Categories Berita

MRP Minta Pemprov Perbaiki Asrama Mahasiswa Papua di Tomohon

Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait, menyerahkan bantuan kepada mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan VIII Tomohon, Senin (23/08/2021). – IST

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua atau MRP, Yoel Luiz Mulait meminta Pemerintah Provinsi Papua segera membangun kembali Asrama Mahasiswa Papua Kamasan VIII di Tomohon, Sulawesi Utara, yang terbakar pada 2019 silam. Permintaan itu disampaikan Mulait pada Selasa (24/8/2021), seusai mengunjungi asrama itu.

Mulait menjelaskan ia telah mengunjungi  Asrama Mahasiswa Papua Kamasan VIII di Tomohon pada Senin (23/8/2021). Mulait menyatakan dalam kunjungan kerja ke Sulawesi Utara itu ia bertemu para mahasiswa asal Papua yang tengah berkuliah di Manado, Tomohon, dan Tondano, dan mendengarkan berbagai keluhan mereka.

“MRP meminta Pemerintah Provinsi Papua segera membangun Asrama Kamasan VIII Tomohon yang terbakar tahun 2019. Kondisi asrama yang lain [juga] perlu renovasi ringan,” kata Mulait saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Selasa.

Mulait menyatakan ia telah memberitahukan kondisi Asrama Mahasiswa Papua Kamasan VIII Tomohon kepada Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Provinsi Papua, Ridwan Rumasukun. “Saya sedih melihat generasi muda Papua belajar tinggal di asrama yang sangat tidak layak karena bekas terbakar. Saya telah sampaikan pesan WhatsApp kepada Pak Ridwan Rumasukun. Semoga [perbaikan asrama itu] menjadi prioritas tahun 2022,” ujarnya.

Menurutnya, Asrama Mahasiswa Kamasan V Manado, baik asrama putra maupun asrama putri, juga membutuhkan renovasi ringan. Ia menyatakan banyak ruangan di bangunan Asrama Mahasiswa Kamasan V Manado yang telah rusak, sehingga membuat para mahasiswa tidak nyaman.

Di sela kunjungan itu, Mulait menyerahkan barang kebutuhan pokok berupa beras, telur, sabun cuci, sabun mandi, dan pasta gigi. Ia juga membiayai pemasangan jaringan internet asrama di Kota Manado, Tomohon dan Tondano.

“Itu sebagai perhatian kami, agar adik-adik bisa belajar tenang di asrama. Juga sedikit ada bahan makanan dan peralatan mandi,” kata Mulait.

Ketua Asrama Kamasan VIII Tomohon, Aput Kosay meminta Pemerintah Provinsi Papua segera membangun lagi bangunan asrama yang terbakar pada 2019. “Kami ini aset sumber daya manusia Papua yang menempuh pendidikan di Kota Tomohon. Tapi [kami] tinggal di asrama yang tidak layak, bocor dimana-mana. Sayang kami tidak punya pilihan lain, terpaksa harus tinggal disini. Kami telah inisiatif ajukan proposal ke Pemerintah Provinsi Papua untuk pembangunan asrama, tapi belum ada informasi realisasi,” ujarnya.

Ketua Asrama Putri Kamasan Tondano, Natalia Vortisia Kakuna meminta perbaikan bangunan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan VIII Tondano juga meliputi perbaikan fasilitas asrama putra maupun putri. Ia mencontohkan kamar mandi dan kaca sejumlah ruangan sudah rusak karena termakan usia.

Ketua Asrama Mahasiswa Papua Kamasan V, Jefri Kosho meminta Pemerintah Provinsi Papua maupun Pemerintah Provinsi Papua Barat memperhatikan kondisi mahasiswa. “Kami hanya minta Asrama Kamasan Tomohon segera dibangun kembali oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Papua Barat. Itu aset bersama,” ujar Kosho.

