Categories Berita

Wacana Penunjukan Gubernur Oleh Pusat Harus Memperhatikan Daerah Kekhususan

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua menilai pernyataan Bambang Soesatyo ketua MPR RI terkait wacana penunjukan Gubernur dan wakil Gubernur oleh Pemerintah Pusat akan mencederai semangat Otonomi Khusus (Otsus) di wilayah kekhususan di Indonesia.

Hal tersebut diutarakan Yoel Luiz Mulait wakil ketua I Majelis Rakyat Papua menangapi pernyataan ketua MPR RI Bambang Soesatyo di media massa, beberapa hari terakhir ini. Senin, (6/2/2023).

Mulait menilai wacana MPR RI, bahwa Gubernur/ wakil Gubernur ditunjuk oleh Pemerintah Pusat telah menciderai nilai demokrasi di Indonesia sesuai amanat UUD 1945 pasal 18 ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah daerah provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

“Bila wacana ini di berlakukan di 38 Provinsi di Indonesia, harus dikecualikan daerah kekhususan diantaranya Aceh, Jog Jakarta, DKI Jakarta dan Papua, sebagai daerah otonomi khusus,” bebernya.

MRP menegaskan untuk daerah dengan Otonomi Khusus (Otsus) di enam Provinsi di Papua sudah diatur melalui UU nomor 2 tahun 2021, perubahan kedua dari UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua sehingga harus diberikan kewenangan dan keistimewaan kepada Papua.

“Dari 38 Provinsi di Indonesia, Pemerintah Pusat harus pilah dengan baik, terutama 9 Provinsi dengan daerah kekhususan tidak boleh ada penunjukan langsung, jika tidak pilah dan diberlakukan sama maka Pemerintah Pusat tidak lagi konsisten dalam melaksanakan prinsip Otonomi Daerah, apalagi Otonomi Khusus, karena semua kebijakan diambil alih Pemerintah Pusat, artinya semangat Otonomi Khusus ibarat mati suri,” tegas Yoel Mulait.

Menurut Yoel Mulait, Majelis Rakyat Papua sebelumnya, tahun 2019 telah mendorong agar Gubernur/Wakil Gubernur dipilih oleh DPRP setelah pemberian pertimbangan dan persetujuan oleh MRP, terkait keaslian Orang Asli Papua dilanjukan dengan seleksi administrasi dan pendaftaran tetap melalui KPU, tapi dipilih oleh anggota DPRP sebagai refresentasi rakyat, tentunya ini sesuai semangat Otonomi khusus di Tanah Papua namun tidak ditanggapi serius oleh Pemerintah Pusat.

“Pemerintah Pusat harus membedahkan daerah khusus yang telah diatur dengan UU kekhususanharus diatur juga secara khusus termasuk Pemilihan Gubernur.

“Karena ada proses pemberian pertimbangan dan persetujuan oleh lembaga MRP, tentang keaslian Orang Asli Papua, setelah menerima berkas calon melalui DPRP, jika ditunjuk langsung oleh Pemerintah Pusat,  artinya semangat Otonomi khusus tidak bermakna lagi,” tegas Mulait.(*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Dampak DOB, Banyak Mahasiswa OAP Terancam Putus Kuliah

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) menerima pengaduan dari orang tua mahasiswa/I yang kuliah dibiayai oleh Pemerintah Provinsi Papua terancam putus dampak dari pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

Hal tersebut disampaikan, Yoel Luiz Mulait Wakil ketua I MRP menyikapi pengaduan yang diterima lembaga kultural orang asli Papua. Senin, (30/1/2023).

Kata Mulait, awal tahun MRP telah menerima banyak pengaduan dari orang tua mahasiswa/i yang kuliah di dalam negeri dan luar negeri dibiayai oleh Pemerintah Provinsi Papua.

“Dampak dari DOB, pembiayaan kuliah yang selama ini dibiayai oleh Pemprov Papua tidak mampu lagi untuk tanggulangi semua mahasiswa Papua karena dana terbatas tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,” kata Mulait.

