Categories Berita

DPR Papua Setuju Masa Jabatan MRP Diperpanjang

JAYAPURA, MRP – Dewan Perwakilan Rakyat Papua menyatakan setuju untuk masa jabatan Majelis Rakyat Papua (MRP) diperpanjang. Jika sesuai periode maka masa jabatan MRP akan berakhir pada November 2022.

Persetujuan ini dilakukan mengingat untuk pengesahan Perdasus rekrutmen anggota MRP membutuhkan pertimbangan anggota MRP. Pihak eksekutif sendiri telah mengirimkan Perdasus tata cara perekrutmen MRP kepada DPRP ini tidak dibahas.

“Itu karena kami sudah memprediksi bahwa salah satu tugas Pejabat Gubernur di provinsi baru adalah menyiapkan MRP. Artinya ia akan melakukan dengan Pergub di provinsi baru dan tidak mungkin membahas Perdasus rekrutmen MRP sementara masih ada rekrutmen di dapil yang sudah menjadi provinsi baru,” beber ketua DPRP, Jhony Banua Rouw, usai rapat Bamus di kantor DPRP, Selasa (18/10/2022).

Karenanya pihaknya meminta eksekutif merevisi kembali rancangan Perdasus yang sudah dikirimkan kepada DPRP dan hanya menyiapkan pemilihan untuk Papua induk saja.

“Ini harus dicermati sebab mengunakan wilayah adat. Sebab jika Papua Utara jadi artinya Papua hanya punya Tabi. Kalau MRP berakhir bulan ini kami akan perpanjang agar bisa memberi pertimbangan terhadap Perdasus dan jika tidak ada pertimbangan maka Perdasus tidak sah,” katanya. Kami juga sudah berkonsultasi dengan pihak eksekutif dan kami akan menyurati Mendagri untuk diperpanjang,” tutup Jhony.

Ditempat terpisah ketua MRP Timotius Murib mengaku masih menunggu regulasi atau mekanisme untuk mengganti pimpinan dan anggota MRP periode 2017-2022 yang akan habis masa jabatan pada 27 November 2022.

Menurutnya, sebagaimana yang pernah dilakukan saat MRP periode pertama dan kedua, pernah dilakukan saat melakukan perpanjangan masa jabatan pimpinan dan anggota MRP, untuk melaksanakan tugas seperti biasanya.

“MRP Anggota akan berakhir pada 27 November 2022, tinggal sebulan lagi aktif untuk kerja. Sementara menunggu pengisian rekrutmen anggota MRP periode berikutnya, saya pikir pemerintah telah menyediakan rujukan atau dasar hukum untuk melaksanakan penambahan jika belum ada pengisian,” kata Timotius Murib kepada wartawan usai pembukaan pleno masa sidang IV, Kamis (6/10/2022) di ruang sidang MRP.

Ia menjelaskan, setelah masa jabatan 2017-2022 belum ada pengisian hasil rekrutmen anggota baru, maka pemerintah pasti akan memperpanjang masa jabatan yang ada saat ini.

“MRP ada untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Otonomi Khusus , sehingga tidak boleh terjadi. Saya pikir pemerintah pusat sudah tahu bagaimana sebaiknya agar tidak terjadi,” ujarnya.

Ia menyebutkan untuk menjaga sampai hal-hal yang telah terjadi, dan DPRP telah menyampaikan kepada MRP jika terjadi keterlambatan, tentunya MRP yang ada saat ini akan diperpanjang sesuai dengan surat Menteri Dalam Negeri.

“Untuk memperpanjang bulannya itu semua tergantung pada pemerintah pusat. Seperti anggota MRP periode pertama diperpanjang per enam bulan, periode kedua per tiga bulan diperpanjang lagi,” katanya.(*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Masuki Masa Reses, Anggota MRP Akan Sosialisasikan 12 Keputusan Kultural OAP

JAYAPURA, MRP – Para anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP akan menggunakan masa reses  MPR untuk mengunjungi daerah yang mereka wakili. Para anggota MRP juga akan menyosialisasikan 12 keputusan MRP tentang perlindungan hak dasar Orang Asli Papua.

Hal itu dinyatakan Ketua MRP, Timotius Murib usai rapat pleno untuk menutup masa sidang III MRP yang digelar di Kota Jayapura, Senin (26/9/2022). Menurutnya, para anggotanya akan mengunjungi konstituen mereka di berbagai kabupaten/kota di Papua.

Murib juga menjelaskan pada akhir pekan ini akan melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota Majelis Rakyat Papua. Dengan demikian, para anggota akan mengawali masa reses dengan mengunjungi Wilayah Adat Tabi.

“Anggota akan melakukan kunjungan ke Kabupaten Sarmi, Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Keerom, sambil menunggu pelantikan PAW tiga anggota MRP,” kata Timotius Murib.

Menurutnya, agenda sosialisasi 12 keputusan kultural Majelis Rakyat Papua akan memberikan pemahaman kepada publik tentang pentingnya tidak menjual tanah adat, dan pentingnya upaya perlindungan tanah adat bagi kehidupan masa depan Orang Asli papua. “Tanah tidak boleh dijual, tetapi disewa atau kontrak. Kalau seketika mereka jual, otomatis masyarakat akan kehilangan wilayah mereka, tanah mereka. Kami ingatkan itu melalui keputusan ini,” kata Murib.

