Categories Berita

MRP Papua dan MRP-PB, Deklarasikan Bupati/Wakil, Walikota/Wakil Walikota Harus OAP

Suasana Deklarasi MRP dan MRPB soal pemenuhan hak Konstitusional OPA, Jumat (27/2).

Jayapura, MRP –  Jika selama ini hanya Gubernur dan Wakil Gubernur di Papua dan Papua Barat  yang harus Orang Asli Papua (OAP), namun Pilkada mendatang  sudah mengharuskan Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil Walikota diisi OAP.

Hal tersebut tercetus dalam Deklarasi bersama MRP dan MRPB tentang Pemenuhan Hak Konstitusional Orang Asli Papua dalam rekrutmen politik  terkait pencalonan Bupati dan wakil Bupati,Walikota dan Wakil walikota  di Provinsi Papua dan Papua Barat berlangsung di Sun garden Hotel Sentani,Jumat siang, (27/2).

Deklarasi bersama ini ditandai dengan menuliskan nama dan tandatangan pada  sebuah spanduk berukuran besar.

Penandatanganan diawali  Ketua MRP Timotius Murib dan Ketua MRP-PB Maxsi Ahoren disusul  Ketua DPRP, Jhony Banua Rouw,SE,para utusan Partai dan Forkopimda.

Sebelum dilakukan deklarasi bersama, acara diawali Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk mendangarkan masukan-masukan dan menyamakan persepsi  dengan pihak terkait,terutama pimpinan Parpol yang ada di Papua.

Namun yang hadir hanya 9 Parpol, dan empat perwakilan Papol   yakni Nasdem,Golkar,PAN dan Partai Berkarya sudah terang-terangan menyatakan mendukung penuh keputusan MRP agar Bupati/wakil dan Walikota/Wakil harus diisi OAP.

Ketua DPRP Jhony Banua Rouw juga menyatakan pada  prinsipnya, mendukung dan siap mengawal keputusan ini. Meski demikian,Ia  memberikan cacatan agar MRP dan MRP-PB hati—hati dan cermat soal regulasi serta landasan hukumnya,karena Pilkada ini sangat rawan digugat ke PTUN oleh pihak yang merasa dirugikan.

Ia juga mengusulkan agar MRP dan MRP-PB melakukan road show dengan para Ketua DPP Parpol di Pusat, sebab yang menentukan Kandidat baik Bupati maupun walikota adalah  DPP, bukan di tingkat daerah. Dengan demikian jika  DPP parpol sudah sepakat,maka  Parpol  tingkat daerah /kabupaten tinggal menyesuaikan saja.

Ketua MRP Timotius Murib didampingi Ketua MRP-PB Maxsi Ahoren mengatakan, apa yang dilakukan MRP dan MRP-PB ini menindakjuti semangat perintah  pasal 28 ayat(3) dan ayat (4),UU no 21 tahun 2001 tentang Otsus. Bahwa salah satu kewenangan MRP adalah memberi pertimbangan kepada Parpol dalam hal seleksi  dan rekrutmen partai politik.

Dikatakan,sesungguhnya  MRP priode ke-dua lalu sudah berjuang melalui tiga  Raperdasus, namun sampai 8 tahun tidak pernah direalisasikan,  untuk itu MRP priode ke 3 ini mendorong  agar perintah UU ini segera direalisasikan.  Sebab ayat 3 sudah jelas bahwa rektrutmen politik di Papua harus prioritaskan orang asli Papua.

Dan ayat 4  calon Gubernur/Wakil, Calon Bupati/wakil dan Calon Walikota/wakil walikota   harus diberi pertimbangan dan persetujuan oleh MRP sebagai orang asli Papua dan mengenal dan dikenal  daerahnya. “ Inilah yang dipertegas MRP dan MRP-PB  ini melalui  RDP agar 16 Parpol melaksanakan perintah UU 21 tahun 2001 utamanya ayat 3 dan 4 ini,”katanya.

