Categories Berita

MRP minta Jakarta kirim tenaga kemanusiaan karena sudah kirim pasukan

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib – Humas MRP.

Jayapura, MRP – Otoritas Majelis  Rakyat atau MRP mendesak Jakarta tidak hanya konsen mengirimkan pasukan militer ke Papua untuk menghadapi pasukan kelompok sipil bersenjata tanpa pengiriman tenaga kemanusiaan.

“Kalau biasa pemerintah juga kirim tenaga medis dan guru-guru untuk melayani para pengungsi,” ungkap Timotius Murib kepada jurnalis Jubi, Kamis (30/1/2020) pagi.

Karena, kata dia, pasukan yang tiba di Papua, terutama Kabupaten Intan Jaya, Nduga, Puncak, dan Puncak Jaya sering terjadi kontak senjata.

“Konflik dua kelompok terserah saja tetapi rakyat biasa mengungsi akibat perang dan hak-hak masyarakat tidak terpenuhi,” ungkapnya.

Kalau hak-hak masyarakat sipil ini tidak terpenuhi, sebenarnya terjadi pelanggaran HAM yang sesungguhnya yang sedang terjadi di Papua.

“Kalau tidak ada pemenuhan hak warga sipil, pelanggaran HAM yang sedang berlangsung,” ungkapnya.

Kata dia, hak ekonomi, hak kesehatan, hak pendidikan, hak tidak tertekan, dan hak rasa bebas tersandera. Rakyat sipil yang menderita.

“Kita melihat ini biasa tetapi harus serius,” ungkapnya.

Anggota MRP dari kelompok kerja Agama, Nikolaus Degey, menilai pengabaian hak warga sipil itu merugikan negara.

“Kontak senjata saja, ada respons negatif terhadap Indonesia. Apala lagi hak-hak warga sipil tidak terpenuhi sementara dunia fokus bicara pemenuhan hak rakyat,” ungkap Degey.

Kata dia, bukan hanya respons negatif terhadap kebijakan Jakarta tetapi juga menjadi bahan kampanye kelompok yang mencari keuntungan.

“Bisa saja mendukung aspirasi kemerdekaan Papua dengan anggapan pemerintah tidak mampu penuhi hak rakyat rakyat Papua,” ungkapnya.

Karena itu, Degey maupun Murib berharap Jakarta hati-hati merencanakan apapun kebijakan mengenai Papua. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Adat

MRP menilai Jakarta sedang berusaha menekan psikologi rakyat Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib – Jubi/Agus Pabika.

Jayapura, MRP – Para anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP merasa heran dengan kebijakan Jakarta dalam menangani persoalan Papua. Sejak terjadinya kasus rasisme terhadap para mahasiswa Papua, Jakarta tak mengambil langkah serius untuk menyelesaikan persoalan rasisme Papua. Jakarta justru terus mengirimkan aparat keamanan tambahan, dengan jumlah yang banyak.

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib menyatakan sulit memahami kebijakan yang diambil Jakarta dalam menangani persoalan Papua. “Jumlah pasukan yang Jakarta kirim sangat luar biasa. [Mereka dikirim] hanya untuk menghadapi kelompok rakyat Papua dengan persenjataan yang terbatas,” kata Murib di Jayapura, Rabu (29/1/2020).

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP, Nikolaus Degey mengatakan kebijakan Jakarta untuk terus menambah jumlah aparat keamanan di Papua membuat rakyat Papua tertekan. “Mengapa pasukan makin hari makin tambah di Papua? Jumlah militer yang terus bertambah ini membuat warga sipil tetekan,” ujar Degey di Jayapura, Rabu.

Degey mengingatkan cara Jakarta menangani persoalan Papua justru membuat rakyat Papua semakin bertanya-tanya, apakah benar rakyat Papua dianggap warga negara Indonesia yang setara. “Kalau Papua bagian dari Indonesia, mengapa pemerintah menekan rakyat dengan terus menambah jumlah [aparat] keamanan?” Degey bertanya.

Sejak kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua terjadi di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019, pemerintah pusat terus menambah aparat keamanan di Kabupaten Nduga, Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Intan Jaya, Paniai, Deiyai dan Dogiai. Degey menyatakan penambahan pasukan itu menunjukkan pemerintah di Jakarta mengabaikan nasib ribuan warga sipil Kabupaten Nduga yang mengungsi gara-gara konflik bersenjata di Nduga.

Menurut Degey, pendekatan keamanan yang digunakan Jakarta dalam menyelesaikan kasus rasisme Papua justru memunculkan spekulasi yang beragam. Spekulasi itu muncul karena pemerintah di Jakarta justru tidak kunjung menyelesaikan masalah rasisme Papua.

