Categories Berita

Meski Tertunda, MRP akan Fasilitasi Mahasiswa Eksodus Bertemu Forkopimda Papua

 

Mahasiswa exodus Papua saat mendatangi kantor MRP membawa aspirasi – Humas MRP

 

JAYAPURA, MRP – Rencana Majelis Rakyat Papua (MRP) melakukan pertemuan koordinasi dengan perwakilan mahasiswa eksodus Papua yang ada di Jayapura dilarang pihak kepolisian dengan alasan kerumunan orang menyalahi maklumat Kapolda Papua terkait pencegahan Covid-19.

“MRP bersama Forkopimda Papua sudah siap melakukan pertemuan dengan perwakilan mahasiswa eksodus, tetapi dibatasi oleh maklumat Polda Papua tentang larangan mengumpulkan massa di masa pandemi Covid-19. Kami menghargai itu dan pertemuan sekarang ditangguhkan lagi,” kata Timotius Murib, ketua MRP, kepada suarapapua.com, Senin (7/12/2020).

MRP menyampaikan apresiasi kepada mahasiswa eksodus yang sangat memahami situasi saat ini hingga bisa kembali ke tempat penginapan. Meski diakuinya sudah beberapa kali aspirasi disampaikan untuk kembali kuliah dan lainnya.

“Pernyataan atau aspirasi mereka ini ingin sampaikan kepada Forkopimda Papua. Berbagai kesempatan belum sempat dan hari ini sudah dua tahun mereka ada di Papua, aspirasinya belum juga disampaikan ke Forkopimda Papua,” jelasnya.

Lantaran pada kesempatan kali ini pun gagal, MRP menurut Timo, akan segera memfasilitasinya agar mahasiswa eksodus Papua bisa sampaikan aspirasinya.

“Seketika mereka tiba di Papua, sudah dua kali pak Gubernur Papua ingin bertemu untuk dengar langsung apa aspirasi adik-adik dari berbagai kota studi. Tetapi memang belum sempat sampaikan. Kemudian MRP juga memberikan ruang satu kali mahasiswa eksodus bertemu perwakilan gubernur Papua yang diwakili oleh Sekda Papua, tetapi mahasiswa tidak menyampaikan aspirasi hingga tertunda dua tahun ini,” tuturnya.

Kesempatan yang diberikan Forkopimda Papua belum terlaksana, sehingga aspirasi dan sikap mahasiswa pun belum diketahui. Dalam hal ini MRP sebagai fasilitator, diharapkan ada kesabaran karena pada bulan ini tak mungkin ada pertemuan.

“Bulan Desember ini adik-adik tidak ada kesempatan untuk bertemu Forkopimda Papua. Nanti MRP akan bicarakan dengan Forkopimda untuk fasilitasi, itupun bila adik-adik bisa bersabar untuk bertemu mereka sebagai orang tua pada awal tahun depan, bulan Januari 2021,” harap Murib.

Rencana audensi mahasiswa eksodus dengan MRP dan DPRP di kantor MRP, Rabu (2/12/2020), tak diizinkan aparat kepolisian dengan merujuk maklumat Kapolda Papua.

Sejak pagi mahasiswa eksodus berkumpul dan sekitar Pukul 10:14 WIT masuk ke halaman kantor MRP. Pintu gerbang tertutup dan dikawal anggota Polri mengenakan atribut lengkap.

Situasi itu mengejutkan mahasiswa eksodus karena agendanya audiensi di kantor MRP sesuai surat permohonan yang dikirimkan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, 2 Desember 2020.

Imanus Komba, PBH LBH Papua mendampingi mahasiswa eksodus, melakukan upaya negosiasi dengan pihak kepolisian.

“Negosiasi kami tidak diterima. Mahasiswa eksodus dilarang masuk ke dalam kantor MRP dengan alasan perintah atasan dan juga belum ada surat dari Tim Gugus Provinsi Papua,” kata Komba.

“Saya jelaskan pentingnya audiensi ini dan MRP yang mengundang. Tetapi aparat dengan tegas katakan tidak boleh ada kegiatan,” lanjutnya.

Kepada aparat keamanan, mahasiswa berulangkali meyakinkan seraya mengaku MRP telah berkomunikasi dengan Kapolres dan Kapolda. Dengan dasar itu MRP kirim surat undangan untuk datang ke kantor MRP menghadiri audiensi.

Ini juga diperkuat penjelasan dari pihak MRP. Sayangnya, semua alasan itu tidak diindahkan dan membubarkan mahasiswa eksodus bersama anggota MRP yang ada di depan gerbang masuk kantor MRP.(*)

Sumber: Suara Papua

Read More

Categories Berita

MRP Siap Kawal Aspirasi Murni RDP Rakyat Papua Soal Otsus

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) meminta kepada masyarakat orang asli Papua untuk dapat mengikuti dengan seksama agenda MRP terkait pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang sedang ditunggu-tunggu meski MRP dihadapkan dengan berbagai persoalan dalam merealisasikan agenda kerjanya.

“Dalam pelaksanaan RDPW, MRP dihadapkan dengan berbagai persoalan. Rakyat Papua dari semua komponen hari ini harus berdoa karena MRP akan tetap berjuang terus sampai harus ada aspirasi yang disampaikan oleh rakyat Papua terkait dengan implementasi otonomi khusus selama ini. Entah apakah mau lanjut atau tidak, MRP akan fokus pada aspirasi rakyat Papua,” ujar Timotius Murib, ketua MRP, Sabtu (4/12/2020) kemarin.

Timo juga berharap rakyat Papua hari ini harus menunggu karena MRP akan memberikan kesempatan untuk rakyat Papua menyampaikan aspirasinya termasuk aspirasi yang sudah disampaikan sebelumnya.

“Rakyat Papua bisa sampaikan aspirasinya setelah MRP membuka ruang untuk itu. MRP akan umumkan,” imbuhnya.

Benny Sweny, anggota MRP, membenarkan, pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat Wilayah (RDPW) di beberapa wilayah adat tidak dapat diselenggarakan karena ada masalah yang menganjal hingga situasi kurang kondusif yang diciptakan pihak-pihak tertentu.

“Agenda di beberapa wilayah tidak dapat dilaksanakan oleh MRP. Ya, rupanya dalam era Otsus ada demokrasi yang dibungkam secara sengaja dan paksa, mungkin itu sebabnya kadang-kadang kita mau bilang Otsus ini otonomi khusus atau otonomi kasus karena selama Otsus kasus-kasusnya terlalu banyak, baik pelanggaran HAM, intimidasi, pembungkaman dan segala macam,” ujar Benny.