Untuk itu, MRP dan MRPB berharap pimpinan Parpol dan pihak penyelenggara Pilkada di  11 Kabuaten di Papua dan 9 Kabupaten di Papua Barat dapat bersinergi. “Kalau ada Partai Politik sudah telanjur menentukan calonnya diluar dari OAP ,maka masih ada waktu untuk menggantinya,”jelas Ketua MRPPB Maxsi Oheran.

Mengenai skenarionya pelaksanaannya, sama dengan  proses pencalonan Gubernur dan Wakil.    Bakal Calon Kepala daerah /wakil  mendaftarkan diri ke Parpol tingkat Kabupaten/provinsi. Selanjutnya Parpol melakukan verifikasi berkas  dan melanjutkan ke MRP/MRPB untuk  diverifikasi  Orang Asli Papua.

Menurut Timotius Murib, Keputusan ini sudah mulai diberlakukan pada pemilu serentak di 11 Kabupaten untuk Papua dan 9 kabupaten di Papua Barat. (*)

 

Sumber: PapuaSatu.com

 

Read More
Categories Berita

Deklarasi Hak Perpolitikan OAP di Pilkada 2020 Oleh MRP dan MRPB

Deklarasi Hak Perpolitikan OAP di Pilkada 2020 Oleh MRP dan MRPB

Jayapura, MRP – Guna pemenuhan Konstitusional Orang Asli Papua (OAP) dalam rekrutmen Politik terkait pencalonan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota harus orang asli Papua (OAP) dalam Pilkada 2020 di Tanah Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan Papua Barat melakukan deklarasi bersama.

Kegiatan deklarasi yang dilaksanakan, di Hotel Suni Garden Lake, Sentani, Provinsi Papua, Kamis (27/02/2020) itu dihadiri Ketua DPRP, Pangdam XVII Cenderawasi, Waka Polda Papua, dan pimpinan partai politik (Parpol).

Setelah deklarasi dilakukan penandatanganan petisi oleh Ketua MRP Timotius Murib dan Ketua MRPB Maxsi Nelson Ahoren, Ketua DPRP Jhony Banua Rouw serta para pemimpinan Parpol dan Forkopimda.

Ketua MRP Provinsi Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren mengatakan, deklarasi yang dilakulan MRP dan MRPB ini bertujuan untuk mengamankan kepentingan Undang-Undang (UU) Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus).

“Itu hak khusus OAP, memang disisi lain ada yang menyampaikan sudah terlambat. Tapi bagi kami tidak ada yang terlambat, karena ini menyangkut dengan kepentingan OAP menjadi tuan di negeri sendiri,”ujar Maxsi Nelson Ahoren, Ketua MRPB.

Menurutnya, deklarasi yang dilaksanakan tersebut bagian dari menjawab kepentingan hak politik OAP dalam UU Otsus yang selama ini terabaikan.

“Semua hak diambil, maka kami pertegas bahwa hak politik kami tidak boleh diambil lagi,”tegas Ahoren.

Dikatakannya, hasil deklarasi ini sudah dikoordinasikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia dan KPU RI sudah menjawab dan telah mengirim surat kepada MRP dan MRPB.

Setelah itu, kata Ahoren, akan dilakukan pertemuan dengan Komisi II DPR RI dalam rangka memfasilitasi MRP Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk bertemu semua DPP Parpol sekaligus dengan Kementerian Koordinator Bidang Politi, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) beserta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia.

Untuk itu, dirinya berharap kepada seluruh Bupati dan Wabup serta Walikota daN Wakil Walkot khusus di wilayah Provinsi Papua Barat agar dapat mendukung apa yang didorong oleh lembaga kuktur OAP yakni MRP dan MRPB.

“Tapi jika ada parpol yang sudah telanjur menentukan calonnya diluar dari OAP, maka masih ada waktu untuk menggantinya,”jelas Ketua MRPPB Maxsi Oheran.

Meski demikian, lanjut dia, khusus proses Pilkada di Provinsi Papua Barat ada sejumlah kabupaten calon Bupati dan Wakil Bupatinya bukan OAP.

