Categories Berita

Jelang PON, Pemkot Jayapura diminta tata dan siapkan para pelaku usaha asli Papua

Rapat Dengar Pendapat Pokja Perempuan MRP dengan PB PON XX Papua 2020, tokoh perempuan, dan pemerintah daerah kabupaten/kota di Papua. – Jubi/Humas MRP

Jayapura, MRP – Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP meminta Pemerintah Kota Jayapura menata para pelaku usaha asli Papua agar siap menjamu para tamu dan wisatawan yang akan menghadiri penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional atau PON XX Papua 2020. Pemerintah Kota Jayapura diminta menyiapkan pondok untuk tempat berjualan para pelaku usaha Papua di sejumlah lokasi, seperti di Pantai Hamadi ataupun Jembatan Youtefa.

Hal itu disampaikan Ketua Pokja Perempuan MRP, Nerlince Wamuar seusai Rapat Dengar Pendapat Pokja Perempuan MRP dengan Panitia Besar PON XX Papua 2020, tokoh perempuan, dan pemerintah daerah yang digelar di Jayapura, Sabtu (7/3/2020). “Apakah Pemerintah kota Jayapura sudah pikir bangun pondok masyarakat dengan model yang berbeda, [atau] dibangun dengan satu model? PON sudah dekat,” ujar Wamuar sebagaimana dikutip dari rekaman dokumentasi Humas MRP.

Pemerintah Kota Jayapura diminta mendorong pelaku usaha asli Papua untuk mengelola tempat usaha jualan makanan maupun pondok wisata, khususnya di kawasan pinggir Jalan Hamadi menuju Koya melewati Jembatan Youtefa. Wamuar menyatakan lokasi itu strategis, karena akan menjadi daerah tujuan wisata menarik selama penyelenggaraan PON.

Perajin cinderamata khas Papua asal Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, Idah Awoitouw mengatakan dirinya telah jauh-jauh mempersiapkan usahanya untuk menyambut PON XX Papua 2020. Ia telah memesan bahan mentah membuat topi dan cinderamata khas Papua sejak 2018.

“Karena bahan [baku produk saya] susah [didapatkan], saya sudah pesan jauh-jauh hari. Bikin topi dan pernak-pernik lain yang nantinya akan dijual saat PON,” ujar Awoitouw pekan lalu.

Belakangan, Awoitouw merasa khawatir Jayapura akan kelebihan pasokan cinderamata khas Papua, karena banyak instansi dan organisasi perangkat daerah di Papua yang memesan berbagai jenis cinderamata. “Banyak dinas yang pesan [kepada] setiap perajin, dan juga ke Mama-mama Papua yang biasa membuat noken. Apakah nanti semua mereka beli atau tidak?” tanya Awoitouw.Awoitouw mengingatkan, cinderamata sebagai barang kerajinan buatan tangan memiliki harga yang beragam, bergantung kualitas dan tingkat kesulitan pengerjaannya. “Karena harga noken dan cinderamata itu berbeda-beda. Mereka tidak boleh samakan harga semua, baru mau ambil,” katanya.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Adat

Pokja Perempuan MRP desak Pemkot Jayapura tegas tutup tempat penjualan Minol

Aksi tolak peredaran Miras di kabupaten Jayapura diikuti siswa sekolah – Jubi/Agus Pabika.

Jayapura, MRP – Jelang PON 2020 , kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua meminta pemerintah Kota Jayapura menghentikan segala macam aktivitas terkait distribusi dan jual beli minuman beralkohol,

Desakan itu disampaikan Ketua Pokja Perempuan MRP, Nerlince Wamuar, usai Rapat dengar pendapat Pokja Perempuan MRP dengan PB PON 2020 dengan tokoh perempuan pemerintah daerah kabupaten/kota se provinsi Papua pada (7/03/2020) di Tempat Pemancingan Ikan Permata Hijau Koya Timur Distrik Muara Tami, kota Jayapura, Papua.

