Categories Berita

MRPB: Revisi UU Otsus Papua harus didasarkan hasil evaluasi otsus oleh rakyat Papua

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Jayapura, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB, Maxsi Ahoren  menyatakan Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan MRPB telah bersama-sama memutuskan agar draf revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua ditarik dulu. Draf itu harus ditarik, karena revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua seharusnya didasarkan hasil evaluasi rakyat Papua atas pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.

Hal itu disampaikan Maxsi Ahoren saat dihubungi Jubi pada Senin (2/3/2020), terkait keputusan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB pada Jumat (28/2/2020) yang menyatakan draf revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua ditarik. Maxsi Ahoren menyatakan keputusan MRP dan MRPB itu didasarkan ketentuan Pasal 77 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

Ia menegaskan Pasal 77 UU Otsus Papua telah menegaskan bahwa usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua kepada DPR RI atau Pemerintah. Dengan demikian, pihak yang bisa mengevaluasi Otsus Papua adalah rakyat Papua, bukan kelompok atau individu tertentu, dan bukan pemerintah.

Ahoren  menyatakan hasil evaluasi Otsus Papua oleh rakyat Papua itulah yang seharusnya dijadikan acuan dalam merevisi UU Otsus Papua. “Kita bicara undang-undang. Otonomi Khusus Papua ada berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. [Di dalamnya] ada Pasal 77 UU Otsus Papua. [Oleh karena itu draf revisi UU Otsus Papua] kami [nyatakan] ditarik kembali,” kata Ahoren.

Ahoren menegaskan bahwa rakyat Papua merupakan subyek dari Otsus Papua, mengingat otonomi khusus itu lahir sebagai jawaban atas berbagai tuntutan rakyat Papua pasca reformasi. MRP dan MRPB bersama-sama bersepakat menyatakan draf revisi UU Otsus Papua harus dicabut, karena kedua lembaga itu ingin mengembalikan mekanisme evaluasi Otsus Papua kepada rakyat Papua.

“Kita bawa ke rakyat dulu, rakyat lihat dulu, ‘ko buat apa?’ Karena, barang ini, [Otonomi Khusus bagi Papua], lahir dari rakyat. Kita [harus] dengar [evaluasi dari] rakyat. Bukan [evaluasi dari] pejabat,” kata Ahoren.

Ia mengajak semua pemangku kepentingan untuk menyerahkan proses evaluasi otonomi khusus kepada rakyat Papua, karena rakyat di Tanah Papua yang selama ini mendengar, melihat dan rasakan seperti apa Otonomi Khusus Papua dilaksanakan. “Kita bawa ke rakyat, [biar rakyat] menilai dulu, [Otsus Papua] berhasil atau gagal? Kalau [Otsus Papua dinilai rakyat] tidak berhasil, kita pikir langkah selanjutnya. Itu juga hak rakyat,” kata Ahoren.

Sebelumnya, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB yang berlangsung pekan lalu mengesahkan empat keputusan bersama kedua lembaga. Salah satu keputusan itu adalah Keputusan MRP dan MPRB tentang pencabutan draf revisi UU Otsus Papua.

Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB juga memutuskan kebijakan afirmasi untuk memprioritaskan orang asli Papua dalam dalam pencalonan Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota di Tanah Papua. Keputusan itu memperluas kebijakan afirmasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) yang menyatakan calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Tanah Papua harus orang asli Papua.

“Keputusan pertama, tentang Pemenuhan Hak Konstitusional Orang Asli Papua dalam Rekrutmen Politik terkait Pencalonan Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota di Provinsi Papua & Provinsi Papua Barat. Rekrutmen itu harus prioritaskan orang asli Papua,” kata Murib usai menutup Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, Jumat (28/2/2020).

Murib menyatakan MRP dan MRPB juga menyepakati keputusan tentang Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Orang Asli Papua. Keputusan itu menyatakan orang asli Papua harus diperlakukan sama dengan warga Indonesia di depan hukum Indonesia. “Perlindungan hukum itu harus memenuhi standar hak asasi manusia dan manusiawi,” kata Murib.