Ketua Ikatan Mahasiswa Papua di Manado, Wilson Itlay meminta Pemerintah Provinsi Papua memperhatikan kondisi mahasiswa asal Papua di Kota Manado. “Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat jangan berpikir setelah siapkan asrama sudah cukup, tanpa berpikir makan dan minum bagi mahasiswa setiap bulan. Apalagi situasi pandemi COVID-19 saat ini, ada banyak mahasiswa yang sakit karena tidak makan,” kata Itlay.

Itlay juga berharap perbaikan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan VIII Tomohon dapat dilakukan pada 2022. “Kami sangat berharap agar pembangunan Asrama Kamasan VIII Tomohon dilaksanakan 2022. Kondisi saat ini sangat tidak layak huni,” kata Itlay. (*)

Read More

Categories Berita

Waket I MRP Beri Bantuan Sembako ke Posko Pengungsi Penghuni Asrama Uncen

Waket I MRP Yoel Mulait saat menyerahkan bama kepada posko pengungsi penghuni asrama Rusunawa Uncen di Kamwolker Perumnas III Waena – Dok Pribadi

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua Yoel Mulait menggunjungi posko umum mahasiswa penghuni asrama Uncen yang mengalami korban pengeluaran paksa oleh lembaga Uncen di backup TNI dan Polri pada 21 Juli lalu di Kampwolker Waena. Jayapura. Kamis, (5/8/2021).

Yoel Mulait menyerahkan bantuan sembako dan beras 1 ton diterima langsung oleh pengurus umum wilayah Kampwolker, pengurus asrama dan ketua posko beserta mahasiswa penghuni asrama yang masih tinggal di posko.

Saat menyerahkan bantuan Sembako kepada mahasiswa, Mulait menyampaikan pesan bahwa di tengah melonjaknya angka kematian akibat Miras, narkoba dan Covid-19, mahasiswa harus menjaga kesehatan dan jauhi minuman keras.

“Kami sudah banyak mati akibat Miras jangan lagi mati karena Covid-19,” pesannya.

Dia berharap bantuan yang diberikan dapat bermanfaat untuk mahasiswa selama masa Pandemi Covid-19 di Papua khususnya di Jayapura.

Musa Hisage selaku ketua umum asrama Uncen wilayah Kampwolker mewakili semua rekan-rekan yang ada di posko sampaikan terimakasih atas bantuan yang diberikan kepada para mahasiswa.

“Karena selama kami dikeluarkan dari asrama Uncen ini, belum ada yang memberikan bantuan sebesar ini dari pihak manapun, jadi Puji Tuhan, kami rasa bersyukur dan berterimakasih,” ucapnya.

Selain itu juga salah satu penghuni asrama yang masih berada di posko Hendrik Wenda menyampaikan, keberadaan mereka disini masih banyak kekurangan, bahan makanan, tempat yang ditinggal sementara ini belum layak.

“Karena kurang lebih dalam satu kamar, kami tidur itu 3-5 orang, kami mau fokus belajar agak susah karena tempat juga tidak layak untuk belajar tenang,” katanya.

Lanjut Hendrik, mahasiswa penghuni asrama Rusunawa berharap lembaga Uncen segera bertanggung jawab atas tempat tinggal mahasiswa, karena sementara ini penghuni terlantar tinggal di gubuk. (*)

 

Sumber: nirmeke.com

Read More
Categories Berita

MRP dan DPR Papua Hadiri Diskusi Panel Organisasi Cipayung di Jayapura

Timotius Murib ketua MRP dan Yunus Wonda wakil ketua I DPR Papua saat mengikuti diskusi panel yang di gelar oleh 6 cipayung yang ada di kota Jayapura – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – 6 Cipayung kota Jayapura HMI, PMKRI, GMKI, PMII, GEMINDO, dan GMNI yang tergabung dalam organisasi kepemudaan mahasiswa mengelar diskusi panel terkait kondisi Otonomi Khusus (Otsus) dan Pemekaran yang berkembang di antara pro-kontra pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kegiatan diskusi panel yang dihadiri Perwakilan DPR Papua Yunus Wonda Wakil ketua I dan Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua tersebut berlangsung di salah satu hotel di Kotaraja Luar, Rabu (21/4/2021), dihadiri kurang lebih 200 peserta baik mahasiswa dan anggota aktif OKP Cipayung di Jayapura.