MRP melihat dampak dari DOB ini tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat namun juga mahasiswa dalam studi mereka, sehingga Pemerintah Daerah Otonomi Baru untuk secepatnya lakukan inventarisir mahasiswanya sesuai asal daerah/kabupaten masing-masing.

“Dengan demikian beban biaya kuliah dapat di tanggulangi oleh kabupaten/kota masing-masing sesuai dengan kucuran dana pendidikan di masing-masing Daerah Otonomi Baru di tanah Papua oleh pemerintah pusat,” kata Mulait.

Mulait menambahkan, data yang ada di BPSDM Provinsi Papua, jumlah cukup banyak anak-anak Papua yang kuliah di dalam dan luar negeri, sehingga masing-masing Provinsi DOB terutama Provinsi Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Selatan agar segera lakukan pendataan mahasiswa untuk biayanya ditanggung oleh Pemda masing-masing sesuai asal daerah.

“Jika tidak, banyak mahasiswa yang bakal putus kuliah,” tegas Mulait.

MRP juga meminta pemerintah secara berjenjang harus bertanggungjawab atas masa depan anak-anak Papua, jangan karena DOB membuat banyak mahasiswa putus kuliah.

“Mereka adalah aset generasi emas Papua yang harus dipastikan masa depan mereka melalui Pendidikan, hari ini mereka terancam putus kuliah, ini harus ada solusi cepat, oleh Pemerintah Pusat juga Pemerintah Daerah, khusus nya DOB baru,” tegas Mulait. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Bertemu Kedubes Australia, MRP Sampaikan Situasi Papua Tidak Baik-Baik Saja

JAYAPURA, MRP – Pejabat Kedutaan Besar (Kedubes) Australia melaksanakan kunjungan kerja ke Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) guna ingin mendengar langsung kemajuan pembangunan di Papua di era Otonomi khusus (Otsus) Papua.

Kunjungan rombongan Kedubes Australia disambut oleh Wakil ketua I Majelis Rakyat Papua Yoel Luiz Mulait, pimpinan Pokja dan anggota MRP di salah satu hotel di Jayapura, Selasa (17/1/2023) siang.

Pertemuan yang berlangsung selama 2 jam tersebut, membahas terkait situasi Papua, efektivitas Otsus, serta membahas kerja sama dalam pendampingan di bidang pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan terutama di Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

Yoel Luiz Mulait, Wakil ketua I MRP dalam pertemuan tersebut menyampaikan kepada Kedubes Australia bahwa situasi di Papua tidak baik-baik saja, dimana banyak terjadi kekerasan, pelanggaran HAM dan pembungkaman ruang demokrasi masih terjadi dan dialami langsung oleh orang asli Papua.

“Perubahan revisi UU Otsus Papua nomor 21 tahun 2001 tanpa keterlibatan rakyat Papua, MRP dan DPR Papua membuat rakyat Papua marah dan kecewa sama pemerintah pusat hingga saat ini, tidak ada jaminan dengan kehadiran 3 DOB akan mensejahterakan rakyat Papua,” tegas Mulait.

Lanjutnya, kehadiran 3 DOB hanya akan mendatangkan banyak aparat militer di tanah Papua, selain itu banyak warga non Papua yang akan masuk ke Papua untuk kuasai semua instansi pemerintah di 3 DOB.

“Masyarakat Papua masih trauma dengan kehadiran aparat, adanya DOB juga akan ada banyak pos militer yang berdiri di pelosok pedalaman dan ini akan membuat situasi di Papua tidak aman,” tegasnya.

Ciska Abugau, ketua Pokja Agama MRP yang hadir juga meminta pihak Kedubes Australia untuk melihat situasi Papua dimana banyak terjadi Pelanggaran HAM, kekerasan terhadap perempuan dan anak dan penangkapan aktivis tanpa prosedur hukum yang jelas oleh kepolisian republik Indonesia di Papua.

“Kami orang Papua sedang sakit, situasi di Papua dalam kota tidak sama dengan di pedalaman Intan Jaya, Nduga, Yahukimo dan daerah konflik lainnya, sehingga beliau dorang juga harus turun ke daerah pedalaman sana biar bisa lihat situasi Papua yang sebenarnya,” tegas Ciska.

