Categories Berita

Pemerintah diminta putus mata rantai pembunuhan warga sipil Papua

Korban penembakan di Timika – Jubi/Dok/IST

JAYAPURA, MRP – Anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP) Pdt Nikolaus Degey minta pemerintah pusat hingga Provinsi Papua harus bekerja sama mencari solusi memutus mata rantai pembunuhan warga sipil Papua yang terjadi di area Freeport hingga ke sejumlah wilayah kabupaten di Tanah Papua.

Degey menyampaikan itu menyusul pembunuhan dua pemuda warga sipil di area tambang Freeport, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, pekan lalu. Dua warga, Eden Armando Debari (19) dan Ronny Wandik (23), meninggal dunia, Senin (13/4/2020). Keduanya tertembak peluru tajam milik anggota TNI yang melakukan patroli di area Freeport.“Pembunuhan ini berulang, pembunuhan ini bukan yang pertama di Kabupaten Mimika, area Freeport terutama,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020) pagi.

“Pembunuhan ini berulang, pembunuhan ini bukan yang pertama di Kabupaten Mimika, area Freeport terutama,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020) pagi.

Kata dia, ini pembunuhan terkini dari pembunuhan-pembunuhan sebelumnya atas nama mengamankan Freeport. Pembunuhan selalu menimpa warga sipil, pemilik hak ulayat yang berdomisili di area Freeport, terutama dari Grasberg hingga Portsite dengan berbagai alasan klasik.

Pembunuhan demi Freeport

Kata dia, penggusuran, pengusiran, dan pembunuhan terhadap warga sipil, pemilik hak ulayat secara terang-terangan terjadi sejak 1967, setelah Freeport mengantongi kontrak karya. Sejak itu, perusahaan tambang asal Amerika mulai menggusur tanaman rakyat. Mereka membangun helipad dan basecamp di Lembah Waa dan Banti, Jila, Bela, Alama, kawasan Gunung Nemangkawi.

Penduduk yang tinggal di lembah-lembah itu melakukan melakukan protes tidak menerima kehadiran Freeport. Tuarek Nartkime, seorang tokoh adat suku Amungme memimpin protes. Korban jiwa dalam protes pertama ini tidak dicatat hingga protes terus berlanjut.

Lima tahun kemudian, 1972, Nartkime kembali memimpin protes di Lembah Tsinga. Freeport dan Pemerintah Indonesia menghadapi ini dengan mengerakan TNI angkatan darat ke Tsinga. TNI melakukan pengamanan aktivitas eksploitasi.

Dalam protes kedua ini, Markus Haluk dalam bukunya “Mengugat Freeport” menyebut 60 orang suku Amungme menjadi korban tewas. Protes terus berlanjut hingga warga melepaskan hak ulayat dibawa tekanan, yang menjadi dasar Perjanjian Januari 1974.

Atas nama perjanjian itu, Freeport terus memperluas wilayah operasi atas nama pembangunan perumahan karyawan, yang kini dikenal kota Timika Indah dan Tembagapura. Dua wilayah ini dibangun dengan todongan senjata dan pemaksaan.

Protes berlanjut pada 1994 dan 1995. Dalam protes-protes yang terjadi dalam dua tahun ini, sejumlah orang menjadi korban. Media https://tirto.id/ mencatat sejumlah kematian selama 1994 di bawah judul “Catatan Pembunuhan Demi Freeport”.

Tirto.id mencatat sepanjang Juni-Juli, lima warga lembah Tsinga tewas. Oktober 1994, Gorden Rumaropen, suku Biak tewas. November 1994, lima saudara Kelly Kwalik, ditahan, disiksa, dan dibunuh. Desember 1994, 11 warga Papua tewas.

Markus Haluk mencatat juga terjadi penembakan brutal terjadi pada 1995. Satu regu TNI yang melakukan penembakan itu menembak lima warga sipil. Satu pendeta yang saat itu memimpin doa tewas dan empat generasi muda, dua orang anak berusia lima dan enam tahun, dua orang remaja 14 dan 15 tahun.

Solusi memutus mata rantai pembunuhan

Lanjut Pdt Degey, area Freeport bukan hutan belantara tanpa penghuni. Sebelum Freeport masuk, wilayah ini sudah ada penghuni. Karena itu, dia menduga pembunhan akan terus berlanjut demi emas, tembaga, atau kandungan mineral lainya.

“Ini lokasi warga mencari makan. Pembunuhan ini tidak akan pernah berhenti. Karena itu, pemerintah harus bertanggung jawab, hentikan pembunuan warga sipil, pemilik emas,”ungkap anggota Pokja Agama MRP, utusan Gereja Kigmi Papua ini.

