Categories Berita

Pernyataan Bupati Merauke Sinyal Revisi II UU Otsus Cacat Hukum

JAYAPURA, MRP –  Majelis Rakyat Papua (MRP) memandang pernyataan Bupati Merauke Romanus Mbaraka sebagai sinyal cacatnya perubahan kedua UU Otsus yang tengah diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Pernyataan tersebut semakin mengindikasikan perubahan kedua UU Otsus berjalan tak sesuai kaidah-kaidah konstitusional. Bahkan bukan hanya prosesnya, tetapi materi UU pun jadi cacat hukum. Salah satu pasal terpenting terkait pemekaran provinsi telah dikebiri,” kata Timotius.

Timotius menjelaskan, pembuatan undang-undang seharusnya dilakukan dengan melibatkan masyarakat di tingkat bawah agar berpartisipasi sesuai kaidah-kaidah hukum, bukan dengan melibatkan transaksi segelintir elite di tingkat atas, apalagi dengan cara-cara melanggar hukum.

“Menyedihkan jika cara-cara kotor justru dipakai untuk merubah sebuah undang-undang atau membentuk provinsi yang hanya menguntungkan elite-elite politik. Kepentingan orang asli Papua akhirnya dikorbankan demi kepentingan jangka pendek. Dan Papua kehilangan otonomi khusus, terutama dalam hal pemekaran provinsi,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sana, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait mengatakan, bantahan Bupati yang menyangkal telah ‘membayar mahal’ sejumlah anggota DPR RI adalah cermin sikap yang lari tanggungjawab.

“Masyarakat Papua bukan orang bodoh. Mereka sudah mengerti apa pesan tersirat di balik pernyataan yang terucap. Benar tidaknya perbuatan ‘membayar mahal’ sejumlah anggota DPR RI dalam perubahan kedua UU Otsus hanya bisa dibuktikan melalui proses hukum. Bukan dengan pernyataan bantahan politis,” kata Yoel.

Yoel menyayangkan, praktik kotor seperti itu akhirnya mengakibatkan semangat dan fondasi otonomi khusus dalam UU Otsus telah hilang. Salah satunya adalah wewenang MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua dalam pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi. “Pernyataan Bupati itu menodai amanat Papua Selatan, rakyat Papua, dan rakyat Indonesia secara keseluruhan” katanya.

Perihal dugaan suap, pihak MRP mendorong jajaran penegak hukum Papua maupun di tingkat pusat untuk menyelidiki pernyataan Bupati tersebut. “Sulit disangkal lagi, bahwa pernyataan itu memang mengindikasikan perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya terhadap beberapa anggota DPR RI. Permohonan maaf Bupati atas pernyataan tersebut juga tidaklah cukup.

Seperti diketahui, masyarakat di Papua dikejutkan oleh viralnya video berisi pernyataan Bupati Merauke Romanus Mbaraka yang menyatakan bahwa dirinya telah membayar mahal sejumlah anggota DPR RI, antara lain Komarudin Watubun (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDIP) dan Yan Mandenas (Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra)

Sebelumnya, MRP mengajukan uji materi atas UU No.2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Otsus. Dikabarkan bahwa MK akan mengambil putusan dalam jangka waktu dekat, yaitu akhir bulan Juli atau awal Agustus.

Sejumlah pihak juga menyoroti pernyataan Bupati Merauke sebagai kentalnya praktik patgulipat di balik perubahan kedua UU Otsus Provinsi Papua. Salah satunya datang dari lembaga kajian demokrasi Public Virtue mendesak KPK agar melakukan penyelidikan atas dugaan suap dalam perubahan kedua UU Otsus Papua dan pembentukan Daerah Otonomi Baru di Provinsi Papua.(*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

MRP Menilai Tanggapan Yan Mandenas Semakin Ngawur dan Gagal Paham

Ketua Panmus MRP, Benny Sweny, S.Sos dalam sebuah diskusi dengan Ketua BALEG DPR RI, Dr. Supratman Andi Agtas, SH, MH. Diskusi dengan topik tugas dan wewenang MRP dalam implementasi UU Otsus terkait dengan pemekaran wilayah di Papua. – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Menanggapi anggota Komisi I DPR RI Yan P. Mandenas yang menilai MRP keliru, Ketua Panmus MRP Benny Sweny dengan santai mengimbau semua kalangan agar tidak terpengaruh.

“Pernyataan itu (Mandenas) semakin ngawur dan gagal fokus dalam memahami tugas dan wewenang MRP dalam UU Otsus,. Biarkan saja, anjing menggonggong kafilah berlalu,” kata Benny saat ditanya media, Jumat, (29/4/2022).

Benny menjelaskan bahwa salah satu tugas pokok dan fungsi MRP jelas tertuang dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf e yaitu memperhatikan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

“Ketentuan itu tidak membedakan jenis-jenis aspirasi, apakah aspirasi politik, aspirasi bukan politik, aspirasi sosial, aspirasi hukum, atau aspirasi lainnya. Jadi pernyataan seperti itu (Mandenas) hanya karangan yang dibuat-buat. Narasinya kabur,” kata Benny.