Ia juga menegaskan dengan banyak program kerjasama yang dilakuan Indonesia dan Australia untuk orang asli Papua tidak akan berjalan baik (percuma), karena yang akan menikmati pejabat Papua di kota bukan masyarakat yang ada di pedalaman sana.

“Kami minta bantuan kemanusiaan dari Australia untuk melihat situasi Papua yang di alami orang asli Papua, sehingga kedamaian dan kesejahteraan itu tercipta di tengah masyarakat orang asli Papua,” harap Abugau.

Sementara itu, Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Steve Scott di Jayapura, Selasa (17/1/2023) saat melakukan pertemuan dengan pimpinan Lembaga dan anggota MRP mengatakan kunjungan ini bagian dari kerja sama bilateral antara Indonesia dan Australia di bidang Pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan serta ingin mendengar langsung efektivitas dari Otsus sendiri dari lembaga Kultural orang asli Papua.

“Kami ingin meningkatkan kerja sama yang terjalin selama ini di bidang Pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan ini dapat di fokuskan di Papua guna ada pemerataan dan pendampingan terhadap orang asli Papua,” katanya.

Kedubes Australia juga akan menindaklanjuti laporan keamanan yang di sampaikan MRP dalam kerja sama pertahanan dan akan mengingatkan militer Indonesia untuk junjung tinggi Hak Asasi Manusia di tanah Papua. (*)

Read More
Categories Berita

Gugatan Ditolak, MRP Masih Melihat UU Otsus Berpeluang Merugikan Rakyat Papua

JAYAPURA, MRP – Setelah menunggu satu tahun satu hari, Majelis Rakyat Papua (MRP) akhirnya mendengarkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara nomor 47/PUU/XIX/2021.

MK menolak permohonan gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasalnya, MK menilai permohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review.

Sidang yang dipimpin ketua MK Anwar Usman dilakukan secara terbuka dan MRP sendiri mengikuti proses sidang tersebut secara virtual di Hotel Horison Ultima, Rabu, (31/8/2022).

“Menolak permohonan pemohon selain dan selebihnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta.

MK berpendapat bahwa pemohon MRP tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya seperti isi gugatan baik yang bersifat faktual, spesifik, atau paling tidak ada hubungan sebab akibat.

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua menjelaskan hasil putusan menolak permohonan pemohon di MK, meski demikian MRP masih melihat UU Otsus berpeluang merugikan rakyat Papua.

“MRP menguji 8 pasal diantaranya pasal 6 ayat 2, Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat 3, Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua, dimana pasal-pasal ini berpotensi merugikan orang asli Papua,” kata Murib.

Murib menjelaskan dengan pembacaan putusan MK terkait judicial review, ada tiga keputusan diantaranya pertama semua pasal tidak dibacakan keputusan yang berpihak kepada versi MK maupun versi MRP.

“Kedua, menurut ketua MK bahwa di internal 9 hakim MK ada pro dan kontra dengan hasil putusan judicial review dan ketiga UU nomor 2 tahun 2021 sudah sah untuk daerah khusus seperti di Papua,” ujar Murib.

MRP melihat keputusan MK hari ini tidak terlalu memihak ke orang asli Papua dan juga tidak memihak kepada pembuat UU di Jakarta jadi kelihatannya masih tidak memberikan kepastian hukum terlihat dengan pro kontra di dalam internal 9 hakim Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

“Pada prinsipnya putusan ini sudah sah, sehingga dalam pelaksanaan sudah tidak ada lagi masalah pro dan kontra. Keputusan mana yang sudah mengikat, harus dilaksanakan oleh seluruh masyarakat orang asli Papua,” tuturnya. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories Berita

Kelompok Pro Kontra Pemekaran Papua Mencuat, Filep Apresiasi Langkah MRP

JAKARTA, MRP – Silang pendapat pemekaran Papua semakin menjadi. Terakhir, Majelis Rakyat Papua (MRP) menemui Presiden Jokowi membawa aspirasi untuk menunda diadakannya pemekaran.

MRP meminta Pemerintah menunggu adanya keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengajukan permohonan uji materi UU Nomor 2 Tahun 2021.

