Categories Berita

MRP Gelar Bimtek Jelang Evaluasi Otsus

Pjs Sekda Papua Doren Wakerkwa bersama ketua MRP Timotius Murib memukul tifa tanda dibukanya Bimtek MRP yang berlangsung di Sentani – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Unsur pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP mengikuti bimbingan teknis (bimtek) dalam rangka meningkatan kapasitas dan pengetahuan sebelum melaksanakan tugas-tugas kelembagaan sepanjang tahun 2021 di hotel Grand Alison Sentani, Kabupaten Jayapura.

“Sesuai tata tertib, setiap awal tahun, MRP melaksanakan bimbingan teknis,” ungkap Ketua MRP, Timotius Murib, kepada jurnalis usai membuka kegiatan bimtek, Selasa (2/2/2021).

Lebih jauh Murib mengatakan bimbingan teknis menjadi satu agenda penting dalam rangka membantu setiap anggota MRP sebelum melaksanakan tugasnya. Terlebih  dalam rangka meningkatkan sumber daya pimpinan  dan anggota MRP dengan informasi dan pengetahuan terkait tugas dan kewenangan.

“Apalagi tahun 2021 ini tahun evaluasi otonomi khusus. Tahun dimana melihat manfaat otonomi khusus terhadap orang asli Papua,” ungkapnya.

Untuk itu, kata Murib, pihaknya menghadirkan sejumlah narasumber yang membawakan materi selama kegiatan bimbingan teknis, termasuk minta Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyampaikan sambutan sekaligus membuka kegiatan.

Murib menyampaikan terima kasih kepada Gubernur Enembe yang sudah merespons, dan menunjuk Sekda Provinsi Papua, Doren Wakerkwa, untuk mewakili memberi sambutan sekaligus membuka kegiatan bimbingan teknis ini.

Salam sambutannya yang dibacakan Sekda Doren Wakerwa, Gubernur Lukas Enembe menegaskan kembali fungsi dan kewenangan lembaga dan anggota MRP dalam melaksanakan tugasnya.

“Tugas dan fungsi utama MRP adalah melindungi hak-hak dasar OAP. Maka sudah menjadi tuntutan moral bagi anggota MRP,” ungkapnya.

Karena itu, kegiatan bimbingan teknis menjadi satu keharusan bagi anggota MRP untuk meningkatkan kapasitasnya, baik itu kapasitas secara personal maupun secara kelembagaan, supaya dapat melaksanakan fungsinya secara baik dan pada gilirannya berdampak positif bagi upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia Papua.

Murib mengatakan kegiatan ini akan berlangsung selama satu minggu, hingga 5 Februari mendatang. (*)

Read More

Categories Berita

MRP pertanyakan indikator untuk melanjutkan kucuran Dana Otsus Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua mempertanyakan indikator yang digunakan pemerintah pusat di Jakarta untuk mengusulkan perpanjangan masa kucuran Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat hingga 2041. Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan kelanjutan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat harusnya diputuskan melalui evaluasi bersama terhadap 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus itu.

Hal itu disampaikan Murib menanggapi rencana pemerintah pusat memperpanjang kucuran Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Papua Barat. Sebelumnya, rencana itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Jakarta, Selasa (26/1/2021). CNN Indonesia melansir bahwa dalam rapat itu Sri Mulyani mengusulkan penyaluran Dana Otsus Papua dan Papua Barat diperpanjang hingga 20 tahun ke depan.

Besaran Dana Otsus Papua dan Papua Barat juga diusulkan naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen nilai Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Sri Mulyani memperkirakan total nilai kucuran Dana Otsus Papua dan Papua Barat selama 20 tahun mendatang akan mencapai Rp234 triliun.

“Indikatornya apa? Dana bertambah lalu mau perubahan? Murib bertanya.

Murib menegaskan berlanjut tidaknya Otsus Papua dan Papua Barat seharusnya diputuskan setelah ada evaluasi bersama terhadap 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua dan Papua Barat. Evaluasi bersama itulah yang seharusnya menyepakati apa indikator yang akan digunakan untuk memutuskan model pembangunan Papua di masa mendatang.

Kucuran “penerimaan khusus” atau Dana Otsus Papua setara 2 persen plafon DAU nasional sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (3) huruf e Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) akan berakhir pada 2021. Pasal 77 UU Otsus Papua menyatakan setiap perubahan aturan UU Otsus Papua hanya dapat dilakukan atas usulan rakyat Papua melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua. Namun kini Menteri Keuangan mengusulkan kepada Komite I DPD RI untuk memperpanjang kucuran Dana Otsus Papua dan Papua Barat hingga 2041.

Murib menekankan pemerintah pusat tidak bisa secara sepihak memutuskan untuk memperpanjang masa kuncuran Dana Otsus Papua. Murib juga menegaskan pemerintah tidak bisa secara sepihak memutuskan besaran Dana Otsus Papua dan Papua Barat hingga setara 2,5 plafon DAU nasional, karena ia menilai kucuran Dana Otsus Papua tidak berdampak positif bagi rakyat Papua.

Menurut Murib, pemerintah pusat semestinya belajar dari pelaksanaan Otsus Papua dan Papua Barat selama 20 tahun terakhir. Dana Otsus Papua dan dana tambahan infrastruktur (DTI) untuk Papua dan Papua Barat selama 2002-2021 mencapai Rp138,65 trliun, namun dinilai Murib tidak membawa perubahan bagi situasi orang asli Papua.

“[Persoalan kecukupan] infrastruktur dasar, [dan] terutama [persoalan] regulasi [yang] masih timpang-tindih [dengan ketentuan UU Otsus Papua]. Pembangunan empat bidang prioritas dalam UU Otsus Papua sangat bermasalah,” kata Murib.

Murib menyatakan pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan masih berpusat di kota dan wilayah berpenduduk migran. “Wilayah orang asli Papua masih terbaikan. Kucuran Dana Otsus tidak mengubah layanan kesehatan dan pendidikan bagi orang asli Papua,” ungkapnya.

Di sisi pembangunan ekonomi kerakyatan, orang Papua terus tertinggal. Tidak ada satu pemerintah daerah di Papua yang berhasil mendidik rakyat untuk mengolah tanah mereka dengan berbasis potensi masing-masing daerah. “Contoh Puncak Jaya. Orang masih kirim ikan dan ayam dari Jayapura. Pemerintah belum fasilitasi rakyat kembangkan ternak Babi,” kata Murib mencontohkan.