Selain itu, para anggota lembaga representasi kultural Orang Asli Papua (OAP) itu juga akan menyosialisasikan perlindungan dalam pemberian mahkota dari masyarakat adat Papua kepada setiap tamu yang datang. Murib menjelaskan bahwa pemberian mahkota itu merupakan tradisi OAP dari 250 suku yang berbeda. Menurutnya, mahkota itu diberikan hanya kepada orang-orang yang dianggap sebagai tokoh OAP, dan seharusnya tidak diberikan kepada suku selain OAP.

MRP juga membuat keputusan tentang perlindungan bagi setiap cagar alam, misalnya Cagar Alam Cycloop. “Inilah yang akan disosialisasikan anggota pada masa reses ini, keputusan tentang hak-hak dasar OAP. Kami harap pimpinan dan anggota punya kemampuan untuk menjelaskan latar belakang lahirnya 12 keputusan itu kepada pemerintah, tokoh agama, tokoh perempuan, kemudian tokoh masyarakat,” katanya.

Ia menambahkan, 12 keputusan itu juga telah disampaikan kepada pimpinan DPR Papua. Menurutnya, Ketua DPR Papua telah menindaklanjuti dua keputusan MRP untuk diproses sebagai Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang perlindungan tanah rakyat dan Perdasus perlindungan cagar alam. (*)

 

Read More
Categories Berita

Konflik, HIV/AIDS, Minuman Beralkohol Ancam Keselamatan Anak Dan Perempuan Papua

MRP dan Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua, Ciska Abugau menyatakan keselamatan perempuan di Papua terancam oleh konflik, tingginya kasus HIV/AIDS, dan peredaran minuman beralkohol di Papua. Abugau mengkritik kehadiran aparat keamanan di Papua yang justru lebih sering mencelakakan ketimbang memberi rasa aman bagi perempuan Papua.

Abugau menyatakan kasus infeksi HIV/AIDS dan pengaruh buruk minuman beralkohol sudah sejak lama menjadi masalah di Papua. Akan tetapi, masalah itu tidak pernah ditangani dengan serius.

“Soal HIV dan minuman beralkohol, itu yang membuat kami juga pusing dalam penanganannya. Sampai sekarang tidak pernah habis-habis. [Kami sudah membicarakan masalah itu], baik bicara ke pemerintah, dan pejabat yang berwenang, tapi tetap sama saja,” kata Abugau.

Ketika kedua masalah itu belum lagi diselesaikan, perempuan Papua mengalami persoalan yang lebih berat karena konflik bersenjata meluas di berbagai wilayah di Papua. Sejak 2018, konflik bersenjata antara lain terjadi di Nduga, Puncak, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan telah menimbulkan korban dari kalangan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.

“HIV dan minuman beralkohol sudah tidak kami takuti lagi. Yang kami takuti adalah kekerasan dan penembakan kepada ibu dan anak di wilayah konflik,” jelas Abugau.

Abugau menyatakan tugas aparat keamanan untuk melindungi dan mengayomi tidak terlihat dalam praktik kerja mereka di Papua.

“Melindungi dan mengayomi itu sebenarnya melindungi siapa dan mengayomi siapa? Seperti di Intan Jaya, anak 2 tahun ditembak mati ibu ditembak, mereka ini tidak berdosa,” ujar Abugau.

Menurutnya, MRP sudah berupaya untuk turun langsung melihat kondisi orang asli Papua di wilayah konflik.

“Kami juga turun di wilayah konflik, tapi kami juga taruhan [nyawa]. Jangan sampai polisi salah-salah mereka tembak kami. Gara-gara kami turun untuk melihat anak kami ditembak mati, saudara kami ditembak mati, hanya karena kekesalan, sehingga kami bisa jadi korban juga,” ucapnya.

Abugau menegaskan perempuan dan anak di wilayah konflik berhak untuk dilindungi dan mendapatkan rasa aman. Ia menyesalkan insiden penembakan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Intan Jaya, serta sejumlah kekerasan aparat kepada warga sipil lainnya. Apalagi TNI dan Polri jarang mengusut kasus kekerasan anggotanya dengan tuntas. Ia mencontohkan kasus prajurit TNI membunuh dua warga Intan Jaya, Luther Zanambani dan Apinus Zanambani pada April 2020.

“Anak kami dibakar di dalam drum, abunya dibuang di sungai.  TNI/Polri diam. Kami tanya ke Koramil, Koramil bilang Kapolsek, jadi saling baku lepas tanggung jawab. Tapi akhirnya sekarang sudah ketahuan semua,” kata Abugau.

Kendati masalah kekerasan aparat keamanan kini lebih berbahaya dari persoalan peredaran minuman beralkohol di Papua, Abugau menyatakan peredaran minuman beralkohol tetap menjadi masalah serius di wilayah yang tidak menjadi zona konflik. Menurutnya, konsumsi minuman beralkohol menjadi salah satu penyebab tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua.

