Categories Berita

Layanan Penkes Kritis, MRP Soroti Kebijakan Satu Pintu di Jayawijaya

JAYAPURA, MRP — Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan satu pintu di kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, dianggap sebagai penghambat jalannya efektifitas pendidikan dan kesehatan di distrik dan kampung yang jauh dari perkotaan.

Demikian diungkapkan Yoel Luiz Mulait, wakil ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP), menanggapi tak maksimalnya pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terus dikeluhkan masyarakat di kabupaten Jayawijaya.

Kata Mulait, dalam beberapa pekan terakhir media massa memberitakan masih adanya sekolah yang tak menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM) selama tiga tahun, kantor distrik dan rumah dokter yang hilang dalam rerumputan akibat tak ada aktivitas.

“Kondisi seperti itu seharusnya dikontrol oleh kepala distrik di masing-masing wilayahnya. Tidak ada pengawasan membuat semua berjalan sesukanya. Kepala distrik dan staf yang tidak masuk kantor, kepala sekolah dan guru tidak di tempat tugas, itu kan sangat disayangkan,” tuturnya.

Faktor lain, kata Mulait, pemerintahan selama empat tahun berjalan di kabupaten Jayawijaya hanya berpusat di kota Wamena saja. Hal itu mengakibatkan aktivitas di distrik dan kampung tak efektif.

“Urus KTP saja semua di kota. Kenapa tidak diarahkan ke kantor distrik masing-masing supaya ada aktivitas pemerintahan di distrik? Dengan adanya aktivitas di distrik, kepala distrik punya kewajiban untuk kontrol Puskesmas, Pustu, dan sekolah yang ada di wilayahnya. Seharusnya begitu,” kata Yoel.

Bila proses pemerintahan terfokus di kabupaten, ia pastikan aktivitas pemerintahan di distrik dan kampung tak akan berjalan efektif. Solusinya, kepala daerah harus berikan kewenangan penuh kepada bawahannya yaitu kepala distrik dan kampung untuk jalankan administrasi di sana.

Akibat dari itu kasus HIV/AIDS juga makin meningkat. Penyebabnya tak ada pengawasan serius dari pemerintah maupun dinas terkait.

“Nanti ada kasus baru muncul dan baku tegur. Itu yang tidak boleh terjadi. Kebijakan seperti ini disayangkan sekali,” kata Mulait.

Keluhan selalu diutarakan mengingat buruknya fakta di lapangan. Seperti kepala suku dan warga masyarakat yang ada di distrik Musatfak, bahkan mendesak Pemkab Jayawijaya segera ganti kepala Puskesmas (Kapus) distrik Musatfak.

Lazarus Alua, kepala suku di wilayah itu sangat kecewa dengan pelayanan kesehatan dari tenaga medis kesehatan yang ditugaskan di Puskesmas Musatfak.

Karena, kata Alua, petugas medis sering datang terlambat untuk membuka jam pelayanan. Belum lagi petugas datangnya cepat dan pulang lebih awal. Banyak pasien yang mau berobat, terpaksa harus menunggu bahkan memilih pulang ke rumah. Kadang pergi berobat ke kota Wamena.

Beberapa waktu lalu juga heboh dengan macetnya akivitas KBM di SD Negeri Logotpaga, distrik Asologaima. Selama tiga tahun anak-anak di sana tak lagi belajar. Penyebabnya, kepala sekolah dan guru tak di tempat tugas. (*)

Read More
Categories Berita

MRP Sarankan Pemprov Papua Pegunungan Pastikan Pemilik Sah 72 Ha Tanah Hibah di Welesi

JAYAPURA, MRP — Majelis Rakyat Papua (MRP) menyarankan penjabat gubernur Papua Pegunungan membuka ruang untuk menghadirkan pemilik hak wilayat wilayah Welesi agar memastikan kepemilikan sah dari tanah seluas 72 hektare yang dihibahkan ke pemerintah.