Murib menyebut Kota Jayapura telah menjadi bukti terlanjang bahwa pemerintah tidak membantu orang asli Papua mengembangkan perekonomian mereka. “Berapa yang punya kios? Berapa yang punya toko? Semua hanya jual pinang, sayur di emperan toko dan ruko,” kata Murib.

Proteksi sektor perekonomian bagi orang asli Papua juga tidak pernah diterapkan. Jumlah orang Papua yang menjual pinang dari kebunnya sendiri bahkan bisa dihitung, karena kebanyakan dari mereka menjual pinang dari tangan kedua. “Orang kedua itu orang migran. Mereka membeli pinang di wilayah Keerom, dan jual kembali ke orang asli Papua. Lalu orang Papua jual lagi,” kata Murib.

Realitas itu menunjukkan kucuran Dana Otsus Papua tidak membawa manfaat berarti bagi kehidupan orang asli Papua. “Justru koruptor tumbuh subur di Papua. Rakyat menderita, sakit,” ungkapnya.(*)

Sumber: Jubi

Read More

Categories Berita

RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 1)

Tim Rapat Dengar Pendapat Otsus Papua tiba di Bandara Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan diadang sekelompok orang yang mengatasnamakan Lembaga Masyarakat Adat. – Jubi/Yuliana Lantipo

 

Oleh: Welis Doga

Pro-kontra antara pemerintah dengan orang Papua terhadap sejarah status politik Papua dalam Indonesia, hingga kini menjadi akar beribu problem tanpa jalan penyelesaian. Beragam kebijakan tanpa melibatkan orang asli Papua (OAP) yang jelas-jelas membahas tentang tanah dan manusia Papua itu seperti semakin subur.

Mulai dari Perjanjian New York 1962 yang dibicarakan antara Belanda dan Indonesia difasilitasi oleh Amerika Serikat di bawah kontrol PBB, yang intinya membuat sebuah perjanjian tentang status politik Papua – awal OAP jadi objek, lalu diikuti dengan aneksasi Papua ke dalam NKRI pada 1963.

Menurut pemerintah Indonesia peristiwa itu terjadi karena adanya niat penggabungan ke dalam NKRI, tetapi OAP menyebutnya sebagai pemaksaan kehendak (aneksasi). Kemudian MoU tentang PT Freeport Indonesia yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat pada 1967 sebelum Pepera 1969, juga tidak melibatkan OAP (orang Papua tetap menjadi objek) yang punya hak kesulungan atas tanah dan areal operasi pertambangan milik perusahaan raksasa Amerika itu, walaupun keduanya paham bahwa status politik Papua belum tuntas saat itu.

Gagasan pentingnya Pepera 1969 juga bukan atas kesepakatan bersama antara OAP dengan pemerintah Indonesia, melainkan gagasan tentang perlunya Pepera, tata cara pelaksanaan Pepera, kesemua tentang Pepera disiapkan secara sepihak antara pemerintah Indonesia dan UNTEA/PBB tanpa melibatkan OAP. Dalam proses itu OAP tetap menjadi objek. Buktinya adalah pelaksanaan Pepera 1969 penuh intimidatif, hasilnya tidak demokratis. Namun PBB masih mengakui hasil Pepera yang inkonstitusional menurut hukum internasional itu.

Di era reformasi, pola-pola itu masih diterapkan lagi oleh pemerintah Indonesia. Lahirnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua juga tetap sama. OAP tetap jadi objek. Naskah UU Otsus sendiri dibahas di Jayapura. Walaupun begitu, dalam pembahasan rancangan UU Otsus itu, pemerintah tetap saja tidak melibatkan rakyat Papua dan aspirasinya. Tidak ada satu pun aspirasi OAP yang dapat diakomodasi dari 79 pasal dalam UU Otsus, hanya versi pemerintah yang dititipkan kepada kelompok tertentu di Papua untuk dirumuskan.

Dengan demikian, di era pascareformasi, apalagi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, kini waktunya membuka ruang sebesar-besarnya kepada OAP untuk memberikan pandangan/pikiran tentang berhasil atau tidaknya otsus selama 20 tahun di Papua, lalu berikan juga ruang kepada rakyat, apa yang sebenarnya rakyat Papua inginkan. Ini seharusnya terbuka/transparan dalam negara demokrasi seperti ini.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) merupakan ruang yang tepat untuk berbagai pihak yang berbeda pandangan untuk menyalurkan aspirasinya, terutama OAP dan pihak pendukung “Papua merdeka harga mati” dengan “NKRI harga mati”. Kedua kelompok adalah OAP yang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapat dan RDP-lah ruangnya.

Oleh sebab itu, para bupati atau wali kota dan TNI/Polri mesti bertangung jawab dan memastikan dengan benar, bahwa OAP, apapun ideologinya, harus terlibat penuh dalam evaluasi otsus melalui RDP. Jika pemerintah—para bupati atau wali kota, apalagi aparat penegak hukum atas nama Maklumat Kapolda Papua harus menghalangi RDP, maka kesannya adalah OAP terus menjadi objek, padahal dengan kehadiran otsus, OAP justru harus menjadi subjek.

Jika pemerintah hanya mengutamakan sikap satu kelompok saja, misalnya, Barisan Merah Putih (BMP) dan Lembaga Musyawarah Adat (LMA) atau apapun namanya yang mendukung otsus, apakah itu akan dijamin keabsahannya? Atau apakah hanya dengan satu kelompok, apalagi hanya beberapa orang itu, disebut telah mewakili jutaan OAP? Apakah pola-pola lama itu dianggap masih relevan di era pascareformasi ini? Apakah dengan pola itu kemudian beribu problem di tanah ini dijamin akan selesai? Ataukah dengan pola itu juga niat rakyat Papua untuk merdeka akan redup? Kita mesti berpikir logis dalam menjawab beribu problem di tanah ini.

Sekarang tidak relevan lagi jika harus memaksakan pola-pola lama. Itu sangat memalukan, justru menentang dan mencederai nilai-nilai HAM sebagaimana dirangkum secara sempurna dalam konstitusi NKRI, yakni pasal 28 UUD 1945 atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights).