Mantan ketua KPU Papua ini menghendaki agenda resmi MRP tetap dilaksanakan sesuai regulasi yang telah disahkan pemerintah Indonesia.

MRP berharap berbagai situasi kurang baik tidak boleh terjadi karena berbicara orang asli Papua menjadi tuan di negerinya sendiri berarti orang Papua harus diberikan hak dan kesempatan untuk berbicara semua persoalan di Tanah Papua.

Sumber: Suara Papua

Read More

Categories Berita

Rapat Gabungan Pokja MRP Guna Dengar Hasil RDPW 5 Wilayah Adat

Rapat gabungan Pokja MRP saat menyampaikan laporan RDPW dari lima wilayah adat, Kamis (3/12/2020) siang. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Guna menyampaikan hasil Rapat Dengar Pendapat Wilayah (RDPW) dari lima wilayah adat, Majelis Rakyat Papua (MRP) mengelar pertemuan rapat gabungan Pokja.

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengatakan terkait dengan hasil dari RDPW dari lima wilayah adat, apapun yang dihadapi dan di dapat oleh tim RDP di daerah masing-masing itu yang dilaporkan saat rapat gabungan Pokja MRP. Kamis, (3/12/2020).

“Sehingga hasil laporan itu akan menjadi dokumen, kemudian tim RDP akan melakukan kompilasi (menilai dan menyusun) dengan lima laporan tersebut untuk di buatkan satu dokumen, dimana yang akan disampaikan oleh pimpinan sebelum kami ambil keputusan tindak lanjut kapan RDPU akan dilakukan kapan atau RDP akan ditiadakan tergantung dari hasil kompilasi,” tutur Murib.

Dirinya menambahkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sesunguhnya ingin melakukan RDP dari tahapan RDP sebelumnya dimana kali ini dilakukan pada periode ke tiga, dimana RDP sebelumnya periode ke dua dilakukan pada tahun 2013 – 2015 dimana dari hasil RDP tersebut lahirlah rencana UU Otsus Plus.

“Sejauh yang diketahui MRP UU Otsus Plus ini belum di konsultasikan kepada masyarakat, jadi masyarakat belum memberikan penilaian terhadap rancangan tersebut sehingga sudah tujuh tahun semenjak Jokowi menjabat tidak pernah di bahas lagi,” katanya.

Dirinya juga mengatakan MRP hari ini melakukan RDP dimana hasilnya rakyat akan menilai evektifitas pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) sehingga hasil dari RDP ini MRP akan merekomendasikan kepada Presiden agar ada pembobotan dalam UU Otsus Plus.

“Dimana hari ini Pemerintah pusat mendorong ke Proleknas namun dalam pelaksanaan RDPW di lapangan ini, ada pihak-pihak lain dan kelompok tertentu yang melarang untuk MRP lakukan RDP dan juga pihak keamanan TNI/Polri menangkan anggota dan staf MRP di Merauke di tangkap dan di borgol,” ujarnya.

Sebelumnya Amnesty International Indonesia menegaskan, penangkapan anggota dan staf Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh Kepolisian Resor (Polres) Merauke dengan tuduhan makar merupakan pembungkaman ruang demokrasi bagi Orang Asli Papua (OAP).

Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, mengatakan, rapat dengar pendapat (RDP) yang dipersiapkan MRP di Merauke merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat.

“Menangkap mereka secara sewenang-wenang sangatlah diskriminatif, sementara kita tahu kebebasan berkumpul untuk kelompok lain justru dijamin. Belum lagi, mereka dituduhkan dengan pasal makar hanya karena mengutarakan pendapat dengan damai. Ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” tuturnya.

Seharusnya, kata Usman, pemerintah dan aparat penegak hukum menjamin dan melindungi hak tersebut, bukan melakukan tindakan represif yang semakin menggerus kebebasan berekspresi. (*)

 

Humas MRP

 

Read More
Categories Berita

RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 2)

 

Calon peserta RDP Otsus Papua saat dikumpulkan di aula Polres Merauke, Selasa (17/11/2020) – Jubi/Frans L Kobun.

 

Oleh: Welis Doga

Apapun ideologi orang Papua, RDP adalah ruang untuk menyampaikan pendapatnya. Dalam RDP mereka dapat mengevaluasi otsus dengan melibatkan seutuhnya rakyat Papua. Oleh sebab itu, dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pemerintah mestinya memberikan ruang seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk menyampaikan pendapat/pikiran, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP. Apalagi kebebasan menyampaikan pendapat dijamin penuh oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Peraturan perundang-undangan yang menjamin warga negara untuk menyampaikan pendapat dimaksud adalah pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Atau Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Lalu Pasal 9 DUHAM, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menyampaikan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.”

Oleh sebab itu, jika kemudian pemerintah dengan berbagai alasan yang tidak logis kemudian membatasi rakyat Papua, untuk menyampaikan pandangan/pikiran/pendapat tentang berhasil atau tidaknya UU Otsus Papua, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP, adalah murni pelanggaran atas konstitusi NKRI.

Tangung jawab bupati/wali kota memfasilitasi rakyat berpendapat, bukan politisir RDP

Jika beberapa bupati dan wali kota di wilayah Tabi dan Saireri mengevaluasi pelaksanaan UU Otsus pada Agustus 2020 di Jayapura atau adanya penolakan pelaksanaan RDP oleh para bupati/wali kota, maka itu adalah sebuah kekeliruan besar, sebab revisi atau evaluasi terhadap keberadaan UU Otsus mutlak kewenangan MRP sesuai pasal 77 dan 78 UU Otsus.

Apalagi soal perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat misalnya. Dalam pelaksanaan UU Otsus secara jelas pula diatur dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP.No.64/2008 tentang MRP dimana pada pasal 36 huruf (e), MRP memiliki wewenang “memberikan pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD, bupati/wali kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua”.

Jika para bupati dan wali kota di wilayah adat Tabi dan Saireri mendahului evaluasi UU Otsus, maka pertanyaannya, evaluasi itu atas dasar persetujuan atau pertimbangan siapa? Usulan revisi atau evaluasi otsus dalam UU Otsus mutlak ranah MRP.

Jika evaluasi otsus oleh para bupati/wali kota di dua wilayah adat tersebut dianggap final, apakah telah mengakomodasi suara semua komponen rakyat Papua di wilayah adat Tabi dan Saireri? Berapa banyak OAP yang terlibat dan menyatakan bahwa otsus berhasil dan harus dilanjutkan atau berapa banyak OAP di dua wilayah adat itu yang menyatakan otsus gagal dan menolak kelanjutannya?