Hal tersebut dikemukakan Yoel Luiz Mulait, wakil ketua I MRP, menyikapi aksi pemalangan jalan oleh masyarakat Wouma di Wamena, beberapa waktu lalu.

Dari informasi yang diperoleh, kata Mulait, masyarakat Wouma tak terima karena tanah yang dihibahkan ke Pemprov Papua Pegunungan tanpa melibatkan pemilik ulayat dari wilayah Wouma.

“Pemerintah harus buka ruang untuk menghadirkan semua pihak, baik dari Welesi, Asolokobal dan Wouma untuk melihat dan memastikan batas-batas wilayah mereka. Hal ini penting agar prosesnya berjalan benar dan kemudian hari aksi palang memalang tidak terjadi lagi,” tegasnya, Jumat (27/1/2023).

Baca Juga:  Gempa Berkekuatan Magnitudo 4,8 Kembali Guncang Jayapura

Yoel menduga proses penyerahan tanah tidak sesuai aturan dan hanya dilakukan oleh pihak tertentu, pemilik ulayat lain merasa diabaikan. Makanya timbul permasalahan seperti terjadi belakangan.

“Pemerintah harus mendengarkan semua pihak, tidak boleh hanya satu dua orang serahkan, lalu klaim tanah itu. Tidak boleh pemerintah dengan tekanan keamanan, lalu abaikan pemilik ulayat,” ujarnya.

Pemerintah juga diminta harus melihat baik, tanya apakah lokasi dihibahkan itu tanah produktif atau tanah hamparan yang sama sekali tidak ada aktivitas masyarakat.

Baca Juga:  Respons Natalius Pigai Terhadap Vonis Bebas Terdakwa Kasus HAM Berat Paniai

“Lahan yang dihibahkan itu hampir semua lahan pertanian. Di sana masyarakat biasa bikin kebun dan lainnya. Kalau dihibahkan dan dibuat kantor, nanti masyarakat ini mau berkebun dimana? Orang Huwula hampir semua bergantung sama kebun dan ternak. Pemerintah harus lihat tempat strategis lain yang tidak ada aktivitas masyarakatnya,” tegas Mulait.

Sebelumnya, Pemprov Papua Pegunungan mengklaim lima suku di Welesi telah menghibahkan 72 hektare tanah untuk lokasi pembangunan kantor gubernur Papua Pegunungan.

Baca Juga:  Korban Kebakaran di Sentani Mendapat Bantuan Alat Tidur Dari Sekda Jayapura

Nikolaus Kondomo, penjabat gubernur Papua Pegunungan, mengaku lima suku besar di wilayah Welesi yakni suku Lani-Matuan, Yelipele, Lani-Wetapo, Assolipele, dan Yelipele-Elopere, telah mendatanginya.

“Kedatangan lima suku untuk menawarkan sekaligus menghibahkan tanah seluas 72 hektare untuk diberikan kepada Pemprov sebagai lokasi bangun kantor gubernur di wilayah adat mereka,” kata Kondomo.

Kedatangan mereka menurutnya tanpa minta biaya apapun atas tanah adatnya kecuali mereka minta kompensasi untuk anak-anak mereka harus direkrut jadi ASN setiap tahun di instansi pemerintahan provinsi Papua Pegunungan. (*)

Read More

Categories Berita

MRP Apresiasi Tim Save Tanah dan Manusia Huwula Di Jayawijaya

JAYAPURA, MRP – Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) memberikan apresiasi kepada tim Save Tanah dan Manusia Huwula di Jayawijaya dalam penyelamatan dan perlindungan terhadap tanah masyarakat adat untuk tidak diperjualbelikan.

Hal tersebut diungkapkan Yoel Luiz Mulait Wakil ketua I MRP ketika melakukan tatap muka dengan para pemilik wilayat suku Huwula di Wamena, beberapa waktu lalu. Rabu, (25/1/2023).