RDP yang didorong MRP mestinya dilihat sebagai sebuah ruang rakyat untuk berpendapat secara demokratis, yang sama halnya dengan asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas dan asas manfaat sebagaimana juga diatur dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Apalagi kemerdekaan mengemukakan pendapat dijamin penuh UUD 1945.

Oleh sebab itu, pemerintah dan aparat keamanan di dua provinsi di Tanah Papua mesti berperan aktif, bertangung jawab dan melibatkan berbagai pihak yang belakangan pro dan kontra terhadap UU Otsus Papua, untuk berpendapat secara demokratis dalam forum RDP yang difasilitasi oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).

Para kelompok penentang RDP juga harus diberi pemahaman tentang hak rakyat mengemukakan pendapat di muka umum, sebagaimana dijamin konstitusi Indonesia. Pemerintah kabupaten/kota memiliki tangung jawab untuk mendidik rakyat pada jalan yang benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di republik ini, sebab apa yang dijalankan oleh MRP itu sesuai amanat undang-undang NKRI.

RDP adalah amanat konstitusi Indonesia

RDP yang kini menjadi perdebatan berbagai pihak di Papua mestinya tidak menjadi sebuah problem. Ini sebenarnya bukan hal yang harus diperdebatkan, sebab yang dilakukan MRP sesuai pasal 77 UU Nomor 21 tahun 2002 tentang Otonomi Khusus Papua, yang berbunyi “Usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat di provinsi paling timur Indonesia ini melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pelaksanaan RDP juga merupakan kewenangan yang melekat pada MRP sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasal 51 dalam PP No. 54 secara sempurna telah mengatur tentang rapat-rapat yang wajib dilakukan MRP, di antaranya, rapat pleno, rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat kelompok kerja, dan rapat gabungan kelompok kerja.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang sedang didorong oleh MRP merupakan rapat yang menjadi wewenang lembaga kultural OAP ini, sebagaimana diamanatkan pada pasal 52 ayat (3) PP No.54 Tahun 2004, “Rapat Dengar Pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c merupakan rapat yang dilakukan oleh alat kelengkapan MRP dengan badan dan lembaga-lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuai dengan kewenangan MRP”.

Dengan demikian penolakan terhadap RDP merupakan sebuah kekeliruan besar. Pernyataan-pernyataan tolak RDP oleh berbagai pihak menentang atau melanggar amanat UU Otsus Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008.

Tidak ada dasar hukum bagi kelompok Barisan Merah Putih (BMP) atau para bupati/wali kota untuk menolak RDP. Apalagi BMP hanyalah organisasi sosial yang kewenangannya tidak diatur dalam UU Otsus maupun PP No. 54/2004. Juga tidak ada kewenangan para bupati/wali kota untuk menolak atau melarang pelaksanaan RDP yang didorong oleh MRP.

Dengan demikian, jika kelompok BMP hendak menyampaikan pendapat tentang lanjut atau tidaknya status otsus di Papua, mestinya mereka menyampaikan pendapat itu dalam RDP. Ini akan jauh lebih baik dan bermartabat sebagai sesama rakyat Papua, yang juga punya hak berpendapat dalam negara demokrasi seperti Indonesia, jika niatnya adalah dalam rangka membangun Papua.

Dalam situasi pro-kontra ini, mestinya pemerintah daerah, terutama para bupati dan wali kota di kedua provinsi di Tanah Papua, punya kewajiban untuk mendidik rakyat dalam hal berdemokrasi—menyampaikan pendapat sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga tidak salah tafsir karena ketidaktahuannya kemudian memunculkan beda pendapat, yang bisa saja berujung pada pro-kontra yang berdampak luas. Bukan seenaknya mempolitisir dan mengadu domba rakyat yang mengarah pada perpecahan. Janganlah menjadi otak intelektual perpecahan rakyat sendiri. Itu akan dinilai publik sebagi tindakan premanisme, dan menambah kesan buruk dalam negara demokrasi sebesar Indonesia.

Penyelenggaraan RDP mutlak kewenangan MRP

Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga negara di daerah dalam rangka pelaksanaan otsus Papua. Keberadaan MRP berdasarkan amanat UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Ada 7 pasal dalam UU Otsus Papua yang secara sempurnan mengatur tentang MRP, yaitu, pasal 19, 20, 21, 22, 23, 24, dan pasal 25.

Tindak lanjut dari tujuh pasal dalam UU Otsus tersebut lahirlah Perarturan Pemerintah No.54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No. 64/2008 telah mengatur dengan jelas tentang tugas pokok dan fungsi kerja, wewenang dan kewajiban MRP. Dengan demikian RDP yang diagendakan MRP adalah mutlak wewenang MRP sebagai tindak lanjut dari amanat UU Otsus dan PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004, sehingga penolakan atas agenda RDP adalah sebuah kekeliruan besar dan menentang amanat peraturan perundang-undangan.

Pro dan kontra terhadap agenda MRP tentang RDP di penghujung pemberlakuan UU Otsus Papua, sepertinya menjadi sebuah problem yang boleh dikatakan cukup lucu dan memalukan. Yang memalukan adalah pihak-pihak yang justru paham tentang peraturan perundang-undang negara, tetapi menolak RDP.

Mungkin kelompok yang mengatasnamakan BMP boleh dikatakan agak maklum, karena sikap penolakan terhadap RDP oleh BMP atau apapun namanya, bisa jadi karena keterbatasan pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terutama UU Otsus Papua atau bisa juga karena dipaksakan oleh pihak-pihak tertentu.

Yang perlu diketahui dan paham oleh pihak-pihak yang menolak RDP, bahwa dari 79 pasal dalam UU Otsus Papua maupun 76 pasal dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008 tentang MRP. Tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang kewenangan penolakan terhadap pelaksanaan RDP oleh siapapun, termasuk para bupati dan pihak-pihak lain. Justru ruang untuk menyatakan sikap, apakah otsus harus lanjut atau tidak, adalah RDP yang diberi wewenang oleh UU Otsus maupun PP.No.64/2008 tentang perubahan PP No.54/2004 kepada MRP. Untuk memfasilitasi ruang yang dimaksud adalah RDP.