“(Penjual) Minol tutup sudah. Atau kami minta pengendaliannya seperti apa? Karena korban sudah banyak. Lihat jembatan merah, itu tempat orang minum (Minol) ,”ungkap Nerlince Wamuar dalam rekaman videonya didampingi sesama anggota MRP Pipina Wonda, Yeki Narep, dan Marpice Kogoya, yang diterima redaksi Jubi, Sabtu (7/03/2020).

Yoel Mulai ketua Pokja Agama MRP mengatakan kerugian bukan material tetapi korban nyawa manusia. Jumlahnya terus bertambah dalam dua tahun terakhir. Data kepolisian kota Jayapura yang diperoleh MRP menunjukkan pada 2018-hingga 2019 sebanyak 53 orang.

“Dari data kepolisian, orang korban meninggal akibat minuman beralkohol pada 2018 ada 21 orang, 2019 bukan menurun tetapi naik 32 orang, sebagian besar itu orang asli Papua,”ujarnya.

Karena itu, semua orang, masyarakat tokoh gereja, agama, adat dan perempuan menyampaikan solusinya menghentikan aktivitas menjual minuman beralkohol di kota Jayapura.

“tutup penjualan minuman beralkohol itu aspirasi orang banyak dan jauh sebelum sampai pada aspirasi orang banyak itu perlu tindakan pengendalian,”ujarnya. Karena, ada kesan kota Jayapura tidak terkendali dengan aktivitas menjual dan mengkonsumsi minuman beralkohol.

“Hari ini dari Waena sampai dok 9 kelihatannya kota ini tempat minum, orang mabuk semua, satu kondisi yang tidak baik”ungkap dia.

Kata dia, perlu lokalisir sehingga mudah dikontrol. Perlu pengawasan toko-toko penjual minuman , pembatasan waktu penjualan, dan lokalisir Kawasan pemjulan.

“Apa lagi ini jelang PON. pemandangan yang ada terkesan orang minum dan jual di mana-mana ini harus dikendalikan dari sekarang. Kalau tidak, bagaimana kemudian orang datang ikut PON, mereka merasa tidak nyaman,” (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Pembiaran kecanduan minuman beralkohol bisa mengarah kepada pelanggaran HAM

Aksi Tolak Miras yang dilakukan Pemuda Tabi di kabupaten Jayapura bersama Solidaritas Anti Miras dan Narkoba (SAMN) kota Jayapura di kantor Bupati – Foto/Agus Pabika

Jayapura, MRP – Anggota Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau Pokja Agama MRP, Pdt Nikolaus Degey menyatakan pembiaran Negara dalam persoalan sosial yang ditimbulkan kecanduan minuman beralkohol di Papua bisa mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia. Ia menilai rakyat Papua seperti dibiarkan mengonsumsi minuman beralkohol tanpa tahu untung-rugi dan dampaknya.

Hal itu dinyatakan Degey di Jayapura pada Rabu (4/3/2020). Menurutnya, polemik berkepanjangan tentang perlunya penghentian perdagangan minuman beralkohol di Papua telah dipersepsi negatif oleh publik di Papua. “Rakyat Papua mulai bicara, [menganggap] peredaran minuman beralkohol, ganja, dan narkotika adalah satu proses genosida terhadap orang Papua,” kata Degey.

Menurutnya, persepsi itu berkembang karena rakyat menilai berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Degey menyayangkan minuman beralkohol diperdagangkan di Papua tanpa ada sosialisasi tentang dampak baik-buruk mengonsumsinya. Akibatnya, perdagangan minuman beralkohol di Papua menimbulkan kecanduan alkohol yang tidak terkendali, dan memicu berbagai macam persoalan sosial.

Degey membandingkan pola konsumsi minuman beralkohol di Papua dengan konsumsi minuman beralkohol di negara lain. Di negara lain, minuman beralkohol bukan dikonsumsi untuk mabuk-mabukan, melainkan dikonsumsi dalam takaran tertentu sesuai dengan kondisi tubuh, kondisi cuaca, dengan waktu yang tertentu.