MRP secara kelembagaan, kata Mulait, sudah mengeluarkan keputusan Majelis Rakyat Papua No.3/MRP/2022 tentang larangan jual beli tanah di Papua.

“MRP telah mengeluarkan keputusan, untuk penerapan di lapangan harus dilakukan oleh para pemilik wilayat suku Huwula,” kata Mulait.

Ia juga berpesan kepada pemilik wilayat untuk mempertahankan tanahnya demi anak cucu mereka di kemudian hari agar mereka tidak jadi pendatang di tanahnya sendiri.

“Proses konsilidasi yang dilakukan tim Save Tanah dan Manusia Huwula perlu di dukung semua pihak, baik gereja, adat, pemuda, perempuan dan pemerintah dalam menjaga eksistensi masyarakat adat sebagai pemilik wilayat di wilayah Huwulama,” tuturnya.

MRP juga berpesan kepada setiap komponen yang hadir untuk terus sosialisasikan keputusan MRP ini di setiap suku/klan masing-masing, sampaikan juga di mimbar gereja, tiap kampung dan distrik.

“MRP juga minta dukungan dan kerja sama dari LMA dan DAP dalam perlindungan dan penyelamatan tanah adat sebagai bagian dari kepentingan bersama,” katanya.

Alex Kossay, salah satu pemilik wilayat wilayah Hubikiak mengaku kesadaran masyarakat Huwula dalam melindungi tanah adat belum dilakukan secara maksimal karena keterbatasan pemahaman.

“Lewat keputusan MRP dan kerja tim Save Tanah dan Manusia Huwula diharapkan dapat melindungi tanah adat yang ada di Huwulama (Wamena), karena kita tau sendiri hampir semua tanah dalam kota sudah di kuasai (dibeli) oleh pendatang, dan yang tersisa saat ini hanya tanah tempat Kramat dan kebun, kalau di jual nanti masyarakat berkebun dimana?” ujarnya.

Ia berharap langka yang di ambil tim dapat menyatukan semua suku/klan pemilik wilayat yang ada di Huwulama untuk bersama bersepakat tidak menjual tanah kepada siapapun.

“Saya berharap DOB ini juga tidak serta merta merampas hak masyarakat adat atas tanah mereka atas nama pembangunan,” tegasnya.

Read More
Categories Berita

Bertemu Kedubes Australia, MRP Sampaikan Situasi Papua Tidak Baik-Baik Saja

JAYAPURA, MRP – Pejabat Kedutaan Besar (Kedubes) Australia melaksanakan kunjungan kerja ke Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) guna ingin mendengar langsung kemajuan pembangunan di Papua di era Otonomi khusus (Otsus) Papua.

Kunjungan rombongan Kedubes Australia disambut oleh Wakil ketua I Majelis Rakyat Papua Yoel Luiz Mulait, pimpinan Pokja dan anggota MRP di salah satu hotel di Jayapura, Selasa (17/1/2023) siang.

Pertemuan yang berlangsung selama 2 jam tersebut, membahas terkait situasi Papua, efektivitas Otsus, serta membahas kerja sama dalam pendampingan di bidang pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan terutama di Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

Yoel Luiz Mulait, Wakil ketua I MRP dalam pertemuan tersebut menyampaikan kepada Kedubes Australia bahwa situasi di Papua tidak baik-baik saja, dimana banyak terjadi kekerasan, pelanggaran HAM dan pembungkaman ruang demokrasi masih terjadi dan dialami langsung oleh orang asli Papua.

“Perubahan revisi UU Otsus Papua nomor 21 tahun 2001 tanpa keterlibatan rakyat Papua, MRP dan DPR Papua membuat rakyat Papua marah dan kecewa sama pemerintah pusat hingga saat ini, tidak ada jaminan dengan kehadiran 3 DOB akan mensejahterakan rakyat Papua,” tegas Mulait.