“Melindungi perempuan dan anak selain di wilayah konflik [juga penting]. Perlindungan perempuan dan anak juga perlu dilakukan karena faktor minuman beralkohol yang merusak rumah tangga,” ujarnya.

Dalam lokakarya “Mendorong Kebijakan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan dengan HIV/AIDS di Wilayah Konflik dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua” yang berlangsung di Kota Jayapura pada Rabu (17/11/2021), Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani pihaknya akan terus mendorong upaya meningkatkan perlindungan kepada perempuan di Papua. Upaya itu antara lain dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di Papua.

“Komnas Perempuan bersama dengan Majelis Rakyat Papua, menggagas Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdasus itu sebetulnya fokus kepada upaya untuk menyelenggarakan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan yang khususnya bagi pelanggaran HAM,” ujarnya. (*)

Sumber:JUBI

Read More
Categories Berita

Pokja Perempuan MRP Lakukan Kunjungan Kerja ke Kampung Yoboi

Foto bersama Anggota Pokja Perempuan MRP saat Kunker di Kampung Yoboi, Sentani – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP melakukan kunjungan kerja ke Kampung Yoboi, Kabupaten Jayapura, Jumat (12/11/2021). Kunjungan kerja itu merupakan bagian dari kunjungan kerja Pokja Perempuan MRP ke lima wilayah adat.

Sekretaris Pokja Perempuan MRP, Orpa Nari menyatakan kunjungan kerja ke Kampung Yoboi itu dilakukan untuk menjaring aspirasi tentang pemberdayaan perempuan asli Papua.

“Kami mengumpulkan perempuan dari 22 kampung yang ada di pinggiran Sentani. Kunjungan kerja kami itu dalam rangka menjaring aspirasi dari perempuan Papua,” kata Orpa Nari.

Ia menyatakan dalam kunjungan kerja ke Kampung Yoboi, pihaknya menghadirkan tiga orang narasumber.

“Dari DPR Papua, [ada anggota dari mekanisme] pengangkatan,  dalam rangka penguatan ekonomi dan proteksi hak-hak orang asli Papua melalui berbagai aturan. Selain itu, dari Sinode GKI di Tanah Papua, berkaitan dengan penguatan ekonomi jemaat, khususnya perempuan,” kata Nari.

Dalam dialog selama kunjungan kerja itu, para Mama dari 22 kampung di Kabupaten Jayapura berbagai persoalan yang mereka hadapi.

“[Itu] harus diperhatikan oleh lembaga-lembaga yang ada di Tanah Papua ini, khususnya MRP, DPR Papua, dan lembaga-lembaga gereja [yang menangani program] penguatan ekonomi jemaat, khususnya perempuan Papua, dan lebih khusus di Kabupaten Jayapura,” ujar Nari.

Ia menyatakan Pokja Perempuan MRP ingin berbagai program pemberdayaan perempuan Papua dilanjutkan pasca penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional atau PON XX Papua.

“Bagaimana ketika PON  berakhir  pemberdayaan ekonomi itu selalu kita lakukan, supaya bisa mempersiapkan [barang kerajinan] yang dibuat Mama-mama Papua,” kata Nari.

Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Regional Papua, Daniel Toto mengatakan kehadiran MRP di Kampung Yoboi mempunyai arti tersendiri.

“MRP adalah lembaga penjaring aspirasi, jadi mereka punya kewajiban untuk langsung turun ke masyarakat, mengambil aspirasi dari masyarakat, kemudian mengelola dan menyalurkan [kepada] lembaga yang berkepentingan,” jelas Toto

Ia menilai kehadiran Pokja Perempuan MRP mendapatkan dukungan yang luar biasa dari kaum perempuan di kampung-kampung sekitar Danau Sentani.

“Saya pikir itu hal yang positif. MRP, khususnya Pokja Perempuan, dan DPR Papua [adalah] mata rantai yang tidak bisa dipisah-pisahkan, karena DPR Papua adalah eksekutornya,” ujar Toto. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP Dan DPR Papua Akan Tetapkan 31 Oktober Sebagai Hari Budaya

MRP saat memberikan dana pembinaan kepada para musisi asli Papua saat HUT ke-16 di halaman kantor MRP Kotaraja, Senin, (1/10/2021) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua berencana menetapkan tanggal 31 Oktober sebagai Hari Budaya se-Tanah Papua. Penetapan Hari Budaya se-Papua diharapkan dapat di rayakan oleh seluruh masyarakat Papua di kabupaten/kota masing-masing sebagai bagian dari bentuk perlindungan dan pelestarian budaya orang asli Papua.

Timotius Murib, ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), mengatakan usulan penetapan hari budaya se tanah Papua sudah di usulkan oleh pihak lembaga MRP namun belum ada tindak lanjut (respon) dari pemerintah Provinsi Papua untuk di sahkan dalam satu peraturan yang legal.

“Usulan penetapan 31 Oktober sebagai Hari Budaya se-Papua sudah dibicarakan sejak tahun lalu, sebenarnya MRP sudah menyampaikan pokok pikiran itu waktu HUT MRP yang ke-15, agar tanggal 31 Oktober ditetapkan sebagai hari libur di Tanah Papua, supaya di setiap kabupaten dan kota bisa merayakan hari budaya,” kata Murib, Senin (1/11/2021).