Selanjutnya, menurut Benny, Pasal 76 UU No. 21/2001 atau UU Otsus yang lama maupun Pasal 76 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2021 atau UU Otsus yang baru jelas telah mengamanatkan bahwa pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Sayangnya, ini tidak dipatuhi oleh pemerintah pusat.

Bahkan ketentuan yang sama juga memberi penegasan tentang syarat suatu pemekaran yaitu dilakukan “setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.” Amanat ini juga diabaikan.

Ketidakpatuhan dan pengabaian tersebut terlihat secara jelas ketika pemerintah justru membuat ketentuan Pasal 76 yang tunggal itu menjadi tiga ayat sehingga menimbulkan kerancuan wewenang pemekaran.

Sekadar contoh, ditambahkanlah Pasal 76 ayat (2) yang berbunyi : “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.

“Ini ayat tambahan yang menghilangkan aspek khusus dari pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi,” lanjut Benny.

Dengan penambahan ketentuan tersebut, maka pemekaran provinsi di wilayah otonomi khusus seperti Papua menjadi tidak ada bedanya dengan pemekaran wilayah lainnya di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Mengapa pemekaran Papua harus diatur dalam UU Otsus kalau tidak lagi ada yang khusus? Orang-orang seperti Yan ini justru telah membuat pasal pemekaran menjadi ambigu, sehingga itulah yang di-uji materiil-kan MRP. Ini agar karakteristik pemekaran di Papua berciri khusus yaitu atas persetujuan MRP dan DPRP.”

Benny menegaskan, MRP sebenarnya tidak dalam posisi menolak atau mendukung pemekaran. Tetapi menyuarakan aspirasi OAP yang banyak menolak pemekaran yang tanpa partisipasi, konsultasi dan persetujuan MRP dan DPRP. Kalau pun ada yang dituntut ke pemerintah pusat, maka MRP memang meminta agar kewenangan pemekaran itu dikembalikan sehingga hanya merupakan wewenang MRP dan DPRP.

”Setiap usulan Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi atau pembentukan DOB di Tanah Papua tetaplah harus melalui MRP dan DPRP. Agar MRP juga dapat mengkaji secara komperehensif apakah Papua saat ini sudah layak dimekarkan berdasarkan empat faktor yaitu kesatuan budaya, kesiapan SDM OAP, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.

“Itulah yang MRP sampaikan di Jakarta, baik kepada pimpinan partai politik, Presiden Joko Widodo maupun pimpinan DPR RI agar Pengesahan RUU Pembentukan 3 DOB itu ditunda dahulu. Kalau bisa sampai setelah Pemilu. Paling tidak, sampai ada keputusan MK” tandasnya.

Suara orang yang meminta MRP dibubarkan itu boleh-boleh saja, tapi jangan lupa bahwa MRP adalah roh jiwa Otonomi Khusus Papua, yang membedakan Papua dengan Provinsi lain di Indonesia.

“MRP dan Otsus seperti dua sisi mata uang yang integral dan tak terpisahkan, jadi kalau MRP dibubarkan maka OTSUS juga bubar. Jadi intinya, jangan komentar sembarangan sebelum membaca dan mencermati sesuatu hal secara mendalam,” tegasnya.

Ditambahkannya, Yan sebagai wakil rakyat di DPR RI tidak pernah merespon aspirasi masyarakat yang menolak DOB, bahkan tidak mau menerima kehadiran MRP di Jakarta.

“Kapan dia menerima MRP berdialog dan menindaklanjuti aspirasi MRP? Saat kami di Jakarta bersama Ketua MRP, saya telepon Yan Mandenas berkali-kali untuk ketemu tapi telpon saya tidak dijawab. Jadi kelihatan sekali dia tidak mau menerima aspirasi masyarakat akar rumput maupun MRP sebagai lembaga representasi orang asli Papua,” pungkasnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Dikunjungi MRP, Ketum PKB Janji Sampaikan Harapan Penundaan DOB

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menerima Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib di komplek Widya Chandra, Jakarta, Jum‘at, (22/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menerima Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib di komplek Widya Chandra, Jakarta, Jum‘at, (22/4/2022).

Dalam permasalahan Papua, menurut Muhaimin, yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah sikap kesediaan untuk mendengar apa yang menjadi kemauan dari masyarakat orang asli Papua, serta sikap saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah Papua. Dengan demikian, aspirasi untuk menunda pemekaran wilayah atau pembentukan DOB Papua akan mudah diterima.

“Yang harus dijadikan pegangan adalah apa yang menjadi kemauan masyarakat orang asli Papua. Itulah yang harus kita ikuti. Mengenai RUU Pembentukan Daerah Otonomi Baru DOB, prosesnya masih panjang. Karena (RUU) ini baru sebatas inisiatif. Di luar urusan DOB, yang penting adalah adanya rasa saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah Papua,“ kata Muhaimin.

