Categories Berita

Otsus Papua: kewenangan dibuat MRP, kebijakan tetap milik Jakarta

Jimmy Mabel, Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) saat memimpin Bimtek bagi anggota MRP di Biak – Jubi/Humas MRP

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga representasi kultur orang asli Papua yang berjalan 20 tahun lebih. Namun setiap kewenangan MRP yang dibuat melalui Perdasi maupun Perdasus tidak berjalan baik. Semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat.

Sehingga setiap Perdasi maupun Perdasus yang dibuat MRP tidak punya kekuatan hukum. Kebijakan masih milik pemerintah pusat di Jakarta.

Hal tersebut dikatakan Jimmy Mabel, Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP), kepada wartawan, usai membuka kegiatan Bimtek bagi anggota MRP di Biak, Rabu, (5/2/2020).

Kata Jimmy, Bimtek bagi MRP dilakukan dengan tujuan mempersiapkan Papua untuk hari esok.

“Sampai hari ini akar rumput orang asli Papua sedang menangis, kami (MRP) tidak tahu apa yang harus kita buat karena pemerintah provinsi Papua itu terdiri dari pemerintah, DPRP dan MRP ,” kata Mabel melalui rilis yang disampaikan oleh MRP kepada Jubi.

Dia menjelaskan MRP merupakan lembaga negara yang sudah didirikan berdasarkan UU Otonomi Khusus (Otsus) nomor 21 tahun 2001, Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2004 Junto 64 tahun 2008, sah menyatakan bahwa ada Pergub, Perdasi dan Perdasus . Tetapi semua yang punya kebijakan pemerintah Pusat di Jakarta.

“Sekarang keluhan, penderitaan, memori orang asli Papua tidak ada orang yang bisa membendung itu semua. Di seluruh pedalaman pegunungan kami selalu lihat baju loreng, dan itu memancing kesabaran rakyat Papua dan dunia internasional,” katanya.

Lanjutnya, Pelanggaran HAM besar-besaran yang dibuat negara tidak pernah terselesaikan, sehingga hari ini MRP duduk dan berbicara untuk hari besok yang lebih baik, dan untuk yang kemarin sudah cukup kami terluka, disakiti sehingga MRP mempunyai dua pilihan yang akan dicetuskan.

“Kekhususan Otonomi Khusus untuk orang asli Papua namun kenyataanya orang Papua tidak punya kewenangan yang jelas. Kami selalu diikat dengan aturan berbeda dengan Aceh yang diberi kebebasan, orang Papua di tanahnya dijadikan orang kelas dua di republik Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu Doren Wakerkwa, Asisten I Setda provinsi Papua menambahkan MRP mempunyai langkah dan kebijakan khusus sehingga pemrov Papua selalu mendukung MRP terutama dalam perlindungan hak orang asli Papua.

“Sehingga kami harap dari Bimtek ini dapat menerbitkan satu rekomendasi khsusus yang bisa ditindaklanjuti bersama. Rekomendasi ini berkordinasi dengan Pemprov Papua. Lalu kita dorong sama-sama ke pusat agar mereka bisa mengambil langkah-langkah hasil kegiatan Bimtek ini terutama untuk kepentingan rakyat Papua,” katanya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan dinilai gagal memperkuat kedudukan MRP

Logo Majelis Rakyat Papua (Foto/Ist)

 

Jayapura, Jubi – Anggota Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua, Herman Yoku menilai keberadaan 14 anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua jalur pengangkatan  gagal memperkuat kedudukan MRP. Pada periode sebelumnya, 14 anggota DPR Papua dinilai Yoku gagal berkomunikasi dan bersinergi dengan tiga kelompok kerja Majelis Rakyat Papua atau MRP.

Hal itu dinyatakan Herman Yoku di di Jayapura pada Senin (6/1/2020). Yoku menyatakan jika 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan tidak bisa memperkuat berbagai keputusan MRP, keberadaan 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan menjadi percuma.

“Kalau tidak ada koneksi [antara kerja MRP dan kerja 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan], MRP tidak berfungsi apa-apa. Keputusan MRP tidak bisa menjadi keputusan yang berkekuatan hukum, sehingga 14 orang [anggota jalur pengangkatan] itu percuma saja ada di DPR Papua,” kata Yoku.

Saat ini, Papua tengah menggelar proses seleksi untuk memilih 14 anggota DPR Papua dari jalur pengangkatan. Proses seleksi itu dilakukan sesuai ketentuan Perdasus tentang pengangkatan 14 anggota DPR Papua. Perdasus pengangkatan 14 anggota DPR Papua ditetapkan DPR Papua setelah menerima pertimbangan dan persetujuan MRP.

Pemilihan 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan itu merupakan kekhususan Otonomi Khusus Papua, di mana 14 anggota DPR Papua akan dipilih untuk mewakili lima wilayah adat di Papua. Nantinya, 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan akan bekerjasama dengan 55 anggota DPR Papua hasil Pemilihan Umum 2019.

Herman Yoku menyatakan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) telah mengamanatkan MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua, dan memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak orang asli Papua. Anggota MRP juga dipilih untuk mewakili masyarakat adat dari lima wilayah adat di Papua.

Meski demikian, MRP tidak memiliki wewenang untuk menetapkan peraturan daerah provinsi (Perdasi) dan peraturan daerah khusus (Perdasus). UU Otsus Papua menyatakan pembahasan dan penetapan Perdasi dan Perdasus merupakan wewenang DPR Papua. Itulah mengapa Yoku menyatakan kerja 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan harus bersinergi dengan kerja MRP.

Akan tetapi, 14 anggota DPR Papua dari jalur pengangkatan periode-periode sebelumnya dinilai Yoku gagal berkomunikasi dengan tiga kelompok kerja MRP. “Saya anggap periode kemarin gagal. Karena tidak pernah ada komunikasi dengan MRP dan agendanya tidak pernah menyambung dengan agenda MRP. [Kalau begitu], lebih baik tidak usah ada mereka, karena tidak punya pengaruh dalam kerja MRP memperjuangkan hak masyarakat adat Papua,” kata Herman Yoku.

Sekretaris Dewan Adat Wilayah Adat Lapago, Engelbertus Surabut juga menilai keberadaan 14 orang anggota DPR Papua dari jalur pengangkatan percuma, karena mereka kalah jumlah dibandingkan 55 anggota DPR Papua hasil Pemilihan Umum 2019. Surabut meragukan 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan bisa mengimbangi kepentingan politik 55 anggota wakil partai politik itu.

Surabut menyatakan posisi tawar 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan akan naik jika nantinya mereka menjadi fraksi tersendiri. “Mereka mestinya bentuk satu fraksi supaya ada kewenangan membela hak-hak orang asli Papua. [Mereka harus] meneruskan aspirasi masyarakat adat. Kalau masuk bergabung dengan parpol, lebih baik tidak usah ada,” kata Surabut kepada Jubi, Selasa (7/01/2020).

Surabut menyatakan 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan juga sulit menjalankan mandat untuk melindungi hak masyarakat adat Papua. Pasalnya, keberadaan 14 orang anggota DPR Papua jalur pengangkatan itu tidak disertai wewenang khusus untuk melindungi masyarakat adat dan orang asli Papua.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More