Yunus Wonda Wakil ketua I DPR Papua usai diskusi panel mengatakan kegiatan yang dilakukan oleh Cipayung sangat tepat untuk bahas kajian ilmiah seperti ini di forum resmi agar apa yang di diskusikan dapat dipertanggungjawabkan kelak.

“Ini satu ruang di mana semua pihak bicara tentang kondisi dinamika yang terjadi di tanah Papua, sehingga siapa pun dia tidak boleh melarang kegiatan ini,” katanya.

Lanjutnya, apa yang dibahas dalam diskusi panel ini dapat melahirkan catatan-catatan untuk disampaikan ke pemerintah pusat terkait apa yang sedang dihadapi rakyat Papua dan apa yang sebenarnya diinginkan orang asli Papua.

“Terkait Otsus dan Pemekaran DOB semua keputusan ada di MRP karena lembaga ini merupakan kulture masyarakat Papua, dan apa yang diputuskan atau disampaikan MRP merupakan aspirasi dari masyarakat Papua,” katanya.

Wonda menegaskan persoalan Papua hanya bisa diselesaikan oleh orang Papua sendiri melalui diskusi dan kajian ilmiah seperti ini, mencari akar masalah dan menyelesaikannya bukan di putuskan oleh negara (Jakarta) lalu di paksakan di Papua, otomatis persoalan Papua tidak akan pernah selesai meskipun Otsus dan Pemekaran DOB di lakukan di tanah Papua.

Timotius Murib, ketua Majelis Rakyat Papua juga menegaskan persoalan Papua tidak pernah diselesaikan baik dari orde lama, orde baru, era reformasi hingga era Otsus tahun 2001 karena negara tidak pernah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada orang Papua.

“Wajar saja banyak persoalan Papua tidak pernah diselesaikan negara, Banyak kewenangan yang di amputasi (dihilangkan) dalam UU Otonomi Daerah dan Otsus sehingga tidak ada satu kewenangan yang mengatur dan mengakomodir hak-hak orang asli Papua,” tegasnya.

Lanjutnya, Pemerintah harusnya menyadari bahwa belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia orang asli Papua.

“Pemerintah berpikir dengan uang yang banyak dan DOB dapat menyelesaikan persoalan Papua. Dasarnya apa? Uang banyak, Kekerasan masih terjadi di berbagai aspek,” kata Murib.

MRP berharap negara dapat membuka ruang bagi orang asli Papua menyampaikan pendapat di muka umum melalui MRP sesuai amanat pasal 77 nomor 21 UU Otsus tahun 2001. (*)

Read More

Categories Berita

BEM USTJ Minta MRP Undang Seluruh Masyarakat untuk Evaluasi Otsus

Ilustrasi Dana Otsus Papua – IST

JAYAPURA, MRP – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (BEM USTJ) meminta Majelis Rakyat Papua (MRP) membuka diri memngundang semua pihak elemen masyarakat untuk melakukan evaluasi Otsus secara menyeluruh dari berbagai aspek.

Hal tersebut disampaikan Alexander Gobai, ketua BEM USTJ Jayapura melalui pernyataan pers yang diterima suarapapua.com pada Senin, (27/7/2020).

semua pihak bersuara, baik Lembaga pemerintahan, Para Tokoh-Tokoh Papua, Agama, Masyarakat, Perempuan, Adat, Aktivis Mahasiswa, Pemuda, Aktivis Papua Merdeka dan semua pihak yang telah mengalami dan merasakan kehadiran Otsus selama 20 tahun di tanah Papua.

“20 Tahun Otsus diberlakukan di tanah Papua membuat nuansa terhadap tatanan kehidupan orang Papua semakin berubah. Peningkatkan Infrasruktur, Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan dan lainnya sesuai dengan amanah Otsus bahwa Orang papua menjadi tuan diatas negerinya,” tuturnya.