Timotius menyampaikan pentingnya MRP dilibatkan. “Bahkan Otonomi Khusus Papua memberi amanat penting agar pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan dengan melibatkan MRP. Bukan hanya dimintai pertimbangan. Tetapi juga dimintai persetujuannya. Sayang, proses pembentukan DOB saat ini sangat tergesa-gesa,“ kata Timotius.

Saat menerima kunjungan MRP, Muhaimin didampingi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Jazilul Fawaid, Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Reza, dan Ketua Fraksi PKB Cucun Ahmad Syamsurijal.

Jazulil mengatakan, seharusnya ini bukan RUU inisiatif DPR RI. Melainkan pemerintah. “Karena ini mengenai otonomi daerah. Ternyata dicantolkan ke DPR RI. Di Senayan sendiri, sosialisasinya pasti tak merata. Sekarang, MRP perlu mengawal Komisi II DPR. Tanpa rekomendasi MRP akan berat. DPR harus meyakinkan MRP. Tidak mungkin tanpa dibantu oleh pemerintah“, kata Jazulil.

Selain Timotius, hadir pula Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny, staff khusus Ketua MRP Onias Wenda, staff khusus MRP Andreas Goo, staff MRP Joram Wambrauw dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Sementara itu Benny menjelaskan, seharusnya proses pengajuan RUU DOB tersebut dimulai dari MRP selaku lembaga representasi kultural orang asli Papua yang diberi wewenang untuk memberi persetujuan atas pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi.

“Setelah dari MRP, barulah kemudian RUU tersebut diajukan kepada Mendagri untuk selanjutnya diajukan kepada DPR RI. Dalam pembahasannya pun, berbagai komponen masyarakat yang telah memperhatikan situasi Papua selama ini dimintakan pendapatnya,“ kata Benny.

“PKB pada prinsipnya tidak masalah. Kepercayaan sudah terbangun. Hampir semua aspirasi Papua senantiasa kami ikuti melalui wakil-wakil PKB. Kalau rasa saling percaya yang menyeluruh antara pemerintah harus terbangun, maka ketika nanti membatalkan inisiasi pemekaran itu benar-benar mudah. Mengenai harapan pimpinan MRP, pasti kami sampaikan ke Presiden,” lanjut Muhaimin.

Sementara itu, Timotius mengatakan, MRP sangat menghargai pendapat Muhaimin sebagai salah satu pimpinan DPR RI dan juga ketua umum dari salah satu partai yang besar di Papua.

“MRP optimis. Sebagai pimpinan partai besar, Pak Muhaimin pasti bersedia mempertimbangkan aspirasi masyarakat orang asli Papua terkait penundaan DOB untuk disampaikan kepada pimpinan partai politik nasional lainnya,“ ujar Timotius.

Dalam kesempatan yang sama, Yoel mengonfirmasi adanya surat MRP meminta penundaan DOB yang telah diserahkan MRP kepada sejumlah pimpinan partai politik.

“Kami menyampaikan surat sekaligus menemui Pak Zulkifili Hasan, Pak Airlangga Hartanto dan Pak Suharso Monoarfa. Kami juga tengah berupaya menemui Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),“ tambahnya.

Baru-baru ini, Megawati juga menyindir Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang dinilai mendorong pemekaran provinsi tanpa didasarkan pada kajian ilmiah. Megawati lantas meminta Mendagri agar melakukan riset dahulu melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Putri proklamator Soekarno ini juga sempat mengeluhkan rendahnya Pendapatan Asli Daerah dari DOB selama ini.

Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan, pemekaran provinsi belum tentu dapat menurunkan eskalasi konflik bersenjata di Tanah Papua, khususnya di Intan Jaya.

“Riset terbaru Amnesty Internasional menunjukkan kuatnya kepentingan perebutan sumber daya alam di Papua Tengah dan Pegunungan Tengah. Ini adalah dua wilayah yang menjadi target DOB,“ kata Usman.

“Protes menolak DOB telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa seperti yang terjadi dalam aksi protes di Yahukimo. Jika pemerintah menunda, maka itu akan meredakan situasi di lapangan. Situasi lapangan memperlihatkan potensi eskalasi konflik dan memburuknya situasi HAM di Papua, terutama karena terkait rencana tambang emas di Intan Jaya, Papua,“ kata Usman.

Seperti diberitakan sebelumnya, pimpinan MRP tengah berada di Jakarta untuk menyuarakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat orang asli Papua yang sebagian besar menolak pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua menjadi provinsi-provinsi.

MRP menemui sejumlah Menteri dan pimpinan partai-partai politik. Di antaranya adalah Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud MD, Menteri Kordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga merupakan ketua umum Partai Golongan Karya (Golkar), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa yang juga merupakan ketua umum Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) dan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. MRP masih berupaya menemui Ketua Umum PDIP, Partai Demokrat dan Partai Demokrat.

