Categories Berita

Pernyataan Bupati Merauke Sinyal Revisi II UU Otsus Cacat Hukum

JAYAPURA, MRP –  Majelis Rakyat Papua (MRP) memandang pernyataan Bupati Merauke Romanus Mbaraka sebagai sinyal cacatnya perubahan kedua UU Otsus yang tengah diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Pernyataan tersebut semakin mengindikasikan perubahan kedua UU Otsus berjalan tak sesuai kaidah-kaidah konstitusional. Bahkan bukan hanya prosesnya, tetapi materi UU pun jadi cacat hukum. Salah satu pasal terpenting terkait pemekaran provinsi telah dikebiri,” kata Timotius.

Timotius menjelaskan, pembuatan undang-undang seharusnya dilakukan dengan melibatkan masyarakat di tingkat bawah agar berpartisipasi sesuai kaidah-kaidah hukum, bukan dengan melibatkan transaksi segelintir elite di tingkat atas, apalagi dengan cara-cara melanggar hukum.

“Menyedihkan jika cara-cara kotor justru dipakai untuk merubah sebuah undang-undang atau membentuk provinsi yang hanya menguntungkan elite-elite politik. Kepentingan orang asli Papua akhirnya dikorbankan demi kepentingan jangka pendek. Dan Papua kehilangan otonomi khusus, terutama dalam hal pemekaran provinsi,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sana, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait mengatakan, bantahan Bupati yang menyangkal telah ‘membayar mahal’ sejumlah anggota DPR RI adalah cermin sikap yang lari tanggungjawab.

“Masyarakat Papua bukan orang bodoh. Mereka sudah mengerti apa pesan tersirat di balik pernyataan yang terucap. Benar tidaknya perbuatan ‘membayar mahal’ sejumlah anggota DPR RI dalam perubahan kedua UU Otsus hanya bisa dibuktikan melalui proses hukum. Bukan dengan pernyataan bantahan politis,” kata Yoel.

Yoel menyayangkan, praktik kotor seperti itu akhirnya mengakibatkan semangat dan fondasi otonomi khusus dalam UU Otsus telah hilang. Salah satunya adalah wewenang MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua dalam pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi. “Pernyataan Bupati itu menodai amanat Papua Selatan, rakyat Papua, dan rakyat Indonesia secara keseluruhan” katanya.

Perihal dugaan suap, pihak MRP mendorong jajaran penegak hukum Papua maupun di tingkat pusat untuk menyelidiki pernyataan Bupati tersebut. “Sulit disangkal lagi, bahwa pernyataan itu memang mengindikasikan perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya terhadap beberapa anggota DPR RI. Permohonan maaf Bupati atas pernyataan tersebut juga tidaklah cukup.

Seperti diketahui, masyarakat di Papua dikejutkan oleh viralnya video berisi pernyataan Bupati Merauke Romanus Mbaraka yang menyatakan bahwa dirinya telah membayar mahal sejumlah anggota DPR RI, antara lain Komarudin Watubun (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDIP) dan Yan Mandenas (Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Gerindra)

Sebelumnya, MRP mengajukan uji materi atas UU No.2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Otsus. Dikabarkan bahwa MK akan mengambil putusan dalam jangka waktu dekat, yaitu akhir bulan Juli atau awal Agustus.

Sejumlah pihak juga menyoroti pernyataan Bupati Merauke sebagai kentalnya praktik patgulipat di balik perubahan kedua UU Otsus Provinsi Papua. Salah satunya datang dari lembaga kajian demokrasi Public Virtue mendesak KPK agar melakukan penyelidikan atas dugaan suap dalam perubahan kedua UU Otsus Papua dan pembentukan Daerah Otonomi Baru di Provinsi Papua.(*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Terkait RUU DOB, Pemerintah Wajib Terapkan Partisipasi Bermakna, Bukan Partisipasi Manipulatif

JAYAPURA, MRP – Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mendesak pemerintah untuk menerapkan partisipasi orang asli Papua yang bermakna terutama terkait kebijakan perubahan kedua undang-undang otonomi khusus dan rencana tiga RUU daerah otonomi baru (DOB) di Papua.

Koalisi menilai pertemuan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 20 Mei 2022 justru menyiratkan partisipasi yang jauh dari bermakna, bahkan cenderung manipulatif.

Koalisi merujuk siaran pers Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 20 Mei 2022, yang resmi membantah dukungan MRP atas UU Otsus dan RUU DOB.