Sebagaimana diketahui, DPR RI telah mengesahkan rencana pembentukan 3 (tiga) provinsi di Papua yakni Pegunungan Tengah, Papua Tengah, dan Papua Selatan.

Aspirasi yang dibawa oleh MRP ini pun mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Mendagri menyebut bahwa kelompok yang sepakat pemekaran juga tak kalah sedikit.

Selain itu, Filep Wamafma, senator Papua Barat turut menanggapi. Menurutnya, pertemuan MRP dan Presiden Jokowi harus diapresiasi sebagai langkah positif.

“MRP datang ke hadapan Presiden dan menyampaikan aspirasi masyarakat tentang penolakan pemekaran. Sah-sah saja dan seharusnya diapresiasi secara positif bahwa aspirasi itu bisa sampai ke Presiden”, kata Filep melalui sambungan telpon.

Doktor luluhan Unhas inipun menanggapi adanya sentilan dari beberapa pihak yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan MRP bukan merupakan bagian dari tupoksinya.

“Salah satu tugas MRP sesuai amanat Pasal 20 UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus adalah memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak Orang Asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Jadi kalau ada OAP datang ke MRP dan menyampaikan aspirasi tentang penolakan pemekaran, lalu MRP menyampaikannya kepada Presiden, hal itu sudah selayaknya. Pasal 56 PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP juga mengatakan tugas menyampaikan aspirasi itu,” tegas akademisi STIH Manokwari tersebut.

Filep menambahkan, secara filosofis, kehadiran MRP hendaknya dibaca sebagai upaya perlindungan, penghormatan, keberpihakan, dan pemberdayaan OAP, termasuk masyarakat adat.

“Jangan lebih dulu menaruh prasangka terhadap aspirasi yang disampaikan MRP kepada Presiden. Saya pikir, pasti ada alasan-alasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan di balik aspirasi yang disampaikan MRP kepada Presiden, yaitu suatu upaya memproteksi OAP, menjaga supaya hak-hak OAP. Dengan kata lain, aspirasi MRP adalah juga aspirasi yang didengar dari OAP”, kata Filep menambahkan.

Dalam kaitan dengan itu, Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini juga berharap agar MRP dapat menjalin komunikasi strategis dengan lembaga-lembaga lainnya. Meski, pro kontra pemekaran tetap terjadi, menurutnya, disitulah peran MRP dalam menampung masukan masyarakat.

“Jadi, jika ada aspirasi yang mendukung, maka harus diterima fakta juga bahwa ada aspirasi yang menolak. Jangan langsung menuding ini dan itu. Kalau selalu menuding, saya malah khawatir yang suka menuding itu yang mungkin punya kepentingan,” tegas Pace Jas Merah, sapaan akrabnya.* (*)

Sumber: https://indonews.id/

Read More
Categories Berita

Timotius Murib: Penyampaian Aspirasi Penolakan DOB Berdasarkan Suara Mayoritas

Timotius Murib Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Menanggapi pernyataan bupati Kabupaten Jayapura yang menuding majelis rakyat Papua (MRP) tidak mengakomodir aspirasi dukungan pemekaran daerah otonomi baru (DOB), Ketua MRP Timotius Murib mengungkapkan bahwa pihaknya menyampaikan aspirasi penolakan pemekaran berdasarkan suara mayoritas masyarakat Papua dan bukan kepentingan segelintir elit politik di Papua.

Murib menjelaskan sebagai lembaga representasi kultur adat Papua MRP berharap kepada orang Papua yang berada di level birokrasi menengah dan akar rumput memahami bahwa undang-undang 21 tahun 2001 itu diberikan bukan hadiah tetapi merupakan perjuangan panjang dengan darah dan air mata masyarakat Papua

“Maka dengan berakhirnya otonomi khusus tahun 2001 di tahun 2021 orang Papua menunggu momentum Bagaimana mengevaluasi Otsus, tetapi yang terjadi Otsus di evaluasi sepihak oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan orang asli Papua secara utuh,” katanya kepada wartawan, di Jayapura, Selasa, (10/5/2022)

Maka kata Murib hasil dari perubahan itu di pasal 76 ada penambahan pada ayat 2 dan 3 lebih mengindahkan dan tanpa ada persetujuan MRP dan DPR Papua DOB itu bisa dilakukan oleh Jakarta sesuai kehendak mereka ini terjadi pada tanggal 12 April 2022 DPR RI telah menetapkan RUU DOB padahal hal ini tidak sesuai dengan UU Otsus 21 Tahun 2021 di mana pemekaran harus melalui persetujuan DPR Provinsi Papua dan MRP.