Murib berharap penetapan Hari Budaya akan mendorong para pemangku kepentingan di setiap kabupaten/kota melestarikan budaya masing-masing dengan mengelar ivent-ivent yang bertajuk budaya khas Papua.

“Jika setiap kota dan kabupaten melestarikan budaya, kita juga memberdayakan masyakarat dan membangkitkan budaya khas Papua,” jelasnya.

Murib menyebut Papua ini memiliki banyak motif, ornamen, maupun hasil kesenian lainnya, sehingga penting sekali perlu ada Perdasus yang mengatur hari budaya ini.

 “Karena lewat hari budaya ini masyakarat bisa mengekspresikan berbagai karya mereka baik lagu, seni ukir dan anyaman, aksesoris bisa terus di angkat, bila tidak dilakukan itu semua akan tengelam karena pengaruh budaya luar yang masuk,” ucap Murib.

Ia menyatakan berterima kasih karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua telah merespon usulan untuk menetapkan tanggal 31 Oktober sebagai Hari Budaya.

“Dalam waktu dekat, rombongan DPR Papua akan datang ke MRP, kami duduk sama-sama dan akan membahas pokok pikiran dalam Perdasus, untuk menetapkan tanggal 31 Oktober sebagai Hari Budaya, ujarnya.

Di tempat yang sama, Ketua DPR Papua, Jhon Banua Rouw dalam sambutannya mengatakan Papua memiliki budaya yang unik sehingga perlu di lestarikan bersama seluruh semua pihak.

“Kita bisa kolaborasi dalam ivent-ivent besar dan menjadikan budaya ke depan lebih baik lagi, sehingga punya daya jual yang lebih tinggi bagi Orang Asli Papua,” ungkapnya.

Rouw menyatakan DPR Papua dan MRP akan membahas rancangan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang Hari Budaya pada tahun ini bersama MRP.

“DPR Papua dan MRP akan berjumpa untuk membuat Perdasus yang mengatur tentang budaya. Hal itu penting. Contoh, seperti mahkota bulu burung cenderawasih, itu yang bisa pakai siapa saja,” ujarnya. (*)

Sumber: nirmeke.com

Read More

Categories Berita

MRP Rayakan HUT MRP ke-16 Dengan Ibadah Syukur

Perayaan HUT ke-16 MRP Papua usai memotong kue MRP bersama Forkopimda Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP memeringati hari jadinya ke-16 dalam perayaan di Kota Jayapura, Papua, pada Senin (1/11/2021). Perayaan berupa ibadah syukur itu dihadiri para tamu undangan dari berbagai lembaga pemerintah, serta masyarakat Papua.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan hari jadi MRP jatuh pada 31 Oktober. Akan tetapi, karena 31 Oktober 2021 jatuh pada akhir pekan.

“Berhubung tanggal tersebut adalah hari libur, maka MRP mengundurkan perayaaan HUT MRP [hingga] hari ini, tanggal 1 November 2021,” kata Murib dalam sambutannya, Senin.

Perayaan itu dilaksanakan secara sederhana, disertai pameran barang kerajinan karya orang Papua, sajian makanan khas Papua, serta pagelaran musik etnik Papua oleh seniman perwakilan lima wilayah adat.

“Seharusnya ada kegiatan yang perlu dilakukan secara besar-besaran, untuk memberikan makna eksistensi MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. Namun, untuk menghindari penyebaran COVID-19, sehingga dilaksanakan secara sederhana di Kantor MRP,” kata Murib.

Perayaan HUT MRP bertema ”Budayaku, Identitasku Papua” itu menetapkan sub tema meningkatkan kebersamaan orang asli Papua untuk menyelamatkan tanah, manusia, dan budaya Papua.

“Tema dan sub tema tersebut merujuk moto MRP dan visi – misi Gubernur, dan Wakil Gubernur Papua, serta filosofi dasar keberadaan MRP sebagai representasi kultural Orang Asli Papua,” kata Murib.

Menurutnya, MRP memiliki kewajiban melindungi hak dasar Orang Asli Papua, sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

“MRP ingin kembali menegaskan pentingnya konsistensi atau ketaatan asas dalam penyelenggaraan Otonomi Khusus di Papua. [Para pihak] hendaknya senantiasa membangun komitmen yang sama, dan menjalin hubungan kerja yang sinergis dan harmonis guna mewujudkan kebangkitan masyarakat Papua menuju kehidupan yang mandiri dan sejahtera sesuai visi dan misi,” kata Murib.

Menurut Murib, dengan perayaan hari itu MRP ingin menekankan pentingnya kerjasama dan koordinasi dalam hal perumusan dan penetapan kebijakan dan kegiatan tahunan Pemerintah Provinsi Papua. [Itu] tanggung jawab moral dan sosial yang mutlak harus diemban kita semua, terutama penyelenggara pemerintahan, tidak terkecuali MRP,” tutur Murib.

MRP telah berupaya untuk menyusun program kerja dan kegiatan yang lebih berfokus kepada upaya perlindungan, pemberdayaan, dan keberpihakan bagi Orang Asli Papua.

