Categories Berita

DAP: Sikap MRP dan MRPB membingungkan, tapi harus diapresiasi

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Jayapura, MRP – Sejumlah empat keputusan dan satu rekomendasi Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB dinilai memakai pendekatan yang berbeda-beda, sehingga posisi kedua lembaga kabur dan membingungkan. Hal itu dinyatakan Ketua Dewan Adat Papua atau DAP versi Konferensi Luar Biasa di Lapago, Dominikus Surabut, menanggapi hasil Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Kabupaten Jayapura pada pekan lalu.

Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB itu merekomendasikan agar Pemerintah berdialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menyelesaikan konflik Papua. Rapat itu juga menghasilkan empat keputusan lainnya, termasuk permintaan agar draf revisi Undang-undang Otsus Papua ditarik dari pembahasan.

Selain itu, Rapat Pleno Luar Biasa memutuskan orang asli Papua harus mendapatkan perlindungan di depan hukum serta jaminan pemenuhan hak asasi manusia yang setara dengan warga negara lainnya. Rapat itu juga memutuskan harus adanya jaminan keamanan bagi para pelajar dan mahasiswa Papua yang bersekolah di luar Papua. MRP dan MRPB juga sepakat memperluas kebijakan afirmasi dalam perekrutan politik di Papua dengan menyatakan orang asli Papua harus diprioritaskan dalam calon bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota di Tanah Papua.

Dominikus Surabut menyatakan kesulitan memahami hasil Rapat Pleno Luar Biasa itu. Ia menilai setiap keputusan memakai pendekatan yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan rekomendasi dan keputusan yang tidak satu arah.

“MRP mau mengunakan pendekatan penegakan hak asasi manusia, pendekatan politik, atau pendekatan pembangunan? Harus jelas,” kata Surabut kepada Jubi, Selasa (3/3/2020).

Surabut menyatakan jika MRP dan MRPB ingin memakai pendekatan pembangunan, maka seharusnya MRP dan MRPB fokus membicarakan pemenuhan hak orang asli Papua dalam proses pembangunan. Jika MRP dan MRPB ingin memakai pendekatan politik, maka sikap politik MRP dan MRPB pun harus jelas, dan tidak bisa mengabaikan eskalasi politik Papua.

Surabut mencontohkan, DAP tidak pernah membicarakan masalah pembangunan atau hak orang asli Papua dalam proses pembangunan, karena DAP berpendapat Otonomi Khusus (Otsus) Papua telah gagal menjadi solusi bagi Papua. Oleh karena itu, DAP konsisten ingin mengembalikan Otsus Papua kepada Pemerintah RI.

Sebagai konsekuensinya, DAP tidak pernah lagi membicarakan Otsus Papua, ataupun membahas revisi UU Otsus Papua. “Kami sudah bilang [Otsus Papua] gagal. Jadi [kami] tidak bicara lagi Otonomi Khusus Papua apapun bentuknya,” kata Surabut.

Meskipun demikian, Surabut mengapresiasi rekomendasi Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB yang meminta Pemerintah RI berdialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menyelesaikan persoalan Papua. “Kami apresiasi sikap yang mengakui perjuangan ULMWP. Akan tetapi, keputusan itu jangan gantung, begitu saja,” ujar Surabut.

Surabut meminta MRP dan MRPB membuka forum rakyat yang memberikan legitimasi dan mendukunng keputusan-keputusan penting seperti hasil Rapat Pleno Luar Biasa itu. “Jangan sampai MRP dianggap ompong. Kalau mau dapat legitimasi, kembali ke rakyat, supaya [nanti rakyat dan MRP] dorong sama-sama,” katanya.

Sebelumnya Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB merekomendasikan Pemerintah RI untuk berdialog United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP yang dipimpin Benny Wenda. “MRP dan MRPB meminta Pemerintah RI untuk segera berdialog dengan ULMWP,” kata Murib usai penutupan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, pada Jumat (28/2/2020).

Menurutnya, MRP dan MRPB memandang penting bagi Pemerintah RI dan ULMWP untuk duduk bersama membangun dialog yang bermartabat. Dialog itu harus dimediasi pihak ketiga yang netral dan disepakati oleh kedua belah pihak. Timotius juga merinci empat keputusan Rapat Pleno Luar Biasa, termasuk terkait jaminan persamaan di depan hukum dan pemenuhan hak asasi manusia, penarikan draf revisi UU Otsus Papua, ataupun prioritas bagi orang asli Papua untuk dicalonkan sebagai bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota.

Ketua MRPB, Maxsi Ahoren mengatakan rekomendasi agar Pemerintah RI berdialog dengan ULMWP itu muncul dari pergumulan rakyat Papua yang melihat berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang tidak terselesaikan. “Masalah Papua tidak pernah selesai. Itu masyarakat Papua yang bicara. Dialog harus dilakukan, harus bicara mencari solusi bersama,” kata Ahoren saat dihubungi jurnalis Jubi, Senin (2/3/2020) malam.