Lanjutnya, kehadiran 3 DOB hanya akan mendatangkan banyak aparat militer di tanah Papua, selain itu banyak warga non Papua yang akan masuk ke Papua untuk kuasai semua instansi pemerintah di 3 DOB.

“Masyarakat Papua masih trauma dengan kehadiran aparat, adanya DOB juga akan ada banyak pos militer yang berdiri di pelosok pedalaman dan ini akan membuat situasi di Papua tidak aman,” tegasnya.

Ciska Abugau, ketua Pokja Agama MRP yang hadir juga meminta pihak Kedubes Australia untuk melihat situasi Papua dimana banyak terjadi Pelanggaran HAM, kekerasan terhadap perempuan dan anak dan penangkapan aktivis tanpa prosedur hukum yang jelas oleh kepolisian republik Indonesia di Papua.

“Kami orang Papua sedang sakit, situasi di Papua dalam kota tidak sama dengan di pedalaman Intan Jaya, Nduga, Yahukimo dan daerah konflik lainnya, sehingga beliau dorang juga harus turun ke daerah pedalaman sana biar bisa lihat situasi Papua yang sebenarnya,” tegas Ciska.

Ia juga menegaskan dengan banyak program kerjasama yang dilakuan Indonesia dan Australia untuk orang asli Papua tidak akan berjalan baik (percuma), karena yang akan menikmati pejabat Papua di kota bukan masyarakat yang ada di pedalaman sana.

“Kami minta bantuan kemanusiaan dari Australia untuk melihat situasi Papua yang di alami orang asli Papua, sehingga kedamaian dan kesejahteraan itu tercipta di tengah masyarakat orang asli Papua,” harap Abugau.

Sementara itu, Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Steve Scott di Jayapura, Selasa (17/1/2023) saat melakukan pertemuan dengan pimpinan Lembaga dan anggota MRP mengatakan kunjungan ini bagian dari kerja sama bilateral antara Indonesia dan Australia di bidang Pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan serta ingin mendengar langsung efektivitas dari Otsus sendiri dari lembaga Kultural orang asli Papua.

“Kami ingin meningkatkan kerja sama yang terjalin selama ini di bidang Pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan ini dapat di fokuskan di Papua guna ada pemerataan dan pendampingan terhadap orang asli Papua,” katanya.

Kedubes Australia juga akan menindaklanjuti laporan keamanan yang di sampaikan MRP dalam kerja sama pertahanan dan akan mengingatkan militer Indonesia untuk junjung tinggi Hak Asasi Manusia di tanah Papua. (*)

Read More
Categories Berita

MRP Bahas Draft Rancangan Perdasus Pemilihan Anggota MRP Baru

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua menggelar sidang Rapat Pleno dalam rangka pemberian pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua terhadap rancangan peraturan daerah khusus Provinsi Papua tentang tata cara pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua.

Sidang Rapat Pleno berlangsung di ruang sidang utama Majelis Rakyat Papua, dipimpin langsung oleh Timotius Murib ketua MPR dan Yoel Luiz Mulait Wakil Ketua I MRP dan dihadiri pimpinan Pokja Agama, Perempuan dan Adat, Selasa (6/12/2022) pagi ini.

Dalam arahannya, Timotius Murib meminta anggota MRP untuk melihat jeli rancangan peraturan daerah khusus Provinsi Papua tentang pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua dengan memberikan pertimbangan dan penguatan dalam draf.

“Pemberian pertimbangan anggota MRP hari ini menentukan pemilihan anggota MRP besok sehingga harus lihat baik apa yang perlu di tambahkan dan dikurangi agar keberpihakan dan proteksi terhadap orang asli Papua dalam lembaga MRP kuat dan solid,” pesan Murib.

Timotius juga menjelaskan pemberian pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua yang dibahas hari ini difokuskan pada Provinsi Papua (induk) mencangkul dua wilayah adat yakni Tabi dan Saireri.