Ia menambahkan, MRP salah satu contoh yang menjadi salah satu Lembaga yang dijawab Otsus yang bertujuan mengangkat jati diri orang Papua sesuai dengan petunjuk Keberpihakan, Pemberdayaan hak-hak orang asli Papua di atas tanah Papua. Dibentuk MRP agar orang asli Papua dilindungi dan disuarakan berdasarkan aspirasi rakyat Papua dari semua aspek, termasuk aspek Politik.

“Upaya keberpihakan sudah dijalankan meski tidak maksimal. Pada saat ini, MRP sedang berupaya melakukan berbagai kegiatan yang nuansanya mendengar pendapat dari berbagai pihak tentang keberhasilan dan kegagalan Otonomi Khusus selama 20 tahun diatas tanah Papua,” jelas Gobay.

Lanjut Gobai, Kecenderungan digelarnya berbagai kegiatan mendorong Evaluasi Otsus dari MRP itu, justru disoroti dari berbagai pihak, dimana rakyat Papua bersuara agar MRP tidak boleh melakukan kegiatan yang menghadirkan berbagai pihak yang cenderung agar Otsus jilid II dilanjutkan.

“Sementara, dinamika rakyat Papua yang tergabung 31 Organisasi Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua telah menandatangi Petisi Penolakan Otsus Jilid II. Upaya penandatanganan itu sudah dilakukan dan akan terus dilakukan agar Otsus tidak boleh lanjut,” tuturnya.

Berdasarkan Dinamika diatas, kata Gobai, kami Mahasiswa dari BEM PT USTJ sebagai Agen Of Change yang adalah independen tidak berpihak kepada siapa-siapa, maka, Mahasiswa memberikan solusi sebagai wujud agar berbagai pihak sebagai pengambilan kebijakan bisa dilanjutkan.

“Pertama, kami BEM USTJ meminta agar Otsus dievaluasi secara detail dari berbagai Aspek. Aspek Ekonomi, Kesehatan, Infrastruktur, Pendidikan, Hukum dan HAM, dan Politik,” katanya.

Kedua, kata Gobai, kami BEM USTJ meminta MRP harus membuka diri dan mengundang semua pihak, Tokoh-Tokoh Papua, Pemerintahan, Adat, Masyarakat, Agama, Perempuan, Akademisi, Mahasiswa, Aktivis untuk duduk berbicara keberhasilan dan kegagalan Otsus selama 20 tahun di tanah Papua.

“Ketiga, kami meminta dalam Evaluasi Otsus, pentingnya mengudang organisasi kiri dan Lembaga Pemerintahan untuk duduk Bersama membicarakan tentang Otsus. Dan keempat, kami sarankan agar BEM se-Papua duduk Bersama untuk membicarakan tentang Otsus dan melakukan Kajian Ilmiah berdasarkan Rill hadirnya Otsus di Papua selama 20 tahun ini,” terang Alexander Gobai Eks Tapol korban rasisme di Balikpapan.

Sebelumnya, Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengatakan MRP akan mengupayakan proses evaluasi Otsus Papua dilakukan secara terbuka dan menyeluruh.

“MRP mau evaluasi harus terbuka, semua komponen harus terlibat memberikan pendapat tentang 20 tahun implementasi Otsus di Papua,” tuturnya.

Murib menambahkan empat bidang akan menjadi perioritas evaluasi Otsus MRP khusus 2001- 2019 pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur.(*)

Sumber: Suara Papua

Read More

Categories Berita

Anggota MRP: Hentikan penangkapan mahasiswa Papua

Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) ditangkap polisi di kampusnya pada Senin (15/6/2020). – IST

JAYAPURA, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP, Pdt Nikolaus Degey STh meminta Kepolisian Resor Kota Jayapura segera membebaskan empat mahasiswa yang juga pengurus Badan Eksekutf Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura. Degey meminta polisi berhenti mencampuri aktivitas mahasiswa di lingkungan kampus.

Hal itu dinyatakan Degey menyikati ditangkap pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) oleh polisi pada Senin (15/6/2020) sekitar pukul 08.00 WP. Menempatkan empat mahasiswa yang ditangkap di kampus mereka adalah Marten Pakage, Semi Gobay, Albert Yatipai, dan Ones Yalak.