Dalam evaluasi yang keterlibatannya terkesan hanya kelompok elite itu, menyebabkan tidak jelas sikap OAP di dua wilayah adat tersebut. Ini tentu karena tidak adanya niat para bupati/wali kota di dua wilayah adat itu untuk melibatkan OAP dari berbagai komponen, yang seharusnya menjadi subjek dari evaluasi otsus.

Hasil evaluasi dan rekomendasi para bupati/wali kota wilayah adat Tabi dan Saireri itu justru terkesan hanya versi para elite, para bupati dan wali kota. Dengan demikian, pola-pola ini mencederai kebebasan rakyat berpendapat.

Pengambilalihan kewenangan seperti ini, sebenarnya membuktikan bahwa pelaksanaan otsus selama hampir 20 tahun tidak berjalan maksimal, dalam hal kepentingan OAP. Ini juga membuktikan kurangnya pemahaman atas isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP.

Sikap para bupati atau wali kota di dua wilayah adat yang menolak RDP ini, juga membuktikan bahwa pemerintah gagal menyiapkan SDM orang Papua, sehingga OAP di lima wilayah adat ini terkesan terbelah, dan karena itu dianggap tidak penting untuk dilibatkan dalam mengemukakan pendapat pada evaluasi otsus.

Para bupati/wali kota yang terus mempolitisir RDP menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini karena seorang kepala daerah yang tidak paham tentang isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP ataukah karena memang gagal mengelola 80% alokasi triliunan anggaran otsus yang selama ini diterima oleh kabupaten/kota? Ataukah karena mereka dapat ditekan oleh pemerintah pusat?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bisa jadi alasannya walaupun kita tidak dapat membuktikannya. Jika karena alasan-alasan seperti dalam pertanyaan di atas, maka ini adalah kekeliruan besar. Ini juga dapat disebut bahwa para bupati/wali kota sebagai dalang utama pembungkam ruang demokrasi rakyat Papua. Ini juga adalah kegagalan pemerintah mendidik OAP tentang kebebasan rakyat untuk berpendapat. Itu merupakan perlawanan seorang kepala daerah terhadap perintah undang-undang negara, sebab RDP adalah amanat UU negara.

Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota mestinya paham baik amanat UU Otsus itu sendiri, sehingga tidak salah tafsir di kalangan masyarakat. Kelalaian pemerintah kabupaten yang tidak pernah transparan soal anggaran otsus maupun regulasinya dalam pengelolaan keuangan otsus, tentu saja dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda di kalangan masyarakat—subjek utama kehadiran otsus.

Di sisi lain, evaluasi yang dilakukan para kepala daerah di kabupaten/kota mestinya terbuka/transparan, sedetail mungkin, sehingga masyarakat penerima manfaat juga puas, apa yang berhasil dan tidak selama hampir 20 tahun otsus di Papua.

Usulan atau pikiran masyarakat tentang penting atau tidaknya keberlanjutan otsus di Tanah Papua memang harus benar-benar datang dari nurani rakyat sebagai penerima manfaat, bukan mengumpulkan elite di daerah lalu menyimpulkannya secara tergesa-gesa.

Dalam hal evaluasi otsus di 7 wilayah adat di Tanah Papua, pemerintah kabupaten/kota mesti memfasilitasi rakyat secara menyeluruh, terbuka/transparan, dan mengakomodasi berbagai pihak, baik pro NKRI, maupun Papua merdeka, sehingga evaluasinya benar-benar tuntas, sebab RDP yang didorong MRP adalah ruang rakyat untuk berpendapat. Kepala daerah mesti berperan aktif dalam hal ini, bukan mengeluarkan pernyataan kontra produktif, apalagi mendahului kewenangan MRP.

Jika ada kepala-kepala daerah yang mendahului evaluasi MRP, maka timbul pertanyaan, apakah karena pemerintah daerah takut disoroti rakyat karena pengelolaan keuangan otsus yang tidak tepat sasaran? Ini harus jelas. Apalagi anggaran RDP tidak dibebankan kepada APBD kabupaten. Semua akomodasi RDP justru dibiayai oleh APBD provinsi melalui MRP. Para kepala daerah seperti menghindari aspirasi masyarakat, padahal kepala daerah di kabupaten/kota merupakan pilihan rakyat yang juga pengelola 80% dana otsus selama ini.

Jika selama ini yang dikerjakan para bupati dan wali kota benar-benar demi kepentingan rakyat Papua, maka pemerintah daerah harus membuka diri, buka ruang bersama MRP, lalu menyediakan waktu kepada rakyat Papua, untuk mengemukakan keluh kesa rakyat akar rumput, sehingga semua pikiran rakyat benar-benar terakomodasi, untuk kemudian menjadi indikator dalam pengambilan kebijakan ke depannya dalam membangun tanah dan manusia Papua.

Pengadangan dan penolakan terhadap RDP merupakan pelanggaran hukum

Jika ada sebuah pertanyaan, apa dasar hukum bagi pihak-pihak yang akhir-akhir ini terus memaksakan kehendak dengan menolak RDP yang didorong oleh MRP? Maka jawabannya adalah nihil. Artinya bahwa penolakan atas pelaksanaan RDP sama sekali tidak memiliki dasar hukum.

Apa yang dilakukan MRP dengan RDP berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan NKRI. Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga representatif rakyat Papua yang keberadaannya atas dasar UU Otsus maupun PP No.64 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP, dan itu merupakan instrumen hukum produk NKRI.

Jika ada pihak-pihak yang berupaya menggagalkan RDP, apalagi pengadangan seperti di Wamena, penangkapan oleh Polres Merauke hingga pernyataan penolakan oleh beberapa bupati dan wali kota, merupakan perlawanan terhadap amanat undang-undang negara. Bupati apalagi aparat kepolisian sudah dengan sadar telah melawan undang-undang, padahal MRP sedang melaksanakan perintah UU negara. Dalam konteks hukum, pihak-pihak tersebut seharusnya diberikan sanksi hukum yang tegas.

Pembiaran demontrasi oleh Polri di area objek vital tentunya telah melanggar UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional, dan Perkap Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah, serta Perkap Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Sektor, Surat Keputusan Kapolri No.Pol : Skep/551/VIII/2003, Tanggal 12 Agustus 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Pengamanan Obyek Khusus. Surat Keputusan kapolri No.Pol : Skep/738/X/2005, Tanggal 13 Oktober 2005 tentang Sistem Pengamanan Obyek Vital Nasional, Direktif Kapolri No.Pol. : R/Dir/680/IX/2004 tentang Pengamanan Obyek Vital. Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.15 Tahun 2017 Tentang Larangan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Pada Obyek-Obyek Vital Transportasi Nasional.