“Sehingga kita harus rancang baik terutama perwakilan dari tiap suku wilayah adat baik dari Agama, Adat dan Perempuan dapat terwakilkan dari masyarakat suku asli yang mendiami wilayah tersebut agar tidak terjadi konflik perebutan wilayah dan lainnya,” kata Murib.

Dan untuk wilayah adat Lapago, Meepago dan Animha agar menunggu petunjuk dari pemerintah pusat karena Daerah Otonomi Baru (DOB) akan disesuaikan dengan pembentukan 2 DOB baru di Provinsi Papua Barat, maka lembaga MRP di masing-masing DOB juga akan dilakukan pemilihan.

“Untuk saat ini, Negara berkomitmen untuk perpanjangan masa jabatan lembaga MRP sambil menunggu pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua di masing-masing DOB dan seketika MRP Saireri dan Tabi dilantik secara otomatis MRP masa jabatan ini selesai dan akan diisi dengan anggota MRP yang baru,” ujar Murib. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories Berita

DPR Papua Setuju Masa Jabatan MRP Diperpanjang

JAYAPURA, MRP – Dewan Perwakilan Rakyat Papua menyatakan setuju untuk masa jabatan Majelis Rakyat Papua (MRP) diperpanjang. Jika sesuai periode maka masa jabatan MRP akan berakhir pada November 2022.

Persetujuan ini dilakukan mengingat untuk pengesahan Perdasus rekrutmen anggota MRP membutuhkan pertimbangan anggota MRP. Pihak eksekutif sendiri telah mengirimkan Perdasus tata cara perekrutmen MRP kepada DPRP ini tidak dibahas.

“Itu karena kami sudah memprediksi bahwa salah satu tugas Pejabat Gubernur di provinsi baru adalah menyiapkan MRP. Artinya ia akan melakukan dengan Pergub di provinsi baru dan tidak mungkin membahas Perdasus rekrutmen MRP sementara masih ada rekrutmen di dapil yang sudah menjadi provinsi baru,” beber ketua DPRP, Jhony Banua Rouw, usai rapat Bamus di kantor DPRP, Selasa (18/10/2022).

Karenanya pihaknya meminta eksekutif merevisi kembali rancangan Perdasus yang sudah dikirimkan kepada DPRP dan hanya menyiapkan pemilihan untuk Papua induk saja.

“Ini harus dicermati sebab mengunakan wilayah adat. Sebab jika Papua Utara jadi artinya Papua hanya punya Tabi. Kalau MRP berakhir bulan ini kami akan perpanjang agar bisa memberi pertimbangan terhadap Perdasus dan jika tidak ada pertimbangan maka Perdasus tidak sah,” katanya. Kami juga sudah berkonsultasi dengan pihak eksekutif dan kami akan menyurati Mendagri untuk diperpanjang,” tutup Jhony.

Ditempat terpisah ketua MRP Timotius Murib mengaku masih menunggu regulasi atau mekanisme untuk mengganti pimpinan dan anggota MRP periode 2017-2022 yang akan habis masa jabatan pada 27 November 2022.

Menurutnya, sebagaimana yang pernah dilakukan saat MRP periode pertama dan kedua, pernah dilakukan saat melakukan perpanjangan masa jabatan pimpinan dan anggota MRP, untuk melaksanakan tugas seperti biasanya.

“MRP Anggota akan berakhir pada 27 November 2022, tinggal sebulan lagi aktif untuk kerja. Sementara menunggu pengisian rekrutmen anggota MRP periode berikutnya, saya pikir pemerintah telah menyediakan rujukan atau dasar hukum untuk melaksanakan penambahan jika belum ada pengisian,” kata Timotius Murib kepada wartawan usai pembukaan pleno masa sidang IV, Kamis (6/10/2022) di ruang sidang MRP.

Ia menjelaskan, setelah masa jabatan 2017-2022 belum ada pengisian hasil rekrutmen anggota baru, maka pemerintah pasti akan memperpanjang masa jabatan yang ada saat ini.