Untuk itu kata Murib sebenarnya para elit politik di Papua dan khususnya Bupati Jayapura harus paham bahwa Otonomi Khusus ini dihadirkan, bukan merupakan hadiah tetapi ini merupakan perjuangan panjang sebagai perekat sebagai win-win Solution karena orang Papua minta Merdeka.

“Untuk itu MRP mengharapkan kepada parah kepala daerah yang ada di birokrasi untuk memahami dan mengerti bahwa otonomi khusus ini beda dengan undang-undang lain, karena ini lahir karena adanya tahap MPR,” kata Murib.

Sementara terkait DOB ia secara tegas ketua MPR mengatakan bahwa MRP tidak berdiri pada posisi memihak atau menolak tapi berfokus ke mayoritas aspirasi masyarakat.

“Yang harus dipahami oleh para bupati dan kepala daerah di Papua bahwa MRP tidak berada pada posisi menolak atau menerima daerah otonomi baru, tapi MRP menyampaikan aspirasi mayoritas penolakan yang disampaikan oleh orang asli Papua yang disampaikan oleh masyarakat Papua di beberapa kabupaten kota. sehingga penolakan ini yang disampaikan ke pemerintah pusat termasuk presiden, Jadi bukan berdasarkan kemauan segelintir pejabat daerah, jadi Bupati Jayapura harus Paham, sementara pernyataan Bupati bahwa mengapa MR P hanya menyampaikan aspirasi menolak sementara yang mendukung DOB tidak disampaikan ini sangat keliru, Karena MRP berpihak kepada aspirasi mayoritas yang ada di di Papua,” ujar Murib.

Dan jika MRP serta merta mendukung pemekaran, lanjut Murib bahwa jaminan hukumnya apa?

” ini yang saya mau tanya Kepada Bupati Jayapura, 19 pasal yang dilakukan perubahan kemarin semua itu membias dan marwah atau roh dari Otsus itu telah hilang coba pak Bupati Jayapura baca Pasal UU Perubahan. Maka kami minta para bupati dan wali kota harus baca perubahan undang-undang karena tidak ada hak orang Papua yang diakomodir. jadi jika di anggap kepastian dalam undang-undang ini bahwa ketika dimekarkan orang Papua itu akan mendapat kesejahteraan ini tipu dan omong kosong,” katanya.

Ia menegaskan Otsus itu tidak ada apa-apanya maka ia menyarankan agar DPR Papua jangan menjalankan otonomi khusus tapi seperti biasa saja.

“Saya sarankan DPR Provinsi Papua lebih bagus ditiadakan otonomi khusus Biarkan saja jalankan peraturan seperti biasa mungkin ini yang bisa. karena ciri khusus hak orang Papua yang dipikirkan ada di otonomi khusus itu sudah tidak ada lagi karena perubahan kedua otonomi khusus sudah tidak ada lagi undang-undang khusus bagi orang Papua sama saja dengan peraturan umum lainnya jadi kelapa daerah harus tau itu,” paparnya. (*)

Read More
Categories Berita

Ketua MRP: Elit Politik Papua Jangan Bernafsu Minta Pemekaran 

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib meminta elit politik di Papua tidak bernafsu untuk memaksakan pemekaran Papua. Ia menegaskan Majelis Rakyat Papua atau MRP tetap berpandangan bahwa rencana pemekaran Papua harus ditunda. Hal itu dinyatakan Timotius Murib di Kota Jayapura, Selasa (12/4/2022).

Ia mengingatkan elit politik di Papua jangan bernafsu memaksakan pemekaran Papua.

“Elit-elit Papua, jangan terlalu nafsu minta pemekaran. Lihat, rakyat mati karena menolakan pemekaran. Jadi, para elit Papua harus sadar, lihat situasi di Papua,” tegasnya.