Marten dan teman-teman diambil setelah mereka membuka Posko Mimbar Bebas Pembebasan Tapol Papua di kampusnya pada Sabtu (13/6/2020) lalu. Bagaimana cara polisi mencampuri urusan kampus?

“Lingkungan kampus itu Lingkungan akademik, jadi tidak perlu tangkap lah. Kalau tangkap, ini kan mencampuri urusan kampus, ”kata Degey bagi Jubi.

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP yang memenangkan mimbar bebas yang menyuarakan kebebasan pembebasan tujuh tahanan politik (Tapol) Papua yang tengah diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan di Kalimantan Timur harus dilihat sebagai bagian dari tantangan akademi. Terkait dengan diskusi tentang berani yang diikuti para tokoh Papua pada pekan lalu, dan sama-sama membahas beratnya menanggapi Jaksa Penuntut Umum terhadap tujuh Tapol Papua di PN Balikpapan.

“Jadi, kalau mau tangkap, tangkap semua. Jangan hanya empat mahasiswa USTJ saja yang ditangkap. Hukum harus adil. Kalau tidak bisa adil [dengan] diskusi semua [orang yang membahas masalah tujuh Tapol Papua], bebaskan saja empat anak itu, ”kata Degey.

Di tempat terpisah, advokat Emanuel Gobay selaku Koordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua menyatakan mimbar bebas di Kampus USTJ yang tidak melanggar hukum, sehingga para penyelenggaranya tidak bisa menjadi polisi. Gobay meminta mahasiswa baru USTJ segera dikirimkan.

Ia menyetujui kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu mengirim surat meminta penyampaian pendapat di muka umum, sebagaimana disetujui Undang-undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 

“Secara eksplisit menjawab bahwa kegiatan akademik dan kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang dikecualikan dalam persetujuan tertulis,” kata Gobay dalam keterangan pers tertulisnya.

Gobay menyatakan otoritas penegak hukum di Papua wajib menyetujui dan melindungi hak demokrasi warga negara yang menyetujui UU Nomor 9 Tahun 1998. “Maka, sudah disetujui empat orang mahasiswa USTJ yang tangkap, Marthen Pakage, Semi Gobay, Albert Yatipai, Ones Yalak didukung saja,” tegas Gobay. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Dikunjungi Bupati Jember, MRP titipkan 200 mahasiswa Papua

Bupati Jember, dr, Hj, Faida saat memberikan cinderamata kepada ketua MRP Timotius Murib di kantor MRP usai pertemuan – Foto/Agus Pabika

Jayapura, MRP – Majelis rakyat Papua atau MRP pada Senin (27/1/2020) menerima kunjungan Bupati Jember, Faida di Jayapura, Papua. Dalam pertemuan itu, MRP menitipkan 200 mahasiswa Papua kepada Bupati Jember, agar mereka dapat berkuliah dengan aman.

Hal itu disampaikan Ketua MRP Timotius Murib di Jayapura, Rabu (29/1/2020). “Kami telah menerima kunjungan Bupati Kabupaten Jember, Jawa Timur, dr Hj Faida MMR,  pada Senin 26 Januari. Kami titipkan pesan [untuk] menjaga masyarakat Papua, terutama 200 mahasiswa yang kuliah di Jember,” kata Murib.

Murib menyatakan pesan khusus itu disampaikan kepada Faida agar ada jaminan keamanan bagi para mahasiswa Papua untuk berkuliah dengan aman dan nyaman. Jaminan khusus itu dibutuhkan karena kasus persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019 telah membuat mahasiswa Papua merasa tidak nyaman berkuliah di luar Papua.

Murib berharap para mahasiswa Papua di Jember dapat berkuliah dengan aman dan nyaman. “Kita sampaikan ini supaya mereka yang ada di sana menjadi anak-anak Ibu Bupati, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah atau Forkopimda Kabupaten Jember, dan masyarakat Jember,” kata Murib.

