Categories Berita

Konflik bersenjata dan rasisme Papua jadi agenda kerja utama MRP

Aksi damai mahasiswa Papua anti rasisme – Foto/Agus Pabika

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menegaskan konflik bersenjata yang terjadi di pegunungan tengah Papua dan persoalan rasisme Papua menjadi agenda kerja utama MRP tahun 2020. Hal itu dinyatakan Ketua MRP Timotius Murib di Jayapura, Rabu (29/1/2020).

Murib menyatakan agenda kerja terkait konflik bersenjata dan rasisme Papua akan berjalan setelah bimbingan teknis yang akan diikuti 50 anggota MRP pada awal Februari 2020. “Konflik bersenjata dan isu rasisme menjadi  agenda prioritas tahun 2020. MRP akan bentuk tim gabungan membahas per isu dan akan menyampaikan kepada Jakarta,” ujarnya setelah bertemu sejumlah pimpinan MRP pada Rabu.

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan MRP, Siska Abugau menyatakan agenda kerja terkait konflik bersenjata di Papua mendesak, karena perempuan dan anak selalu menjadi korban yang paling terdampak konflik tersebut. “Dari konflik di Intan Jaya dan Nduga, yang menjadi korban itu anak dan perempuan,” kata Abugau di Jayapura, Selasa (28/1/2020).

Menurut Abugau, konflik membuat hak anak atas pendidikan dan kasih sayang menjadi terabaikan. Konflik membuat anak hidup dalam kondisi tertekan, terlebih jika orangtua mereka mengungsi demi menghindari konflik itu.

Perempuan juga menjadi kelompok korban yang paling rentan dan terdampak konflik. Jika ia terpisah dari suaminya, ia harus menanggung beban mengurus keluarganya. “Apapun situasinya, Mama-mama Papua menanggung semua beban hidup,” ujar Abugau.

Abugau menyatakan MRP harus menjalankan langkah kelembagaan untuk menangani konflik bersenjata dan persoalan rasisme Papua. “MRP harus bicara situasi Papua secara jujur, supaya penyelesaian dan pemenuhan hak-hak orang asli Papua sesuai harapan,” kata Abugau.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Dikunjungi Bupati Jember, MRP titipkan 200 mahasiswa Papua

Bupati Jember, dr, Hj, Faida saat memberikan cinderamata kepada ketua MRP Timotius Murib di kantor MRP usai pertemuan – Foto/Agus Pabika

Jayapura, MRP – Majelis rakyat Papua atau MRP pada Senin (27/1/2020) menerima kunjungan Bupati Jember, Faida di Jayapura, Papua. Dalam pertemuan itu, MRP menitipkan 200 mahasiswa Papua kepada Bupati Jember, agar mereka dapat berkuliah dengan aman.

Hal itu disampaikan Ketua MRP Timotius Murib di Jayapura, Rabu (29/1/2020). “Kami telah menerima kunjungan Bupati Kabupaten Jember, Jawa Timur, dr Hj Faida MMR,  pada Senin 26 Januari. Kami titipkan pesan [untuk] menjaga masyarakat Papua, terutama 200 mahasiswa yang kuliah di Jember,” kata Murib.

Murib menyatakan pesan khusus itu disampaikan kepada Faida agar ada jaminan keamanan bagi para mahasiswa Papua untuk berkuliah dengan aman dan nyaman. Jaminan khusus itu dibutuhkan karena kasus persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019 telah membuat mahasiswa Papua merasa tidak nyaman berkuliah di luar Papua.

Murib berharap para mahasiswa Papua di Jember dapat berkuliah dengan aman dan nyaman. “Kita sampaikan ini supaya mereka yang ada di sana menjadi anak-anak Ibu Bupati, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah atau Forkopimda Kabupaten Jember, dan masyarakat Jember,” kata Murib.

Dalam pertemuannya dengan para anggota MRP, Bupati Jember, Faida menyatakan pihaknya menjamin keamanan dan keselamatan para mahasiswa Papua yang berkuliah di Jember. Faida menyatakan akan menjaga para mahasiswa Papua, karena para mahasiswa itulah yang nantinya akan membangun masa depan Papua.

Sejak persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua terjadi di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019, ribuan mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Papua melakukan eksodus dan pulang ke Papua. Eksodus terjadi setelah sejumlah asrama atau pemondokan mahasiswa Papua di berbagai kota studi didatangi aparat keamanan atau dipersekusi organisasi kemasyarakatan.

Situasi itu membuat mahasiswa Papua merasa tidak nyaman dan aman, sehingga meninggalkan kuliahnya dan pulang ke Papua. Polda Papua memperkirakan jumlah mahasiswa eksodus yang meninggalkan berbagai perguruan tinggi di luar Papua itu mencapai 3.000 orang. Sementara Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura menyatakan jumlah mahasiswa eksodus di Papua mencapai 6.000 orang. MRP akhirnya mencoba membuat rapat terbuka pada Rabu, untuk mempertemukan mahasiswa eksodus dengan Forkopimda Papua.

Dalam rapat terbuka pada pekan lalu itu, Eko Pilipus Kogoya dari Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura menyatakan MRP, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, maupun Pemerintah Provinsi Papua harus memperhatikan nasib dan masa depan para mahasiswa eksodus yang terlanjur pulang ke Papua. “Kami korban rasisme. Pemerintah harus bicara serius. Kami mau ada solusi,” kata Kogoya seusai mengikuti rapat terbuka bersama Forkopimda Provinsi Papua itu.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP minta Jakarta kirim tenaga kemanusiaan karena sudah kirim pasukan

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib – Humas MRP.

