN/BRIN adalah badan hukum. Sehingga sebagai badan hukum di hadapan hukum kita semua sama. LAPAN juga harus menghargai eksistensi masyarakat adat dan hak-haknya.

Ketika masyarakat memilih tidak, itu hak masyarakat menyampaikan pernyataannya atas sikap terhadap rencana yang ada di atas wilayahnya. Kalau tanpa sepengetahuan masyarakat, pemerintah dan LAPAN melakukan kontrak, maka itu akan menjadi temuan pelanggaran tindak pidana penggelapan tanah adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP.

“Badan hukum sebagai subjek hukum, dia juga harus tunduk kepada aturan perundang-undangan yang berlaku. LAPAN tidak bisa dapat melakukan semau dia,” katanya.

Gobay menyebutkan, ada beberapa langkah yang akan ditempuh ika pemerintah tetap merealisasikan rencana pembangunan Bandar antariksa dan ditemukan kejanggalan. Pertama, menggugat ke PTUN karena negara melalui pemerintah pusat/kabupaten/provinsi memberikan izin kepada perusahaan itu. Hanya saja waktunya 90 hari setelah izin dikeluarkan.

Baca Juga:  Pro dan Kontra Pembangunan Bandar Antariksa di Biak (1/3)

Kedua, menggunakan sistem tindak pidana yaitu soal penggelapan tanah adat. Pemilik tanah bisa melaporkan ke kepolisian. Karena itu bagian dari hak masyarakat adat, mereka bisa laporkan ke Komnas HAM.

“Kami  akan kaji dalam beberapa dasar hukum, fakta itu akan menunjukkan tindak pidana juga pelanggaran kode etik, dan pelanggaran hukum administrasi negara. Masyarakat adat bisa melakukan dua upaya hukum,” jelasnya.

Harus Transparan

Direktur Forest Watch Indonesia (FWI), Mutfi Barri memberikan catatan kepada Pemerintah agar transparan dalam menggarap proyek pembangunan Bandar antariksa di Biak.

Menurutnya, hal yang menghambat adalah terjadinya misleading infomrasi. Dalam hal ini ia menekankan pada aspek komunikasi antara pusat dan daerah dan antara daerah dan pusat yang kurang baik.

“Ini yang kami selalu suarakan, bagaiamana seharusnya pengelolaan ruang/tanah/hutan di Papua, informasinya disampaikan secara utuh. Yang terjadi saat ini, informasi masih setengah-setengah, dibelokkan; baik itu informasi dari pusat ke Papua atau sebaliknya,” bebernya.

Dia lanjutkan, begitu juga dengan informasi yang keluar dari Papua ke Pusat. Biasanya selalu ada asimetri informasi, artinya tak pernah tersampaikan ke Pusat, bahwa rupanya di tanah yang mau dibangun itu ada hak masyarakat adat.

“Ada hak yang harus diselesaikan, ada masyarakat yang dimintai persetujuan soal rencana tersebut. Seharusnya ada ruang negosiasi yang dibangun oleh pemerintah kalau memang ingin membangun di Papua. Jadi bukan pembangunan semena-mena seperti yang terjadi di Papua saat ini,” tegasnya.

FWI tidak menolak pembangunan. Tapi apapun pembangunan yang dilakukan di Tanah Papua seharusnya mendapat legitimasi dari masyarakat adat itu sendiri dan  harus tranparan.

Menolak atau mendukung pembangunan Bandar antariksa adalah urusan lain. Yang wajib dilakukan menurut Barri adalah sampaikan informasi secara utuh.

“Kalau memang itu murni dilakukan atas kepentingan masyarakat Papua, saya yakin tidak ada yang menolak. Apalagi pembangunan memang menguntungkan bagi masyarakat Papua. Tapi pada praktiknya, selama ini pembangunan di Papua tidak pernah memperhatikan itu.”

Untuk kasus Biak, ia mempertanyakan, apakah in sudah terlegitimasi oleh masyarakat adat? Pertanyaan itu ia ajukan karena apa yang biasanya didengar di Jakarta selalu disampaikan bahwa masyarakat adat menerima. Faktanya ada misleading informasi yang terjadi terkait penggunaan/pemanfaatan lahan di Papua.

“Makanya masyarakat adat di Papua selalu belajar dari kasus-kasus yang telah terjadi di tempat lain di Papua. Seperti hak tanah dan hutan dirampas, hak budayanya hilang. Maka ketika ada rencana pembangunan yang tidak disampaikan secara utuh, tanggapan pertama pasti menolak. Karena historis ke belakangnya selalu merugikan masyarakat adat Papua,” harap Barri.

UU Otsus yang Jalan Stengah Hati

Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB Aman, Muhammad Arman mengatakan Papua adalah daerah otsus yang memang pembangunan berbasis budaya dan wilayah adat. Tetapi yang terjadi di Biak adalah salah satu potret, Otsus Papua itu tidak bekerja.