Dicecar mengenai Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) terkait hak politik OAP, Ahoren mengemukakan, Raperdasusnya sudah ada, sejak MRP sebelumnya.

“Perdasusnya sudah ada, tapi tidak pernah dijawab atau digubris oleh pemerintah Indonesia. Jadi hari ini kita gunakan kekuatan politik,”pungkasnya.

Sementara Ketua MRP Provinsi Papua, Matius Murib Nelson Ahoren menjelaskan, deklarasi hak politik OAP tersebut dilakukan dalam rangka menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) pasal 28 ayat 3 dan ayat 4. Pasalnya, kewenangan MRP adalah memberi pertimbangan kepada Parpol dalam hal seleksi dan rekrutmen partai politik.

Mengenai hak politik OAP ini sebenarnya sudah diperjuangkan oleh MRP sebelumnya. Namun hingga kini tidak pernah direalisasikan, maka MRP dan MRPB kali mendorong agar perintah UU Otsus ini segera diimplementasikan.

Ayat 3 sudah jelas bahwa rektrutmen politik di Papua harus prioritaskan OAP dan ayat 4 calon Gubernur dan Wakil, calon Bupat dan Wabup serta calon Walikota dan Wakil Walkot mengenai pertimbangan dan persetujuan oleh MRP sebagai lembaga representasi OAP.

“Kami mempertegas melalui rapat dengar pendapat, agar 16 parpol melaksanakan perintah UU Otsus terutama ayat 3 dan 4,”sebut Murib.

Oleh sebab itu, diharapkan kepada pihak penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 20 kabupaten se-tanah Papua untuk dapat bersinergi.

 

Sumber: gardapapua.com

 

Read More
Categories Berita

DAP: Sikap MRP dan MRPB membingungkan, tapi harus diapresiasi

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Jayapura, MRP – Sejumlah empat keputusan dan satu rekomendasi Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB dinilai memakai pendekatan yang berbeda-beda, sehingga posisi kedua lembaga kabur dan membingungkan. Hal itu dinyatakan Ketua Dewan Adat Papua atau DAP versi Konferensi Luar Biasa di Lapago, Dominikus Surabut, menanggapi hasil Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Kabupaten Jayapura pada pekan lalu.

Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB itu merekomendasikan agar Pemerintah berdialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menyelesaikan konflik Papua. Rapat itu juga menghasilkan empat keputusan lainnya, termasuk permintaan agar draf revisi Undang-undang Otsus Papua ditarik dari pembahasan.

Selain itu, Rapat Pleno Luar Biasa memutuskan orang asli Papua harus mendapatkan perlindungan di depan hukum serta jaminan pemenuhan hak asasi manusia yang setara dengan warga negara lainnya. Rapat itu juga memutuskan harus adanya jaminan keamanan bagi para pelajar dan mahasiswa Papua yang bersekolah di luar Papua. MRP dan MRPB juga sepakat memperluas kebijakan afirmasi dalam perekrutan politik di Papua dengan menyatakan orang asli Papua harus diprioritaskan dalam calon bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota di Tanah Papua.

Dominikus Surabut menyatakan kesulitan memahami hasil Rapat Pleno Luar Biasa itu. Ia menilai setiap keputusan memakai pendekatan yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan rekomendasi dan keputusan yang tidak satu arah.

“MRP mau mengunakan pendekatan penegakan hak asasi manusia, pendekatan politik, atau pendekatan pembangunan? Harus jelas,” kata Surabut kepada Jubi, Selasa (3/3/2020).

Surabut menyatakan jika MRP dan MRPB ingin memakai pendekatan pembangunan, maka seharusnya MRP dan MRPB fokus membicarakan pemenuhan hak orang asli Papua dalam proses pembangunan. Jika MRP dan MRPB ingin memakai pendekatan politik, maka sikap politik MRP dan MRPB pun harus jelas, dan tidak bisa mengabaikan eskalasi politik Papua.