Kata dia, bentuk pertanggungjawabannya, pemerintah harus memberikan jaminan keamanan dan kehidupan bagi warga. Salah satu solusi memutus mata rantai itu, pelaku pembunuhan terhadap dua pemuda di Kwamki Lama pekan lalu harus dihukum setimpal dengan perbuatan.

“Kasih hukuman 20 tahun penjara. Pecat dari dinas secara tidak terhormat untuk menciptakan efek jera. Kalau tidak ada efek jera, pembunuhan kita akan dengar lagi,”ungkapnya serius.

Ketua Dewan Adat Papua hasil Konferensi Luar Biasa di Baliem, Domminikus Surabut, mengatakan solusinya bukan hukum menghukum melainkan perundingan kembali dengan melihat sejarah Papua masuk ke Republik Indonesia.

“Pembunuhan di area Freport ini bukan masalah ekonomi toh. Freeport ini titik tolak keputusan politik Papua masuk ke Indonesia,” ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020).

Kata dia, untuk itu, pelurusan sejarah dan duduk di meja perundingan dengan masyarakat adat menjadi solusi mengakhiri pembunuhan warga sipil di Papua.

“Kita duduk di meja perundingan itu solusinya. Itu bisa membantu mencari soliusi. Selain itu, sudah terbukti tidak berhasil,”ungkapnya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP minta Pemda di Papua bagikan masker untuk cegah penularan lokal virus korona

Foto ilustrasi, masker pelindung. – pixabay.com

JAYAPURA, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP, Nikolaus Degey mengatakan pencegahan penularan virus korona di Papua tidak cukup dilakukan dengan penutupan akses angkutan penumpang menuju Papua. Degey meminta Pemerintah Provinsi Papua maupun pemerintah kabupaten/kota di Papua membagikan masker, demi menurunkan risiko penularan lokal yang telah terjadi di Papua.

Nikolaus Degey mengkhawatirkan penularan lokal virus korona di Papua telah terjadi, ditularkan oleh orang yang tidak sadar telah terinfeksi korona, dan menularkannya lagi kepada orang lain. “[Pemerintah daerah di Papua harus] perhatikan juga penyebaran [atau penularan] virus [secara] lokal di Papua,” kata Degey kepada jurnalis Jubi di Jayapura pada Senin (13/4/2020).

Ia menyatakan risiko terjadinya penularan lokal di Papua tinggi, membuat bisa terjadi lebih banyak kasus orang terpapar virus korona. Tingginya risiko penularan itu disebabkan masih banyaknya masyarakat yang masih berlalu-lalang, masih kumpul-kumpul, dan keluar-masuk toko tanpa menggunakan alat pelindungi diri seperti masker.

Degey menilai situasi itu sangat mengkhawatirkan. “Untuk itu, saya minta, selain membagikan sembako, Pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah kabupaten/kota di Papua juga membagikan masker dan sabun gratis kepada seluruh rakyat Papua,” kata Degey.

Degey menyatkaan pembagian masker dan sabun sangat penting untuk memutus rantai penularan lokal virus korona di Papua. Tanpa adanya pembagian masker dan sabun, Degey tidak yakin masyarakat akan disiplin menjaga jarak antarorang, atau mencuci tangan usai melakukan perjalanan keluar rumah.

“Kalau itu yang terjadi, percuma pemerintah menutup akses penumpang ke Papua. Karena sama saja, rakyat Papua akan terkapar dengan virus,” kata Degey dengan serius.

Salah satu warga Abepura, Kota Jayapura, Wenelok Wantik mengatakan warga secara serius berusaha mengikuti anjuran pemerintah tentang pembatasan sosial. Akan tetapi, masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk mengikuti anjuran yang lebih rinci, misalnya memakai masker saat keluar rumah. Hal itu terjadi karena masyarakat kesulitan untuk mencari masker di pasaran.

Wantik mendukung apabila pemerintah bisa membantu masyarakat dengan membagikan masker. “Kita dengar semua anjuran, cuci tangan, pakai masker. Akan tetapi, masker yang aman tidak tersedia di apotek. [Kalaupun kami] mau beli di jalan pun menjadi sulit,” keluh Wantik.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Anggota MRP bantu bahan makanan ke asrama mahasiswa dan panti asuhan

Siska Abugau menyerahkan bantuan di Panti Asuhan Polomo Sentani di Kabupaten Jayapura. Bantuan diterima langsung pembina Asrama Polomo, Pastor Eddy Doga OFM – Jubi/dok pribadi

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Siska Abugau, memberikan bantuan bahan makanan (bama) untuk tiga asrama mahasiswa dan satu panti asuhan. Ketiganya dalah asrama mahasiswa dan mahasiswi Kabupaten Mimika, asrama mahasiswa Kabupaten Intan Jaya di Kota Jayapura, dan Panti Asuhan Polomo di Sentani, Kabupaten Jayapura.