“MRP ada untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Otonomi Khusus , sehingga tidak boleh terjadi. Saya pikir pemerintah pusat sudah tahu bagaimana sebaiknya agar tidak terjadi,” ujarnya.

Ia menyebutkan untuk menjaga sampai hal-hal yang telah terjadi, dan DPRP telah menyampaikan kepada MRP jika terjadi keterlambatan, tentunya MRP yang ada saat ini akan diperpanjang sesuai dengan surat Menteri Dalam Negeri.

“Untuk memperpanjang bulannya itu semua tergantung pada pemerintah pusat. Seperti anggota MRP periode pertama diperpanjang per enam bulan, periode kedua per tiga bulan diperpanjang lagi,” katanya.(*)

Humas MRP

Read More
Categories BeritaPokja Perempuan MRP

Kasus Mutilasi di Timika Telah Merendahkan Martabat Orang Papua

JAYAPURA, MRP – Kasus Mutilasi di Timika terhadap 4 warga sipil orang asli Papua yang di lakukan oleh aparat TNI sebagai bentuk merendahkan martabat orang asli Papua.

Hal tersebut ditegaskan Ciska Abugau, ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua ketika melakukan rapat koordinasi dengan DPR Papua beberapa waktu lalu, Selasa (13/9/2022).

Ciska menjelaskan, kasus mutilasi di Papua ini kali pertama terjadi dan dilakukan oleh aparat kepada warga sipil orang asli Papua, pembunuhan dengan senjata dan lainnya sering terjadi namun untuk kasus mutilasi ini sejarah baru di tanah Papua.

“Dengan kasus mutilasi ini, sudah merendahkan martabat orang asli Papua,” tegas Ciska.

Sementara itu, Yanni, SH anggota DPR Papua dari partai Gerindra menegaskan agar DRP Papua dan MRP harus surati Presiden RI Joko Widodo untuk menghukum pelaku mutilasi 4 warga sipil orang asli Papua dengan hukuman mati.

“Desakan ini harus disampaikan secara terbuka, karena banyak perhatian ke Papua oleh Jokowi namum dicederai dengan kasus mutilasi 4 warga sipil OAP,” tegas Yanni.

Yanni juga meminta lembaga DPR Papua dan MRP harus bersuara keras terhadap oknum institusi yang sering melakukan penjualan senjata di Papua, seakan mereka sedang memelihara konflik di Papua.

“Bila ini tidak diatasi, masalah konflik di Papua akan terus muncul dan tidak akan selesai,” kata Yanni. John Banua Rouw ketua DPR Papua juga meminta institusi aparat penegak hukum di Papua untuk tidak melakukan transaksi jual senjata dengan warga sipil di Papua.

“Ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang lakukan penjualan senjata api di Papua di harus di tertibkan oleh negara melalui institusi Presiden Jokowi,” pesannya.(*)

Sumber: Suara Papua

Read More
Categories Berita

MRP Akan Dilibatkan Dalam Pembahasan Perdasi dan Perdasus

JAYAPURA, MRP – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, melakukan pertemuan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) di gedung DPRP, Selasa (6/9/2022), guna membahas persoalan yang terjadi di Tanah Papua sejauh ini, juga menyangkut penyiapan perdasi dan perdasus.

Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw mengatakan, dalam pertemuan itu disepakati bagaimana tahapan-tahapan pembahasan perdasi dan perdasus dilakukan secara terbuka, dan memberikan kesempatan kepada MRP untuk bersama-sama melakukan pembahasan.

“Bahkan, dalam penyusunan pun boleh bersama-sama. Sehingga nanti ketika MRP ke daerah melakukan reses ada aspirasi bisa disampaikan untuk menjadi masukan,” kata Jhony Banua Rouw.

Ia memberi contoh, MRP telah mengeluarkan maklumat dan DPR Papua memberikan apresiasi, bahwa MRP melihat hal-hal yang menjadi penting untuk bagaimana memproteksi atau memberikan afirmasi kepada orang asli Papua.