Surabut mencontohkan, DAP tidak pernah membicarakan masalah pembangunan atau hak orang asli Papua dalam proses pembangunan, karena DAP berpendapat Otonomi Khusus (Otsus) Papua telah gagal menjadi solusi bagi Papua. Oleh karena itu, DAP konsisten ingin mengembalikan Otsus Papua kepada Pemerintah RI.

Sebagai konsekuensinya, DAP tidak pernah lagi membicarakan Otsus Papua, ataupun membahas revisi UU Otsus Papua. “Kami sudah bilang [Otsus Papua] gagal. Jadi [kami] tidak bicara lagi Otonomi Khusus Papua apapun bentuknya,” kata Surabut.

Meskipun demikian, Surabut mengapresiasi rekomendasi Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB yang meminta Pemerintah RI berdialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menyelesaikan persoalan Papua. “Kami apresiasi sikap yang mengakui perjuangan ULMWP. Akan tetapi, keputusan itu jangan gantung, begitu saja,” ujar Surabut.

Surabut meminta MRP dan MRPB membuka forum rakyat yang memberikan legitimasi dan mendukunng keputusan-keputusan penting seperti hasil Rapat Pleno Luar Biasa itu. “Jangan sampai MRP dianggap ompong. Kalau mau dapat legitimasi, kembali ke rakyat, supaya [nanti rakyat dan MRP] dorong sama-sama,” katanya.

Sebelumnya Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB merekomendasikan Pemerintah RI untuk berdialog United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP yang dipimpin Benny Wenda. “MRP dan MRPB meminta Pemerintah RI untuk segera berdialog dengan ULMWP,” kata Murib usai penutupan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, pada Jumat (28/2/2020).

Menurutnya, MRP dan MRPB memandang penting bagi Pemerintah RI dan ULMWP untuk duduk bersama membangun dialog yang bermartabat. Dialog itu harus dimediasi pihak ketiga yang netral dan disepakati oleh kedua belah pihak. Timotius juga merinci empat keputusan Rapat Pleno Luar Biasa, termasuk terkait jaminan persamaan di depan hukum dan pemenuhan hak asasi manusia, penarikan draf revisi UU Otsus Papua, ataupun prioritas bagi orang asli Papua untuk dicalonkan sebagai bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota.

Ketua MRPB, Maxsi Ahoren mengatakan rekomendasi agar Pemerintah RI berdialog dengan ULMWP itu muncul dari pergumulan rakyat Papua yang melihat berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang tidak terselesaikan. “Masalah Papua tidak pernah selesai. Itu masyarakat Papua yang bicara. Dialog harus dilakukan, harus bicara mencari solusi bersama,” kata Ahoren saat dihubungi jurnalis Jubi, Senin (2/3/2020) malam.

Ahoren menyatakan rekomendasi dialog MRP dan MRPB itu tidak didasari kepentingan individu dan kelompok tertentu. “[Dialog itu] kepentingan siapa? Itu kepentingan masyarakat, MRP [dan MRPB] bicara, karena semua orang Papua bicara pelurusan sejarah. [Kami turun] ke kampung, reses, semua bicara itu,” kata Ahoren.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRPB: Revisi UU Otsus Papua harus didasarkan hasil evaluasi otsus oleh rakyat Papua

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Jayapura, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB, Maxsi Ahoren  menyatakan Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan MRPB telah bersama-sama memutuskan agar draf revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua ditarik dulu. Draf itu harus ditarik, karena revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua seharusnya didasarkan hasil evaluasi rakyat Papua atas pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.

Hal itu disampaikan Maxsi Ahoren saat dihubungi Jubi pada Senin (2/3/2020), terkait keputusan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB pada Jumat (28/2/2020) yang menyatakan draf revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua ditarik. Maxsi Ahoren menyatakan keputusan MRP dan MRPB itu didasarkan ketentuan Pasal 77 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

Ia menegaskan Pasal 77 UU Otsus Papua telah menegaskan bahwa usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua kepada DPR RI atau Pemerintah. Dengan demikian, pihak yang bisa mengevaluasi Otsus Papua adalah rakyat Papua, bukan kelompok atau individu tertentu, dan bukan pemerintah.