Abugau mengatakan bantuan ini wujud kerja sama dirinya sebagai wakil masyarakat di MRP untuk mengajak masyarakat mencegah penyebaran virus Corona dengan tinggal di rumah. Tinggal di rumah dalam rangka melindunggi diri dan sesama dari ancaman virus yang datang tidak bisa diduga ini.

“Dari tiga tempat ini, tujuan utama hanya satu yakni hati-hati dan tetap dalam rumah, berdoa dan bertobat dari kebiasaan yang tidak menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan masa depan serta sayangi diri dan orang lain,” ungkap Abugau usai menyerahkan bantuan di Asrama Mimika di Kota Jayapura, Kamis (2/4/2020).

Abugau berharap bahan makanan yang diserahkanya bisa memenuhi kebuhan penghuni asrama selama pembatasan sosial dilakukan. Walupun tidak cukup tetapi bahan makanan yang sedikit itu bisa dimasak bersama, duduk bersama, makan bersama dalam keprihatinan bersama sebagai satu komunitas bersama.

“Bantuan bahan makanan, biar tinggal di asrama masak dan makan bersama sebagai satu keluarga,” ungkapnya kepada Jubi usai menyerahkan bantuan.

Ketua Asrama Mimika, Francis Omega Kogoya,  yang menerima bantuan itu mengatakan bantuan bahan makanan itu sangat mengatasi kebutuhan 100 mahasiswa dan mahasiswi Kabupaten Mimika. Mahasiswa putra berjumlah 50 orang dan putri 52 orang.

“Bantuan yang Ibu berikan sudah luar biasa. Bantuan sudah cukup. Bantuan siap dipakai untuk ssrama putri dan putra,” ungkapnya.

Kata dia, bantuan itu lebih dari cukup selama pembatasan sosial diberlakukan.

“Kami ini mau pergi tidak bisa, ke keluarga takut, mereka ada anak isteri, sementara ini dibatasi jadi kami semua di asrama,” ungkapnya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

29 kepala daerah harus perhatikan nasib anak asrama selama darurat Covid-19

Wakil Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua, Siska Abugau (kedua dari kiri) saat menyerahkan bantuan bahan makanan bagi asrama mahasiswa dan panti jompo yang terdampak masa darurat Covid-19. – Dok. Pribadi

Jayapura, MRP – Wakil Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua, Siska Abugau meminta para kepala daerah di Papua tidak melupakan nasib anak-anak asrama mahasiswa di setiap kota studi di Papua maupun luar Papua selama masa darurat Covid-19. Permintaan itu disampaikan Siska Abugau di Jayapura, Kamis (2/4/2020).

Pada Kamis, Siska Abugau menyerahkan bantuan bahan makanan ke asrama mahasiswa Kabupaten Mimika dan asrama mahasiswa Kabupaten Intan Jaya di Kota Jayapura. Abugau juga menyerahkan bantuah yang sama untuk Panti Asuhan Polomo di Sentani, Kabupaten Jayapura.

Abugau menyatakan para kepala daerah di Papua harus memperhatikan nasib anak-anak asrama mahasiswa, karena Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diterapkan pemerintah berdampak terhadap anak asrama mahasiswa. “Kepala daerah tolong memperhatikan nasib anak asrama setiap kota studi. Apalagi bagi mereka yang berkuliah di luar Papua dan belum kembali ke Papua,” kata Abugau.

Abugau secara khusus meminta Pemerintah Kabupaten Mimika dan Intan Jaya untuk mengecek kondisi asrama mahasiswa mereka, dan berupaya memenuhi kebutuhan makan-minum para penghuni asrama selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar.

“Untuk Intan Jaya, saya mengapresiasi Bupati yang sudah menganggarkan Rp10 miliar untuk atasi pandemi Covid-19. Pertanyaan saya, bagaimana buat anak-anak kita yang berada di berbagai kota studi lainnya?” Abugau bertanya.

Menurut Abugau para kepala daerah harus memperhatikan kebutuhan makan dan minum anak asrama mahasiswa selama masa kedaruratan Covid-19. Ia mengingatkan para mahasiswa yang sedang menuntut ilmu itu adalah aset pembangunan daerah di masa mendatang.

“Mereka adalah generasi penerus bangsa Papu. Khusus [Bupati] Intan Jaya dan Bupati Mimika, bagimana degan nasib mereka, anak muda kami yang berada di kota studi lain. Saya berharap  Pemerintah Kabupaten Mimika serius memperhatikan nasib generasi muda itu,” kata Abugau.