Murib menilai pemerintah pusat mungkin punya niat baik untuk memberikan kewenangan bagi elit politik di Papua, dengan membentuk Daerah Otonom Baru (DOB).

“Namun kami secara kelembagaan, Majelis Rakyat Papua [menilai rencana pemekaran harus] dipending,” kata Murib.

Murib menyatakan MRP memiliki sejumlah pertimbangan yang menjadi dasar sikap lembaga representasi kultural Orang Asli Papua itu untuk menolak rencana pemekaran Papua. Salah satunya, kegagalan implentasi wewenang khusus yang diberikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) .

“Perbaiki dulu regulasi [dan] implementasi Otonomi Khusus Papua. Selama 20 tahun ini, menurut MRP [pelaksanaan Otonomi Khusus] sangat buruk, karena [kewenangan khusus] tumpang tindih [dengan aturan sektoral yang berlaku secara nasional],” ujarnya.

Murib menjelaskan berbagai kewenangan khusus Pemerintah Provinsi Papua tidak bisa dijalankan karena berbenturan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah) yang mengatur tentang otonomi daerah secara nasional.

“[Selama ini], Papua menggunakan dua undang-undang. UU Otsus Papua Lama yang berlaku secara khusus, tetapi juga ada otonomi daerah yang diatur UU Pemerintahan Daerah. Itu yang perlu diperbaiki. Itu yang diharapkan rakyat Papua melalui revisi UU Otsus Papua Lama. Akan tetapi, revisi UU itu dilakukan secara sepihak [dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,” kata Murib.

Murib menyatakan pihaknya berharap pemerintah pusat tidak mendengar secara sepihak elit politik yang menginginkan pemekaran Papua. Ia menegaskan pemerintah pusat juga harus mendengarkan apa yang disampaikan rakyat Papua.

Ia juga mengingatkan bahwa MRP tengah mengajukan permohonan uji materiil atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru). Hingga kini, Mahkamah Konstitusi masih menyidangkan permohonan uji materiil atas UU Otsus Papua Baru itu.

“Kami harap, [kalau] pemerintah pusat mau melakukan apa saja, mereka harus tunggu putusan Mahkamah Konstitusi dulu atas gugatan MRP. Kalau sudah ada putusan pasti, baru bicara pemekaran dan yang lainnya. Kalau pemekaran Papua itu dipaksakan, saya pikir pemerintah pusat tidak mengerti hukum. Itu harus dipahami pemerintah pusat,” kata Murib.

Murib menyatakan seharusnya pemerintah pusat tidak terburu-buru memutuskan segala hal yang berkaitan dengan Otonomi Khusus Papua.

“Pemerintah pusat jangan terlalu terburu-buru. Revisi UU, [lalu] terburu-buru bicara pemekaran wilayah atau DOB. Sementara, realita di lapangan, banyak masyarakat Papua yang menolak pemekaran Papua, sampai ada korban nyawa. Itu perlu diperhatikan,” ujar Murib. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Majelis Rakyat Papua Terima Aspirasi Tim Pemekaran Papua Selatan

Penyerahan dokumen kajian pemekaran Provinsi Papua Selatan oleh Tim ke pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) menerima kunjungan Tim pemekaran provinsi Papua Selatan di ruang rapat kantor MRP, Rabu (24/11/2021).

Pertemuan tersebut dilakukan untuk menyerahkan aspirasi pemekaran Papua Selatan yang di dukung oleh tokoh agama, masyarakat, pimpinan kepala daerah dan adat setempat.

Ketua Tim pemekaran Papua Selatan, Thomas Safanpo berterima kasih kepada semua pihak yang telah menerima aspirasi pemekaran ini.

Ia menjelaskan saat mendatangi Gubernur Papua, tim pemekaran diterima oleh Sekda Papua, Ridwan Rumasukun yang mewakili Gubernur Papua.

Lalu, tim pemekaran juga diterima langsung oleh Ketua DPR Papua, Jhoni Banua Rouw dan Ketua MRP, Timotius Murib.

“Sesuai mekanisme undang-undang, pemekaran provinsi harus mendapatkan persetujuan gubernur, DPR Papua dan MRP. Aspek legal formal itulah yang kami tempuh untuk mendapatkan persetujuan,” katanya.