Aparat keamanan juga tidak melaksanakan tupoksinya dalam menjaga pejabat negara dalam menjalankan perjalanan kedinasan sebagaimana diatur dalam UU No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dengan demikian pengadangan terhadap MRP di Wamena dan Merauke juga merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

Penghadangan dan pembatalan RDP merugikan keuangan negara

MRP mengagendakan RDP jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga sudah dipersiapkan, mulai dari materi RDP, akomodasi, dan lain sebagainya, yang dapat mendukung kesuksesan RDP itu. Persiapan RDP tentu menghabiskan anggaran negara yang cukup besar, tetapi jika dibatalkan hanya karena alasan tidak logis, apakah MRP tidak mengalami kerugian? Pembatalan RDP tentu mengalami kerugian material yang cukup besar, apalagi keuangan negara. Bersambung. (*)

Penulis adalah masyarakat pegunungan tengah Papua

Read More
Categories Berita

RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 1)

Tim Rapat Dengar Pendapat Otsus Papua tiba di Bandara Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan diadang sekelompok orang yang mengatasnamakan Lembaga Masyarakat Adat. – Jubi/Yuliana Lantipo

 

Oleh: Welis Doga

Pro-kontra antara pemerintah dengan orang Papua terhadap sejarah status politik Papua dalam Indonesia, hingga kini menjadi akar beribu problem tanpa jalan penyelesaian. Beragam kebijakan tanpa melibatkan orang asli Papua (OAP) yang jelas-jelas membahas tentang tanah dan manusia Papua itu seperti semakin subur.

Mulai dari Perjanjian New York 1962 yang dibicarakan antara Belanda dan Indonesia difasilitasi oleh Amerika Serikat di bawah kontrol PBB, yang intinya membuat sebuah perjanjian tentang status politik Papua – awal OAP jadi objek, lalu diikuti dengan aneksasi Papua ke dalam NKRI pada 1963.

Menurut pemerintah Indonesia peristiwa itu terjadi karena adanya niat penggabungan ke dalam NKRI, tetapi OAP menyebutnya sebagai pemaksaan kehendak (aneksasi). Kemudian MoU tentang PT Freeport Indonesia yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat pada 1967 sebelum Pepera 1969, juga tidak melibatkan OAP (orang Papua tetap menjadi objek) yang punya hak kesulungan atas tanah dan areal operasi pertambangan milik perusahaan raksasa Amerika itu, walaupun keduanya paham bahwa status politik Papua belum tuntas saat itu.

Gagasan pentingnya Pepera 1969 juga bukan atas kesepakatan bersama antara OAP dengan pemerintah Indonesia, melainkan gagasan tentang perlunya Pepera, tata cara pelaksanaan Pepera, kesemua tentang Pepera disiapkan secara sepihak antara pemerintah Indonesia dan UNTEA/PBB tanpa melibatkan OAP. Dalam proses itu OAP tetap menjadi objek. Buktinya adalah pelaksanaan Pepera 1969 penuh intimidatif, hasilnya tidak demokratis. Namun PBB masih mengakui hasil Pepera yang inkonstitusional menurut hukum internasional itu.

Di era reformasi, pola-pola itu masih diterapkan lagi oleh pemerintah Indonesia. Lahirnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua juga tetap sama. OAP tetap jadi objek. Naskah UU Otsus sendiri dibahas di Jayapura. Walaupun begitu, dalam pembahasan rancangan UU Otsus itu, pemerintah tetap saja tidak melibatkan rakyat Papua dan aspirasinya. Tidak ada satu pun aspirasi OAP yang dapat diakomodasi dari 79 pasal dalam UU Otsus, hanya versi pemerintah yang dititipkan kepada kelompok tertentu di Papua untuk dirumuskan.

Dengan demikian, di era pascareformasi, apalagi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, kini waktunya membuka ruang sebesar-besarnya kepada OAP untuk memberikan pandangan/pikiran tentang berhasil atau tidaknya otsus selama 20 tahun di Papua, lalu berikan juga ruang kepada rakyat, apa yang sebenarnya rakyat Papua inginkan. Ini seharusnya terbuka/transparan dalam negara demokrasi seperti ini.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) merupakan ruang yang tepat untuk berbagai pihak yang berbeda pandangan untuk menyalurkan aspirasinya, terutama OAP dan pihak pendukung “Papua merdeka harga mati” dengan “NKRI harga mati”. Kedua kelompok adalah OAP yang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapat dan RDP-lah ruangnya.

Oleh sebab itu, para bupati atau wali kota dan TNI/Polri mesti bertangung jawab dan memastikan dengan benar, bahwa OAP, apapun ideologinya, harus terlibat penuh dalam evaluasi otsus melalui RDP. Jika pemerintah—para bupati atau wali kota, apalagi aparat penegak hukum atas nama Maklumat Kapolda Papua harus menghalangi RDP, maka kesannya adalah OAP terus menjadi objek, padahal dengan kehadiran otsus, OAP justru harus menjadi subjek.

Jika pemerintah hanya mengutamakan sikap satu kelompok saja, misalnya, Barisan Merah Putih (BMP) dan Lembaga Musyawarah Adat (LMA) atau apapun namanya yang mendukung otsus, apakah itu akan dijamin keabsahannya? Atau apakah hanya dengan satu kelompok, apalagi hanya beberapa orang itu, disebut telah mewakili jutaan OAP? Apakah pola-pola lama itu dianggap masih relevan di era pascareformasi ini? Apakah dengan pola itu kemudian beribu problem di tanah ini dijamin akan selesai? Ataukah dengan pola itu juga niat rakyat Papua untuk merdeka akan redup? Kita mesti berpikir logis dalam menjawab beribu problem di tanah ini.

Sekarang tidak relevan lagi jika harus memaksakan pola-pola lama. Itu sangat memalukan, justru menentang dan mencederai nilai-nilai HAM sebagaimana dirangkum secara sempurna dalam konstitusi NKRI, yakni pasal 28 UUD 1945 atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights).

RDP yang didorong MRP mestinya dilihat sebagai sebuah ruang rakyat untuk berpendapat secara demokratis, yang sama halnya dengan asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas dan asas manfaat sebagaimana juga diatur dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Apalagi kemerdekaan mengemukakan pendapat dijamin penuh UUD 1945.

Oleh sebab itu, pemerintah dan aparat keamanan di dua provinsi di Tanah Papua mesti berperan aktif, bertangung jawab dan melibatkan berbagai pihak yang belakangan pro dan kontra terhadap UU Otsus Papua, untuk berpendapat secara demokratis dalam forum RDP yang difasilitasi oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).

Para kelompok penentang RDP juga harus diberi pemahaman tentang hak rakyat mengemukakan pendapat di muka umum, sebagaimana dijamin konstitusi Indonesia. Pemerintah kabupaten/kota memiliki tangung jawab untuk mendidik rakyat pada jalan yang benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di republik ini, sebab apa yang dijalankan oleh MRP itu sesuai amanat undang-undang NKRI.