Namun hal itu dinilai belumlah memiliki kekuatan hukum, maka dewan memberikan penguatan kerja sama dengan MRP sehingga bukan hanya berbentuk maklumat, tetapi juga akan didorong menjadi perdasus atau perdasi.

“Sehingga, nanti betul-betul keputusan yang dikeluarkan MRP wajib dan mengikat bagi seluruh rakyat di Tanah Papua, juga bagi pemerintah yang menjalankan itu. Dan apabila tidak menjalankan itu, ada sanksinya,” ucapnya.

Ia berharap dengan didorongnya perdasi dan perdasus ini agar adanya payung hukum, sehingga jika ada seseorang yang dengan sengaja datang ke Papua, lalu meminta pengakuan sebagai anak asli Papua atau anak adat yang diberikan karena dibayar dan sebagainya, akan kena sanksi.

“Kita ingin kalau ada pengakuan itu diberikan kepada seseorang karena dia punya jasa, pengabdian orang tuanya dan memang layak mendapatkan penghargaan itu karena dengan tahapan dan mekanisme,” katanya.

Selain itu, bagaimana menjaga hutan, Tanah Papua untuk tidak dijual, sehingga semua ingin hal tersebut mendapat kepastian hukum dan dalam pelaksanaannya bisa diawasi.

“Jadi pertemuan ini pembahasannya lebih teknis, dimana akan ada pertemuan berkala lainnya, karena dua lembaga ini mempunyai komitmen yang sama untuk semua yang terjadi di Tanah Papua diselesaikan dengan baik, dan semua hanya untuk kepentingan rakyat di Tanah Papua,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua 1 MRP, Yoel Luiz Mulait mengatakan hal-hal teknis telah dibicarakan bersama dalam rangka pembahasan perdasus dan perdasi.

MRP akan dilibatkan sejak awal, ketika ada kementerian datang sebenarnya ruang yang paling agak sulit di sini, namun MRP akan dihadirkan dimana posisi sebagai lembaga kultur yang memiliki kewenangan tertentu, untuk memproteksi dan memberikan masukan lainnya.

“Kebiasaan selama ini MRP hanya menunggu, setelah DPRP dan pemerintah bahas dikirim ke MRP, selang waktu 30 hari kemudian MRP membahas dan memberikan pertimbangan dan persetujuan lalu dikembalikan ke DPR Papua untuk ditetapkan. Tetapi kali ini modelnya berbeda, dimana Ketua DPR Papua ingin sejak awal MRP terlibat. Ini langkah maju dan hal-hal begini justru lebih mempercepat dan mempermudah dan lebih baik, sehingga bobot dari perdasus dan perdasi itu dari sisi proteksi terpenuhi,” kata Mulait.

Ia pun mengapresiasi langkah pimpinan DPR Papua bersama anggota menyiapkan waktu yang cukup, untuk bertemu membahas hal-hal teknis dalam penyiapan perdasi dan perdasus, untuk bagaimana pemerintah, DPR Papua, dan MRP duduk bersama membicarakan hal-hal perkembangan situasi di Tanah Papua. (*)

 

Read More
Categories Berita

Belasan Kali ke Papua, Jokowi Belum Berkunjung ke Kantor MRP

JAYAPURA, MRP –  Majelis Rakyat Papua atau MRP menyatakan, sudah belasan kali Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) ke Papua . Namun belum pernah berkunjung ke Kantor MRP .

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan saat berkunjung ke Papua, harusnya Jokowi menyempatkan diri ke Kantor MRP, yang merupakan honai atau rumah kultur orang asli Papua (OAP).

“Harus ke honai orang asli Papua yaitu MRP, yang merupakan lembaga kultural orang asli Papua,” kata Timotius Murib, Kamis (01/09/2022).