MRP juga dijadwalkan akan menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu pada akhir pekan ini di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories Berita

Majelis Rakyat Papua Berkunjung ke Kantor DPA Partai Aceh 

Serah terima plakat antara Pimpinan MRP dan Pengurus Partai Aceh – Humas MRP

BANDA ACEH, MRP – Rombongan Majelis Rakyat Papua (MRP) berkunjung ke kantor Partai Aceh (PA) yang berada di Batoh, Banda Aceh.

Kedatangan rombongan MRP tersebut di pimpin langsung oleh Ketua MRP, Timotius Murib dan Wakil Ketua MRP, Yoel Luiz Mulait yang juga turut ikut serta 23 rombongan dari MRP.

Kedatangan rombongan MRP ini diterima oleh Sekretaris Jenderal (Sekjend) Partai Aceh, Kamaruruddin Abu Bakar yang juga turut didampingi oleh Jubir PA, Nurzahri, Ketua DPRA, Dahlan dan beberapa pengurus teras PA lainnya.

Jubir Partai Aceh, Nurzahri dalam keterangan pers kepada AJNN mengungkapkan bahwa dalam kunjungan tersebut, pihak MRP menanyakan tentang sejarah berdirinya partai lokal di Aceh dan kenapa pelaksanaan peraturan pemerintah tentang partai lokal di Aceh bisa turun dalam waktu yang relatif singkat setelah disahkan dalam UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

“Mereka juga menyampaikan bahwa di Papua dengan UU 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua sebenarnya sudah ada juga pasal yang mengatur tentang hak bari rakyat papua untuk mendirikan partai politik sendiri,” ujar Nurzahri.

Namun sayangnya menurut penuturan pihak MRP kepada pengurus PA, pasal tentang partai politik papua ini tidak dapat di jalankan karena perbedaan tafsir antara rakyat Papua dengan pemerintah pusat, dimana rakyat papua menafsirkan pasal tersebut sebagai partai lokal di papua sedangkan pemerintah pusat menafsirkan bahwa tafsir partai papua adalah Partai Nasional sebagai mana partai nasional lainnya.

Sehingga selama 20 tahun pasal tentang partai papua tidak pernah dapat dijalankan sama sekali. Dan bahkan dalam revisi UU Otsus Papua yang tebaru (UU nomor 2 tahun 2021) pasal tentang Partai lokal Papua dihilangkan sepihak oleh pemerintah pusat.

Kini MRP sebagai refresentatif kepemimpinan adat di Papua telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dibatalkannya beberapa pasal dalam UU Otsus Papua khususnya pasal tentang Partai loka Papua.

Sementara itu Sekjend PA dan Jubir PA menjelaskan tentang sejarah munculnya partai lokal di dalam MoU Helsinki yang selanjutnya dituangkan ke dalam UU nomor 11/2006 tentang pemerintahan aceh dan disambung dengan PP 20 tahun 2007 dan Qanun nomor 3/2008 tentang Partai Loka (Parlok) di Aceh.

Acara kunjungan tersebut berakhir pada pukul 16.00 dan dilanjutkan dengan acara serah terima plakat antara MRP dan Partai Aceh serta diakhiri dengan foto bersama. (*)

Sumber: Suara Papua

Read More
Categories Berita

Panmus MRP Adakan Lokakarya Untuk Evaluasi Program

Para pimpinan alat kelengkapan Majelis Rakyat Papua berfoto bersama usai mengikuti lokakarya yang selenggarakan Panitia Musyawarah MRP – For Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Panitia Musyawarah Majelis Rakyat Papua atau Panmus MRP menggelar lokakarya di Kota Jayapura, Jumat (26/11/2021), dalam rangka kompilasi program kerja dan kegiatan MRP sepanjang 2021.

Lokakarya itu juga mendiskusikan rencana kegiatan alat kelengkapan MRP pada akhir tahun 2021. Lokakarya itu menghadirkan sejumlah narasumber, termasuk Pastor John Bunay Pr.

Ketua MRP, Timotius Murib beserta pimpinan MRP dan alat kelengkapan MRP lainnya juga menjadi narasumber dalam lokakarya itu.

“Lokakarya itu mendiskusikan kegiatan [yang sudah dilaksanakan] oleh alat kelengkapan MRP. [Alat kelengkapan MRP itu] tiga kelompok kerja dan tiga alat kelengkapan lainnya yang akan melaksanakan kegiatan pada triwulan keempat,” kata Murib, Jumat.

Menurut Murib, MRP membenahi semua kelengkapan administrasi dan pembiayaan seluruh alat kelengkapan lembaga representasi kultural orang asli Papua itu.

“Semua agenda kegiatan MRP tahun 2021 itu benar-benar terakomodir dan bisa dipertanggungjawabkan oleh lembaga,” ucapnya.

Ia menjelaskan MRP berencana melakukan advokasi atas perubahan substansi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) yang diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang tentang Perubahan Kedua atas UU Otsus Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua).