RDP adalah amanat konstitusi Indonesia

RDP yang kini menjadi perdebatan berbagai pihak di Papua mestinya tidak menjadi sebuah problem. Ini sebenarnya bukan hal yang harus diperdebatkan, sebab yang dilakukan MRP sesuai pasal 77 UU Nomor 21 tahun 2002 tentang Otonomi Khusus Papua, yang berbunyi “Usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat di provinsi paling timur Indonesia ini melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pelaksanaan RDP juga merupakan kewenangan yang melekat pada MRP sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasal 51 dalam PP No. 54 secara sempurna telah mengatur tentang rapat-rapat yang wajib dilakukan MRP, di antaranya, rapat pleno, rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat kelompok kerja, dan rapat gabungan kelompok kerja.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang sedang didorong oleh MRP merupakan rapat yang menjadi wewenang lembaga kultural OAP ini, sebagaimana diamanatkan pada pasal 52 ayat (3) PP No.54 Tahun 2004, “Rapat Dengar Pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c merupakan rapat yang dilakukan oleh alat kelengkapan MRP dengan badan dan lembaga-lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuai dengan kewenangan MRP”.

Dengan demikian penolakan terhadap RDP merupakan sebuah kekeliruan besar. Pernyataan-pernyataan tolak RDP oleh berbagai pihak menentang atau melanggar amanat UU Otsus Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008.

Tidak ada dasar hukum bagi kelompok Barisan Merah Putih (BMP) atau para bupati/wali kota untuk menolak RDP. Apalagi BMP hanyalah organisasi sosial yang kewenangannya tidak diatur dalam UU Otsus maupun PP No. 54/2004. Juga tidak ada kewenangan para bupati/wali kota untuk menolak atau melarang pelaksanaan RDP yang didorong oleh MRP.

Dengan demikian, jika kelompok BMP hendak menyampaikan pendapat tentang lanjut atau tidaknya status otsus di Papua, mestinya mereka menyampaikan pendapat itu dalam RDP. Ini akan jauh lebih baik dan bermartabat sebagai sesama rakyat Papua, yang juga punya hak berpendapat dalam negara demokrasi seperti Indonesia, jika niatnya adalah dalam rangka membangun Papua.

Dalam situasi pro-kontra ini, mestinya pemerintah daerah, terutama para bupati dan wali kota di kedua provinsi di Tanah Papua, punya kewajiban untuk mendidik rakyat dalam hal berdemokrasi—menyampaikan pendapat sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga tidak salah tafsir karena ketidaktahuannya kemudian memunculkan beda pendapat, yang bisa saja berujung pada pro-kontra yang berdampak luas. Bukan seenaknya mempolitisir dan mengadu domba rakyat yang mengarah pada perpecahan. Janganlah menjadi otak intelektual perpecahan rakyat sendiri. Itu akan dinilai publik sebagi tindakan premanisme, dan menambah kesan buruk dalam negara demokrasi sebesar Indonesia.

Penyelenggaraan RDP mutlak kewenangan MRP

Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga negara di daerah dalam rangka pelaksanaan otsus Papua. Keberadaan MRP berdasarkan amanat UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Ada 7 pasal dalam UU Otsus Papua yang secara sempurnan mengatur tentang MRP, yaitu, pasal 19, 20, 21, 22, 23, 24, dan pasal 25.

Tindak lanjut dari tujuh pasal dalam UU Otsus tersebut lahirlah Perarturan Pemerintah No.54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No. 64/2008 telah mengatur dengan jelas tentang tugas pokok dan fungsi kerja, wewenang dan kewajiban MRP. Dengan demikian RDP yang diagendakan MRP adalah mutlak wewenang MRP sebagai tindak lanjut dari amanat UU Otsus dan PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004, sehingga penolakan atas agenda RDP adalah sebuah kekeliruan besar dan menentang amanat peraturan perundang-undangan.

Pro dan kontra terhadap agenda MRP tentang RDP di penghujung pemberlakuan UU Otsus Papua, sepertinya menjadi sebuah problem yang boleh dikatakan cukup lucu dan memalukan. Yang memalukan adalah pihak-pihak yang justru paham tentang peraturan perundang-undang negara, tetapi menolak RDP.

Mungkin kelompok yang mengatasnamakan BMP boleh dikatakan agak maklum, karena sikap penolakan terhadap RDP oleh BMP atau apapun namanya, bisa jadi karena keterbatasan pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terutama UU Otsus Papua atau bisa juga karena dipaksakan oleh pihak-pihak tertentu.

Yang perlu diketahui dan paham oleh pihak-pihak yang menolak RDP, bahwa dari 79 pasal dalam UU Otsus Papua maupun 76 pasal dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008 tentang MRP. Tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang kewenangan penolakan terhadap pelaksanaan RDP oleh siapapun, termasuk para bupati dan pihak-pihak lain. Justru ruang untuk menyatakan sikap, apakah otsus harus lanjut atau tidak, adalah RDP yang diberi wewenang oleh UU Otsus maupun PP.No.64/2008 tentang perubahan PP No.54/2004 kepada MRP. Untuk memfasilitasi ruang yang dimaksud adalah RDP.

Persoalannya, para pihak yang menolak RDP justru melanggar amanat undang-undang negara, UU Otsus dan PP No.54/64. Itu adalah peraturan perundang-undangan negara, bukan peraturan yang dibuat-buat oleh MRP. Maka penegak hukum mesti menindak tegas setiap pelanggar. Sesuai tugas dan fungsinya, aparat negara, terutama kepolisian memberikan kenyamanan dalam pelaksanaan amanat undang-undang.

Apapun ideologinya, RDP ruang rakyat Papua untuk berpendapat

Rapat Dengar Pendapat (RDP) bukan agenda rapat yang dikarang-karang oleh MRP dengan kepentingan tertentu. MRP juga tidak mengubah forum RDP itu menjadi Rapat Dengar Pendapat Papua Merdeka (RDPM), tetapi RDP sesuai amanat undang-undang, sebagaimana diatur dalam pasal 51 dan 52 PP Nomor 54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008 tentang Majelis Rakyat Papua. Dengan demikian, RDP yang didorong MRP dilakukan dalam rangka membicarakan keberlanjutan atau tidaknya otsus di Tanah Papua.