MRP menegaskan sikap resmi mereka saat menemui Presiden pada 25 April lalu bahwa orang asli Papua keberatan atas UU Otsus dan DOB. MRP melayangkan gugatan terhadap revisi UU Otsus Papua kepada Mahkamah Konstitusi. MRP menghargai komitmen Presiden untuk patuh pada putusan MK dan janji tindaklanjut presiden berkunjung ke kantor MRP di Jayapura.

MRP menyesalkan pertemuan Presiden dengan sejumlah oknum anggota MRP yang diam-diam hadir tanpa memiliki mandat surat tugas MRP namun mengatasnamakan rakyat Papua untuk mmendukung revisi UU Otsus Papua serta pembentukan DOB di Papua.

Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Anum Siregar menilai pertemuan itu sebagai upaya politik pecah belah pemerintah pusat terhadap sikap rakyat Papua.

“Jakarta untuk kesekian kalinya melakukan pecah belah. Kami tidak mau terjebak apalagi memperuncing ketegangan internal anggota MRP karena itu yang diinginkan oleh pihak-pihak yang mengatur pertemuan itu. Kami menolak politik pecah belah élite-élite pusat atas Papua. Presiden justru jadi ingkar janji atas pertemuan sebelumnya, yaitu menghormati putusan MK,” kata Anum dalam pres releasenya ke Kantor Redaksi Suara Adat. Com, Sabtu, (21/05).

Aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Muhammad Azka Fahriza menilai pertemuan Istana Bogor sebagai bentuk partisipasi kebijakan yang manipulatif.

“Ini jelas manipulatif. Ketua MRP telah memberikan klarifikasi bahwa tidak benar MRP mendukung UU Otsus Jilid II maupun DOB. Delegasi MRP dalam pertemuan itu jelas illegal. Memalukan sekali mereka yang datang ini. Seperti menjual tanah dan rakyat Papua dengan harga yang murah. Publik dan media harus kritis,” kata Azka.

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengingatkan, rencana DOB mendapat protes luas warga Papua. Salah satunya pada 10 Mei 2022, orang Papua menggelar protes damai di berbagai wilayah di Papua dan di luar Papua.

“Atas protes ini, aparat gabungan TNI dan Polri mengerahkan kekuatan berlebihan untuk menghadapi pengunjuk rasa. Bahkan, tujuh orang aktivis yang berkumpul di kantor KontraS Papua sempat ditangkap, dijerat UU ITE. Meski dibebaskan, insiden itu menunjukkan negara tidak mau mendengar masyarakat yang menolak DOB. Tindakan tersebut melanggar hak atas kebebasan berekspresi,” tandasnya.

Koalisi kembali mendesak agar rencana DOB dikonsultasikan dengan orang asli Papua, dan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua.

Menurut, Koalisi, konsultasi bermakna harus memenuhi enam syarat. Pertama, dimulai sejak dini pada tahap perencanaan dan persiapan proyek dan dilaksanakan secara berkesinambungan dalam seluruh siklus proyek.

Kedua, mengungkap informasi relevan dan memadai tepat pada waktunya yang dipahami dan mudah dijangkau penduduk yang terkena dampak. Ketiga, dilaksanakan dalam suasana bebas intimidasi atau pemaksaan. Keempat, beraifat inklusif dan peka gender, dan sesuai kelompok-kelompok yang rentan. Keenam, memungkinkan dimasukkannya semua sikap penduduk yang terdampak dan pemangku kepentingan lainnya dalam perancangan proyek, langkah mitigasi, pembagian hasil dan peluang pembangunan, serta masalah di tingkat pelaksanaan.

Sementara itu, Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Ronald Tapilatu juga mempertanyakan pertemuan tersebut. Dia menyarankan agar Presiden sebaiknya bersikap bijak dalam mempertimbangkan dualisme tolak terima kebijakan DOB Papua.

“Perlu kehati-hatian karena pihak yang menolak dan menerima punya pertimbangan sendiri yang berdampak langsung terhadap kehidupan penduduk asli Papua itu sendiri. Sebaiknya perbedaan pendapat ini difasilitasi dalam dialog bersama, yang mendudukkan dua pihak untuk mendapatkan jalan tengah. Tidak sebaliknya membuka peluang konflik sesama Papua. Apalagi kita semua sedang menanti keputusan Mahkamah Konstitusi atas masalah revisi kedua UU Otsus yang diajukan oleh MRP dan MRPB.” Bebernya.

Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rezaldy menunjuk Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyatakan setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik. “Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan itu menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005, jadi harus dipatuhi. Bahkan Komentar Umum ICCPR Nomor 25 Tahun 1996 lebih lanjut menjelaskan mengenai ketentuan ini dengan memperluas urusan publik ke ranah pembuatan kebijakan dan implementasi di tingkat internasional, nasional, dan daerah,” imbuhnya.

Dalam catatan Koalisi, Pasal 19 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat juga telah menyebutkan bahwa Negara harus berkonsultasi dan bekerja sama dengan itikad baik dengan masyarakat adat yang terdampak melalui lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan (PADIATAPA) sebelum mengadopsi dan menerapkan kebijakan yang akan berdampak pada masyarakat adat.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 11/2005 – serta Komentar Umum No. 21 terhadap Pasal 15 Kovenan menyatakan Negara harus menghormati PADIATAPA dari masyarakat adat sehubungan dengan semua hal yang dapat mempengaruhi hak-hak mereka.

Oleh karena itu Koalisi mendesak pemerintah untuk hormati konsultasi dengan melakukan empat hal. Pertama, menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna dalam mengambil setiap kebijakan terkait Papua. Kedua, menunda pembentukan DOB sampai partisipasi bermakna dari masyarakat Papua tercapai.

Ketiga, mendengarkan aspirasi dari seluruh komponen masyarakat orang asli Papua tentang UU Otsus dan pemekaran DOB, bukan hanya mereka yang mendukung kebijakan pemerintah. Terakhir, menghormati hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi orang asli Papua.

Koalisi Kemanusiaan Papua adalah kemitraan sukarela yang terdiri dari sejumlah organisasi dan individu, yaitu Amnesty International Indonesia, Biro Papua PGI, Imparsial, ELSAM Jakarta, Kontras, Aliansi Demokrasi untuk Papua, KPKC GKI-TP, KPKC GKIP, SKPKC Keuskupan Jayapura, Public Virtue Research Institute, PBHI, dan peneliti Cahyo Pamungkas. (*)

Read More
Categories Berita

Pemohon Uji UU Otsus Papua Hadirkan Empat Saksi

Pemohon menampilkan sejumlah gambar dalam persidangan untuk memperkuat keterangan para saksi anggota dan staf Majelis Rakyat Papua dalam sidang Pengujian Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, Kamis, (10/03/2022). Foto Humas/Ilham WM

JAKARTA, MRP – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual pada Kamis (10/3/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).

Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Saksi Pemohon. Sebanyak empat orang saksi yang dihadirkan Pemohon yaitu Nurzahri, Benny Swenny, Helena Hubi, dan Wensislaus Fatubun.

Partai Politik Lokal Aceh

Nurzahri adalah juru bicara Partai Aceh (PA). Dalam persidangan, Nurzahri menjelaskan fakta keberadaan partai politik lokal di Aceh.

“Nomenklatur partai politik lokal muncul pertama kali di Indonesia pada UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001, ‘Penduduk Papua dapat membentuk partai politik’,” kata Nurzahri kepada Ketua Pleno Anwar Usman yang didampingi para hakim konstitusi.

Nomenklatur itulah, ungkap Nurzahri, yang kemudian menginspirasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ketika proses perundingan di Helsinki, Finlandia berlangsung. Tujuannya agar Aceh juga diberikan hak kekhususan untuk membentuk partai politik sendiri. Bahkan poin tentang partai politik belakangan menjadi poin terpenting dari seluruh poin Mou Helsinki dan menjadi poin yang paling terakhir disepakati oleh pemerintah Republik Indonesia dan GAM.

Sepanjang sejarah Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, lanjut Nurzahri, hak politik dan hak menyampaikan pendapat secara konstitusional tidak pernah dimiliki oleh rakyat Aceh. GAM  beranggapan bahwa saluran politik dan aspirasi melalui partai nasional tidak pernah benar-benar berjalan. Partai-partai politik nasional tidak pernah memberikan kemerdekaan bagi perwakilannya di Aceh dan tidak pernah memberikan kemerdekaan bagi tokoh-tokoh partai di level Aceh, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Semua kebijakan dan keputusan partai diambil oleh kepemimpinan di level pusat di Jakarta. Oleh karena itu GAM meminta kemerdekaan kepada pemerintah Republik Indonesia dalam sektor politik.

