Categories Berita

Pimpinan MRP gelar rapat terbatas untuk merespon rencana revisi UU Otsus Papua

Ketua MRP Timotius Murib ketika memimpin rapat terbatas bersama alat kelengkapan dalam lembaga MRP, staf ahli MRP, pimpinan Pokja MRP dan juga Sekretariat MRP – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Pimpinan Majelis Rakyat Papua atau MRP mengelar rapat terbatas pimpinan MRP dan pimpinan alat kelengkapan MRP di Kota Jayapura, Kamis (28/1/2021). Rapat terbatas itu membahas rencana pemerintah pusat merevisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua atau UU Otsus Papua.

Agenda rapat terbatas itu diungkap Ketua MRP, Timotius Murib. “Pertemuan hari ini satukan presepsi terkait situasi terkini, terutama atas rencana [pemerintah pusat] melakukan perubahan kedua atas UU Otsus Papua,” kata Murib, sebagaimana dikutip dari dokumentasi video Humas MRP pada Kamis.

Murib menjelaskan, pihaknya telah menerima informasi tentang poin perubahan UU Otsus Papua. Menurutnya, wacana yang berkembang di kalangan pemangku kepentingan pemerintah pusat adalah mengubah secara terbatas substansi UU Otsus Papua. Pemerintah pusat ingin merevisi Pasal 34 yang terkait dengan anggaran dan kucuran Dana Otsus Papua.

Pemerintah pusat juga ingin mengubah ketentuan Pasal 76 UU Otsus Papua, yang mengatur syarat pemekaran provinsi di Tanah Papua, yang membutuhkan persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua. “[Dengan] perubahan kedua ini, Jakarta [ingin] menghapus kewenangan Gubernur, MRP, DPR Papua untuk [menyetujui atau menolak rencana] pemekaran [provinsi],” kata Murib.

Murib mengatakan penghapusan wewenang yang diatur Pasal 76 UU Otsus Papua itu sangat merugikan rakyat Papua, karena pemekaran provinsi akan dilakukan tanpa meminta evaluasi atau pendapat dari rakyat Papua selaku pihak yang akan mengambil manfaat atau dampak dari pemekaran. “[Itu] pelanggaran hak orang asli Papua sebagai warga negara,” kata Murib.

Ia menyatakan MRP akan menentukan sikap, dan segera merumuskan sikap itu untuk disampaikan kepada pemerintah pusat. “[Kami] menyiapkan keputusan, sesungguhnya kami [akan] menolak. Kita siapkan sikap, sikap menolak,” kata Murib.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan usulan pemerintah pusat kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk memperpanjang masa pengucuran Dana Otsus Papua. Usulan itu disampaikan saat Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Bersama Komite I DPD RI di Jakarta, Selasa (26/1/2021). CNN Indonesia melansir bahwa dalam rapat itu Sri Mulyani mengusulkan penyaluran Dana Otsus Papua dan Papua Barat diperpanjang hingga 20 tahun ke depan.

Besaran Dana Otsus Papua dan Papua Barat juga diusulkan naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen nilai Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Sri Mulyani memperkirakan total nilai kucuran Dana Otsus Papua dan Papua Barat selama 20 tahun mendatang akan mencapai Rp234 triliun.

Kucuran “penerimaan khusus” atau Dana Otsus Papua setara 2 persen plafon DAU nasional sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (3) huruf e Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) akan berakhir pada 2021. Pasal 77 UU Otsus Papua menyatakan setiap perubahan aturan UU Otsus Papua hanya dapat dilakukan atas usulan rakyat Papua melalui MRP dan DPR Papua. Namun kini Menteri Keuangan mengusulkan kepada Komite I DPD RI untuk memperpanjang kucuran Dana Otsus Papua dan Papua Barat hingga 2041.

Usulan itu segera memanen penolakan dari sejumlah pihak, termasuk dari para aktivis yang menggulirkan Petisi Rakyat Papua untuk menolak kelanjutan Otsus Papua. Juru bicara Petisi Rakyat Papua, Sem Awom menyatakan pihaknya menolak rencana pemerintah memperpanjang masa kucuran Dana Otsus hingga 2041.

Awom menilai langkah sepihak pemerintah pusat untuk memperpanjang masa kucuran Dana Otsus Papua itu sebagai kebijakan yang fasis. Usulan itu dinilai lebih dilatarbelakangi kepentingan sepihak elit politik Jakarta untuk memaksakan kelanjutan Otsus Papua.