“Tugas dan wewenang MRP berbeda dengan tugas dan kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. [Tugas dan wewenang MRP] ditujukan kepada masyarakat, dan hasilnya pun dinikmati secara langsung oleh masyarakat Orang Asli Papua,” kata Murib.

MRP saat ini berfokus menjalakan delapan program, termasuk perlindungan hak Orang Asli Papua dalam bidang pertanahan, penanganan pelanggaran HAM, pencatatan atau pencacahan penduduk Orang Asli Papua, dan afirmasi Orang Asli Papua dalam rekruitmen TNI/Polri, sekolah kedinasan, dan Aparatur Sipil Negara. MRP juga melakukan uji materiil Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua UU Otsus Papua di Mahkamah Konstitusi.

“Sebagai pimpinan MRP, saya menyadari keberadaan MRP tentu masih banyak kekurangan dan kelemahan kami. Marilah kita bergandengan tangan dan saling bahu membahu bekerja sama melaksanakan tugas dan fungsi kita dalam membangun masyarakat Papua,” kata Murib.

Staf ahli bidang pengembangan masyarakat adat dan budaya Provinsi Papua, Paskalis Netep saat membacakan sambutan tertulis Gubernur Papua menyatakan hari jadi MRP ke-16 merupakan momen luar biasa. “Kebudayaan seni ukir dan kerajinan perlu dilestarikan bagi generasi berikut,” ucapnya.

Ia juga menyampaikan terima kasihnya kepada masyarakat dari lima wilayah adat yang berpartisipasi dalam hari jadi MRP ke-16 itu. “Saya menyampaikan terima kasih kepada MRP yang telah [membuat] iven dan kegiatan pameran kerajinan masyakarat asli Papua,” ujarnya. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Otsus Papua: Pemerintah akan tingkatkan dana khusus dan tambah provinsi, pengamat: ‘Untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan?’

pengelolaan dana Otsus Papua meski menuai sorotan tetap dilanjutkan – Ist

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan Papua Barat merasa “dibungkam” karena tidak dilibatkan dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“MRP menganggap tidak ada niat baik dari pemerintah pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Ketua MRP Timotius Murib kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, Rabu (31/03).

MRP meminta dilakukan evaluasi secara menyeluruh dari Pasal 1 hingga Pasal 79 dalam UU Otsus Papua karena dalam 20 tahun pelaksanaannya UU itu “tidak bernyawa” dan tidak memberikan manfaat kepada orang asli Papua.

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengusulkan dua perubahan pasal yaitu di Pasal 34 tentang dana penerimaan khusus dan Pasal 76 tentang pemekaran, saat menjadi pembicara Workshop Pendapat BPK terkait dengan Pengelolaan Dana Otsus Provinsi Papua dan Papua Barat, Selasa (30/03).

Namun, menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, UU Otsus Papua tidak hanya sekedar pembagian uang. Namun kenyataannya, usai 20 tahun pelaksanaan, evaluasi atas UU itu hanya terkait dengan dana dan pemekaran.

“Jadi untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan? Ini kan kegagalan Otsus di dalam menciptakan perdamaian di tanah Papua,” katanya.

Cahyo menambahkan, UU Otsus Papua dibentuk sebagai jalan tengah antara tuntutan orang Papua yang ingin merdeka dengan pemerintah yang ingin Papua bertahan dalam NKRI.

Sejak 2002 hingga 2020, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah menerima dana Otsus hingga Rp126,99 triliun yang meningkat dari Rp1,38 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp13,05 trilun pada 2020 kemarin.Dana Otsus itu, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, akan diperpanjang hingga 20 tahun ke depan dengan estimasi total Rp234,6 triliun atau hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan sebelumnya.

MRP: ‘Kami dibungkam’

Orang asli Papua di Nduga, di pegunungan tengah Papua, tengah berdemonstrasi.
Keterangan gambar,Warga Papua di Nduga, di pegunungan tengah Papua, menggelar demonstrasi.
Majelis Rakyat Papua merasa “dibungkam” oleh pemerintah pusat karena tidak dilibatkan dalam rencana revisi UU Otsus Papua yang kini sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian dilakukan pembahasan.
“Itu adalah langkah sepihak Jakarta, tanpa persetujuan dan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua. Kami mengalami pembungkaman demokrasi hak orang asli Papua. MRP menganggap tidak ada niat baik dari Pemerintah Pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam NKRI,” kata Ketua MRP Timotius Murib.
Timotius menjelaskan, usai 20 tahun pelaksanaan UU Otsus Papua, pemerintah pusat dan masyarakat Papua harus duduk bersama “menyisir” satu demi satu pasal untuk melihat kelemahan dan kelebihan pelaksanaan UU ini, bukan hanya tentang dana dan pemekaran.
“Contoh, implemetasi UU Otsus Papua tidak bisa dilaksanakan karena dibenturkan dengan UU yang sektoral, seperti UU Otonomi Daerah sehingga menjadi tidak bernyawa dan tidak memberikan manfaat kepada orang asli Papua,” katanya.
Akibatnya, empat bidang prioritas dalam UU Otsus Papua yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur tidak bisa dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat Papua.
Sementara itu, dalam revisinya, pemerintah hanya mengusulkan perubahan dua pasal dalam UU Otsus Papua ke DPR, yaitu Pasal 34 dengan menaikan plafon alokasi dana otonomi khusus dari 2% menjadi 2,25%.
Kedua, pemerintah merevisi Pasal 76 tentang pemekaran yang mana sebelumnya pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR provinsi menjadi kini pemerintah dapat melakukan pemekaran secara sepihak.