“Penambahan pasukan, terutama di Nduga dan Intan Jaya, menyebabkan rakyat sipil mengungsi. Pengungsi makin bertambah. Banyak masalah [baru] yang akan muncul. Kelaparan, sakit, dan masalah lainnya. Apakah ini bagian dari mengamankan Freeport dan merebut kekayaan alam yang ada di sekitarnya atas nama kerja kelompok bersenjata Papua merdeka?” Degey bertanya.

Kata dia, lebih bijak dan sangat manusiawi, kalau mau rebut, pemerintah mestinya hargai hak milik dan bicara sesuai aturan hukum. “Jangan pakai alasan menjaga objek vital, tetapi dampaknya memusnahkan orang Papua,” kata Degey serius.

Dominikus Surabut, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) versi Konferensi Luar Biasa menilai kondisi Papua saat ini sudah seperti Daerah Operasional Militer, namun pemerintah tidak pernah menyatakan status DOM itu. Akibatnya, penambahan dan pergerakan pasukan di Papua itu tanpa mekanisme resmi dalam menggelar DOM.

“Kita tidak pernah DPR sidang dan mendukung pengiriman pasukan ke Papua. Akan tetapi, jumlah militer yang dikirimkan ke Papua sudah menyerupai daerah operasi militer,” kata Surabut.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP mendesak agar aparat tidak mengembangkan konflik di Papua

Prajurit TNI menaiki helikopter di Kabupaten Jayawijaya Papua Rabu 5-12-2018. Ratusan Prajurit TNI ini dikerakan negara untuk memburu kelompok penembak puluhan pekerja konstruksi di Kabupaten Nduga Papua – (Foto/Antara)

 

Jayapura, MRP – Anggota Pokja Agama Majelis Rakyat Papua, Nikolaus Degey, mendesak elit politik sipil dan militer berhenti mengembangkan opsi kekerasan atas nama penegakan hukum yang sebenarnya mencari popularitas dan kedudukan di Papua. Degey mencurigai pendekatan militer di Nduga, Intan Jaya dan Puncak tidak pernah mempertimbangkan warga sipil.

“Jangan kembangkan opsi konflik untuk mencari keuntungan. Kalau opsi itu, mau bawa ke mana rakyat sipil dan negara ini,”ungkap Degey Kepada jurnalis Jubi, Rabu (16/01/2020) pagi tadi.

Ia menjelaskan pendekatan militer selama ini tidak pernah mempertimbangkan warga sipil yang dampaknya menimbulkan ratusan warga tewas di Nduga dan ribuan mengungsi.

“Situasi pengungsian yang sama terjadi di Intan Jaya dan Puncak,” kata Degey menambahkan.

Ia menyebutkan nasib para pengungsi di wilayah operasi militer itu tidak terurus hingga saat ini, tak jarang sejumlah warga tewas akibat kelaparan dan sakit. hal itu sebenarnya bertolak belakang dengan slogan yang dikembangkan pihak kepolisian dan TNI.

“Kondisi itu tak sesuai dengan slogan aparat yang seharusnya mengayomi dan melayani masyarakat,”kata Degey menjelaskan.

Kehadiran aparat militer dinilai menciderai fasafah pancasila yang justru dijadikan dasar kehadiran polisi dan TNI di Papua. Ia mencontohkan sila pertama mengakui adanya Tuhan, namun saat perayaan Natal dan hari besar lainnya di Papua justru terganggu dengan aksi penangkapan.

Degey menyebut pegakuan terhadap adanya Tuhan itu harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk menjalankan tugas melayani masyarakat sesuai dengan sila-sila berikutnya.

“Sila kedua jelas kemanusiaan yang adil dan beradab. Harus bersikap manusiawi dan itu harus hadir sebagai manusia yang beradab dalam tugas melayani masyarakat,”katanya.

Ia mencurigai mencurigai dan menuding para jenderal di institusi kepolisian sedang menciptakan konflik di Papua.

Mantan anggota DPR Papua jalur pengangkatan, John Gobay, mengatakan peperangan antara pasukan Indonesia dan organisasi Papua merdeka hanya merugikan warga sipil.

“Kita harus jujur kontak senjata antara TPNPB dan Militer Indonesia di Intan Jaya juga daerah lain membuat masyarakat tidak nyaman,” kata Gobay.

Situasi yang ada mestinya membuka mata dan menggugah hati pengambil keputusan di institusi militer dan sipil di Jakarta serta Papua.

“Padahal TPN-PB itu manusia yang bisa diajak bicara. Kita pasti masih ingat awal konflik di Nduga, berawal dari seorang Johni Arung (JA) yang sering komunikasi dengan TPN-PB,” kata Gobay.

Menurut dia, sebenarnya pemerintah Indonesia dan organisasi Papua merdeka bisa duduk bersama dan mencari solusi. “Kalau konflik bersenjata yang dikedepankan, solusi dan niat baik membangun Papua tidak akan terwujud. Duduk bicara, apa sih yang susah,” katanya. (*)

 

Sumber: Jubi.co. id

 

Read More