Menurutnya, MRP pernah menyampaikan hal itu kepada Jokowi, dalam pertemuan di Istana Negara beberapa waktu lalu.

Ketika itu, Jokowi menyatakan akan menyempatkan diri berkunjung ke Kantor MRP, saat ia kembali melakukan kunjungan ke Papua.

“Tapi setelah itu, kita berdiri mau jalan dari beliau, beliau bilang undang ya, undang. Beliau akan menunggu undangan kita. Kapan ada waktu, kami akan undang beliau, kalau beliau mau datang lagi ke Papua agar berkunjung ke MRP. Hari ini belum sempat ke MRP,” ujarnya.

Timotius Murib mengatakan, MRP juga mengapresiasi Jokowi yang dinilai begitu perhatian terhadap Papua.

Jokowi merupakan Presiden Indonesia yang paling sering berkunjung ke provinsi paling timur Indonesia itu. Dalam catatan MRP, selama dua periode sebagai presiden, Jokowi telah 14 kali berkunjung ke Papua.

“Ini rekor kunjungan ke Papua. Hasilnya apa, MRP belum [banyak] tahu. Tapi begitu banyak dia datang dan itu luar biasa. Dia bisa keadaan melihat orang Papua,” ucapnya.

Ia menambahkan, selama belasan kali Jokowi berkunjung ke Bumi Cenderawasih, setidaknya ada perubahan dalam bidang-bidang tertentu, terutama bidang infrastruktur.

“Ya pasti adalah [perubahan]. Pembangunan yang setelah ada Jokowi ini, terutama dibidang infrastruktur, kami melihat ini ada [perubahan],” kata Murib.(*)

Read More
Categories Berita

Gugatan Ditolak, MRP Masih Melihat UU Otsus Berpeluang Merugikan Rakyat Papua

JAYAPURA, MRP – Setelah menunggu satu tahun satu hari, Majelis Rakyat Papua (MRP) akhirnya mendengarkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara nomor 47/PUU/XIX/2021.

MK menolak permohonan gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasalnya, MK menilai permohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review.

Sidang yang dipimpin ketua MK Anwar Usman dilakukan secara terbuka dan MRP sendiri mengikuti proses sidang tersebut secara virtual di Hotel Horison Ultima, Rabu, (31/8/2022).

“Menolak permohonan pemohon selain dan selebihnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta.

MK berpendapat bahwa pemohon MRP tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya seperti isi gugatan baik yang bersifat faktual, spesifik, atau paling tidak ada hubungan sebab akibat.

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua menjelaskan hasil putusan menolak permohonan pemohon di MK, meski demikian MRP masih melihat UU Otsus berpeluang merugikan rakyat Papua.

“MRP menguji 8 pasal diantaranya pasal 6 ayat 2, Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat 3, Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua, dimana pasal-pasal ini berpotensi merugikan orang asli Papua,” kata Murib.

Murib menjelaskan dengan pembacaan putusan MK terkait judicial review, ada tiga keputusan diantaranya pertama semua pasal tidak dibacakan keputusan yang berpihak kepada versi MK maupun versi MRP.

“Kedua, menurut ketua MK bahwa di internal 9 hakim MK ada pro dan kontra dengan hasil putusan judicial review dan ketiga UU nomor 2 tahun 2021 sudah sah untuk daerah khusus seperti di Papua,” ujar Murib.

MRP melihat keputusan MK hari ini tidak terlalu memihak ke orang asli Papua dan juga tidak memihak kepada pembuat UU di Jakarta jadi kelihatannya masih tidak memberikan kepastian hukum terlihat dengan pro kontra di dalam internal 9 hakim Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

“Pada prinsipnya putusan ini sudah sah, sehingga dalam pelaksanaan sudah tidak ada lagi masalah pro dan kontra. Keputusan mana yang sudah mengikat, harus dilaksanakan oleh seluruh masyarakat orang asli Papua,” tuturnya. (*)

HUMAS MRP

Read More