Dalam hal RDP, OAP harus dijadikan sebagai subjek utama atau sasaran utama, sehingga OAP mempunyai hak untuk memberikan pendapat, sebab, tujuan UU Otsus Papua adalah untuk meningkatkan taraf hidup OAP, sehingga dalam RDP, OAP dapat menilai bagian apa saja dari triliunan anggaran negara itu yang dapat meningkatkan taraf hidupnya atau apa masalahnya otsus tidak maksimal, bahkan dianggap gagal menyejahterakan OAP selama hampir 20 tahun.

Penilaian berhasil atau tidaknya terhadap UU Otsus Papua selama hampir 20 tahun berlabuh di Bumi Cenderawasih itu seharusnya datang dari rakyat akar rumput, sebab sasaran atau subjek utama dari UU Otsus adalah OAP, bukan pemerintah, baik pusat, maupun pemerintah daerah atau aparat keamanan. Bersambung. (*)

Penulis adalah masyarakat pegunungan tengah Papua

Read More
Categories Berita

MRP akan kaji kasus penangkapan tim RDP Otsus Papua di Merauke

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP akan mengkaji kemungkinan untuk mengambil langkah hukum dalam kasus penangkapan tim Rapat Dengar Pendapat Otonomi Khusus Papua yang dilakukan polisi di Merauke. Hal itu dinyatakan Ketua MRP, Timotius Murib di Kota Jayapura, Kamis (26/11/2020).

Murib menyesalkan langkah polisi menangkap tim Rapat Dengar Pendapat (RDP) Otonomi Khusus (Otsus) Papua di Merauke pada 17 November lalu. “Di Merauke, itu ada anggota MRP dengan staf sekretariat dan staf ahli, mereka diborgol. Saya pikir ini akan ditindaklanjut. Selanjutnya seperti apa, terserah dari tim RDP. Jika bisa diproses hukum, saya rasa akan diproses hukum. Tetapi jika hasil keputusan kita cukup berdamai, ya cukup,” kata Murib.

Murib menyatakan RDP di Wilayah Adat Lapago, Meepago, dan Animha menghadapi penolakan dari sejumlah pihak, sehingga gagal dilakukan. “Yang terjadi di lapangan kemarin ini, ada kelompok-kelompok tertentu yang melarang untuk melakukan RDP. Kemudian yang lebih sadis itu di Merauke, itu ada anggota MRP dengan staf sekretariat dan staf ahli, mereka diborgol,” kata Murib.

Ia menyatakan laporan dari setiap tim RDP Otsus Papua yang telah diterima Rapat Gabungan Kelompok Kerja MRP pada Kamis. Tim MRP dari 5 adat menyampaikan hasil. Kalau kita berbicara soal hasil ini, apapun yang terjadi dan dihadapi oleh tim RDP di wilayah masing-masing, itu yang dilaporkan tadi. Tim RDP akan mengkompilasi laporan-laporan tersebut, menjadi satu dokumen yang akan disampaikan oleh pimpinan,” kata Murib.

Ia menyatakan MRP belum memutuskan kelanjutan RDP Otsus Papua itu. “Apakah akan terus dilakukan?  Kapan? Atau akan ditiadakan. Tim RDP akan menilai dan menyusun,” katanya.

Ia menekankan, RDP yang seharusnya digelar di lima wilayah adat di Provinsi Papua itu adalah upaya MRP untuk menjaring aspirasi rakyat Papua atas pelaksanaan Otsus Papua. “MRP melakukan RDP, agar rakyat akan menilai efektivitas pelaksanaan UU Otsus Papua, sehingga hasil RDP akan kami rekomendasikan kepada Presiden, [antara lain] untuk pembobotan RUU Otsus Plus yang hari ini [masuk dalam] Program Legislasi Nasional. Itu tujuan kami,” kata Murib.

Menurut Murib, sesungguhnya MRP sudah pernah menggelar RDP Otsus Papua pada 2013 dan 2015. “Jadi ini RDP ketiga yang dilakukan MRP.  RDP sebelumnya dilakukan  pada periode kedua, pada tahun 2013 dan 2015. Hasil daripada RDP sebelumnya itu adalah  Rancangan Undang-undang atau RUU Otsus Plus. RUU Otsus Plus itu belum disosialisasikan kepada masyarakat, jadi masyarakat sebelum memberikan penilaian terhadap RUU itu. Sudah 7 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, [RUU itu] tidak pernah dibahas,” kata Murib.

Murib meminta seluruh rakyat berdoa agar upaya MRP menjaring aspirasi masukan masyarakat atas pelaksanaan Otsus Papua dapat terlaksana. “Sesungguhnya rakyat Papua harus berdoa. Semua komponen harus berdoa. MRP akan berjuang terus, sehingga ada aspirasi yang disampaikan rakyat Papua terkait kelanjutan Otsus,” ujarnya.

Murib menyatakan sikap MRP terkait polemik kelanjutan Otsus Papua sepenuhnya bergantung kepada aspirasi rakyat Papua. “Entah mau lanjut atau tidak, tergantung aspirasi nantinya. Rakyat harus ini harus tunggu. MRP akan memberikan kesempatan untuk mereka untuk menyampaikan aspirasi,” tegas Murib.(*)

 

Read More
Categories Berita

Datangi MRP, Mahasiswa Puncak se-Indonesia Minta Keadilan 5 Warga Sipil Dibunuh Oleh Aparat Negara

 

 

Mahasiswa Puncak se-Indonesia saat menyerahkan aspirasi, yang di terima oleh Yoel Mulait ketua Pokja Agama MRP bersama enam anggota MRP lainnya – (Humas MRP)

 

JAYAPURA, MRP – Bertemu Pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Tim Peduli Kebenaran pembunuhan warga sipil kabupaten Puncak pelajar mahasiswa se-Indonesia meminta elite politik Papua, MRP, DPR Papua, Gubernur Papua dan seluruh staf Pemerintah untuk menyikapi penembakan empat pelajar dan satu PNS korban warga sipil kabupaten Puncak yang dilakukan oleh aparat negara. 

Ketua tim Tias M. D dihadapan pimpinan dan anggota MRP menyampaikan pernyataan sikap dengan tegas kepada pihak berwajib bahwa mahasiswa Puncak se-Indonesia dengan tegas meminta kepada negara untuk bertanggung jawab atas penembakan empat pelajar dan satu PNS korban warga sipil di kabupaten Puncak.

“Kami mahasiswa Puncak se-Indonesia mendesak kepada para elit politik Papua, MRP, DPR Papua, Gubernur Papua, dan seluruh staf Pemerintahan agar sikapi penembakan lima warga sipil asal Puncak tersebut,” ujarnya.

Lanjutnya, Mahasiswa Puncak se-Indonesia juga mengutuk tindakan yang dilakukan oleh aparat negara terhadap empat pelajar dan satu PNS sebagai staf di kantor dinas pertanian menjabat sebagai bendahara.