Persoalannya, para pihak yang menolak RDP justru melanggar amanat undang-undang negara, UU Otsus dan PP No.54/64. Itu adalah peraturan perundang-undangan negara, bukan peraturan yang dibuat-buat oleh MRP. Maka penegak hukum mesti menindak tegas setiap pelanggar. Sesuai tugas dan fungsinya, aparat negara, terutama kepolisian memberikan kenyamanan dalam pelaksanaan amanat undang-undang.

Apapun ideologinya, RDP ruang rakyat Papua untuk berpendapat

Rapat Dengar Pendapat (RDP) bukan agenda rapat yang dikarang-karang oleh MRP dengan kepentingan tertentu. MRP juga tidak mengubah forum RDP itu menjadi Rapat Dengar Pendapat Papua Merdeka (RDPM), tetapi RDP sesuai amanat undang-undang, sebagaimana diatur dalam pasal 51 dan 52 PP Nomor 54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008 tentang Majelis Rakyat Papua. Dengan demikian, RDP yang didorong MRP dilakukan dalam rangka membicarakan keberlanjutan atau tidaknya otsus di Tanah Papua.

Dalam hal RDP, OAP harus dijadikan sebagai subjek utama atau sasaran utama, sehingga OAP mempunyai hak untuk memberikan pendapat, sebab, tujuan UU Otsus Papua adalah untuk meningkatkan taraf hidup OAP, sehingga dalam RDP, OAP dapat menilai bagian apa saja dari triliunan anggaran negara itu yang dapat meningkatkan taraf hidupnya atau apa masalahnya otsus tidak maksimal, bahkan dianggap gagal menyejahterakan OAP selama hampir 20 tahun.

Penilaian berhasil atau tidaknya terhadap UU Otsus Papua selama hampir 20 tahun berlabuh di Bumi Cenderawasih itu seharusnya datang dari rakyat akar rumput, sebab sasaran atau subjek utama dari UU Otsus adalah OAP, bukan pemerintah, baik pusat, maupun pemerintah daerah atau aparat keamanan. Bersambung. (*)

Penulis adalah masyarakat pegunungan tengah Papua

Read More
Categories Berita

MRP akan kaji kasus penangkapan tim RDP Otsus Papua di Merauke

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP akan mengkaji kemungkinan untuk mengambil langkah hukum dalam kasus penangkapan tim Rapat Dengar Pendapat Otonomi Khusus Papua yang dilakukan polisi di Merauke. Hal itu dinyatakan Ketua MRP, Timotius Murib di Kota Jayapura, Kamis (26/11/2020).

Murib menyesalkan langkah polisi menangkap tim Rapat Dengar Pendapat (RDP) Otonomi Khusus (Otsus) Papua di Merauke pada 17 November lalu. “Di Merauke, itu ada anggota MRP dengan staf sekretariat dan staf ahli, mereka diborgol. Saya pikir ini akan ditindaklanjut. Selanjutnya seperti apa, terserah dari tim RDP. Jika bisa diproses hukum, saya rasa akan diproses hukum. Tetapi jika hasil keputusan kita cukup berdamai, ya cukup,” kata Murib.

Murib menyatakan RDP di Wilayah Adat Lapago, Meepago, dan Animha menghadapi penolakan dari sejumlah pihak, sehingga gagal dilakukan. “Yang terjadi di lapangan kemarin ini, ada kelompok-kelompok tertentu yang melarang untuk melakukan RDP. Kemudian yang lebih sadis itu di Merauke, itu ada anggota MRP dengan staf sekretariat dan staf ahli, mereka diborgol,” kata Murib.

Ia menyatakan laporan dari setiap tim RDP Otsus Papua yang telah diterima Rapat Gabungan Kelompok Kerja MRP pada Kamis. Tim MRP dari 5 adat menyampaikan hasil. Kalau kita berbicara soal hasil ini, apapun yang terjadi dan dihadapi oleh tim RDP di wilayah masing-masing, itu yang dilaporkan tadi. Tim RDP akan mengkompilasi laporan-laporan tersebut, menjadi satu dokumen yang akan disampaikan oleh pimpinan,” kata Murib.

Ia menyatakan MRP belum memutuskan kelanjutan RDP Otsus Papua itu. “Apakah akan terus dilakukan?  Kapan? Atau akan ditiadakan. Tim RDP akan menilai dan menyusun,” katanya.

Ia menekankan, RDP yang seharusnya digelar di lima wilayah adat di Provinsi Papua itu adalah upaya MRP untuk menjaring aspirasi rakyat Papua atas pelaksanaan Otsus Papua. “MRP melakukan RDP, agar rakyat akan menilai efektivitas pelaksanaan UU Otsus Papua, sehingga hasil RDP akan kami rekomendasikan kepada Presiden, [antara lain] untuk pembobotan RUU Otsus Plus yang hari ini [masuk dalam] Program Legislasi Nasional. Itu tujuan kami,” kata Murib.

Menurut Murib, sesungguhnya MRP sudah pernah menggelar RDP Otsus Papua pada 2013 dan 2015. “Jadi ini RDP ketiga yang dilakukan MRP.  RDP sebelumnya dilakukan  pada periode kedua, pada tahun 2013 dan 2015. Hasil daripada RDP sebelumnya itu adalah  Rancangan Undang-undang atau RUU Otsus Plus. RUU Otsus Plus itu belum disosialisasikan kepada masyarakat, jadi masyarakat sebelum memberikan penilaian terhadap RUU itu. Sudah 7 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, [RUU itu] tidak pernah dibahas,” kata Murib.

Murib meminta seluruh rakyat berdoa agar upaya MRP menjaring aspirasi masukan masyarakat atas pelaksanaan Otsus Papua dapat terlaksana. “Sesungguhnya rakyat Papua harus berdoa. Semua komponen harus berdoa. MRP akan berjuang terus, sehingga ada aspirasi yang disampaikan rakyat Papua terkait kelanjutan Otsus,” ujarnya.

Murib menyatakan sikap MRP terkait polemik kelanjutan Otsus Papua sepenuhnya bergantung kepada aspirasi rakyat Papua. “Entah mau lanjut atau tidak, tergantung aspirasi nantinya. Rakyat harus ini harus tunggu. MRP akan memberikan kesempatan untuk mereka untuk menyampaikan aspirasi,” tegas Murib.(*)

 

Read More
Categories Berita

MRP Bahas Otsus: Diintai, Digeledah, Ditangkap, dan Dituduh Makar

Kantor MRP di Kotaraja Jayapura – Humas MRP

Rapat legal pembahasan otsus oleh Majelis Rakyat Papua dijegal. Orang-orangnya ditangkapi karena dituding merencanakan makar.