“MRP melakukan advokasi terhadap materi perubahan [dalam] UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Itu menjadi fokus MRP dalam menjawab aspirasi orang asli Papua untuk mendiskusikan implementasi Otsus,” ujarnya.

Murib menyatakan sebelum pemerintah mengubah substansi UU Otsus Papua, seharusnya pemerintah berkomunikasi dahulu dengan rakyat Papua dan MRP.

“Tetapi pemerintah pusat berkeinginan melakukan perubahan itu sepihak. Itu yang menjadi advokasi MRP untuk kepentingan orang asli Papua,” jelas Murib.

Ketua Panmus MRP, Benny Sweny mengatakan lokakarya itu bertujuan mendokumentasikan laporan tentang kegiatan yang sudah dan belum terlaksana.

”Tujuannya untuk mendengarkan dan mendokumentasikan laporan program dan kegiataan yang telah dilaksanakan kelompok kerja serta alat kelengkapan MRP. [Kami] melakukan kompilasi  program/kegiatan dan pencapaiannya, mengidentifikasi kendala dan masalah yang dihadapi, serta mencari solusinya,” kata Sweny.

Menurut Sweny, setiap alat kelengkapan MRP mengisi matrik tentang program/kegiatan yang terlaksana maupun tidak terlaksana, pencapaian program yang terlaksana, ataupun kendala program yang tidak terlaksana.

“Matrikulasi dipaparkan pada saat lokakarya,” tuturnya.(*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Majelis Rakyat Papua Bertemu Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud, Ini yang Dibahas

 

Foto Bersama Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar bersama Jubir Partai Aceh, Nurzahri usai melakukan pertemuan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Hotel Horizon di kawasan Kutaraja, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Minggu (3/10/2021) malam – Dok Istimewa

JAYAPURA, MRP – Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar, bersama rombongan melakukan pertemuan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) di salah satu Hotel di Abepura, Kota Jayapura, Minggu (3/10/2021) malam.

Dalam pertemuan yang berlangsung selama 3 jam tersebut, membahas tentang kerja sama antara Papua dan Aceh dalam menegakkan Undang-undang tentang Otonomi Khusus (Otsus) nomor 21 untuk Papua dan nomor 11 untuk Aceh tidak dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat (Jakarta).

“Dari hasil pertemuan tersebut kami lihat janji antara bangsa Papua dan bangsa Aceh dengan pemerintah Indonenesia dalam undang-undang kekhususan tersebut tidak di laksanakan baik oleh pemerintah pusat,” kata Timotius Murib, ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), kepada media, Senin, (4/10/2021), lalu.

Lanjutnya, dari kepemimpinan presiden ke presiden RI selalu mengabaikan UU Otonomi Khusus dengan hak kekhususan, dengan hasil pertemuan sekaligus kerja sama antara Papua dan Aceh ingin menyampaikan  ke pemerintah pusat agar mereka konsekuen untuk melaksanakan UU Otsus.

“Selama Otsus berjalan 20 tahun untuk Papua dan 15 tahun untuk Aceh selama ini kami kerja masing-masing dan tidak ada jawaban yang signifikan untuk kepentingan bersama selama ini sehingga kita harus bergandeng tangan, kerja sama antara Aceh dan Papua dalam rangka melaksanakan UU Otsus nomor 21 dan nomor 11 secara konsekuen akan diwujudkan dalam kerja sama ,” kata Murib.

Pertemuan Wali Nanggroe Aceh dan MRP sepakat akan membuat nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU). Nantinya akan ditandatangani di Aceh ketika lembaga MRP berkunjung ke tanah rencong.

Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri mengatakan pertemuan ini merupakan tindak lanjut setelah pihak MRP meminta bantuan sebagai saksi ahli di Mahkamah Konstitusi.

“Awalnya pertemuan itu hanya mengundang saya, namun berkembang menjadi pertemuan resmi antara Wali Nanggroe dengan MRP,” kata Nurzahri dalam keterangannya, Senin (4/10).

Dalam pertemuan itu, kedua belah pihak bercerita tentang pengalaman dalam menghadapi pemerintah pusat. Tertama terkait hubungan yang sudah diatur dalam masing-masing UU kekhususan.

“Ketua MRP mengatakan bahwa pemerintah pusat tidak ikhlas memberikan kewenangan dan kekhususan ke Papua,” jelas Nurzahri.

Dalam pertemuan yang berlangsung tiga jam itu, Pimpinan MRP dihadiri Timotius Murib, ketua merangkap anggota (unsur perwakilan adat), Yoel Luiz Mulait SH, wakil ketua I merangkap anggota (unsur perwakilan agama), Debora Mote Ssos, wakil ketua II merangkap anggota (unsur perwakilan perempuan).

Sementara delegasi Aceh hadir Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar, Sekretaris Jenderal Partai Aceh Kamaruddin Abubakar (Abu Razak), Jubir Partai Aceh Nurzahri, Dr Raviq (Staf Khusus Wali Nanggroe Aceh).