“Kami mahasiswa dan rakyat pribumi di Puncak mendesak tegas agar segera tarik aparat keamanan non organik dari kabupaten Puncak dan meminta dengan tegas TNI-Polri jangan membatasi ruang gerak masyarakat Puncak tanpa alasan apapun,” tegasnya.

Wemiron Tabuni, penanggung jawab kegiatan aksi juga menambahkan mahasiswa Puncak se-Indonesia meminta lembaga independent baik Komnas HAM dan aktivitas HAM segera lakukan inventarisasi guna mengungkap kasus pembunuhan ini tanpa intervensi pihak institusi TNI-Polri.

“Kami mahasiswa kabupaten Puncak se-Indonesia meminta lembaga dan negara harus menanggapi kasus ini, jikalau tidak menangapi serius maka kami mahasiswa akan bertindak tegas dengan mencabut dan mengembalikan Surat Keputusan (SK) ke pusat (Jakarta),” ujarnya.

Mewakili pimpinan MRP, Yoel Mulait ketua Pokja Agama MRP bersama enam anggota MRP menerima aspirasi mahasiswa Puncak se-Indonesia menyampaikan turut berdukacita atas kejadian yang menimpa lima warga sipil di Puncak.

“Untuk proses selanjutnya lembaga akan melanjutkan aspirasi sesuai mekanisme Lembaga sehingga bisa ditindaklanjuti sesuai harapan kita bersama,” harapnya. (*)

 

Sumber: Suara Papua

 

Read More
Categories Berita

Terkait penolakan RDP: LMA, kelompok Pepera, dan para bupati di Papua menampar wajah Indonesia

Aksi pemalangan dengan orasi di depan pintu keluar bandara Wamena oleh massa Tokoh Pepera dan pejuang veteran Jayawijaya terhadap anggota MRP / ist

JAYAPURA, MRP – Legislator Papua, Natan Pahabol menyatakan kepala daerah di Papua yang menolak pelaksanaan rapat dengar pendapat atau RDP pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan pamanfaatan dana Otsus, sama saja ikut menguatkan isu referendum.

Ia mengatakan, Majelis Rakyat Papua atau MRP sebagai representasi lembaga kultur orang asli Papua mengagendakan menggelar RDP evaluasi Otsus, dengan perwakilan berbagai kalangan masyarakat adat Papua di lima wilayah adat, 17-18 November 2020 silam.

Akan tetapi, di beberapa daerah muncul penolakan pelaksanaan RDP dari kelompok tertentu. Bahkan ada kepala daerah juga menyatakan menolak.

“Penolakan itu justru menguatkan isu Papua merdeka (referendum) di mata berbagai kalangan termasuk dunia internasional,” kata Natan Pahabol melalui panggilan teleponnya, Selasa (24/11/2020).

Menurutnya, penolakan evaluasi Otsus itu mungkin saja akan dipertanyakan berbagai pihak yang selama ini mengikuti isu Papua.

Tidak menutup kemungkinan para pihak ini akan menyimpulkan kalau pelaksanaan Otsus Papua selama ini memang gagal, sehingga ada pihak tak diingin dilakukan evaluasi, termasuk beberapa bupati yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah.

“Bupati yang menolak RDP, sama saja menyampaikan Otsus gagal. Ini justru menguatkan isu Papua merdeka. Berbagai pihak, termasuk dunia internasional selalu mengikuti perkembangan Papua. Penolakan ini tidak hanya bagian dari pembungkaman ruang demokrasi, juga pintu masuk berbagai pihak berkepentingan memperbesar isu Papua,” ujarnya.

Mantan anggota MRP periode 2009-2014 itu berharap Menteri dalam Negeri menegur para kepala daerah yang ikut-ikutan menolak RDP evaluasi Otsus.

Katanya, pelaksanaan evaluasi Otsus merupakan amanat pasal 77 Undang-Undang Otsus Papua. Pasal itu memberi kewenangan kepada MRP melakukan evaluasi. Hasilnya diserahkan ke DPR Papua untuk diparipurnakan, kemudian dilanjutkan kepada pemerintah pusat.

“Pemerintah daerah hanya memfasilitasi pelaksanaan RDP. Apapun hasil RDP nantinya, tidak perlu khawatir berlebihan. Misalnya saja mereka yang hadir menyatakan Otsus gagal, Otsus berhasil atau meminta referendum, tidak langsung terjadi. Ada proses dan mekanismenya,” ucapnya.

Kata Sekretaris Fraksi Gerindra DPR Papua itu, sikap bupati yang menolak RDP evaluasi Otsus patut dipertanyakan. Mereka selama ini menggunakan dana Otsus, namun menolak dilakukan evaluasi.

Katanya, jika para kepala daerah menyatakan Otsus sudah berjalan semestisnya, tak perlu khawatir atau menolak saat akan dilakukan evaluasi oleh masyarakat. Cukup memfasilitasi pelaksanaan RDP.

“Kalau menolak, memunculkan kecurigaan dan tanda tanya. Mereka ini sama saja melecehkan Undang-Undang Otsus dan negara yang telah membuat undang-undang itu,” katanya.

Ia menambahkan, para kepala lain di Papua mesti mencontoh Bupati Biak Numfor. Ia memfasilitasi pelaksanaan RDP wilayah adat Saireri di daerahnya sehingga bisa terlaksana.

“Itu artinya Bupati Biak paham tugas dan tanggungjawabnya sebagai pemerintah daerah. Ikut melaksanakan amanat Undang-Undang Otsus,” ucap Pahabol.

Ketua MRP, Timotius Murib kepada awak media awal pekan lalu mengatakan adanya penolakan sejumlah pihak terhadap pelaksanaan RDP, disebabkan kecurigaan berlebihan. Mereka menduga RDP itu akan membawa aspirasi Papua merdeka.
Katanya, penolakan RDP justru merupakan pembungkaman hak demokrasi warga asli Papua.

“Kami hanya ingin ada perbaikan pelaksanaan Otsus secara menyeluruh,” kata Murib, 16 November 2020 silam.

MRP kata Murib, jika tidak memahami sikap sejumlah kepala daerah yang menolak pelaksanaan RDP. Sebelum pelaksanaan, lembaga itu telah menyurati kepala daerah di lima wilayah adat di Papua.