“Otsus Papua setengah hati, kenapa? Karena dengan otsus tersebut, yang basisnya adalah masyarakat adat, maka pemerintah mestinya memberikan perlindungan dan jaminan pemenuhan masyarakat adat, termasuk soal tanah, wilayah adat, air,” ungkap Arman.

Dia menyayangkan UU Otsus Papua jadi kurang bermakna bagi masyarakat di Papua karena intervensi dari UU sektoral lainnya, yang mestinya dikecualikan di Papua. Karena UU Otsus Papua itu lex specialis, artinya UU lain tidak sejauh itu cara kerjanya.

Baca Juga:  Proyek LAPAN di Biak, Ancaman Serius Bagi Marga Abrauw di Saukobye (2/3)

“Ada asas hukum bahwa ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. Ketentuan khusus itu adalah UU Otsus Papua,” bebernya.

Arman menerangkan, Indonesia punya penyakit akut terkait dengan sektoralisme pengaturan hak masyarakat adat yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Cara pandang pemerintah pusat melihat bahwa meskipun di sana ada Otsus, tapi UU sektoral (UU Kehutanan, UU Pokok Agraria), masih bekerja dengan sangat dominan di sana, bukan Otsus Papuanya.

Menurut dia, sebenarnya masyarakat tidak anti investasi, tapi mereka menginginkan ada proses-proses yang lebih manuasiawi, lebih demokratis, dan tentu saja partisipasi masyarakat adat dalam pembangunan itu demokrasi yang fundamental. Pembangunan itu dari dan bagi masyarakat, sama seperti prinsip demokrasi. Itu yang tidak pernah terjadi.

PB Aman berpandangan bahwa proses pembangunan bandar antariksa mesti dibangun ulang. Maksudnya dikondisikan ulang prosesnya, misalnya bangun dialog yang lebih humanis kepada masyarakat adat, dikonsultasikan, disampaikan maksud dan tujuannya, masyarakat adat diberikan kesempatan untuk menyatakan terhadap semua itu. Itu masalah yang dihadapi.

“Pandangan saya terkait UU Ciptaker dan pembangunan, LAPAN termasuk salah satu proyek strategis nasional. Proyek strategis nasional ini pertanyaannya “strategis itu apa? Apa keuntungan bagi masyarakat?” Dan UU Ciptaker itu menyatakan bahwa semua boleh, apapun boleh ditabrak untuk kepentingan investasi dan proyek strategis nasional. Padahal UU Ciptaker pasca putusan MK, benar masih berlaku tapi tidak mengikat secara hukum,” katanya.

Singkroniasai Hukum Adat dan Hukum Negara

Arman menjelaskan sinkronisasi hukum adat dan hukum Negara yang harus dilakukan. Menurutnya, hukum dalam konteks, dalam arti sempit, saat ini seperti gentayangan. UUnya dibuat untuk mengatur apa, tapi realitas masyarakatnya tidak terjawab dengan UU itu.

“Saya kira, dalam UU Pokok Agraria Pasal 57 disebutkan bahwa sepanjang UU tentang Hak Milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah kepemilikan dalam bentuk hukum adat. Tapi sampai sekarang kita tidak punya UU Hak Milik,” ungkapnya.

Lebih lanjut dijelaskan, artinya kepemilikan secara adat itu sah dan berlaku secara hukum. Ruang bertemunya kembali ke proses-proses awal, (seperti) bangun dialog. Pun pembangunan itu harus menggusur, misalnya, pastikan mereka (warga) tidak kehilangan entitas.

Mungkin ada lokasi tertentu bagi masyarakat adat, yang tidak boleh dilakukan pembangunan di sana. Tapi ada juga yang boleh (dibangun).

“Ini menurut saya perlu dirembukkan bersama oleh pemerintah,” terangnya.

Dalam konteks Biak, ia menyarankan agar harus segera dicarikan jalan keluarnya untuk masyaraka yang menolak. Karena orang Papua bilang tanah dan hutan itu pasar sekaligus apotek, jadi itu yang perlu dicarikan jalan keluarnya.

Dalam proses pembangunan, yang selalu diutamakan adalah gant rugi. Baginya, Ganti rugi adalah salah satu bentuk saja. Bisa dalam bentuk tanah ganti tanah, bisa dalam bentuk kepemilikan saham dalam satu proses pembangunan.

“Saya khawatir kalau kemudian, seperti yang lazim kita lihat, pemaksaan proses-proses pembangunan tanpa proses yang menghargai dan menghormati hak masyarakat adat. Itu sering terjadi di mana-mana, termasuk Papua. Apalagi kacamata pemerintah selalu melihat Papua dalam konteks yang lebih politis,” katanya.

Arman kembali menegaskan, masyarakat adat tidak anti terhadap pembangunan, tetapi masyarakat ingin agar dalam proses pembangunan itu harus menghargai dan menghormati mereka.

“Yang saya tegaskan sekali lagi, masyarakat tidak anti pembangunan sama sekali. Mereka hanya ingin proses pembangunan itu menghargai dan menghormati mereka. Memastikan bahwa itu memang untuk kebutuhan mereka,” pungkas Arman.