JAYAPURA, MRP – Pembahasan soal otonomi khusus (otsus) Papua, yang akan berakhir pada 2021 nanti, terus berlanjut. Baru-baru ini salah satu forum legal yang membahas itu justru direpresi aparat, dalam hal ini kepolisian. Orang-orang yang terlibat ditangkapi karena dituduh merencanakan makar.

Salah satu orang yang ditangkap adalah Wensislaus Fatubun pada 17 November lalu. Ia berstatus Tenaga Ahli Majelis Rakyat Papua (MRP), representasi kultural di Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Ia ditangkap ketika MRP tengah menyelenggarakan rapat dengar pendapat (RDP) wilayah, salah satu program kerja yang tujuannya mendengarkan aspirasi orang asli Papua (OAP) tentang otsus, berlangsung pada 17-18 November kemarin di gedung Vertenten Sai atau Aula Katedral Merauke.

Setelah RDP wilayah, mekanisme selanjutnya adalah menggelar RDP umum yang diikuti oleh MRP Papua-Papua Barat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Papua-Papua Barat.

Pada 15 November, sekitar pukul 22.00, Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata bertemu dan meminta Pastor Hengky Kariwob (Vikjen Keuskupan Agung Merauke), Pastor John Kandam (Sekretaris Uskup), dan Pastor Anselmus Amo (Direktur SKP KAMe) di Keuskupan untuk tidak memfasilitasi RDP. Pastor Anselmus lantas menelepon Canisius Mandagi, Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke. Uskup menegaskan RDP dapat dilakukan karena itu bukan kegiatan politik.

Setengah jam kemudian, beberapa polisi datang ke Hotel Grand Mandala, Hotel Pangkat, dan Hotel Valentine, tempat para peserta dan penyelenggara RDP menginap. “MRP diminta untuk ke polres malam itu juga untuk bertemu dengan kapolres,” ucap Fatubun dalam keterangan tertulis Kamis (19/11/2020).

Fatubun bersama Koordinator Tim RDP MRP wilayah Anim Ha, seorang staf MRP dan dua orang anggota MRP lain ke Polres Merauke untuk bertemu kapolres, tapi batal karena yang bersangkutan ternyata sudah pulang. Melalui ajudannya, kapolres bilang bertemu esok pagi saja. Pukul 08.46 keesokan harinya, mereka kembali menyambangi polres. Karena Kapolres lagi-lagi tak di tempat, rombongan menyerahkan surat kepada sespri kapolres dan memberikan nomor telepon untuk koordinasi.

Sekitar pukul 11.00 sekelompok orang dari Buti berdemonstrasi di kantor Bupati menolak RDP MRP. Massa meminta agar otsus dilanjutkan dan pemekaran Provinsi Papua Selatan. Enam jam berikutnya, Fatubun cs memutuskan membatalkan RDP karena situasi tak kondusif dan mereka dalam pantauan kepolisian.

Pukul 22.00, polisi datang lagi ke hotel. Kali ini dengan membawa senjata laras panjang.

Pada 17 November, pukul 08.00 pagi, seorang pria berbaju merah dan bukan tamu duduk di depan hotel. Tim RDP curiga orang itu ialah intelijen. Dia hanya diam sekitar 30 menit lalu pergi. Satu jam berikutnya, ada dua orang yang diduga sebagai intelijen polres menyambangi penginapan. Mereka menanyakan ke pihak hotel soal jumlah dan penghuni kamar. Lantas mereka angkat kaki.

Pukul 10.00, ketika Fatubun sedang duduk di depan hotel, Kapolres Merauke bersama anak buahnya datang. Beberapa dari mereka membawa senjata laras panjang. Mereka menggeledah hotel dan kamar tim RDP. Saat itulah Fatubun ditangkap. “Sebelum menangkap saya, kapolres bertanya asal, pekerjaan, [serta] kepentingan saya di Merauke. Mereka minta KTP saya,” katanya.

Fatubun dimasukkan ke mobil Dalmas, sementara barang bawaannya dijadikan barang bukti. “Di mobil Dalmas, saya melihat Koordinator Tim RDP MRP, dua staf MRP, dan seorang peserta diborgol seperti saya.” Ia dan rekan-rekannya diinterogasi dan baru dibebaskan pada 18 November sekira pukul 16.45.

Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata menyatakan dalam penggeledahan pada pagi jelang siang tanggal 17 November, ia dan rombongan menemukan sebuah pisau. “Lalu kenapa kami tangkap mereka? Karena ada buku makar, buku untuk mengajak merdeka di berbagai tempat, yang buku kuning itu,” ujar Untung kepada reporter Tirto, Kamis. Untung bilang buku itu sempat dibuang ke luar dari jendela hotel.

Buku kuning itu berjudul ‘Pedoman Dasar Negara Republik Federal Papua Barat’, edisi pertama yang terbit Januari 2012, dikeluarkan oleh Sekretariat Negara Republik Federal Papua Barat. Kata sambutan buku ditulis oleh oleh Presiden NRFPB Forkorus Yaboisembut.

Berdasar berkas yang didapatkan reporter Tirto, ditemukan juga dokumen Polisi Negara Republik Federal Papua Barat Nomor: 001/KKP-NRFPB/IV/2012 yang ditandatangani oleh Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Federal Papua Barat Letnan Jenderal Fery Fernando Yensenem tentang Penunjukan Kepala dan Wakil Kepala Kepolisian Negara Bagian Ha-Anim.

“Sementara kita (Indonesia) punya pangdam, kapolda, bupati, dan gubernur. Karena mereka makar, kami tegas begitu tak apa. Ini bukan kasus maling ayam atau sandal jepit,” katanya, lalu mengatakan kalau apa yang mereka lakukan lebih baik karena di negara lain para terduga makar dapat ditembak mati.

Ada 54 orang yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Dia bilang “harusnya semua [jadi] tersangka karena ada buku itu.”

Dua dari mereka dinyatakan positif COVID-19 setelah dites. Ini alasan mengapa mereka akhirnya dibebaskan. “Kami juga punya tahanan. Nanti rawan.”