Ahoren  menyatakan hasil evaluasi Otsus Papua oleh rakyat Papua itulah yang seharusnya dijadikan acuan dalam merevisi UU Otsus Papua. “Kita bicara undang-undang. Otonomi Khusus Papua ada berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. [Di dalamnya] ada Pasal 77 UU Otsus Papua. [Oleh karena itu draf revisi UU Otsus Papua] kami [nyatakan] ditarik kembali,” kata Ahoren.

Ahoren menegaskan bahwa rakyat Papua merupakan subyek dari Otsus Papua, mengingat otonomi khusus itu lahir sebagai jawaban atas berbagai tuntutan rakyat Papua pasca reformasi. MRP dan MRPB bersama-sama bersepakat menyatakan draf revisi UU Otsus Papua harus dicabut, karena kedua lembaga itu ingin mengembalikan mekanisme evaluasi Otsus Papua kepada rakyat Papua.

“Kita bawa ke rakyat dulu, rakyat lihat dulu, ‘ko buat apa?’ Karena, barang ini, [Otonomi Khusus bagi Papua], lahir dari rakyat. Kita [harus] dengar [evaluasi dari] rakyat. Bukan [evaluasi dari] pejabat,” kata Ahoren.

Ia mengajak semua pemangku kepentingan untuk menyerahkan proses evaluasi otonomi khusus kepada rakyat Papua, karena rakyat di Tanah Papua yang selama ini mendengar, melihat dan rasakan seperti apa Otonomi Khusus Papua dilaksanakan. “Kita bawa ke rakyat, [biar rakyat] menilai dulu, [Otsus Papua] berhasil atau gagal? Kalau [Otsus Papua dinilai rakyat] tidak berhasil, kita pikir langkah selanjutnya. Itu juga hak rakyat,” kata Ahoren.

Sebelumnya, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB yang berlangsung pekan lalu mengesahkan empat keputusan bersama kedua lembaga. Salah satu keputusan itu adalah Keputusan MRP dan MPRB tentang pencabutan draf revisi UU Otsus Papua.

Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB juga memutuskan kebijakan afirmasi untuk memprioritaskan orang asli Papua dalam dalam pencalonan Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota di Tanah Papua. Keputusan itu memperluas kebijakan afirmasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) yang menyatakan calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Tanah Papua harus orang asli Papua.

“Keputusan pertama, tentang Pemenuhan Hak Konstitusional Orang Asli Papua dalam Rekrutmen Politik terkait Pencalonan Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota di Provinsi Papua & Provinsi Papua Barat. Rekrutmen itu harus prioritaskan orang asli Papua,” kata Murib usai menutup Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, Jumat (28/2/2020).

Murib menyatakan MRP dan MRPB juga menyepakati keputusan tentang Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Orang Asli Papua. Keputusan itu menyatakan orang asli Papua harus diperlakukan sama dengan warga Indonesia di depan hukum Indonesia. “Perlindungan hukum itu harus memenuhi standar hak asasi manusia dan manusiawi,” kata Murib.

Perlindungan bagi para mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Tanah Papua menjadi keputusan ketiga Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB. Murib mengakui keputusan itu merupakan respon atas kasus persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu, dan rentetan intimidasi yang dialami para mahasiswa Papua di berbagai kota pasca kasus rasisme Papua di Surabaya itu.

“Sejak kasus rasisme [Papua di Surabaya itu], mahasiswa dan pelajar [asal Papua dan Papua Barat] berada dalam tekanan, merasakan tidak nyaman [menutut ilmu di luar Papua]. Oleh karena itu, perlu jaminan hukum dan hak asasi manusia dari pemerintah setempat,” ujar Murib.(*)

 

Sumber:Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP dan MPRB rekomendasikan Pemerintah RI berdialog dengan ULMWP

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Jayapura, MRP – Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB merekomendasikan Pemerintah Republik Indonesia untuk berdialog United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP yang dipimpin Benny Wenda. MRP dan MRPB juga merekomendasikan agar dialog itu dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, demi menyelesaikan konflik Papua secara menyeluruh.