Kemudian Tgk Anwar Ramli, dan tiga anggota DPRA, Tarmizi, Iskandar Usman Al-Farlaki, dan M Rizal Falevi Kirani. (*)

 

Humas MRP

Read More
Categories Berita

MRP: Perubahan Kedua UU Otsus Papua Berpotensi Merugikan Orang Asli Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) terus mendorong uji materiil terhadap undang-undang nomor 2 tahun 2021 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta karena MRP melihat perubahan kedua atas undang-undang nomor 21 tahun 2001, yaitu perubahan 19 pasal yang mana 8 pasal yang dianggap berpotensi merugikan rakyat Papua khususnya orang asli Papua.

Hal tersebut di pertegas Timotius Murib, ketua Majelis Rakyat Papua usai mengelar rapat pleno masa sidang ke IV di ruang sidang MRP Kotaraja luar. Senin, (4/10/2021), Jayapura, Papua.

Murib, menegaskan uji materiil yang terus di dorong oleh Majelis Rakyat Papua ini perlu di ketahui oleh seluruh masyarakat Papua di 28 kabupaten/ kota orang asli Papua bawah perubahan kedua UU nomor 21 tahun 2001 sudah jadi dan UU nomor 2 tahun 2021 ada beberapa pasal yang di ubah berpotensi melemahkan kewenangan roh dari Otsus Papua sendiri.

“Tim MRP setelah mengkaji atas perubahan 19 pasal tersebut, Tim menemukan 8 pasal berpotensi merugikan rakyat Papua,” kata Murib.

Jadi, lanjut dia, kewenangan-kewenangan MRP yang sesungguhnya yang sudah di berikan melalui UU nomor 21 telah di amputasi atau bahkan di tiadakan contoh seperti pembentukan partai lokal sama sekali tidak di akomodir,

“Kemudian terkiat pemekaran (DOB) di pasal 76 itu atas rekomendasi Gubernur, DPRP dan MRP tetapi kemudian hari ini atau perubahan ini di tiadakan. Jadi, tanpa rekomendari Gubernur, DPRP dan MRP kapan saja Jakarta mau buat pemekaran provinsi atau kabupaten/kota tetap mereka (Jakarta) akan mekarkan,” ujarnya.

Lanjutnya, Wakil Presiden RI juga akan berkantor di Papua untuk melaksanakan tugas-tugas Otonomi Khusus (Otsus) dari hasil perubahan di 19 pasal UU Otsus, sehingga MRP merasa agak lucu karena Presiden dan Wakil Presiden di pilih oleh 200 juta penduduk dari Aceh sampai Papua, kemudian wakil Presiden hanya datang urus 2.4 juta penduduk di Papua.

“Ini lucu dan lelucon yang sedang dimainkan oleh negara dengan kebijakan yang tidak etis di lakukan oleh pemerintahan saat ini, dan negara harus ketahui bahwa Papua memiliki kekhususan dalam UU Otsus Papua seperti mereka yang di Aceh, dan Jogja,” tegasnya.

MRP Melihat, wakil Presiden yang akan datang dan berkontor di Papua juga akan memakai atau mengunakan dana Otsus dan di termasuk bagaimana pemerintah pusat mengambil alih kewenangan seluruhnya, yang tadinya diberikan sepenuhnya ke daerah di ambil kembali oleh wakil Presiden.

“Dengan Potensi merugikan orang asli Papua ini, MRP menilai perlu pentingnya dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi,” tutur Murib. (*)

 

Humas MRP

Read More

Categories Berita

MRP Minta DPR RI Hentikan Pembahasan Perubahan RUU Otsus

Konferensi Pers Setelah Melakukan Pendaftaran ke MK – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua, meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk segera menghentikan proses pembahasan perubahan kedua Undang-undang Otsus.

Hal tersebut ditegaskan Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua usai mengelar Rapat Panmus MRP di hotel Horison Kotaraja, Jumat (9/7/2021), lalu.

“Terkait perubahan kedua UU Otsus, MRP telah mendaftar di Mahkamah Konstitusi untuk memastikan pasal 77 yang mana menghendaki untuk usul perusahaan itu dilakukan oleh rakyat melalui MRP dan DPRP,” kata Murib.

Namun nyatanya, kata Murib, proses sidang di MK bila memutuskan dan berpihak kepada kehendak Jakarta, maka rakyatlah yang akan menilai keadilan di negara hukum ini.

“MRP mendapat informasi bahwa proses di Jakarta (DPR RI) akan menetapkan perusahaan kedua UU Otsus pada tanggal 15 Juli 2021 mendatang, sedangkan surat dari MK untuk lakukan tahanan proses sidang pada tanggal 21 Juli 2021, sehingga bisa dilihat penetapan di DPR RI lebih dahulu dari pada proses hukum di MK,” kata Murib.

Dengan proses penetapan ini, kata Murib, MRP mempertanyakan konsekuensi hukumnya seperti apa kedepannya. Rakyat menghendaki agar proses politik di DPR RI harus dihentikan dulu karena MRP meminta kewenangan sesuai pasal 77.