Perlindungan bagi para mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Tanah Papua menjadi keputusan ketiga Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB. Murib mengakui keputusan itu merupakan respon atas kasus persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu, dan rentetan intimidasi yang dialami para mahasiswa Papua di berbagai kota pasca kasus rasisme Papua di Surabaya itu.

“Sejak kasus rasisme [Papua di Surabaya itu], mahasiswa dan pelajar [asal Papua dan Papua Barat] berada dalam tekanan, merasakan tidak nyaman [menutut ilmu di luar Papua]. Oleh karena itu, perlu jaminan hukum dan hak asasi manusia dari pemerintah setempat,” ujar Murib.(*)

 

Sumber:Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP dan MPRB rekomendasikan Pemerintah RI berdialog dengan ULMWP

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Jayapura, MRP – Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB merekomendasikan Pemerintah Republik Indonesia untuk berdialog United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP yang dipimpin Benny Wenda. MRP dan MRPB juga merekomendasikan agar dialog itu dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, demi menyelesaikan konflik Papua secara menyeluruh.

Ketua MRPB, Maxsi Ahoren mengatakan rekomendasi agar Pemerintah RI berdialog dengan ULMWP itu muncul dari pergumulan rakyat Papua yang melihat berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang tidak terselesaikan. “Masalah Papua tidak pernah selesai. Itu masyarakat Papua yang bicara. Dialog harus dilakukan, harus bicara mencari solusi bersama,” kata Ahoren saat dihubungi jurnalis Jubi, Senin (2/3/2020) malam.

Ahoren menyatakan rekomendasi dialog MRP dan MRPB itu tidak didasari kepentingan individu dan kelompok tertentu. Menurutnya, aspirasi itu merupakan masyarakat. Dialog merupakan kepentingan semua pihak, terutama kepentingan rakyat Papua.

Ia meminta ULMWP juga membuka diri untuk berdialog dengan Pemerintah RI. “[Dialog itu] kepentingan siapa? Itu kepentingan masyarakat, MRP [dan MPRB] bicara, karena semua orang Papua bicara pelurusan sejarah. [Kami turun] ke kampung, reses, semua bicara itu,” kata Ahoren.

Sebelumnya, Ketua MRP Timotius Murib menyatakan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB sepakat untuk bersama-sama merekomendasikan agar Pemerintah RI membuka dialog dengan ULWMP. “MRP dan MRPB meminta Pemerintah RI untuk segera berdialog dengan ULMWP,” kata Murib usai penutupan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, pada Jumat (28/2/2020).

Menurutnya, MRP dan MRPB memandang penting bagi Pemerintah RI dan ULMWP untuk duduk bersama membangun dialog yang bermartabat. Dialog itu harus dimediasi pihak ketiga yang netral dan disepakati oleh kedua belah pihak.

“Kami rekomendasi berdialog demi penyelesaian masalah HAM secara damai dan bermartabat yang dimediasi oleh pihak ketiga,” ujar Murib. Menurutnya, pelanggaran HAM di Papua telah menumpuk dan menjadi luka busuk dalam tubuh pemerintah Republik Indonesia.

Murib menegaskan MRP dan MRPB sebagai lembaga kultural orang asli Papua tidak bermaksud apapun selain melaksanakan kewenangannya untuk melindungi hak hidup dan hak milik orang asli Papua. Kedua lembaga meminta Pemerintah RI dan ULMWP duduk berdialog, agar orang asli Papua tidak terus menerus dikorbankan dengan alasan apapun.

Kata dia, pihak berharap kedua belah pihak juga duduk bersama, bicara hak milik orang Papua atas tanah dan kandungan mineral yang terus diambil dan dicaplok atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Tetapi rakyat Papua tidak pernah rasakan kesejahteraan itu.

Nicolaus Degey, anggota Kelompok Kerja Agama MRP, menyatakan rekomendasi MRP dan MRPB itu sangat tepat. Ia menyatakan masalah pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak akan terselesaikan jika kedua belah pihak tidak duduk bersama dan mencari solusi.

Degey menegaskan baik Pemerintah RI maupun ULMWP tidak bisa mencari solusi sendiri-sendiri atas persoalan Papua. Keduanya harus duduk bersama dan melakukan dialog dimediasi pihak yang netral serta tidak memihak kepada  salah satu pihak yang berkonflik.