“Itu kebijakan sudah cenderung sangat fasis, karena memaksakan doktrin subyektif negara, bahkan dengan menggunakan kekuatan militer untuk mengamankan semua kebijakan,” kata Awom di Kota Jayapura pada Rabu (27/1/2021).

Awom menilai langkah sepihak pemerintah pusat itu lebih menyerupai kebijakan fasis pemimpin negara atau kelompok orang tertentu terhadap rakyat Papua. “Fasisme itu paham atau prinsip kepemimpinan dengan otoritas yang mutlak atau absolut.  Perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian,” katanya.(*)

Sumber: Jubi 

Read More

Categories Berita

MRP buka Masa Sidang Triwulan I 2021

Majelis Rakyat Papua atau MRP menggelar Sidang Pleno Pembukaan Masa Sidang Triwulan I Tahun 2021 di di Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, Selasa (19/1/2021). Selama masa sidang itu, MRP akan melanjutkan agenda evaluasi pelaksanaan delapan Peraturan Daerah Khusus atau Perdasus. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menggelar Sidang Pleno Pembukaan Masa Sidang Triwulan I Tahun 2021 di di Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, Selasa (19/1/2021). Selama masa sidang itu, MRP akan melanjutkan agenda evaluasi pelaksanaan delapan Peraturan Daerah Khusus atau Perdasus.

Sidang Pleno Pembukaan Masa Sidang Triwulan I Tahun 2021 itu dipimpin Ketua MRP, Timotius Murib. “Hari ini kami mulai Rapat Badan Musyawarah MRP dan sidang pleno, tadi jam 14.00,” kata Murib, sebagaimana dikutip dari video dokumentasi Humas MRP.

Murib menyatakan sidang pleno itu merupakan mekanisme resmi MRP untuk mengawali masa sidang triwulan. Menurutnya, agenda kerja MRP pada Masa Sidang Triwulan I tidak akan banyak berubah dibandingkan agenda kerja MRP pada masa sidang sebelumnya.

Murib menjelaskan, MRP masih melanjutkan agenda Kelompok Kerja (Pokja) Adat, Agama, dan Perempuan MRP untuk mengevaluasi pelaksanaan delapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). “Kami akan evaluasi pelaksanaan delapan perdasus itu, berjalan atau tidak. Misalnya, perdasus tentang kehutanan, sumber daya manusia,” kata Murib.

Dalam evaluasi itu, MRP akan menilai apakah sebuah Perdasi efektif memenuhi hak masyarakat adat di Papua. “Kami perlu melakukan evaluasi, [untuk] memberikan masukan kepada pemerintah, dalam rangka perbaikan demi kepentingan Papua yang lebih baik,” Murib.

Murib menegaskan evaluasi yang akan dilakukan MRP itu sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). Menurutnya, MRP berwenangan untuk mengawasi pelaksanaan UU Otsus Papua, sekaligus mengevaluasi pelaksanaan Otsus Papua.

Ketua Dewan Adat Papua versi Kongres Luar Biasa, Dominikus Surabut mengatakan MRP memang berwenang mengevaluasi Otsus Papua. MRP disebut Surabut sebagai lembaga yang menjadi forum para wakil masyarakat adat, tokoh agama, dan wakil perempuan Papua. Masyarakat adat, umat beragama, dan perempuan merupakan subyek dalam pelaksanaan Otsus Papua.

“Jadi evaluasi itu tugas MRP. Kalau MRP mau laksanakan evaluasi, masyarakat adat harus terlibat dan memberikan pendapat. Karena, yang merasakan dampak Otsus Papua itu rakyat Papua,” ujar Surabut.(*)

Sumber: Jubi

Read More

Categories Berita

Majelis Rakyat Papua: Sejumlah Catatan Otonomi Khusus Papua

Diskusi daring Ngobrol @Tempo yang mengangkat tema “20 Tahun Otonomi Khusus Papua di Tanah Papua: Sudah Efektifkah?” Jumat, 13 November 2020

JAYAPURA, MRP – Dua dekade Otonomi Khusus (Otsus) Papua berjalan sejak pemberlakuan Undang-undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001 oleh Presiden ke-4 RI Megawati Soekarnoputri. Beleid ini memberikan kewenangan lebih besar untuk Papua dibanding daerah lain.