Jayapura, MRP – Otoritas Majelis  Rakyat atau MRP mendesak Jakarta tidak hanya konsen mengirimkan pasukan militer ke Papua untuk menghadapi pasukan kelompok sipil bersenjata tanpa pengiriman tenaga kemanusiaan.

“Kalau biasa pemerintah juga kirim tenaga medis dan guru-guru untuk melayani para pengungsi,” ungkap Timotius Murib kepada jurnalis Jubi, Kamis (30/1/2020) pagi.

Karena, kata dia, pasukan yang tiba di Papua, terutama Kabupaten Intan Jaya, Nduga, Puncak, dan Puncak Jaya sering terjadi kontak senjata.

“Konflik dua kelompok terserah saja tetapi rakyat biasa mengungsi akibat perang dan hak-hak masyarakat tidak terpenuhi,” ungkapnya.

Kalau hak-hak masyarakat sipil ini tidak terpenuhi, sebenarnya terjadi pelanggaran HAM yang sesungguhnya yang sedang terjadi di Papua.

“Kalau tidak ada pemenuhan hak warga sipil, pelanggaran HAM yang sedang berlangsung,” ungkapnya.

Kata dia, hak ekonomi, hak kesehatan, hak pendidikan, hak tidak tertekan, dan hak rasa bebas tersandera. Rakyat sipil yang menderita.

“Kita melihat ini biasa tetapi harus serius,” ungkapnya.

Anggota MRP dari kelompok kerja Agama, Nikolaus Degey, menilai pengabaian hak warga sipil itu merugikan negara.

“Kontak senjata saja, ada respons negatif terhadap Indonesia. Apala lagi hak-hak warga sipil tidak terpenuhi sementara dunia fokus bicara pemenuhan hak rakyat,” ungkap Degey.

Kata dia, bukan hanya respons negatif terhadap kebijakan Jakarta tetapi juga menjadi bahan kampanye kelompok yang mencari keuntungan.

“Bisa saja mendukung aspirasi kemerdekaan Papua dengan anggapan pemerintah tidak mampu penuhi hak rakyat rakyat Papua,” ungkapnya.

Karena itu, Degey maupun Murib berharap Jakarta hati-hati merencanakan apapun kebijakan mengenai Papua. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Adat

MRP menilai Jakarta sedang berusaha menekan psikologi rakyat Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib – Jubi/Agus Pabika.

Jayapura, MRP – Para anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP merasa heran dengan kebijakan Jakarta dalam menangani persoalan Papua. Sejak terjadinya kasus rasisme terhadap para mahasiswa Papua, Jakarta tak mengambil langkah serius untuk menyelesaikan persoalan rasisme Papua. Jakarta justru terus mengirimkan aparat keamanan tambahan, dengan jumlah yang banyak.

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib menyatakan sulit memahami kebijakan yang diambil Jakarta dalam menangani persoalan Papua. “Jumlah pasukan yang Jakarta kirim sangat luar biasa. [Mereka dikirim] hanya untuk menghadapi kelompok rakyat Papua dengan persenjataan yang terbatas,” kata Murib di Jayapura, Rabu (29/1/2020).

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP, Nikolaus Degey mengatakan kebijakan Jakarta untuk terus menambah jumlah aparat keamanan di Papua membuat rakyat Papua tertekan. “Mengapa pasukan makin hari makin tambah di Papua? Jumlah militer yang terus bertambah ini membuat warga sipil tetekan,” ujar Degey di Jayapura, Rabu.

Degey mengingatkan cara Jakarta menangani persoalan Papua justru membuat rakyat Papua semakin bertanya-tanya, apakah benar rakyat Papua dianggap warga negara Indonesia yang setara. “Kalau Papua bagian dari Indonesia, mengapa pemerintah menekan rakyat dengan terus menambah jumlah [aparat] keamanan?” Degey bertanya.

Sejak kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua terjadi di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019, pemerintah pusat terus menambah aparat keamanan di Kabupaten Nduga, Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Intan Jaya, Paniai, Deiyai dan Dogiai. Degey menyatakan penambahan pasukan itu menunjukkan pemerintah di Jakarta mengabaikan nasib ribuan warga sipil Kabupaten Nduga yang mengungsi gara-gara konflik bersenjata di Nduga.

Menurut Degey, pendekatan keamanan yang digunakan Jakarta dalam menyelesaikan kasus rasisme Papua justru memunculkan spekulasi yang beragam. Spekulasi itu muncul karena pemerintah di Jakarta justru tidak kunjung menyelesaikan masalah rasisme Papua.

“Penambahan pasukan, terutama di Nduga dan Intan Jaya, menyebabkan rakyat sipil mengungsi. Pengungsi makin bertambah. Banyak masalah [baru] yang akan muncul. Kelaparan, sakit, dan masalah lainnya. Apakah ini bagian dari mengamankan Freeport dan merebut kekayaan alam yang ada di sekitarnya atas nama kerja kelompok bersenjata Papua merdeka?” Degey bertanya.

Kata dia, lebih bijak dan sangat manusiawi, kalau mau rebut, pemerintah mestinya hargai hak milik dan bicara sesuai aturan hukum. “Jangan pakai alasan menjaga objek vital, tetapi dampaknya memusnahkan orang Papua,” kata Degey serius.

Dominikus Surabut, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) versi Konferensi Luar Biasa menilai kondisi Papua saat ini sudah seperti Daerah Operasional Militer, namun pemerintah tidak pernah menyatakan status DOM itu. Akibatnya, penambahan dan pergerakan pasukan di Papua itu tanpa mekanisme resmi dalam menggelar DOM.

“Kita tidak pernah DPR sidang dan mendukung pengiriman pasukan ke Papua. Akan tetapi, jumlah militer yang dikirimkan ke Papua sudah menyerupai daerah operasi militer,” kata Surabut.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More