Categories Berita

MRP pertanyakan sikap Mendagri yang menolak penutupan akses ke Papua

Ketua MRP Timotius Murib saat menandatangi MoU kesepakatan dalam Rapat bersama Gubernur, Forkopimda, dan para bupati serta walikota dalam rangka pencegahan, pengendalian dan penangulangan Covid-19 – Foto/Humas MRP

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP mempertanyakan respon Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menolak keputusan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Papua untuk menutup seluruh akses Papua mulai Kamis (26/3/2020). Respon Tito itu dianggap sebagai penolakan atas upaya kolektif para pimpinan di Papua mendukung imbauan pembatasan sosial yang disampaikan Presiden Joko Widodo.

Pada Selasa (24/3/2020), rapat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Papua bersama para bupati/wali kota se-Papua memutuskan untuk menutup seluruh bandara, pelabuhan laut, dan Pos Lintas Batas Negara di Papua akan ditutup selama 14 hari. Akan tetapi, sejumlah media daring memberikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menolak keputusan penutupan akses Papua pada 26 Maret 2020 hingga 8 April 2020. itu.

Ketua MRP, Timotius Murib mengaku heran dengan reaksi Mendagri Tito Karnavian yang menolak penutupan akses ke Papua. “Sesungguhnya [kami] berharap Mendagri memberikan apresiasi terhadap para kepala daerah yang berupaya melindungi warga negara yang berdomisili di masing-masing provinsi,” kata Murib kepada Jubi, Rabu (25/3/2020).

Murib menyatakan sejak pekan lalu Pemerintah Provinsi Papua telah melakukan berbagai langkah pembatasan sosial, termasuk dengan merumahkan para aparatur sipil negara (ASN) di Papua. Pasca itu, pandemi Covid-19 terus berkembang di Papua, dan telah ada tiga kasus pasien positif korona yang tengah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke.

“Dengan demikian, status pembatasan sosial pun diperluas. [Pembatasan sosial itu diperluas] dengan membatasi orang masuk ke Papua,” kata Murib.

Murib menegaskan keputusan untuk menutup akses ke Papua selama 14 hari itu diputuskan melalui diskusi panjang Forkopimda Papua dengan para bupati dan wali kota se Papua. Hal itu diputuskan untuk memutus mata rantai penularan virus korona di Papua. Murib merasa heran jika Mendagri tetap menolak keputusan penutupan akses ke Papua.

“Sudah ada keputusan bersama, kemudian, bertolak belakang dengan keputusan, mengapa ada kontra? Ada apa dibalik keputusan yang kontra ini. Saya pikir Mendagri [seharusnya] tidak memberikan komentar berbeda dari keputusan Forkopimda Papua. Kalau berbeda, itu justru tidak melaksanakan perintah Presiden sesuai arahan kepada para gubenur, bupati, dan wali kota,” kata Murib.

Anggota Kelompok Kerja Agama MRP, Pdt Nikolaus Degey mengatakan kebijakan para pemimpin Papua itu bagian dari upaya memenuhi hak kesehatan orang asli Papua. Pemerintah daerah punya kewajiban melindunggi hak-hak dasar hidup orang asli Papua, sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

“Satu poin hak orang asli Papua dalam UU Otsus Papua itu layanan kesehatan. Kebijakan ini bagian dari implementasi Otsus Papua itu. Jangan [memahami pemenuhan hak atas kesehatan] itu dalam konteks orang sakit, lalu ke dokter, lalu mendapatkan pelayanan. Itu terlambat,” kata Degey pada Rabu.

Degey menegaskan upaya memenuhi hak orang asli Papua atas kesehatan itu harus meliputi upaya pencegahan penyakit seperti Covid-19.“Ada kewajiban pemerintah melindungi dan memenuhi. Jakarta punya kewajiban itu, jadi Mendagri tidak punya alasan untuk menolak itu,” kata Degey.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id