“Kita dengar di negara lain orang konsumsi [minuman beralkohol] untuk daerah yang [musim] dinginnya [bersuhu] ekstrem. [Minuman beralkohol yang dikonsumsi dengan takaran tertentu juga] menetralisir lemak. Akan tetapi, di Papua [minuman beralkohol dikonsumsi tanpa takaran], tidak jelas tujuannya,” ujar Degey.

Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwila SH mengatakan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Papua terus bertambah. Sejak Januari hingga awal Februari 2020, telah terjadi sembilan kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual di Kabupaten Jayapura. “Yang langsung  lapor ke kami pada bulan Januari ada tiga kasus. Bayangkan, satu bulan tiga kasus,”ungkapnya.

Akan tetapi, Nur menyatakan minuman beralkohol bukan pemicu utama bertambahnya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. “Minuman beralkohol itu bukan fakto pemicu. Akan tetapi, [minuman beralkohol menjadi] faktor pendukung emosi yang sudah ada dalam diri seseorang,” kata Nur pada Kamis (5/3/2020).

Nur menyatakan orang yang memiliki kecenderungan melakukan kekerasan mengonsumsi minuman beralkohol, pengaruh alkohol yang menurunkan tingkat kesadarannya akan menambah peluang orang tersebut melakukan kekerasan. Kondisi mabuk juga bisa membuat orang kehilangan rasa takut atau rasa bersalah untuk melakukan kekerasan.

Kordinator Manager  Program AJAR (Asia Justice and Rights)  Papua, Lena Daby mengatakan tren kekerasan terhadap perempuan yang diakibatkan suami mabuk minuman beralkohol terus meningkat. “Jumlah kekerasan meningkat dan perempuan menanggung beban ganda. [Selain menjadi korban kekerasan, perempuan akan menanggung] beban menghidupi anak pada saat suami mengalami ketergantungan alkohol,” kata Lena Daby pada Kamis.

Lena Daby menyatakan meluasnya kecanduan alkohol justru terjadi ketika Dana Otonomi Khusus Papua bersama Dana Desa dan Dana Respek menambah perputaran uang di Papua. “Suami-suami bawa uang, [yang lalai terjebak] urus alkohol,” keluh Lena Daby.

Hentikan perdagangannya

Degey menegaskan keterbatasan pengetahuan masyarakat memahami dampak minuman beralkohol membuat minuman beralkohol tidak layak diperdagangkan di Papua. Degey mengkhawatirkan semakin meluasnya kecanduan alkohol di Papua.

Hal itu ditandai dengan naiknya volume penjualan minuman beralkohol, sebaran perdagangan minuman beralkohol yang semakin luas, dan semakin banyak anak muda yang mengonsumsi minuman beralkohol. Persoalan itu menjadi kompleks, karena peredaran narkotika yang semakin meluas di Papua.

“Generasi masa depan [seperti] dibatasi [untuk mampu] berfikir sehat. Tubuh yang nomal dirusak dengan minuman beralkohol dan zat adiktif seperti narkoba dan ganja,” kata Degey.

Ia menyesalkan dalil kepentingan Pendapatan Asli Daerah yang selalu dipakai untuk mempertahankan perdagangan minuman beralkohol di Papua. Degey menegaskan, telah banyak korban jiwa terenggut karena masyarakat mengonsumsi minuman beralkohol tanpa memiliki pengetahuan tentang dampak konsumsi minuman beralkohol.

Ia berharap pemerintah bisa melihat bahwa perdagangan minuman beralkohol telah menimbulkan persoalan sosial yang membahayakan. Degey mengingatkan Negara harus berusaha memberikan jaminan bahwa peredaran minuman beralkohol bukan upaya membiarkan kecanduan alkohol meluas di Papua. Negara harus mewujudkan itu dengan upaya pegawasan hingga penghentian peredaran minuman beralkohol. Pendidikan tentang bahaya alkohol juga harus diajarkan kepada anak-anak usia dini.

“Khusus Papua, harus menjadi kurikulum. Kalau tidak, orang pasti terus menuding Negara melakukan kejahatan kemanusiaan melalui minuman beralkohol. Bila perlu, tutup perdagangan minuman beralkohol di Papua. Itu kunci selamatkan generasi muda Papua,” kata Degey.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More