Ia menyatakan pihak ketiga yang telah memiliki independensi yang telah teruji yang bisa memediasi dialog penyelesaikan konflik Papua itu, kendati Degey tidak merinci siapakah pihak ketiga yang dianggap layak menjadi mediator dialog.

“Itu baru masalah bisa selesai. Kalau tidak ada pihak ke tiga, masalah tidak akan selesai dengan alasan apapun. Karena kedua bela pihak bermusuhan, ada yang berperan sebagai pelaku dan korban,” kata Degey.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB sahkan 4 keputusan bersama

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Sentani, MRP – Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB menetapkan empat keputusan terkait pemenuhan hak orang asli Papua. Hal itu disampaikan Ketua MRP Timotius Murib usai memimpin Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Jumat (28/2/2020) malam.

Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB antara lain memutuskan kebijakan afirmasi untuk memprioritaskan orang asli Papua dalam dalam pencalonan Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota di Tanah Papua. Keputusan itu memperluas kebijakan afirmasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) yang menyatakan calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Tanah Papua harus orang asli Papua.

“Keputusan pertama, tentang Pemenuhan Hak Konstitusional Orang Asli Papua dalam Rekrutmen Politik terkait Pencalonan Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota di Provinsi Papua & Provinsi Papua Barat. Rekrutmen itu harus prioritaskan orang asli Papua,” kata Murib kepada Jubi.

Murib menyatakan MRP dan MRPB juga menyepakati keputusan tentang Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Orang Asli Papua. Keputusan itu menyatakan orang asli Papua harus diperlakukan sama dengan warga Indonesia di depan hukum Indonesia. “Perlindungan hukum itu harus memenuhi standar hak asasi manusia dan manusiawi,” kata Murib.

Perlindungan bagi para mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Tanah Papua menjadi keputusan ketiga Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB. Murib mengakui keputusan itu merupakan respon atas kasus persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu, dan rentetan intimidasi yang dialami para mahasiswa Papua di berbagai kota pasca kasus rasisme Papua di Surabaya itu.

“Sejak kasus rasisme [Papua di Surabaya itu], mahasiswa dan pelajar [asal Papua dan Papua Barat] berada dalam tekanan, merasakan tidak nyaman [menutut ilmu di luar Papua]. Oleh karena itu, perlu jaminan hukum dan hak asasi manusia dari pemerintah setempat,” ujar Murib.

Keputusan keempat yang disepakati dalam Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB itu adalah penarikan Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus di Tanah Papua yang telah diajukan sebagai usulan revisi Undang-undang Otsus Papua.

Ketua Dewan Adat Papua versi Konferensi Luar Biasa, Dominikus Surabut menyatakan empat keputusan Rapat Pleno Luar Biasa itu tidak akan berdampak efektif jika MRP dan MRPB tidak menyosialisasikan secara luas isi keputusan itu kepada rakyat di Tanah Papua. Sosialisasi itu harus dilakukan sebelum MRP dan MRPB membawa empat keputusan itu ke pemerintah pusat. “Karena perlu legitimasi rakyat, sebelum sosialisasi ke atas, supaya [empat] keputusan itu berwibawa,” kata Surabut kepada Jubi pada Sabtu (29/02/2020).(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP dan BPS bekerjasama untuk sukseskan Sensus Penduduk 2020

Kepala BPS Papua, Simon Sapari mengajarkan cara pengunaan aplikasi pendataan penduduk kepada Ketua MRP Timotius Murib dan beberapa anggota MRP. – Dok. Humas MRP

Sentani, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP akan bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik atau BPS Provinsi Papua untuk menyukseskan Sensus Penduduk 2020. Kesepakatan kerjasama antara MRP dan BPS Papua itu ditandatangani di Sentani, Kabupaten Jayapura, pada Jumat (28/2/2020).

Murib menyatakan MRP mendukungan penuh kerja BPS untuk menjalankan Sensus Penduduk 2020, karena data jumlah orang asli Papua penting bagi MRP. Ia menyatakan jumlah orang asli Papua harus dipastikan, demi mewujudkan pembangunan yang berpihak kepada kepentingan orang asli Papua. “MRP dan BPS bersepakat bergandengan tangan di lapangan,” kata Timotius Murib kepada Jubi, Jumat.