Ketua Asrama Mahasiswa Kabupaten Mimika di Kota Jayapura, Francis Omega Kogoya mengatakan apa yang disampaikan Abugau adalah keluhan pihaknya. Kogoya menyatakan sejak pandemi Covid-19 meluas,  100 mahasiswa di asrama itu kesulitan memenuhi kebutuhan makan mereka.

“Kami mau keluar ke rumah keluarga [yang adalah] anggota DPRD. untuk sampaikan keluhan kami, [tetapi] tidak bisa karena mereka punya anak isteri. Mereka juga waspada dengan virus ini,”ungkap Kogoya.

Kogoya menyatakan keluhan anak Asrama Mahasiswa Mimika itu telah disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Mimika. “Kami dari asrama sudah berkomunikasi dengan bagian Sumber Daya Manusia Pemerintah Kabupaten Mimika dan Ketua DPRD Mimika, tetapi sampai hari ini belum ada respon,” kata Kogoya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP pertanyakan sikap Mendagri yang menolak penutupan akses ke Papua

Ketua MRP Timotius Murib saat menandatangi MoU kesepakatan dalam Rapat bersama Gubernur, Forkopimda, dan para bupati serta walikota dalam rangka pencegahan, pengendalian dan penangulangan Covid-19 – Foto/Humas MRP

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP mempertanyakan respon Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menolak keputusan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Papua untuk menutup seluruh akses Papua mulai Kamis (26/3/2020). Respon Tito itu dianggap sebagai penolakan atas upaya kolektif para pimpinan di Papua mendukung imbauan pembatasan sosial yang disampaikan Presiden Joko Widodo.

Pada Selasa (24/3/2020), rapat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Papua bersama para bupati/wali kota se-Papua memutuskan untuk menutup seluruh bandara, pelabuhan laut, dan Pos Lintas Batas Negara di Papua akan ditutup selama 14 hari. Akan tetapi, sejumlah media daring memberikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menolak keputusan penutupan akses Papua pada 26 Maret 2020 hingga 8 April 2020. itu.

Ketua MRP, Timotius Murib mengaku heran dengan reaksi Mendagri Tito Karnavian yang menolak penutupan akses ke Papua. “Sesungguhnya [kami] berharap Mendagri memberikan apresiasi terhadap para kepala daerah yang berupaya melindungi warga negara yang berdomisili di masing-masing provinsi,” kata Murib kepada Jubi, Rabu (25/3/2020).

Murib menyatakan sejak pekan lalu Pemerintah Provinsi Papua telah melakukan berbagai langkah pembatasan sosial, termasuk dengan merumahkan para aparatur sipil negara (ASN) di Papua. Pasca itu, pandemi Covid-19 terus berkembang di Papua, dan telah ada tiga kasus pasien positif korona yang tengah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke.

“Dengan demikian, status pembatasan sosial pun diperluas. [Pembatasan sosial itu diperluas] dengan membatasi orang masuk ke Papua,” kata Murib.

Murib menegaskan keputusan untuk menutup akses ke Papua selama 14 hari itu diputuskan melalui diskusi panjang Forkopimda Papua dengan para bupati dan wali kota se Papua. Hal itu diputuskan untuk memutus mata rantai penularan virus korona di Papua. Murib merasa heran jika Mendagri tetap menolak keputusan penutupan akses ke Papua.

“Sudah ada keputusan bersama, kemudian, bertolak belakang dengan keputusan, mengapa ada kontra? Ada apa dibalik keputusan yang kontra ini. Saya pikir Mendagri [seharusnya] tidak memberikan komentar berbeda dari keputusan Forkopimda Papua. Kalau berbeda, itu justru tidak melaksanakan perintah Presiden sesuai arahan kepada para gubenur, bupati, dan wali kota,” kata Murib.

Anggota Kelompok Kerja Agama MRP, Pdt Nikolaus Degey mengatakan kebijakan para pemimpin Papua itu bagian dari upaya memenuhi hak kesehatan orang asli Papua. Pemerintah daerah punya kewajiban melindunggi hak-hak dasar hidup orang asli Papua, sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

“Satu poin hak orang asli Papua dalam UU Otsus Papua itu layanan kesehatan. Kebijakan ini bagian dari implementasi Otsus Papua itu. Jangan [memahami pemenuhan hak atas kesehatan] itu dalam konteks orang sakit, lalu ke dokter, lalu mendapatkan pelayanan. Itu terlambat,” kata Degey pada Rabu.

Degey menegaskan upaya memenuhi hak orang asli Papua atas kesehatan itu harus meliputi upaya pencegahan penyakit seperti Covid-19.“Ada kewajiban pemerintah melindungi dan memenuhi. Jakarta punya kewajiban itu, jadi Mendagri tidak punya alasan untuk menolak itu,” kata Degey.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More