“MRP ingin pastikan di MK terkait pasal 77, ini kewenangan DPR RI atau rakyat Papua? Sebelum ada putusan DPR RI segera hentikan pembahasan di Jakarta,” tegas Murib.

Murib menegaskan bila dalam proses putusan di MK gugatan MRP di anggap terlambat, MRP akan menindaklanjuti dengan proses-proses hukum lain.

Ditempat terpisah, dengan pertimbangan pandemi COVID-19, Mahkamah Konstitusi menunda sidang pendahuluan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diajukan Majelis Rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua Barat terkait revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah.

Di pihak lain, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI masih membahas revisi itu, dan belum mengumumkan penundaan pembahasan karena pandemi COVID-19.

Tim Hukum dan Advokasi Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan MK menunda sidang itu sampai batas waktu yang belum ditentukan. “Penundaan sidang MK [seperti itu] mencederai rasa keadilan orang asli Papua,” kata Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB dalam keterangan pers secara daring pada Minggu (4/7/2021).

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Gugat di MK, Kuasa Hukum MRP-MRPB Minta Negara Beri Keadilan Bagi Rakyat Papua

Pimpinan MRP dan MRPB saat menyerahkan sengketa UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta hari ini – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Sejarah mencatat, Papua bergabung ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, dengan nama Irian Barat. Namun sejak awal, rakyat Papua merasa ada ketidakadilan. Hal itu ternyata masih dirasakan hingga kini, setelah 58 tahun bergabung dengan Ibu Pertiwi.

Ketidakadilan yang kini begitu nyata dirasakan terkait revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Padahal, tadinya pemberian Otonomi Khusus dipandang sebagai solusi bijak dan konsensus politik antara Jakarta dengan Papua.

Merasa kecewa karena tidak diikutsertakan pada pembahasan revisi UU Otsus Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menggugat UU No. 21/2001. Mereka melakukan uji sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 77 UU 21/2001 yang menyatakan, “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Sebab, faktanya pemerintah pusat telah mengambil alih kewenangan tersebut. MRP dan MRPB memberikan kuasa kepada Tim Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rumah Bersama Advokat (RBA) untuk melayangkan gugatan tersebut.

“Kami mempertanyakan, siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan, rakyat Papua atau pemerintah pusat?” tanya Timotius Murib Ketua MRP dalam acara Rapat Konsultasi sekaligus penandatanganan surat kuasa hukum untuk sengketa kewenangan di MK, di Jakarta, Rabu (16/6/2021)

Maxsi Nelson Ahoren Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) pada kesempatan itu menegaskan, pihaknya tidak melawan negara, hanya saja mempertegas siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan UU Otsus Papua. Selain itu, dipertanyakan pula soal sikap pemerintah pusat yang tidak melibatkan MRP dan MRPB dalam membahas kelanjutan Otsus yang habis masa berlakunya di tahun ini.

Menurut Murib, selama ini rakyat Papua bertanya-tanya, kenapa selama 20 tahun implementasi UU 21/2001 ini, dari 24 kekhususan yang diberikan, hanya 4 yang dilaksanakan. “Jelas ini tidak fair bagi rakyat Papua. Bahkan ada yang menduga itu hanya akal-akalan pemerintah pusat saja,” imbuh Murib.

Sementara itu, Dr. Roy Rening Anggota Tim Hukum dan Advokat MRP dan MRPB menegaskan, pihaknya ingin mempertegas soal kewenangan terkait usulan perubahan. “Kalau memang itu hak rakyat Papua, ya berikan saja. Jangan diambil alih oleh pemerintah pusat. Itu namanya sewenang-wenang. Jangan-jangan ini upaya pemerintah pusat untuk menarik kewenangan yang harusnya menjadi milik rakyat Papua,” ujarnya.

Karenanya, kata Roy, pihaknya akan fight untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat Papua. “Orang Papua juga warga Indonesia. Mereka memiliki hak yang sama untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya sendiri. Jangan hak itu diambil oleh pusat,” tegasnya.

Dirinya berharap MK bisa arif dan bijaksana dalam melihat persoalan ini. Paling tidak, ujar Roy, MK bisa menunda revisi ini dan meminta agar UU ini didiskusikan dengan rakyat Papua sesuai amanat UU No. 21/2001.

 

 

Read More
Categories Berita

Temui Mendagri, MRP dan MRPB Tegaskan UU Otsus Harus Diubah Menyeluruh

Pimpinan MRP dan MRPB saat Menemui Mendagri dan memberikan buku hasil RDP di Provinsi Papua – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, berkenan menerima pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Papua Barat, Rabu, (16/6) di Jakarta. Atas undangan tersebut, 6 orang perwakilan MRP Papua dan Papua Barat dipimpin langsung masing-masing Ketua MRP dan MRPB, Timotius Murib dan Max Ohuren.