Pembungkaman

Ketua MRP Timotius Murib mengkritik penangkapan ini. Ia bilang apa yang dilakukan polisi sama saja melawan lembaga dan program negara. MRP itu lembaga legal, pun dengan acara yang mereka selenggarakan. “Berarti secara tidak langsung kepolisian menolak [pembahasan] otonomi khusus karena menolak RDP,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.

Murib tak tahu ihwal ‘buku kuning’ yang jadi alasan polisi menangkapi para peserta dan penyelenggara. Namun ia menduga buku itu milik peserta rapat, bukan milik anggota atau tim MRP. Peserta rapat saat itu adalah Barisan Merah Putih, organisasi pemuda serupa, serta perwakilan adat. Total peserta 35 orang per kabupaten. Sementara dari MRP yang hadir sekira 20-an orang. Sebanyak 2 anggota dan 9 staf sekretariat diciduk.

Sebelum penangkapan, tepatnya pada 14 November 2020, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menerbitkan maklumat bernomor Mak/1/Xl/2020 tentang Rencana Rapat Dengar Pendapat pada Masa Pandemi COVID-19. Maklumat itu melarang RDP diikuti lebih dari 50 orang; peserta wajib mengikuti protokol kesehatan (swab/PCR, 3M) dan menyediakan tempat cuci tangan atau cairan pembersih tangan; lalu bagi pelanggar akan ditindak oleh kepolisian.

“Maklumat ini dikeluarkan untuk mencegah penyebaran COVID-19, karena khawatir rapat yang mengundang berkumpulnya orang dapat menimbulkan klaster baru,” ujar Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/11/2020).

Bagi pengacara dari Perkumpulan Advokat HAM Papua Michael Himan, maklumat tersebut “sangatlah politis dan terlalu abstrak.” Ia mengatakan demikian untuk mengomentari bagian lain dari maklumat, angka 3 huruf c. Di sana disebutkan siapa pun yang terlibat RDP “dilarang merencanakan atau melakukan tindakan yang menjurus tindak keamanan negara, makar, atau separatisme atau pun tindakan lainnya yang dapat menimbulkan pidana umum atau atau perbuatan melawan hukum lainnya dan konflik sosial.”

Kepada reporter Tirto, Rabu (18/11/2020), ia mengatakan RDP bukan termasuk tindakan penyerangan, apalagi makar. Selama dilangsungkan secara damai, tindakan menyampaikan pendapat tidak dapat dianggap makar.

Lagipula maklumat itu bukan produk hukum yang tidak memiliki kekuatan hukum bagi orang luar. Maklumat sekadar informasi bagi internal Polri. “Pernyataan tersebut bertentangan dengan ketentuan Perkap 15/2007. Kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan yang berlaku eksternal.”

Atas dasar itu Himan menyimpulkan maklumat, dan penangkapan, telah melanggar hak kebebasan berekspresi masyarakat Papua.

Kritik serupa disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem, kepada reporter Tirto, Rabu. Ia pertama-tama mengatakan bahwa otsus pada dasarnya adalah bentuk tawaran politik yang diberikan pemerintah pusat terhadap aspirasi merdeka orang Papua. Pusat Data dan Analisa Tempo pada 2019 lalu menulis Otsus adalah “jalan tengah bagi kelompok pro kemerdekaan Papua dan pemerintah pusat.”

Ketika itu aspirasi untuk merdeka memang sedang tinggi-tingginya di tanah Papua. Keputusan Kongres Rakyat Papua (KRP) II yang diadakan Presidium Dewan Papua (PDP) di Gedung Olahraga Cenderawasih APO, Kota Jayapura, 29 Mei sampai 4 Juni 2000, bulat menyebut rakyat Papua ingin lepas dari Indonesia.

Maka, “bila ruang [ekspresi] masyarakat dilarang, tidak mengevaluasi atau RDP, [maka] isu Papua merdeka akan semakin menguat di akar rumput.”

Sumber: Tirto.id

Read More

Categories Berita

MRP: Kemendagri dan MPR for Papua mendukung rencana RDP evaluasi Otsus Papua

Ketua MRP, Timotius Murib, dan Ketua MRPB, Maxi Ahoren, saat menunjukkan nota kesepakatan kerja sama kunjungan kerja dalam rangka rapat koordinasi menjelang pelaksanaan rapat dengar pendapat tentang pelaksanaan Otonomi Khusus Papua – Jubi/Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat telah merampungkan kunjungan kerja bersama kedua lembaga ke sejumlah lembaga negara di Jakarta, Jumat (4/9/2020). Sejumlah lembaga negara yang ditemui Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat mendukung rencana penyelenggaraan Rapat Dengar Pendapat untuk mengetahui aspirasi orang asli Papua atas evaluasi Otonomi Khusus Papua.

Hal itu dinyatakan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib di Jakarta, Jumat. Menurutnya, dalam kunjungan kerja bersama yang berlangsung 31 Agustus hingga 4 September 2020 itu, MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) telah bertemu Kementerian Dalam Negeri dan Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPR-DPD RI Daerah Pemilih Papua dan Papua Barat (MPR for Papua).

Dalam kedua pertemuan itu, MRP dan MRPB menegaskan bahwa evaluasi Otsus Papua harus dijalankan sesuai ketentuan Pasal 77 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). MRP dan MRPB akan menjalakan ketentuan Pasal 77 UU Otsus Papua melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk mengetahui aspirasi dan evaluasi rakyat Papua atas pelaksanaan Otsus Papua.

Murib menyatakan, Kementerian Dalam Negeri maupun MPR for Papua mendukung rencana MPR dan MRPB mengadakan RDP evaluasi Otsus Papua itu.. “Ini tandanya semua institusi [di] Jakarta mendukung MRP melaksanakan RDP. Untuk itu, MRP terus melakukan konsolidasi, supaya semua pihak mengerti dan mendukung MRP. RDP [diadakan untuk] mendengar usul rakyat. Itulah menjadi dasar melakukan perubahan,” kata Murib, sebagaimana dikutip dari video dokumentasi MRP yang diterima Jubi pada Jumat.

Ketua MRPB, Maxsi Nelson Ahoren menyatakan pada Selasa (1/9/2020) para pimpinan MRP dan MRPB telah bertemu dengan Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Maddaremmeng. “Pada dasarnya, kami menyampaikan rencana RDP itu. Kementerian Dalam Negeri sangat mendukung rencana pelaksanaan RDP dari MRP dan MRPB,” kata Ahoren.