MRP Representasi Kultural

Saksi Pemohon berikutnya, Benny Swenny, Wakil Ketua Tim Kerja Pelaksana Rapat Dengar Pendapat (RDP) Majelis Rakyat Papua (MRP). “MRP adalah suatu lembaga negara di daerah yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf f UU No. 21 Tahun 2001,” kata Benny.

Dijelaskan Benny, MRP adalah representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

“Secara institusional, MRP merupakan lembaga perwakilan orang asli Papua yang lahir bersama Otonomi Khusus Papua yang memiliki kedudukan setara dengan DPRP yang merupakan lembaga perwakilan politik dan Gubernur sebagai kepala pemerintahan di Provinsi Papua. MRP sesungguhnya hendak melaksanakan Pasal 77 UU No. 21 Tahun 2001 yang berbunyi, ‘Usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ucap Benny.

Sementara itu, Saksi Pemohon lainnya adalah Anggota MRP Helena Hubi yang menuturkan pengalaman saat mengikuti RDP di Wamena pada Minggu 15 November 2020. Kala itu para peserta RDP termasuk dirinya disandera oleh pihak tertentu di Bandara Wamena dari pukul 09.00 – 16.00 WIT. Sementara di luar bandara telah berkumpul para pendemo yang menolak keras kedatangan Tim RDP MRP.

“Tim RDP MRP semua dikurung dalam bandara. Pada saat itu Tim RDP MRP meminta pihak pendemo untuk melakukan dialog. Namun para pendemo menolak keras untuk diajak berdialog. Bahkan para pendemo berteriak keras meminta anggota MRP harus kembali pulang ke Jayapura, tidak boleh mengadakan RDP. Hingga akhirnya kami semua meninggalkan Wamena menuju Jayapura,” ungkap Helena.

Terakhir adalah Saksi Pemohon bernama Wensislaus Fatubun selaku Tenaga Ahli MRP. Dia bercerita tentang pengalamannya saat bersama anggota RDP MRP dan para peserta RDP MRP dari Kabupatan Boven Digoel, Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat menjadi korban penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang oleh Kapolres Merauke bersama timnya di Kota Merauke. Kejadiannya pada Minggu malam 15 November 2020.

“Ini menjadi trauma yang luar biasa buat saya dan rekan-rekan saya yang ditangkap. Awalnya saya tidak tahu alasan kenapa saya ditangkap. Tapi akhirnya saya tahu dari berita acara bahwa saya ditangkap karena dituduh makar. Saya kaget dianggap makar. Pada bagian yang mana saya dianggap makar,” tandas Wensislaus mempertanyakan. (*)

Read More
Categories Berita

Sidang Gugatan UU Otsus: Kuasa Hukum MRP Hadirkan 4 Saksi, DPRP Tidak Hadir

3 Saksi Fakta dari Majelis Rakyat Papua saat mengambil sampah sebelum di laksanakan sidang gugatan UU Otsus di MK, Kamis (10/3/2022) – Humas MRP

JAKARTA MRP – Sidang gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua), diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sidang digelar secara daring pada Rabu 10 Maret 2022, dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.Terbuka untuk umum.

Agenda sidang yakni mendengar keterangan saksi pemohon. Pemohon menghadirkan 4 saksi yakni Nursahri, Benny Swenny, Helena Hubi, Whenslaus Fatubun. Semua hadir kecuali pihak DPRP . Majelis Rakyat Papua (MRP) diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II). Mereka tercatat sebagai Pemohon dengan Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang itu, para pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).

Para saksi merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo (pengejewantahan dari kebiasaan internasional yang telah dituangkan dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional- red) .

Pemohon menghadirkan saksi Wakil Ketua Tim Kerja RDP Majelis Rakyat Papua, anggota wilayah adat Saireri, Benny Swenny. Dia membeberkan situasi yang dialaminya saat melakukan Rapat dengar Pendapat di Lapangan.

“Kedua lembaga ini akan memfasilitasi RDP, sesuai amanat pasal 77 Undang-Undang Otsus Papua. Sehingga MRP melakukan RDP untuk mengantisipasi penyampaian aspirasi secara anarkistis namun inisiatif itu dihadang oleh aparat penegak hukum dan segelintir waraga,” katanya. (*)

Sumber: Jubi

Read More