Pertemuan yang berlangsung dalam suasana akrab dan kekeluargaan itu dimulai tepat pukul 11.50 menit WIB.
“Sebagai lembaga Negara yang ada di daerah, kami rindu untuk sampaikan pokok-pokok pikiran kami, karena selama 20 tahun Otsus berlangsung, hanya 4 bidang yang sudah jalan.

Hari ini masyarakat Papua menuntut Undang-Undang nomor 21 untuk adanya perubahan yang menyeluruh,” ungkap Ketua MRP Papua, Timotius Murib mengawali pertemuan itu.

Ada 24 kewenangan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun kata Murib hanya empat kewenangan saja yang jalan selama kurun waktu 20 tahun Otsus ada di Tanah Papua. Itu sebabnya evaluasi Otsus haruslah menyeluruh.

Ditambahkan Murib, di hadapan Mendagri yang didampingi Dirjend Otonomi Daerah (Otda) itu, di mana harapan Presiden Joko Widodo dalam arahan pada rapat terbatas Kabinet tanggal 11 Maret 2020 di Kantor Presiden, di mana Murib mencoba mengulang lagi arahan itu.

“Arahan Presiden yakni evaluasi secara menyeluruh tata kelola dan efektivitas pelaksanaan otonomi khusus Papua. Yang kedua harus ada sebuah cara baru, kerja baru. Kita harus bangun sebuah system dan cara kerja baru untuk sebuah lompatan. Perlu ada perubahan yang signifikan yang terjadi. Yang berikutnya adalah penekanan presiden bahwa pelaksanaan Otsus harus dikonsultasikan dengan seluruh elemen masyarakat di Papua dan Papua Barat,” ungkap Murib.

Pada kesempatan itu, Murib mengingatkan kembali Mendagri bahwa di Papua dan Papua Barat telah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP), namun ketika itu terbentur dengan surat Bupati dan Walikota yang melarang pelaksanaan RDP di daerahnya.

“Ini kami rasa sebagai suatu pembukaman bagi lembaga MRP. Padahal kami sebenarnya tidak punya niat untuk melawan Negara,” ungkap Timotius Murib.

Dia menegaskan baik MRP dan MRPB belum pernah memberikan pokok-pokok pikiran terhadap perubahan kedua undang-undang Otsus kepada Pansus DPR RI Perubahan kedua Undang-Undang Otsus Papua.

Kesempatan yang sama Ketua MRP Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren, SE menegaskan pentingnya masa jabatan MRP harus disesuaikan dengan masa jabatan lembaga DPR dan kepala daerah di seluruh Indonesia. Hal ini karena pertimbangan MRP adalah lembaga Negara yang secara khusus karena amanat Undang-Undang Otsus, dengan tugas dan kewenangan yang sama dengan DPR.

Menginteraksi pertemuan itu, Mendagri Tito Karnavian menegaskan usulan-usulan yang disampaikan akan di tampung untuk diteruskan ke Pansus DPR RI perubahan kedua Undang-Undang Otsus.

“Tapi yang disampaikan ini menjadi masukan untuk diteruskan ke DPR RI,” kata mantan Kapolda Papua itu di hadapan anggota MRP dan MRP Papua Barat.

Tito Karnavian mengakui pihaknya mendapat kunjungan dan masukan dari Asosiasi Bupati/Walikota se Tanah Papua termasuk tokoh masyarakat untuk menkonsultasi pemekaran ke Kemendagri. Menurut Tito Karnavian secara pribadi dirinya inginkan Pilkada langsung ke DPR, akan tetapi usulan terhadap masalah pilkada langsung dan tidak langsung itu, kini sudah ada di Pansus DPR RI.

Dikatakan Tito Karnavian bahwa Pansus DPR RI perubahan kedua Undang-Undang Otsus menyampaikan keinginan sejumlah daerah-daerah yang menggunakan system noken dikembalikan ke DPR dalam hal ini Kabupaten dan Kota di Papua.

Sebelumnya Ketua Tim Kerja Perubahan kedua Undang-Undang Otsus MRP, Beny Sweny mengatakan tujuan MRP ke Jakarta dalam rangka menegakan kewenangan MRP sebagaimana perintah pasal 77 yang menyebutkan bahwa usul perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR dan Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.

“Pada kenyataannya tanpa melalui mekanisme beberapa kepala daerah langsung ke DPR RI yang akhirnya fokus pada dua pasal yakni pasal 34 dan pasal 76. Oleh karena itu kami inginkan kewenangan pada pasal 77 apakah masih berlaku,” tanya Beny Sweny, sembari menegaskan pasal 76 belum ada urgensinya. Menurut mantan Ketua KPU Papua itu, bahwa Undang-Undang Otsus harus dirubah menyeluruh, bukan parsial.

Sebagaimana anggota MRP Papua dipimpin langsung Timotius Murib, Yoel Mulait (Waket I), anggota masing-masing, Beny Sweny, Roberth Wanggai. MRP Papua Barat Maxsi Nelson Ahoren (Ketua) dan anggota Christiana Ayello (Ketua Pokja Perempuan).

(Notulen: Roberth Wanggai)

 

Read More