Ketua MRPB, Maxsi Ahoren mengatakan rekomendasi agar Pemerintah RI berdialog dengan ULMWP itu muncul dari pergumulan rakyat Papua yang melihat berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang tidak terselesaikan. “Masalah Papua tidak pernah selesai. Itu masyarakat Papua yang bicara. Dialog harus dilakukan, harus bicara mencari solusi bersama,” kata Ahoren saat dihubungi jurnalis Jubi, Senin (2/3/2020) malam.

Ahoren menyatakan rekomendasi dialog MRP dan MRPB itu tidak didasari kepentingan individu dan kelompok tertentu. Menurutnya, aspirasi itu merupakan masyarakat. Dialog merupakan kepentingan semua pihak, terutama kepentingan rakyat Papua.

Ia meminta ULMWP juga membuka diri untuk berdialog dengan Pemerintah RI. “[Dialog itu] kepentingan siapa? Itu kepentingan masyarakat, MRP [dan MPRB] bicara, karena semua orang Papua bicara pelurusan sejarah. [Kami turun] ke kampung, reses, semua bicara itu,” kata Ahoren.

Sebelumnya, Ketua MRP Timotius Murib menyatakan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB sepakat untuk bersama-sama merekomendasikan agar Pemerintah RI membuka dialog dengan ULWMP. “MRP dan MRPB meminta Pemerintah RI untuk segera berdialog dengan ULMWP,” kata Murib usai penutupan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, pada Jumat (28/2/2020).

Menurutnya, MRP dan MRPB memandang penting bagi Pemerintah RI dan ULMWP untuk duduk bersama membangun dialog yang bermartabat. Dialog itu harus dimediasi pihak ketiga yang netral dan disepakati oleh kedua belah pihak.

“Kami rekomendasi berdialog demi penyelesaian masalah HAM secara damai dan bermartabat yang dimediasi oleh pihak ketiga,” ujar Murib. Menurutnya, pelanggaran HAM di Papua telah menumpuk dan menjadi luka busuk dalam tubuh pemerintah Republik Indonesia.

Murib menegaskan MRP dan MRPB sebagai lembaga kultural orang asli Papua tidak bermaksud apapun selain melaksanakan kewenangannya untuk melindungi hak hidup dan hak milik orang asli Papua. Kedua lembaga meminta Pemerintah RI dan ULMWP duduk berdialog, agar orang asli Papua tidak terus menerus dikorbankan dengan alasan apapun.

Kata dia, pihak berharap kedua belah pihak juga duduk bersama, bicara hak milik orang Papua atas tanah dan kandungan mineral yang terus diambil dan dicaplok atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Tetapi rakyat Papua tidak pernah rasakan kesejahteraan itu.

Nicolaus Degey, anggota Kelompok Kerja Agama MRP, menyatakan rekomendasi MRP dan MRPB itu sangat tepat. Ia menyatakan masalah pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak akan terselesaikan jika kedua belah pihak tidak duduk bersama dan mencari solusi.

Degey menegaskan baik Pemerintah RI maupun ULMWP tidak bisa mencari solusi sendiri-sendiri atas persoalan Papua. Keduanya harus duduk bersama dan melakukan dialog dimediasi pihak yang netral serta tidak memihak kepada  salah satu pihak yang berkonflik.

Ia menyatakan pihak ketiga yang telah memiliki independensi yang telah teruji yang bisa memediasi dialog penyelesaikan konflik Papua itu, kendati Degey tidak merinci siapakah pihak ketiga yang dianggap layak menjadi mediator dialog.

“Itu baru masalah bisa selesai. Kalau tidak ada pihak ke tiga, masalah tidak akan selesai dengan alasan apapun. Karena kedua bela pihak bermusuhan, ada yang berperan sebagai pelaku dan korban,” kata Degey.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB sahkan 4 keputusan bersama

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Sentani, MRP – Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB menetapkan empat keputusan terkait pemenuhan hak orang asli Papua. Hal itu disampaikan Ketua MRP Timotius Murib usai memimpin Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Jumat (28/2/2020) malam.

Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB antara lain memutuskan kebijakan afirmasi untuk memprioritaskan orang asli Papua dalam dalam pencalonan Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota di Tanah Papua. Keputusan itu memperluas kebijakan afirmasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) yang menyatakan calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Tanah Papua harus orang asli Papua.

“Keputusan pertama, tentang Pemenuhan Hak Konstitusional Orang Asli Papua dalam Rekrutmen Politik terkait Pencalonan Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota di Provinsi Papua & Provinsi Papua Barat. Rekrutmen itu harus prioritaskan orang asli Papua,” kata Murib kepada Jubi.

Murib menyatakan MRP dan MRPB juga menyepakati keputusan tentang Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Orang Asli Papua. Keputusan itu menyatakan orang asli Papua harus diperlakukan sama dengan warga Indonesia di depan hukum Indonesia. “Perlindungan hukum itu harus memenuhi standar hak asasi manusia dan manusiawi,” kata Murib.

Perlindungan bagi para mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Tanah Papua menjadi keputusan ketiga Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB. Murib mengakui keputusan itu merupakan respon atas kasus persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu, dan rentetan intimidasi yang dialami para mahasiswa Papua di berbagai kota pasca kasus rasisme Papua di Surabaya itu.

“Sejak kasus rasisme [Papua di Surabaya itu], mahasiswa dan pelajar [asal Papua dan Papua Barat] berada dalam tekanan, merasakan tidak nyaman [menutut ilmu di luar Papua]. Oleh karena itu, perlu jaminan hukum dan hak asasi manusia dari pemerintah setempat,” ujar Murib.

Keputusan keempat yang disepakati dalam Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB itu adalah penarikan Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus di Tanah Papua yang telah diajukan sebagai usulan revisi Undang-undang Otsus Papua.

Ketua Dewan Adat Papua versi Konferensi Luar Biasa, Dominikus Surabut menyatakan empat keputusan Rapat Pleno Luar Biasa itu tidak akan berdampak efektif jika MRP dan MRPB tidak menyosialisasikan secara luas isi keputusan itu kepada rakyat di Tanah Papua. Sosialisasi itu harus dilakukan sebelum MRP dan MRPB membawa empat keputusan itu ke pemerintah pusat. “Karena perlu legitimasi rakyat, sebelum sosialisasi ke atas, supaya [empat] keputusan itu berwibawa,” kata Surabut kepada Jubi pada Sabtu (29/02/2020).(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP dan MRPB gelar RDP membahas rekrutmen orang asli Papua dalam parpol

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib dan Ketua Majelis Rakyat Papua Barat, Maxsi N Ahoren bersama-sama memukul tifa untuk membuka Rapat Dengar Pendapat yang membahas kebijakan afirmasi dalam rekrutmen politik orang asli Papua. – Jubi/Benny Mawel

Sentani, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP bersama Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB menggelar Rapat Dengar Pendapat Gabungan bersama pimpinan partai politik dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (27/2/2020). Rapat itu membahas kebijakan afirmasi dalam perekrutan partai politik di Papua untuk memprioritaskan orang asli Papua.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Gabungan MRP dan MRPB itu menindaklanjuti jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI atas usulan penambahan persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernur kedua provinsi. Selama ini, persyaratan itu dirinci dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Ketentuan Khusus Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Papua Barat.

Sebelumnya, MRP telah meminta PKPU Nomor 10 Tahun 2017 itu direvisi dengan menambahkan persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dengan rekomendasi dari MRP. Timotius Murib menyatakan usulan itu didasarkan isi Pasal 28 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

“Ayat (3) [Pasal 28 UU Otsus Papua menyatakan] rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Ayat (4) [Pasal itu menyatakan] partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing,” ujar Murib dalam RDP Gabungan itu.