ULMWP dan OPM tolak revisi Otsus Papua

Seorang pengunjukrasa membawa simbol bendera Bintang Kejora menuntut pemisahan Papua dari Indonesia.
Keterangan gambar,Seorang pengunjukrasa membawa simbol bendera Bintang Kejora menuntut pemisahan Papua dari Indonesia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Markus Haluk, menolak seluruh tawaran dan program pemerintah pusat terkait UU Otsus Papua.
“Dana Otsus dan pemekaran itu tidak pernah berdampak ke masyarakat. Itu hanya upaya untuk semakin hadir di tanah Papua, militer diperbanyak, polisi diperbanyak, migrasi semuanya ke Papua tanpa mengetahui akar masalahnnya,” katanya.
Senada dengan itu, juru bicara TPNPB- OPM Sebby Sambom mencurigai upaya pemerintah sebagai upaya untuk mendatangkan semakin banyak orang dari luar Papua untuk mengambil hak-hak tanah dan kekayaan orang asli Papua.
“Kami tolak itu semua, pemekaran, dana dan lainnya omong kosong semua,” katanya.

‘Meng-Indonesia-kan orang Papua’

Anak-anak pengungsi dari Kabupaten Nduga, Papua
Keterangan gambar,Anak-anak pengungsi dari Kabupaten Nduga, Papua.
Peneliti dari LIPI, Cahyo Pamungkas, mengatakan tujuan utama dari dibentuknya UU Otsus Papua adalah untuk memanusiakan, meng-Indonesia-kan orang Papua, dan memperlakukan mereka lebih baik dibandingkan masa lalu yang dipenuhi kekerasan.
“Tapi prinsip dibentuknya Otsus itu untuk meng-Indonesia-kan orang Papua, memperlakukan orang Papua lebih baik dari masa lalu yang dipenuhi masalah kekerasan. Di situ ada masalah HAM, kesejahteraan, perlindungan adat dan ekologi,” kata profesor riset yang banyak meneliti isu tentang Papua tersebut.
“Otsus itu tujuannya agar orang Papua bisa menikmati pembangunan, rekonsiliasi masa lalu, seperti kekerasan politik, dan pelanggaran HAM, memanusiakan mereka sehingga menyatu dengan Indonesia. Tapi ini semua tidak dibahas, yang muncul hanya masalah uang saja,” kata Cahyo.
Cahyo menjelaskan, UU Otsus disahkan pada tahun 2001 setelah sebelumnya pada pasca-reformasi 1998 terjadi pergejolakan politik dan konflik berdarah di mana masyarakat Papua menuntut kemerdekaan.
Karena tidak mungkin memenuhi tuntutan itu, pemerintah memberikan otonomi khusus sebagai jalan tengah.
Namun kenyataannya, usai 20 tahun pelaksanaan, evaluasi atas UU itu hanya terkait dengan dana dan pemekaran.
“Padahal terdapat empat persoalan utama. Pertama, perspektif Otsus yang pelaksanannya tumpang tindih dengan UU sektoral. Kedua, tata kelola yang tidak sesuai. Ketiga, kekerasan masih berlanjut, bahkan semakin meningkat saat Otsus diberlakukan, seperti di Intan Jaya, Nduga. Jadi untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan? Ini kan kegagalan Otsus di dalam menciptakan perdamaian di tanah Papua,” katanya.
Terakhir, adalah indeks pembangunan manusia orang asli Papua yang lebih rendah dibandingkan pendatang.
Sehingga, menurut Cahyo, seberapa pun dana Otsus dinaikkan, bahkan hingga 10 kali lipat, tidak akan membawa manfaat dan perubahan bagi orang asli Papua.
“Jika pembangunan tidak mendengarkan, melibatkan aspirasi, dan memperkuat identitas masyarakat Papua, serta menjaga kelestarian ekologi,” ujarnya.
“Ini adalah momen tepat untuk melakukan evaluasi total UU Otsus yang melibatkan komponen masyarakat adat, MRP, DPRP, gereja dan perempuan. Sehingga revisi UU ini memiliki legitimasi yang kuat dari bawah,” tutupnya.