Dalam pertemuannya dengan para anggota MRP, Bupati Jember, Faida menyatakan pihaknya menjamin keamanan dan keselamatan para mahasiswa Papua yang berkuliah di Jember. Faida menyatakan akan menjaga para mahasiswa Papua, karena para mahasiswa itulah yang nantinya akan membangun masa depan Papua.

Sejak persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua terjadi di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019, ribuan mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Papua melakukan eksodus dan pulang ke Papua. Eksodus terjadi setelah sejumlah asrama atau pemondokan mahasiswa Papua di berbagai kota studi didatangi aparat keamanan atau dipersekusi organisasi kemasyarakatan.

Situasi itu membuat mahasiswa Papua merasa tidak nyaman dan aman, sehingga meninggalkan kuliahnya dan pulang ke Papua. Polda Papua memperkirakan jumlah mahasiswa eksodus yang meninggalkan berbagai perguruan tinggi di luar Papua itu mencapai 3.000 orang. Sementara Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura menyatakan jumlah mahasiswa eksodus di Papua mencapai 6.000 orang. MRP akhirnya mencoba membuat rapat terbuka pada Rabu, untuk mempertemukan mahasiswa eksodus dengan Forkopimda Papua.

Dalam rapat terbuka pada pekan lalu itu, Eko Pilipus Kogoya dari Posko Induk Mahasiswa Eksodus di Jayapura menyatakan MRP, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, maupun Pemerintah Provinsi Papua harus memperhatikan nasib dan masa depan para mahasiswa eksodus yang terlanjur pulang ke Papua. “Kami korban rasisme. Pemerintah harus bicara serius. Kami mau ada solusi,” kata Kogoya seusai mengikuti rapat terbuka bersama Forkopimda Provinsi Papua itu.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP minta 7 tapol dipulangkan ke Papua

Ilustrasi tujuh tapol Papua yang dipindahkan ke Kaltim saat akan diserahkan ke Kejaksaan. – Jubi. Dok

 

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP meminta Kejaksaan Tinggi Papua memulangkan tujuh tahanan politik asal Papua yang kini ditahan di Kalimantan Timur. MRP menilai pemindahan lokasi penahanan dan pemindahan tempat persidangan ketujuh tahanan politik itu tidak beralasan, karena situasi di Papua telah aman.

Permintaan itu disampaikan oleh Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP, Yoel Mulait di Jayapura, Selasa (28/1/2020). “Kita minta 7 tahanan di Kalimantan dipindahkan di Papua, [dan menjalani] persidangan [di Papua],” kata Yoel Mulait.

Ketujuh tahanan politik (tapol) yang ditahan di Kalimantan Timur itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Pada 4 Oktober 2019, Kepolisian Daerah Papua memindah lokasi penahanan ketujuh tapol kasus makar Papua itu dari Jayapura ke Kalimantan Timur. Mahkamah Agung RI telah menunjuk Pengadilan Negeri Balikpapan untuk memeriksa dan memutus perkara ketujuh tapol itu. Penunjukan itu dinyatakan dalam surat Mahkamah Agung nomor 179/KMA/SK/X/2019.

Mulait menegaskan pemindahan ketujuh tapol itu tidak dibisa diterima, karena proses sidang sejumlah perkara yang terkait dengan unjukrasa dan amuk massa anti rasisme Papua di Pengadilan Negeri Jayapura telah berjalan dengan aman. “[Mereka dipindahkan dengan] alasan keamanan. Tetapi sidang lain [sudah berjalan dan] tidak ada yang ganggu,” kata Mulait.

Mulait menyatakan seharusnya aparat penegak hukum berupaya untuk mengadili ketujuh tapol Papua itu di Papua. Menurutnya, jika proses pengadilan terhadak ketujuh tapol dijalankan di Papua, hal itu justru akan menguntung Negara maupun ketujuh tapol.  “[Sidang di Papua akan] untungkan kedua belah pihak. Keluarga tidak  butuh biaya besar [untuk mengikuti proses sidang]. Jaksa yang menyidangkan tidak bolak balik ke sana juga,”ungkapnya.