Atas dasar itu, MRP mengusulkan klausul persyaratan tambahan untuk ditempatkan sebagai Pasal 22 ayat (1) huruf Y yang berbunyi “mengenal daerah dan dikenal oleh masyarakat daerahnya yang dibuktikan dengan rekomendasi dari MRP.” Klausul tambahan itu diharapkan akan masuk dalam revisi PKPU Nomor 10 Tahun 2017.

Atas usulan itu, KPU menyatakan memahami konteks usulan MRP. “MRP dapat membuat suatu kesepakatan dengan dengan penggurus partai di tingkat pusat mengenai mekanisme pemberian pertimbangan /rekomendasi terhadap pasangan calon kepala daerah yang diusulkan,” tulis KPU RI dalam surat jawabannya kepada MRP.

Murib menyatakan MRP telah melakukan pertemuan dengan para pimpinan partai politik di pusat. Pada prinsipnya, ada partai politik yang mendukung perjuangan MRP untuk menegaskan kebijakan afirmatif dalam rekrutmen politik oleh partai politik di Papua. MRP akhirnya menindaklanjuti hal itu dengan RDP Gabungan MRP dan MRPB bersama para pimpinan partai politik di Papua pada Kamis.

Dari 16 parpol yang diundang, hanya sembilan partai politik yang menghadiri RDP Gabungan itu. Sejumlah empat pengurus partai politik di Papua memberikan masukan dan pendapat mereka atas usulan MRP itu.

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Berkarya Papua, Benny Kogoya menyepakati adanya kekhususan proses rekrutmen politik di Papua. “Apa yang khusus di Papua? Kalau khusus berarti Gubernur, Wakil gubernur, [juga] Bupati dan Wakil Bupati khusus orang asli Papua,” kata Kogoya.

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional Papua, Yahya Dimara juga menyatakan pihaknya menyepakati perjuangan MRP. Dimara menyatakan partai politik di Papua harus memenuhi hak konstitusional orang asli Papua. “Sebagai partai reformasi, kami sangat setuju dengan apa yang telah disampaikan tadi,” kata Dimara.

Ketua MRPB, Maxsi N Ahoren mengatakan RDP Gabungan itu pertemuan luar biasa yang membicarakan nasib orang asli Papua di negerinya sendiri.  “Pertemuan luas biasa, ada keputusan yang akan diambil. Kami harus menjadi tuan di negeri sendiri,” kata Ahoren seusai rapat itu.

Ahoren menyatakan tidak ada kata terlambat untuk menjalankan kebijakan afirmasi dalam rekrutmen politik di Papua maupun Papua Barat. “Masih ada waktu untuk mengambil langkah ke depan,”ungkapnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Maret 2020, MRPB dan MRP Akan Gelar Pertemuan Luar Biasa

Ketua MRPB, Maxsi Nelson Ahoren – MRPB

MANOKWARI, MRP  – Menyikapi rencana perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang direncanakan oleh Pemerintah dan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati tahun 2020 di Tanah Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan Papua Barat akan segera menggelar pertemuan.

Demikian hal ini diungkapkan Ketua MRPB, Maxsi Nelson Ahoren yang ditemui papuabaratonline, diruang kerjanya, Rabu (12/02/2020).

Dikatakannya, pertemuan yang direncanakan akan berlangsung pada Maret 2020 mendatang di Jayapura, Provinsi Papua itu, akan membahas tentang rencana perubahan UU 21 tahun 2001 oleh pemerintah dan pemilihan Bupati dan Wabup di Tanah Papua.

Dimana, dalam pertemuan itu akan melahirkan sebuah kesepakatan terkait perubahan yang dimaksudkan oleh Pemerintah atau tidak.

“Apakah kita akan tetap sepakat dengan rencana perubahan UU 21 tahun 2001 yang dilakukan pemerintah atau kita MRP bersepakat dengan UU Otsus Plus yang sudah dibuat berapa tahun lalu,”kata Ahoren.

Setelah ditetapkan dua agenda tersebut melalui pelno luar biasa MRP dan MRPB, sebutAhoren, hasilnya akan langsung dibawa ke Jakarta untuk dibacarkan.(*)

 

Sumber: Papuabaratonline.com

Read More