“Penolakan RDP evaluasi Otsus telah menciderai hak warga Papua menyampaikan pendapatnya, demi mencapai solusi bersama,” ujarnya. (*)

Sumber: Jubi

Read More

Categories Berita

Penangkapan Anggota Majelis Rakyat Papua Cermin Pembungkaman OAP*

Anggota MRP Papua ditangkap – Humas MRP

MERAUKE, MRP – Merespon penangkapan anggota dan staf Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh anggota Kepolisian Resor Merauke dengan tuduhan makar, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Rapat Dengar Pendapat yang dipersiapkan oleh Majelis Rakyat Papua di Merauke merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat. Menangkap mereka secara sewenang-wenang sangatlah diskriminatif sementara kita tahu kebebasan berkumpul untuk kelompok lain justru dijamin.”

“Belum lagi, mereka dituduhkan dengan pasal makar hanya karena mengutarakan pendapat dengan damai. Ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia.”

Beberapa peserta RDP yang menunggu pemeriksaan di Aula Polres Merauke.

“Majelis Rakyat Papua merupakan perwakilan dari masyarakat Papua dan mempunyai hak untuk meminta dan mengutarakan pandangan masyarakat Papua terhadap implementasi otonomi khusus. Seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum menjamin dan melindungi hak tersebut, bukan melakukan tindakan represif yang semakin menggerus kebebasan berekspresi di sana.”

“Penangkapan terhadap mereka di Papua yang menggunakan haknya untuk berekspresi dan berkumpul, seperti kawan-kawan MPR ini, akan sulit untuk dihentikan selama pasal makar di KUHP masih diterapkan di luar ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional.”

Latar belakang

Pada 17 November 2020, 55 orang, termasuk dua anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), ditangkap oleh anggota Polres Merauke dan dituduh melanggar Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang makar.

Ke-55 orang tersebut berada di Merauke untuk menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait implementasi otonomi khusus di Papua. RDP tersebut tadinya direncanakan untuk diadakan pada tanggal 17-18 November namun dihentikan karena adanya penolakan dari Kapolres Merauke.

Tenaga ahli MRP, Wensislaus Fatubun, mengatakan kepada Amnesty International Indonesia bahwa dia, koordinator tim RDP, dua anggota MRP, dan seorang staf MRP lainnya ditahan dan diperiksa di Polres Merauke sebelum akhirnya dibebaskan pada 18 November.

Wensislaus mengatakan bahwa barang-barang tim RDP MRP, termasuk uang penunjang kegiatan RDP MRP masih ditahan oleh Polres Merauke.

MRP merupakan lembaga resmi Negara yang ditegaskan di dalam Pasal 5 UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 54/2004 Tentang Majelis Rakyat Papua. Pasal 51 PP No. 54/2004 telah menegaskan salah satu kewenangan MRP adalah untuk melakukan rapat dengar pendapat yang dilakukan oleh alat kelengkapan MRP dengan badan dan lembaga-lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuai dengan kewenangan MRP.

Wensislaus Fatubun setelah menjalani pemeriksaan di Polres Merauke.
Otoritas Indonesia kerap menerapkan pasal “makar”, dengan pengertian yang terlalu umum dan kabur sehingga tidak lagi sesuai tujuan awal dari pasal tersebut. Amnesty menilai penerapan ketentuan makar yang terlalu luas akan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat sesuai dengan ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.

Setiap individu tanpa terkecuali berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. ICCPR secara tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.

Dalam konteks nasional, hak atas kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM.

Amnesty International tidak mengambil sikap apapun terkait status politik dari provinsi manapun di Indonesia. Meski demikian, kami memegang teguh prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan kemerdekaan atau gagasan politik apapun yang dilakukan secara damai yang tidak mengandung kebencian, diskriminasi serta kekerasan.

 

*OAP: Orang Asli Papua

 

Sumber: https://www.amnesty.id/

 

Read More
Categories Berita

Tim MRP Meepago: Begitu Tiba Kami Diintimidasi Aparat TNI dan Polisi

NABIRE, MRP – Salah seorang dari anggota tim Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diutus ke wilayah Meepago untuk gelar kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Otonomi Khusus, mengaku pihaknya sejak tiba di bandara udara Nabire dari Jayapura, pada Sabtu (13/11/2020) lalu, mendapat intimidasi langsung dari aparat keamanan TNI dan Polisi.

Intimidasi dimaksud intimidasi non verbal yakni diikuti dan diawasi ketat.

“Tiba Sabtu pagi. Pas keluar di pintu keluar gedung bandara, kiri, kanan, depan, sudah ada anggota TNI dan polisi. Ada yang pakaian lengkap tapi paling (banyak) itu pakaian preman,” ujar anggota tersebut yang enggan dimediakan kepada Wagadei, Kamis (19/11/2020).

Tak sampai disitu, sepanjang perjalanan ke tempat penginapan aparat terus buntuti.

“Mereka pakai motor dan mobil. Kami tahu itu aparat tapi bikin malas tahu. Selama di Nabire sebelum naik ke Dogiyai, kemana kami pergi diawasi terus,” katanya.

Lebih parah menurutnya, ketika di Dogiyai. Aparat tak hanya mondar-mandir diluar disekitar tempat penginapan. Mereka (aparat) masuk dalam pagar halaman bahkan sampai depan pintu kamar penginapan.

“Hari lain juga. Tapi di hari Senin (16/11), pendropan aparat dalam jumlah besar dari Nabire pakai mobil banyak sekali. Saya lihat sendiri. Terus sekitar jam 04.00 sore, ada satu pleton aparat masuk ke kediaman kami. Mereka hanya mondar-mandir. Tidak sentuh kami (lakukan kekerasan)” ungkapnya.

Kendati begitu, sikap aparat tersebut, dia dan kawan-kawannya menuding sebagai salah satu bentuk tindakan intimidasi terhadap pihaknya secara langsung.

“Karena begitu tiba kami langsung diintimidasi sampai -1 hari H. Kami rasa sekali ada dalam kurungan aparat seperti dalam penjara. Tidak bisa bergerak bebas,” tudingnya.

Diakhir keterangannya, dia menyesalkan sikap aparat yang seharusnya menegakkan hukum dan undang-undang ditetapkan negara malah balik ‘memperkosa’.

“Kami (mau) jalankan RDP sesuai UU Otsus tapi negara Indonesia tidak mau, tidak tahu kenapa. Untuk itu kepada rakyat Papua di Meepago, kami minta maaf sekali, RDP tidak kami gelar. Sekali lagi sebagai manusia biasa, kami minta maaf sekali,” tutupnya.

Seperti diketahui, RDP dibatalkan oleh surat penolakan dari Asosiasi Bupati Meepago yang dikeluarkan Senin (16/11/2020) lalu atau sehari sebelum hari H.

Tiga alasan yang dipakai; adanya Pemilukada di Nabire, adanya maklumat Kapolda Papua dan adanya penolakan RDP digelar di Dogiyai oleh sekelompok orang.(*)

 

Sumber: Wagadei.com

 

Read More