Sebaliknya, Mulait mengingatkan kesan itu justru akan memperburuk citra Indonesia di mata masyarakat internasional.”Kalau sidang di luar [Papua], [itu justru] memberi kesan Papua belum aman,” kata Mulait.

Aktivis perempuan Papua, Iche Murib mengatakan pada Selasa mengantar keluarga tujuh tahanan politik atau tapol Papua mendatangi Kejaksaan Tinggi Papua. Keluarga ketujuh tapol Papua kembali meminta Kejaksaan Tinggi Papua segera memulangkan ketujuh tapol Papua yang kini ditahan di Kalimantan Timur.

Iche Murib menyatakan dalam pertemuan itu keluarga ketujuh tapol Papua kembali menegaskan tuntutan mereka agar tujuh tapol Papua segera dipulangkan ke Papua. “Proses persidangan sebaiknya dilakukan di Papua. Karena saat ini Papua sudah aman,” kata Murib saat dihubungi Jubi melalui sambungan selulernya, Selasa.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Meeting postponed, ‘exodus’ students still wait to see Papua Governor

The Chairperson of Papuan People’s Assembly Matius Murib during a dialogue with the exodus students’ group at his office’s lawn, Jayapura, Thursday (9/1/2020). -Jubi/Courtesy Papuan People’s Assembly

 

Jayapura, MRP – The exodus students’ goal to meet and have a dialogue with Papua Governor and the Chairs of Papuan House of Representatives and Papuan People’s Assembly on Thursday (16/1/2020) had not yet materialized. The Chairperson of Papuan People’s Assembly Timotius Murib, who set up the meeting, announced it has to postpone.

“Last week the students asked [to meet the governor and the House of Representative’s chairperson on] Thursday. But we asked them to wait for the governor to schedule the meeting,” Murib told Jubi in Jayapura on Thursday.

Following the mob’s persecution and racism taunt towards Papuan students in Surabaya on respective 16 and 17 August 2019, thousands of Papuan students studying in various Indonesian regions, have returned home to Papua in exodus wave. The seizure and persecution by security forces and local mobs to their boarding houses and accommodation drove the feeling of unsecured amongst the Papuan students. Therefore, many of them decided to discontinue their study and return home to Papua.

The Papua Police Chief estimated that the number of exodus students coming from various tertiary institutions from external Papua reaches three thousand. By contrast, the Central Post of Exodus Students in Jayapura said their current number is six thousand.

On January 2020, 146 people identified themselves as members of the Central Post of Exodus Students came to the office of Papua’s People Assembly asking the Chairperson Timotius Murib to schedule a meeting with the governor Lukas Enembe and the chairperson of Papuan House of Representative Jhony Banua Row. They said that they wanted to convey their statement regarding the issue of racism towards Papuans through this setup.

The meeting previously scheduled for taking place on Thursday this week, but Murib said it had to postpone due to further acknowledgement from the governor. Furthermore, he said his office (Papuan People’s Assembly) would notify the students if the Papuan Governor is already in Papua because the Governor Enembe also wants to meet the exodus students. Even the governor has tried several times to meet the exodus students but continued to reject by the students.

“In 2019, [when the case of] racism increased, the governor came to Surabaya to meet the students but failed [to meet. After the governor] arrived in Papua, he [had] invited [the exodus students in a meeting], but the students rejected it,” said Murib.

Now, the representatives of the Central Post of Exodus Students asked for a meeting with the Papuan Governor. Personally, Murib said he hopes the meeting would immediately happen. He said it is crucial because it contains the issue of the future of these students, those who expected to become the foundation of Papua’s future.

“Education is more important, because [education will become an investment] of their future and this nation. Therefore, we are waiting for the governor to set up the meeting with the students,” said Murib.

In the meantime, Kaitanus Ikinia from the Central Post of Exodus Students confirmed that the students already received notification about this postponement. “Today is cancelled. [We knew] after communicating with the Papuan People’s Assembly,” Ikinia texted Jubi on Thursday. (*)

 

Sumber: https://eng.jubi.co.id

 

Read More