Dana Otsus Papua diperpanjang, pengawasan diperketat

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD

Keterangan gambar, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan pemerintah akan memperpanjang kebijakan dana Otsus Papua. Untuk itu diperlukan revisi beberapa pasal dalam UU Otsus Papua yang drafnya telah diserahkan ke DPR.
“Kita akan merevisi pasal 76 yaitu untuk memekarkan daerah provinsi mungkin akan tambah tiga provinsi sehingga menjadi lima, melalui revisi undang-undang bukan perpanjangan UU. Revisi 2 pasal, yaitu Pasal 34 tentang dana dan Pasal 76 tentang pemekaran,” ujar Mahfud.
Pemerintah juga mengeluarkan Kepres No. 20 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, serta membentuk tim hukum untuk melaksanakan penelitian penggunaan dana Otsus.
Mahfud menyebut, pembangunan di Papua masih belum efektif yang disebabkan di antaranya situasi keamanan yang tidak kondusif, tingginya kasus korupsi dan belum terintegrasinya sejumlah program pemerintah.
Untuk itu Mahfud MD meminta agar pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara harus lebih ditingkatkan.
Mahfud juga menegaskan bahwa hubungan Papua dan NKRI sudah final, “tidak bisa diganggu gugat, dan akan dipertahankan dengan segala biaya yang diperlukan. Sosial, ekonomi, politik dan keuangan sekalipun, akan kita pertahankan,” tegas Menko Polhukam.

DPR: Kami perlu dengar suara masyarakat Papua

Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Otsus Papua, Komarudin Watubun, mengatakan DPR perlu mendengar aspirasi dari masyarakat dan melihat situasi yang terjadi di Papua.
Salah satu aspirasinya, kata politisi PDI Perjuangan tersebut, adalah masyarakat Papua tidak hanya ingin dana dan pemekaran, tapi juga perbaikan perlindungan HAM.
“Ada soal pelanggaran HAM. Namun itu aspirasi, dalam negara demokrasi boleh-boleh saja namun semua nanti melalui pembahasan di pansus dan sikap serta fraksi akan melihat urgensinya,” kata Komarudin seperti dikutip Antara, Selasa, (30/03).
“Jadi ada dua pasal yang diajukan pemerintah dalam revisi UU Otsus Papua. Kita tidak bisa menutup mata bahwa Otsus Papua ada kekurangannya jadi mari diperbaiki,” katanya.
Revisi UU Otsus Papua telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021. DPR meyakini, revisi UU tersebut akan selesai pada tahun ini.

Sumber: BBC

Read More
Categories Berita

MRP dan DPR Papua Hadiri Diskusi Panel Organisasi Cipayung di Jayapura

Timotius Murib ketua MRP dan Yunus Wonda wakil ketua I DPR Papua saat mengikuti diskusi panel yang di gelar oleh 6 cipayung yang ada di kota Jayapura – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – 6 Cipayung kota Jayapura HMI, PMKRI, GMKI, PMII, GEMINDO, dan GMNI yang tergabung dalam organisasi kepemudaan mahasiswa mengelar diskusi panel terkait kondisi Otonomi Khusus (Otsus) dan Pemekaran yang berkembang di antara pro-kontra pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kegiatan diskusi panel yang dihadiri Perwakilan DPR Papua Yunus Wonda Wakil ketua I dan Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua tersebut berlangsung di salah satu hotel di Kotaraja Luar, Rabu (21/4/2021), dihadiri kurang lebih 200 peserta baik mahasiswa dan anggota aktif OKP Cipayung di Jayapura.

Yunus Wonda Wakil ketua I DPR Papua usai diskusi panel mengatakan kegiatan yang dilakukan oleh Cipayung sangat tepat untuk bahas kajian ilmiah seperti ini di forum resmi agar apa yang di diskusikan dapat dipertanggungjawabkan kelak.

“Ini satu ruang di mana semua pihak bicara tentang kondisi dinamika yang terjadi di tanah Papua, sehingga siapa pun dia tidak boleh melarang kegiatan ini,” katanya.

Lanjutnya, apa yang dibahas dalam diskusi panel ini dapat melahirkan catatan-catatan untuk disampaikan ke pemerintah pusat terkait apa yang sedang dihadapi rakyat Papua dan apa yang sebenarnya diinginkan orang asli Papua.

“Terkait Otsus dan Pemekaran DOB semua keputusan ada di MRP karena lembaga ini merupakan kulture masyarakat Papua, dan apa yang diputuskan atau disampaikan MRP merupakan aspirasi dari masyarakat Papua,” katanya.

Wonda menegaskan persoalan Papua hanya bisa diselesaikan oleh orang Papua sendiri melalui diskusi dan kajian ilmiah seperti ini, mencari akar masalah dan menyelesaikannya bukan di putuskan oleh negara (Jakarta) lalu di paksakan di Papua, otomatis persoalan Papua tidak akan pernah selesai meskipun Otsus dan Pemekaran DOB di lakukan di tanah Papua.

Timotius Murib, ketua Majelis Rakyat Papua juga menegaskan persoalan Papua tidak pernah diselesaikan baik dari orde lama, orde baru, era reformasi hingga era Otsus tahun 2001 karena negara tidak pernah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada orang Papua.

“Wajar saja banyak persoalan Papua tidak pernah diselesaikan negara, Banyak kewenangan yang di amputasi (dihilangkan) dalam UU Otonomi Daerah dan Otsus sehingga tidak ada satu kewenangan yang mengatur dan mengakomodir hak-hak orang asli Papua,” tegasnya.

Lanjutnya, Pemerintah harusnya menyadari bahwa belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia orang asli Papua.