Ahoren menyatakan rekomendasi dialog MRP dan MRPB itu tidak didasari kepentingan individu dan kelompok tertentu. “[Dialog itu] kepentingan siapa? Itu kepentingan masyarakat, MRP [dan MRPB] bicara, karena semua orang Papua bicara pelurusan sejarah. [Kami turun] ke kampung, reses, semua bicara itu,” kata Ahoren.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP dan MPRB rekomendasikan Pemerintah RI berdialog dengan ULMWP

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Jayapura, MRP – Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB merekomendasikan Pemerintah Republik Indonesia untuk berdialog United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP yang dipimpin Benny Wenda. MRP dan MRPB juga merekomendasikan agar dialog itu dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, demi menyelesaikan konflik Papua secara menyeluruh.

Ketua MRPB, Maxsi Ahoren mengatakan rekomendasi agar Pemerintah RI berdialog dengan ULMWP itu muncul dari pergumulan rakyat Papua yang melihat berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang tidak terselesaikan. “Masalah Papua tidak pernah selesai. Itu masyarakat Papua yang bicara. Dialog harus dilakukan, harus bicara mencari solusi bersama,” kata Ahoren saat dihubungi jurnalis Jubi, Senin (2/3/2020) malam.

Ahoren menyatakan rekomendasi dialog MRP dan MRPB itu tidak didasari kepentingan individu dan kelompok tertentu. Menurutnya, aspirasi itu merupakan masyarakat. Dialog merupakan kepentingan semua pihak, terutama kepentingan rakyat Papua.

Ia meminta ULMWP juga membuka diri untuk berdialog dengan Pemerintah RI. “[Dialog itu] kepentingan siapa? Itu kepentingan masyarakat, MRP [dan MPRB] bicara, karena semua orang Papua bicara pelurusan sejarah. [Kami turun] ke kampung, reses, semua bicara itu,” kata Ahoren.

Sebelumnya, Ketua MRP Timotius Murib menyatakan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB sepakat untuk bersama-sama merekomendasikan agar Pemerintah RI membuka dialog dengan ULWMP. “MRP dan MRPB meminta Pemerintah RI untuk segera berdialog dengan ULMWP,” kata Murib usai penutupan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, pada Jumat (28/2/2020).

Menurutnya, MRP dan MRPB memandang penting bagi Pemerintah RI dan ULMWP untuk duduk bersama membangun dialog yang bermartabat. Dialog itu harus dimediasi pihak ketiga yang netral dan disepakati oleh kedua belah pihak.

“Kami rekomendasi berdialog demi penyelesaian masalah HAM secara damai dan bermartabat yang dimediasi oleh pihak ketiga,” ujar Murib. Menurutnya, pelanggaran HAM di Papua telah menumpuk dan menjadi luka busuk dalam tubuh pemerintah Republik Indonesia.

Murib menegaskan MRP dan MRPB sebagai lembaga kultural orang asli Papua tidak bermaksud apapun selain melaksanakan kewenangannya untuk melindungi hak hidup dan hak milik orang asli Papua. Kedua lembaga meminta Pemerintah RI dan ULMWP duduk berdialog, agar orang asli Papua tidak terus menerus dikorbankan dengan alasan apapun.

Kata dia, pihak berharap kedua belah pihak juga duduk bersama, bicara hak milik orang Papua atas tanah dan kandungan mineral yang terus diambil dan dicaplok atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Tetapi rakyat Papua tidak pernah rasakan kesejahteraan itu.

Nicolaus Degey, anggota Kelompok Kerja Agama MRP, menyatakan rekomendasi MRP dan MRPB itu sangat tepat. Ia menyatakan masalah pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak akan terselesaikan jika kedua belah pihak tidak duduk bersama dan mencari solusi.

Degey menegaskan baik Pemerintah RI maupun ULMWP tidak bisa mencari solusi sendiri-sendiri atas persoalan Papua. Keduanya harus duduk bersama dan melakukan dialog dimediasi pihak yang netral serta tidak memihak kepada  salah satu pihak yang berkonflik.

Ia menyatakan pihak ketiga yang telah memiliki independensi yang telah teruji yang bisa memediasi dialog penyelesaikan konflik Papua itu, kendati Degey tidak merinci siapakah pihak ketiga yang dianggap layak menjadi mediator dialog.

“Itu baru masalah bisa selesai. Kalau tidak ada pihak ke tiga, masalah tidak akan selesai dengan alasan apapun. Karena kedua bela pihak bermusuhan, ada yang berperan sebagai pelaku dan korban,” kata Degey.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More