Murib menyatakan data pasti jumlah orang asli Papua dari mulai tingkat kampung hingga kabupaten akan membantu perencanaan program dan pengalokasian anggaran pembangunan di Papua. “[BPS harus] mencatat [jumlah orang asli Papua] yang benar di tingkat kampung, distrik, dan kabupaten. [Data itu akan membantu] pemerintah menyusun alokasi [anggaran], terutama Dana Otonomi Khusus Papua,” kata Murib.

Menurut Murib, selama ini alokasi anggaran pemerintah pusat di Papua terus ditambah, termasuk nilai kucuran Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Akan tetapi, tidak pernah ada pendataan angka kelahiran dan kematian khusus bagi orang asli Papua.

MRP berharap Sensus Penduduk 2020 akan bisa memastikan perubahan jumlah orang asli Papua dalam sepuluh tahun terakhir. Murib ingin BPS Papua menghasilkan data riil tentang klaim pertambahan jumlah orang asli Papua. “Anggaran terus bertambah, tetapi angka kelahiran [orang asli Papua] terus menurun. Orang asli Papua yang mana lagi yang bertambah?” tanya Murib.

Kepala BPS Papua, Simon Sapari menyampaikan berterimakasih kepada MRP yang memahami tugas penting BPS menjalankan Sensus Penduduk 2020. “Kami bersyukur diterima MRP dan Ketua  MRP, dan semua anggota memahami tugas pokok kami sebagai pelopor data untuk kepentingan pembangunan,” ujar Sapari.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Eks karyawan PT Kodeko harap MRP mampu perjuangkan hak mereka

Pertemuan MRP dengan eks karyawan PT Kodeko Papua di Serui, Kabupaten Yapen, Senin (24/2/2020). – Jubi/Humas MRP

Jayapura, MRP – Kehadiran kelompok kerja Adat Majelis Rakyat Papua di Serui disambut 1.435 eks karyawan PT Kodeko Papua, sebuah perusahaan Kayu lapis yang beroperasi di kepulauan Yapen sejak 1995. Kehadiran MRP pada momentum dengar pendapat itu, diharapkan dapat menyambung perjuangan para eks karyawan untuk mendapatkan hak mereka .

Pernyataan itu disampaikan Cosmas Pondayar, perwakilan eks karyawan PT Kodeko Papua kepada Jurnalis Jubi melalui rekaman yang dikirim humas MRP, Selasa (25/02/2020).

“Kami sangat berterima kasih sekali mendapatkan hasil pertemuan pertama 13 Februari, MRP ketemu kami dan kami sampaikan aspirasi secara langsung,”ujar Cosmas Pundayar pada rekaman itu.

Kata dia, kehadiran MRP membuat para eks karyawan Kodeko mulai merasa jalan buntu perjuangan mulai terbuka lagi. Perjuangan menjadi buntu lantaran perusahaan tidak mau membayar hak mereka sesuai keputusan pengadilan.

Keputusan pengadilan keluar di Tangerang pada 11 April 2006 Nomor 11/PEN-EKS/2006/PN-TNG tentang sita eksekusi barang operasi seperti alat berat milik perusahaan.“Putusan pengadilan kami memang, tetapi perusahaan tidak membayar sesuai dengan putusan pengadilan,”ujarnya

Harapan yang sama disampaikan, Marta Helaha, eks karyawan PT Kodeko, mewakili kaum perempuan.“Tolong selesaikan kita punya hak dan nasib yang selama 14 tahun ini,”ujarnya.

Kata dia, PT Kodeko belum pernah membayar gaji dan pesangon mereka ketika perusahan itu macet. Perusahaan yang melanjutkan tidak mampu membayar semua hak mereka. “Kita punya hak tidak sesuai golongan kerja dan waktu kerja,”ujar pada rekaman tersebut.

Karena itu, kata dia, pihaknya punya harapan besar, MRP bisa membantu mendesak perusahaan mebayar hak-hak mereka yang belum terbayar.“Kami punya hak harus dibayar. Kami ini putra-putri asli ini, tetapi diabaikan hak kerja kami,”ungkapnya.