Ahoren menegaskan RDP harus dilaksanakan, karena itu amanat UU Otsus Papua. Rakyat Papua yang harus memberikan pendapat apakah pelaksanaan Otsus Papua berhasil atau gagal, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan perubahan UU Otsus Papua, atau menghapuskan Otsus Papua. “Lanjut dengan catatan atau tidak melanjutkan dengan catatan. Nanti kita akan lihat pendapat rakyat,” ujar Ahoren.

Keterangan pers tertulis MPR for Papua yang diterima Jubi pada Jumat menyatakan para anggota MPR for Papua telah bertemu dengan para pimpinan MRP dan MRPB untuk membicarakan rencana RDP evaluasi Otsus Papua. Ketua MPR for Papua, Yorrys Raweyai menyatakan pihaknya akan memfasilitasi aspirasi MRP dan MRPB itu.

“Kami menerima, mendengar, dan bersedia memfasilitas aspirasi MRP dan MRPB agar dapat didengar secara langsung oleh pemerintah. Pemerintah Pusat harus mendengarkan pendapat mereka sebagai representasi kultural dan konstitusional. Sebab, tanpa komunikasi dan penyamaan persepsi, maka gejolak di Tanah Papua tidak akan terselesaikan secara komprehensif”, kata Raweyai yang juga Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah RI.

Raweyai menyatakan MPR for Papua akan memfasiliasi rencana RDP itu, karena MPR RI merupakan rumah kebangsaan serta pengawal ideologi Pancasila dan kedaulatan rakyat. Ia menyatakan RDP akan diselenggarakan dalam waktu dekat, mengingat polemik atas revisi UU Otsus Papua semakin mendesak untuk diselesaikan.(*)

Read More

Categories Berita

JDP Minta Dialog Evaluasi Otsus Digelar Bermartabat

JAYAPURA, MRP – Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), Pastor RD John Alberto Bunay, minta rapat dengar pendapat (RDP) yang akan digelar Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam rangka evaluasi otonomi khusus (otsus) Papua dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat dan saling menghargai satu dengan yang lain demi menjunjung tinggi martabat rakyat Papua.

Hal ini disampaikan Pr Bunay dalam rapat koordinasi dengan MRP di Hotel Home, Kota Jayapura-Papua, Selasa (11/8/2020).

Dikatakan Pr Bunay, dalam evaluasi tersebut, martabat manusia harus menjadi tolok ukur dari segala macam pertimbangan, terutama pertimbangan peraturan yang manusiawi dan uang yang mengalir ke Papua selama 20 tahun. Karena uang bisa mendukung apapun aktivitas kemanusiaan tetapi tidak bisa menggantikan martabat manusia.

“Revisi (evaluasi otonomi) khusus secara bermartabat karena Papua menuntut martabat. Harga diri itu lebih penting daripada uang atau apapun,” tandas Pr Bunay.

Pr Bunay menambahkan, Jakarta (pemerintah pusat) dan rakyat Papua harus duduk bersama, saling menghargai, dan bicara dengan akal yang sehat serta otak yang dingin. Dengan pikiran jernih dan hati tulus mendialogkan evaluasi pelaksanaan otonomi khusus Papua selama 20 tahun sehingga menghasilkan kesepakatan yang bisa diterima rakyat Papua sebagai penerima manfaat otonomi khusus.

“Bicara dengan pikiran jernih dan hati penuh kasih, lalu merumuskan sesuatu sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa,  yang bermartabat dan berkeadilan sosial, ini (dialog) yang bermartabat,” ungkapnya.

Ketua MRP, Timotius Murib, mengatakan pertemuan dengan JDP penting lantaran selain melaporkan hasil kerjanya, JDP juga menyampaikan harapan-harapan dalam evaluasi otonomi khusus nanti.

“Kita apresiasi apa yang disampaikan karena harapan-harapan ini telah memberi pembobotan terhadap Tim Kerja RDP Otsus Papua yang dibentuk MRP,” ungkapnya.

Dari proses itu, lanjut Murib, rakyat Papua akan menentukan dan mengatakan otonomi khusus berhasil atau gagal, dan mereka akan menentukan sikapnya. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Ini tahapan evaluasi Otsus Papua menurut MRP

Rapat gabungan kelompok kerja (pokja) MRP – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menyampaikan proses atau tahapan Rapat Dengar Pendapat atau RDP dengan rakyat asli Papua dalam rangka evaluasi 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua sesuai dengan amanat pasal 77 UU nomor 21 tahun 2001.

“Sesuai amanat otsus, rakyatlah yang melakukan evaluasi melalui MRP dan DPRP,” ungkap Ketua MRP, Timotius Murib, kepada jurnalis Jubi, usai memimpin rapat gabungan tiga kelompok kerja (pojka) MRP dalam rangka pembentukan tim penyatuan persepsi dan langkah,  di Hotel Home, Kota Jayapura, Papua, Kamis (30/7/20200).

“Hari ini MRP gelar rapat gabungan pokja, menyampaikan tim yang direkrut dan surat keputusan MRP untuk tim yang direkrut. DPRP juga sudah bentuk pansus dan disampaikan kepada MRP dalam rapat koordinasi pada 24 Juli lalu,” sambung Murib.

Tim yang terbentuk, kata Murib, mulai melakukan tahapan kerja untuk mempersipakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan rakyat Papua. Rakyat yang dimaksud adalah orang asli Papua sebagai penerima manfaat Otonomi Khusus Papua.

“Tim akan konsolidasi dengan MRP dan DPRP Papua Barat, Pemerintah Provinsi Papua, Kapolda (Papua), Pangdam (Cenderawasih), Kejati (Papua) dan kejari, serta semua unsur Forkopimda (Papua). Kami akan menyampaikan laporan kepada forkopimda kalau akan melakukan DRP dengan orang asli Papua,” ungkapnya.

Pada pelaksanaan RDP, imbuh Murib, MRP akan melibatkan semua komponen rakyat Papua untuk memberikan pendapat tentang pelaksanaan otonomi khusus. Komponen masyarkat itu dari unsur adat, agama, perempuan, dewan adat (DAP dan LMA), serta pemuda dan mahasiswa.