Thomas menjelaskan aspirasi pemekaran juga ditandatangani oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari tokoh agama yang diwakili oleh Keuskupan Merauke dan Asmat, lalu para pendeta GKI, serta tanda tangan majelis ulama dari empat kabupaten yakni Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi dan Boven Digoel.

Ada juga tanda tangan dari kepala suku adat di 4 kabupaten dan tanda tangan para tokoh masyarakat.

“Aspirasi pemekaran Papua Selatan merupakan aspirasi akar rumput. Kami hanya memfasilitasi apa yang disampaikan oleh masyarakat Papua Selatan,” katanya.

Thomas menjelaskan usai mendapatkan persetujuan pada tingkat Provinsi Papua, maka pihaknya akan ke Jakarta untuk menyampaikan langsung kepada Presiden Jokowi, Menko Polhukam, Mendagri, dan Komisi II serta III DPR RI.

Sementara itu, Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), secara kelembagaan menerima aspirasi tim pemekaran Papua Selatan.

“Penyerahan aspirasi pemekaran wilayah Selatan tentunya baik untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat sehingga pemekaran yang di sampaikan sesuai aspirasi masyarakat dari wilayah Selatan ini akan di proses oleh Majelis Rakyat Papua sesuai dengan mekanisme yang berlaku di lembaga ini,” jelas Murib.(*)

 

Humas MRP

Read More
Categories Berita

MRP: Mau Pemekaran 20 Provinsi Silakan Saja

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) memberi pernyataan kongkrit soal dinamika politik yang terjadi di Papua selama ini. Momentumnya adalah evaluasi Undang – undang Otonomi Khusus yang hingga kini masih berproses dengan pengumpulan aspirasi lewat rapat dengar pendapat.

Hanya saja dari upaya yang dilakukan lembaga seperti MRP maupun DPRP untuk terlibat langsung dalam memulai evaluasi nampaknya tidak bisa berbuat banyak selama masih terjadi konflik regulasi. “Agenda kami tahun ini adalah mengevaluasi kinerja MRP termasuk mengawal perubahan ke II undang – undang Otsus. Ini sebenarnya momentum dan bisa menjadi titik awal untuk dilakukan evaluasi,” kata Ketua MRP, Timotius Murib kepada Cenderawasih Pos di Jayapura, Selasa (20/4).

Otsus di Papua dikatakan pada 10 Oktober akan berakhir dan sangat tepat dijadikan titik awal untuk perubahan. Hanya saja yang menjadi kendala saat ini adalah berlakunya dua undang – undang yakni Undang – undang pemerintahan daerah nomor 23 tahun 2014 dan undang – undang Otsus nomor 21 tahun 2001.

“Dari evaluasi ini kami tidak memberikan dukungan kepada siapa – siapa meski ada yang mendukung Otsus dan ada yang  menolak Otsus dan kami ada pada posisi memfasilitasi,” beber  Timotius. Kalaupun ada yang mengatakan Otsus gagal maupun berhasil maka semua perlu ditunjukkan dengan argumen yang masuk akal. MRP dikatakan tidak memihak kepada salah satunya tetapi ingin mengawal isu yang disampaikan.

MRP mempertanyakan mengapa pemerintah pusat hanya mempersoalkan pasal 34 dan pasal 76 sementara ada  dalam undang-undang ini ada banyak sekali pasal. “Saya mau katakan bahwa di Papua ini ada konflik regulasi. Ada dua undang-undang dan ada pasal-pasal yang tidak tegas, abu-abu. Ini yang harusnya diluruskan dulu, jangan ini  belum selesai sudah pikir yang lain,” sindirnya.

“Mau bikin pemekaran 5 provinsi atau 10 provinsi ya silakan saja asal konflik regulasi ini dituntaskan dulu. Jika itu beres mau bikin pemekaran sebanyak-banyaknya silakan saja. Jangan semua belum selesai lalu memikirkan yang lain sebab dampaknya adalah tak ada proteksi perlindungan terhadap orang asli Papua. Itu akan hilang,” tegasnya. (*)

Sumber: Cepos Online

Read More