Demas Tokoro, ketua kelompok kerja Adat yang memimpin delegasi, mengatakan pertemuan dengan eks karyawan Kodeko menjadi dasar pertemuan selanjutnya.“Menanti 14 tahun, itu waktu yang sangat lama, “ujarnya.

Karena itu, pihaknya berjanji kepada eks karyawan akan memperjuangkan harapan sesuai dengan fungsi dan mekanisme Lembaga.“Kami, MRP ada untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat asli, karena itu kami mohon dukungan, melalui doa dan apa saja,”. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Ketua DPR Papua dukung upaya MRP pertegas aturan rekrutmen politik di Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib dan Ketua Majelis Rakyat Papua Barat, Maxsi N Ahoren bersama-sama memukul tifa untuk membuka Rapat Dengar Pendapat yang membahas kebijakan afirmasi dalam rekrutmen politik orang asli Papua. – Jubi/Benny Mawel

Jayapura, MRP – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua, Jhony Banua Rouw mendukung perjuangan Majelis Rakyat Papua atau MRP memperkuat kebijakan afirmasi yang memprioritaskan orang asli Papua dalam rekrutmen politik oleh partai politik di Papua. Dukungan itu dinyatakan Rouw saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat Gabungan MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat di Jayapura, Kamis (27/2/2020).

Rouw menyatakan DPR Papua mendukung upaya MRP untuk memperkuat posisi tawarnya dalam memberikan rekomendasi bagi setiap orang asli Papua yang ingin mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Papua. “Prinsipnya kami DPRP akan mendukung,” ujarnya usai menghadiri rapat yang dihadiri para pimpinan partai politik di Papua dan pimpinan daerah Provinsi Papua itu.

Rouw menyatakan DPR Papua berharap ada upaya konkret untuk memperjuangkan hak konstitusional orang asli Papua, termasuk dengan mendorong regulasi yang lebih tegas mengatur kebijakan afirmasi dalam rekrutmen politik di Papua. “Saya usulkan  kita talk show ke pimpinan partai di pusat,” katanya.

Ia meyakini upaya itu lebih simpel, tidak membuang energi dan waktu lama. “Kalau setuju, saya, Ketua DPR Papua, akan siap mendampingi MRP dan MRPB,” kata Rouw.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Gabungan MRP dan MRPB itu menindaklanjuti jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI atas usulan penambahan persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernur kedua provinsi. Selama ini, persyaratan itu dirinci dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Ketentuan Khusus Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Papua Barat

Sebelumnya, MRP telah meminta PKPU Nomor 10 Tahun 2017 itu direvisi dengan menambahkan persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dengan rekomendasi dari MRP. Timotius Murib menyatakan usulan itu didasarkan isi Pasal 28 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

“Ayat (3) [Pasal 28 UU Otsus Papua menyatakan] rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Ayat (4) [Pasal itu menyatakan] partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing,” ujar Murib dalam RDP Gabungan itu.

Atas dasar itu, MRP mengusulkan klausul persyaratan tambahan untuk ditempatkan sebagai Pasal 22 ayat (1) huruf Y yang berbunyi “mengenal daerah dan dikenal oleh masyarakat daerahnya yang dibuktikan dengan rekomendasi dari MRP.” Klausul tambahan itu diharapkan akan masuk dalam revisi PKPU Nomor 10 Tahun 2017.

Atas usulan itu, KPU menyatakan memahami konteks usulan MRP. “MRP dapat membuat suatu kesepakatan dengan dengan penggurus partai di tingkat pusat mengenai mekanisme pemberian pertimbangan /rekomendasi terhadap pasangan calon kepala daerah yang diusulkan,” tulis KPU RI dalam surat jawabannya kepada MRP.

Murib menyatakan MRP telah melakukan pertemuan dengan para pimpinan partai politik di pusat. Pada prinsipnya, ada partai politik yang mendukung perjuangan MRP untuk menegaskan kebijakan afirmatif dalam rekrutmen politik oleh partai politik di Papua. MRP akhirnya menindaklanjuti hal itu dengan RDP Gabungan MRP dan MRPB bersama para pimpinan partai politik di Papua pada Kamis.(*)

 

Sumber: Jubi.co,id

 

Read More