“Adat itu ada LMA dan DAP. Pemuda, OKP nasional dan lokal. BEM, KNPB, TPN-OPM, ULMWP, kemudian semua organisasi pihak orang-orang Papua harus memberikan masukan terkait implementasi atau evaluasi Otonomi Khusus Papua,” katanya.

Murib juga mengatakan mekanisme rapat dengar pendatan yang akan digelar, MRP dan DPRP menyiapkan sejumlah soal untuk dijawab. Soal seputar empat bidang prioritas pembangunan, yakni infrastruktur, ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan kesehatan.

Kata dia, pihaknya juga tidak mengabaikan hal penting yang menjadi masalah di Papua. Evaluasi pemenuhan hak sipil politik dan ekonomi sosial budaya sesuai mekanisme hak asasi manusia.

“Mekanisme evaluasi bentuk ilmiah dengan melibatkan akademisi dari Papua dan Papua Barat. Siapkan pertanyaan atau kuesioner. Semua bidang prioritas dan pasal akan disisir pelaksaannya dan dipertanyaan mengapa ini sudah dan belum”.

Selain itu, MRP juga membuka ruang bagi semua komponen masyarakat untuk menyampaikan pendapat.

“Bentuk apapun, kami akan fasilitasi rakyat (untuk) sampaikan pendapat mereka,” ungkapnya.

MRP sudah mengikuti rakyat, kata Murib, mulai dari penyampaian pendapatnya melalui demo di kabupaten-kabupaten dan asrama-asrama. MRP akan membuka kesempatan bagi rakyat untuk membawa semua itu di ruang yang akan disediakan.

“Aspirasi itu MRP akan catat dan plenokan. MRP akan meneruskan itu kepada DPRP (untuk) lakukan paripurna. Hasilnya disampaikan kepada DPR RI dan pemerintah pusat di Jakarta,” ungkapnya.

Sebelumnya, eks tahanan politik atau tapol Papua, Alexander Gobay, Presiden Mahasiswa Universitas Cenderawasih, selain minta mahasiswa Papua terlibat melakukan evaluasi dengan meknisme ilmiah, dirinya juga minta MRP melakukan evaluasi Otonomi Khusus atau Otsus Papua secara menyeluruh.

Ia minta evaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan semua pihak sebagaimana disampaikan Ketua MRP. Ia juga minta MRP mengudang pemerintah daerah, tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, akademisi, aktivis, dan mahasiswa untuk bersama membahas keberhasilan dan kegagalan Otsus Papua.

“Dalam evaluasi Otsus Papua, penting mengudang organisasi [yang dianggap sayap] kiri dan lembaga pemerintahan membicarakan tentang otsus,” ucap Alexander Gobay, Senin (27/7/2020).

Dalam rangka itu, ia menyarankan BEM se-Papua duduk bersama membicarakan terkait dana Otsus Papua itu, dan melakukan kajian ilmiah berdasarkan kondisi nyata selama 20 tahun otsus diberlakukan di Papua.

Menurutnya, salah satu semangat Otsus adalah menjadikan orang Papua tuan di negerinya sendiri. Ada peningkatan pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.

Akan tetapi, menurut dia, selama ini semangat Otsus Papua belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Situasi inilah yang membuat berbagai pihak menolak wacana perpanjangan dana Otsus Papua setelah tahun 2021.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More
Categories Berita

MRP gelar rapat membentuk panitia kerja RDP Otsus Papua

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP mulai menjalankan tahapan resmi lembaganya untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan semua pihak untuk mengevaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Pada Kamis (30/7/2020), MRP menggelar rapat koordinasi antar Kelompok Kerja MRP.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan rapat gabungan Kelompok Kerja (Pokja) MRP dilakukan untuk membentuk panitia kerja yang akan menyiapkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) evaluasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua. “Rapat gabungan Pokja dalam rangka pembentukan panitia kerja menuju RDP beberapa waktu ke depan,” kata Murib kepada jurnalis di Kota Jayapura Kamis.

Murib menyatakan dalam rapat gabungan itu, setiap Pokja MRP menyamakan pemahaman bersama tentang apa yang perlu dan harus dilakukan dalam seluruh tahapan evaluasi Otsus Papua. “Satukan presepsi, langkah, membicarakan hal-hal dilakukan sebagai skenario dalam rangka mendengarkan aspirasi seluruh komponen orang asli Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat,” kata Murib.

Menurutnya, tahapan evaluasi Otsus Papua yang dijalankan MRP itu sesuai dengan ketentuan Pasal 77 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua}. Pasal itu mengamanatkan evaluasi Otsus Papua dilakukan oleh rakyat Papua, orang asli Papua, melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua.

“Kami melakukan ini sesuai amanat UU Otsus Papua, Pasal 77. Usul perubahan [UU Otsus Papua] dilakukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPR Papua kepada DPR RI dan pemerintah pusat,” kata Murib.

Menurut Murib, DPR Papua juga mulai menjalankan tahapan evaluasi Otsus Papua, termasuk dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Otsus Papua. “DPR [Papua] sudah membentuk Pasnus. MRP menyampaikan tim yang sudah dibentuk, dan mulai Senin mulai melakukan tahapan RDP,” kata Murib.

Murib menjelaskan tim bentukan MRP itu akan bertemu Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi Papua, dan menyampaikan rencana MRP menggelar RDP evaluasi Otsus Papua. Dengan demikian, akan ada koordinasi bersama menjelang RDP dengan seluruh komponen rakyat Papua.

Anggota Pokja Agama MRP, John Wob yang merupakan utusan Keuskupan Agung Merauke menambahkan pihaknya sangat berharap semua komponen rakyat Papua berpartisipasi dalam mekanisme legal itu dalam menyampaikan penilaian mereka atas pelaksanaan Otsus Papua. Apapun aspirasi yang ingin disampaikan komponen rakyat Papua, RDP MRP dan DPR Papua akan menjadi tempat yang tepat.

“RDP yang akan dijalankan [MRP dan DPR Papua akan menjadi] tempat rakyat menyampaikan aspirasi [apapun, baik itu] aspirasi [menuntut]refrendum atau [memilih] otonomi. Karena itu, mari satu maksud dan tujuan, demi Papua yang lebih baik,” kata Wob kepada jurnalis Jubi.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More