Sumber: Suara Papua

Read More
Categories Berita

Amnesty Internasional Dorong MRP Ajukan Permohonan Uji Formil Atas Amandemen UU Otsus Papua

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di dampinggi ketua MRP Timotius Murib saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

SENTANI, MRP – Majelis Rakyat Papua didorong segera mengajukan permohonan uji formil Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di Mahkamah Konstitusi. Uji formil itu akan menguji apakah proses penyusunan dan pengesahan Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang baru itu memenuhi prosedur dan dirumuskan dengan partisipasi masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid selaku pembicara dalam Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diselenggarakan di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, 2 – 4 Februari 2022.

Usman menyatakan  Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua) mengubah atau menghapuskan pengaturan sejumlah wewenang khusus yang diberikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

“Kalau uji materil, itu memeriksa pasal per pasal mana yang bertentangan dengan UUD 1945. Kalau uji formil, dia memeriksa apakah proses perumusan pembahasan dan pengesahan dari hasil amandemen kedua ini dilakukan dengan partisipasi masyarakat yang bermakna,” jelas Usman.

Usman Hamid mencontohkan kasus Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh MK, dan salah satu alasannya karena UU itu dirumuskan tanpa partisipasi masyarakat.

“[UU Cipta Kerja] dibahas tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna, diputuskan dan disahkan tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna. Karena itu, Mahkamah Konsitusi berpendapat UU itu inkonstitusional. Alasan inilah yang bisa digunakan sebagai pembelajaran bagi Majelis Rakyat Papua untuk menambahkan langkah hukum yang baru, dengan melakukan permohonan uji formil kepada Mahkamah Konstitusi,” kata Usman.

Usman menyatakan jika Mahkamah Konstitusi berpendapat UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua tidak lolos uji formil, bisa saja seluruh naskah UU itu dibatalkan. “Jadi, itu yang saya kira perlu dilakukan oleh MRP selain tentu saja mengambil langkah-langkah lain yang sesuai dengan tugas wewenang dari MRP,” kata Usman.

Menurutnya, langkah itu layak dilakukan, karena UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua itu sarat masalah. “Pertama, mengapa partai lokal, yang sebenarnya sudah dijamin dalam UU Otonomi Khusus itu dihapuskan? Yang kedua, mengapa UU yang baru diberikan ini memberikan semacam badan khusus yang baru di bawah Wakil Presiden? Padahal sifat Otonomi Khusus itu adalah desentralisasi kekuasaan,” kata Usman.

Ia menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, supaya dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada salah satu pihak saja. Akan tetapi, UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua justru mengurangi sejumlah kewenangan khusus yang sebelumnya telah diberikan kepada Papua melalui UU Otsus Papua.

“Yang sekarang terjadi, dengan pembentukan badan khusus Papua, itu seperti resentralisasi atau mengambil kembali kekuasaan pemerintahan dari pemerintah Papua ke pemerintah Jakarta. Misalnya melalui [badan khusus yang baru di bawah] Wakil Presiden [itu],” kata Usman.

Masalah lainnya, UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua juga mengubah pengaturan wewenang MRP untuk menyetujui atau menolak rencana pemekaran. “Dengan kata lain, pemekaran wilayah bisa dilakukan tanpa ada persetujuan dari MRP. Ini masalah yang sangat-sangat serius,” pungkas Usman.

“Jadi, saya meminta kepada pemerintah di Jakarta, Presiden, Wakil Presiden, dan Mendagri untuk menunda pelaksanaan UU hasil amandemen ini sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi, setidaknya dalam dua-tiga bulan ke depan. Itu penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran normatif lebih jauh dari pelaksanaan UU Otsus Papua,” kata Usman.

Untung-rugi UU baru Ketua MRP, Timotius Murib berharap Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP itu memberi pengetahuan dan pemahaman  soal “untung-rugi” pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Murib menyatakan pihaknya kecewa, karena revisi UU Otsus Papua yang awalnya dikehendaki rakyat Papua sebagai jalan untuk memperkuat Otsus Papua justru menghasilkan UU yang memperlemah Otsus Papua.

“Saya pikir perubahan kedua itu memang dikehendaki oleh rakyat Papua. Tetapi kemudian proses perubahan itu tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur. Rakyat Papua merasa tertipu karena awalnya hanya dua atau tiga pasal saja yang ingin diubah, tetapi kemudian dalam mekanisme perubahan itu menjadi 19 pasal. [Ada] pengabaian terhadap partisipasi masyarakat terhadap perubahan UU itu,” kata Murib.

Hal itulah yang membuat MRP mengundang para ahli untuk menyampaikan pandangan mereka tentang untung-rugi pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. “Ada sejumlah pasal yang berpotensi merugikan rakyat. Melalui pembekalan ini, pimpinan dan anggota MRP mendapatkan peningkatan kapasitas dan pengetahuan untuk kami akan sosialisasikan ke lima wilayah adat,” kata Murib. (*)

Sumber: nirmeke.com 

Read More