Setelah 20 tahun muncul pertanyaan: Apakah otonomi khusus memberikan efek positif untuk kesejahteraan masyarakat Papua? Atau sebaliknya hanya bentuk campur tangan pemerintah pusat dalam mengelola provinsi yang kaya sumber daya alam ini.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengatakan evaluasi otonomi khusus dikembalikan ke rakyat Papua. Menurut dia, hanya rakyat di Bumi Cendrawasih yang berhak menilai keberhasilan otonomi khusus.

“Masalahnya bukan pada dana otsusnya, namun bagaimana masyarakat adat diberikan wewenang untuk diikutsertakan sebagai subyek utama sasaran otsus, tidak hanya dianggap sebagai obyek saja,“ ujarnya dalam diskusi daring Ngobrol @Tempo yang  mengangkat tema “20 Tahun Otonomi Khusus Papua di Tanah Papua: Sudah Efektifkah?” Jumat, 13 November 2020.

Kepala Sub-Direktorat Provinsi Papua dan Papua Barat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Budi Arwan, mengatakan MRP memiliki kewenangan istimewa yakni memilih Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) jalur pengangkatan Otonomi Khusus. Saat ini terdapat 14 Anggota DPRD Otsus Papua dan 11 Anggota DPRD Otsus Papua Barat. “Dana Otsus hanya salah satu instrumen saja,” kata dia.

Kementerian Dalam Negeri mengakui kesulitan mengukur indikator capaian otonomi khusus. Sebab selama ini belum ada grand design yang menjadi rujukan mengukur kinerja otonomi khusus. Hal ini menjadi perhatian dalam perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang disiapkan Bappenas. Rencananya perubahan undang-undang akan diintegrasikan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Payung hukum otonomi khusus adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2008. Dalam beleid tersebut, disebutkan, dana otonomi khusus Papua dan dihitung sebesar 2 persen dari plafon dana alokasi umum (DAU) yang berlaku selama 20 tahun.

Dana khusus yang dikucurkan untuk Papua dan Papua Barat periode 2002-2020 mencapai Rp 126,99 triliun. Dalam undang-undang disebutkan otonomi khusus dua provinsi ini akan berakhir pada 2021. Dana otonomi selama ini dianggarkan untuk mendanai empat aspek yaitu pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendanaan pendidikan, dan kesehatan.

Timotius Murib memaparkan, evaluasi terhadap empat aspek itu semestinya melibatkan para ahli dan harus mengikutsertakan orang asli Papua. Untuk perpanjangan otonomi khusus untuk 20 tahun berikutnya, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan orang asli Papua (OAP) harus duduk bersama satu meja. “Ini untuk mensinergikan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan Otsus, sehingga ke depannya jauh lebih baik dari sekarang,“ ujarnya.

Profesor Riset Bidang Sosiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Anggota Tim Kajian Papua, Cahyo Pamungkas, memberikan sejumlah catatan terkait hak asasi manusia selama berlangsungnya otonomi khusus. Sepanjang Januari 2010-Februari 2018, kata dia, ada 69 kasus pembunuhan atau dalam istilah hukum internasional disebut unlawful killing.

Menurut Cahyo, semua kasus tersebut minim pertanggungjawaban hukum dan para pelaku tak pernah dijerat hukum. Ini menggambarkan impunitas alias kejahatan tanpa hukuman tumbuh subur di Papua. “Ketika otsus berakhir, orang Papua meminta solusi politik yang damai dan demokratis, tidak dengan pengiriman militer besar-besaran,” ujarnya. Dia menambahkan, “Otsus tidak berhasil menjawab konflik politik orang Papua dengan Jakarta, sehingga perlu ada solusi,” kata Cahyo.

Adapun akademisi dan pemerhati Papua, Saor Siagian, mengatakan pemerintah membangun Papua dengan hati melalui otonomi khusus. “Sehingga proses integrasi NKRI berjalan dengan baik sebagai bentuk persaudaraan yang tulus,” tuturnya.(*)

Sumber: Tempo.co

Read More

Categories Berita

MRP pertanyakan indikator untuk melanjutkan kucuran Dana Otsus Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua mempertanyakan indikator yang digunakan pemerintah pusat di Jakarta untuk mengusulkan perpanjangan masa kucuran Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat hingga 2041. Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan kelanjutan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat harusnya diputuskan melalui evaluasi bersama terhadap 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus itu.

Hal itu disampaikan Murib menanggapi rencana pemerintah pusat memperpanjang kucuran Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Papua Barat. Sebelumnya, rencana itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Jakarta, Selasa (26/1/2021). CNN Indonesia melansir bahwa dalam rapat itu Sri Mulyani mengusulkan penyaluran Dana Otsus Papua dan Papua Barat diperpanjang hingga 20 tahun ke depan.

Besaran Dana Otsus Papua dan Papua Barat juga diusulkan naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen nilai Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Sri Mulyani memperkirakan total nilai kucuran Dana Otsus Papua dan Papua Barat selama 20 tahun mendatang akan mencapai Rp234 triliun.

“Indikatornya apa? Dana bertambah lalu mau perubahan? Murib bertanya.

Murib menegaskan berlanjut tidaknya Otsus Papua dan Papua Barat seharusnya diputuskan setelah ada evaluasi bersama terhadap 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua dan Papua Barat. Evaluasi bersama itulah yang seharusnya menyepakati apa indikator yang akan digunakan untuk memutuskan model pembangunan Papua di masa mendatang.

Kucuran “penerimaan khusus” atau Dana Otsus Papua setara 2 persen plafon DAU nasional sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (3) huruf e Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) akan berakhir pada 2021. Pasal 77 UU Otsus Papua menyatakan setiap perubahan aturan UU Otsus Papua hanya dapat dilakukan atas usulan rakyat Papua melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua. Namun kini Menteri Keuangan mengusulkan kepada Komite I DPD RI untuk memperpanjang kucuran Dana Otsus Papua dan Papua Barat hingga 2041.

Murib menekankan pemerintah pusat tidak bisa secara sepihak memutuskan untuk memperpanjang masa kuncuran Dana Otsus Papua. Murib juga menegaskan pemerintah tidak bisa secara sepihak memutuskan besaran Dana Otsus Papua dan Papua Barat hingga setara 2,5 plafon DAU nasional, karena ia menilai kucuran Dana Otsus Papua tidak berdampak positif bagi rakyat Papua.

Menurut Murib, pemerintah pusat semestinya belajar dari pelaksanaan Otsus Papua dan Papua Barat selama 20 tahun terakhir. Dana Otsus Papua dan dana tambahan infrastruktur (DTI) untuk Papua dan Papua Barat selama 2002-2021 mencapai Rp138,65 trliun, namun dinilai Murib tidak membawa perubahan bagi situasi orang asli Papua.

“[Persoalan kecukupan] infrastruktur dasar, [dan] terutama [persoalan] regulasi [yang] masih timpang-tindih [dengan ketentuan UU Otsus Papua]. Pembangunan empat bidang prioritas dalam UU Otsus Papua sangat bermasalah,” kata Murib.

Murib menyatakan pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan masih berpusat di kota dan wilayah berpenduduk migran. “Wilayah orang asli Papua masih terbaikan. Kucuran Dana Otsus tidak mengubah layanan kesehatan dan pendidikan bagi orang asli Papua,” ungkapnya.

Di sisi pembangunan ekonomi kerakyatan, orang Papua terus tertinggal. Tidak ada satu pemerintah daerah di Papua yang berhasil mendidik rakyat untuk mengolah tanah mereka dengan berbasis potensi masing-masing daerah. “Contoh Puncak Jaya. Orang masih kirim ikan dan ayam dari Jayapura. Pemerintah belum fasilitasi rakyat kembangkan ternak Babi,” kata Murib mencontohkan.

Murib menyebut Kota Jayapura telah menjadi bukti terlanjang bahwa pemerintah tidak membantu orang asli Papua mengembangkan perekonomian mereka. “Berapa yang punya kios? Berapa yang punya toko? Semua hanya jual pinang, sayur di emperan toko dan ruko,” kata Murib.

Proteksi sektor perekonomian bagi orang asli Papua juga tidak pernah diterapkan. Jumlah orang Papua yang menjual pinang dari kebunnya sendiri bahkan bisa dihitung, karena kebanyakan dari mereka menjual pinang dari tangan kedua. “Orang kedua itu orang migran. Mereka membeli pinang di wilayah Keerom, dan jual kembali ke orang asli Papua. Lalu orang Papua jual lagi,” kata Murib.

Realitas itu menunjukkan kucuran Dana Otsus Papua tidak membawa manfaat berarti bagi kehidupan orang asli Papua. “Justru koruptor tumbuh subur di Papua. Rakyat menderita, sakit,” ungkapnya.(*)

Sumber: Jubi

Read More