“Pemerintah berpikir dengan uang yang banyak dan DOB dapat menyelesaikan persoalan Papua. Dasarnya apa? Uang banyak, Kekerasan masih terjadi di berbagai aspek,” kata Murib.

MRP berharap negara dapat membuka ruang bagi orang asli Papua menyampaikan pendapat di muka umum melalui MRP sesuai amanat pasal 77 nomor 21 UU Otsus tahun 2001. (*)

Read More

Categories Berita

MRP Papua Ambil Jalur Hukum Jika Pemerintah Pusat Paksakan Perubahan Kedua UU Otsus

Pimpinan MRP bersama kepala badan Kesbangpol dan ketua Pansus Otsus DPRP saat pembukaan rapat koordinasi membahas bersama agenda revisi UU Otsus Papua yang diinisiasi pemerintah pusat tanpa mendengar aspirasi rakyat Papua. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) menyatakan siap menggugat pemerintah Indonesia dalam hal ini presiden maupun DPR RI karena dianggap melakukan inisiasi dan keputusan sepihak tanpa melibatkan rakyat Papua dan lembaga perwakilan dalam penentuan keberlanjutan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran provinsi Papua.

Hal ini ditegaskan Timotius Murib, ketua MRP, kepada wartawan, Jumat (19/2/2021) di Sentani, kabupaten Jayapura, usai rapat koordinasi menanggapi adanya revisi sepihak terhadap UU Otsus.

Menurut Murib, upaya hukum tersebut akan ditempuh di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia menilai pemerintah malas tahu dan tidak menghargai orang Papua dengan mengambil keputusan seenaknya tanpa melibatkan orang Papua yang akan merasakan dampak Otsus dan pemekaran provinsi Papua.

“Pemerintah pusat tidak mendengar aspirasi masyarakat Papua yang disampaikan melalui MRP. Makanya, terakhir MRP akan tempuh jalur hukum dengan menggugat di Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Murib menyatakan, masyarakat Papua, DPRP, Pemprov dan MRP sudah memprediksi bahwa Indonesia akan menggunakan kekuasaan, sehingga upaya dari masyarakat Papua untuk menyampaikan isi hati pasti akan kalah. Karena itu, pihaknya siap menempuh jalur hukum.

Bahkan gugatan ini juga untuk Surat Keputusan Presiden terkait Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Jakarta, 4 Desember 2020 yang ditujukan kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

“Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua untuk dibahas dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, guna mendapatkan persetujuan dengan prioritas utama. Selanjutnya, untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut, kami menugaskan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk mewakili kami dalam membahas Rancangan Undang-Undang tersebut,” Murib membacakan isi surat presiden.

Hal ini juga akan digugat karena keputusannya sepihak dan tidak mengikuti regulasi yang dibuat negara ini di dalam UU Otsus Pasal 77 yang berbicara soal kelanjutan Otsus dan pemekaran provinsi Papua harus melibatkan lembaga keterwakilan rakyat Papua yaitu MRP dan DPRP yang hingga kini tidak pernah dilibatkan pemerintah pusat.

Bahkan pihaknya sebagai lembaga representasi kultural rakyat Papua sudah menyampaikan surat dan usulan ke lembaga pemerintah dan presiden, tetapi tetap saja tidak dihiraukan.

“Surat kami sudah sampaikan ke pemerintah pusat, tetapi tidak dapat mengundang kami (MRP dan DPRP) dari provinsi Papua dan Papua Barat.  Surat presiden yang sepihak yang diberikan kepada DPR RI sangat sepihak dan tanpa melibatkan masyarakat Papua. Atas nama rakyat Papua MRP akan gugat karena ini tanggung jawab moril MRP kepada masyarakat Papua,” kata Murib.

Sementara itu, Thomas Sondegau, ketua Pansus Otsus DPR Papua, menyatakan akan mengawal hasil MRP hingga ke pemerintah pusat. Menurutnya, di provinsi Papua dan Papua Barat harus berlaku UU Otsus yang sama.

“UU Otsus ini akan digunakan sampai di desa, tapi kalau UU 23 dipakai, maka kabupaten/kota akan pakai itu, sehingga orang di sana mengira UU 21 digunakan hanya di provinsi. Karena itulah kami minta dalam evaluasi UU Otsus, provinsi Papua dan Papua Barat hanya satu UU Otsus,” jelasnya.

Thomas juga meminta pemerintah pusat soal kewenangan agar bisa mengatur rakyat Papua.

“Kita minta kewenangan, bukan pemekaran dan dana segala macam. Dengan kewenangan itu, kita bisa mengatur rakyat Papua. Hari ini kewenangan di sini hanya lima yang tidak boleh dilakukan pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat, yang lain boleh dalam rangka NKRI. Jadi, kami minta kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri,” tegas Sondegau.

Mewakili pemprov Papua dalam rakor ini, Musa Isir, kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) provinis Papua, menyampaikan dukungannya terhadap perjuangan MRP termasuk hasilnya terkait perubahan kedua UU Otsus.

“Kita mendukung yang dihasilkan MRP kepada pemerintah pusat dan semua pihak terkait dinamika yang terjadi terkait perubahan kedua Otsus agar bisa sesuai yang diharapkan masyarakat di Papua,” kata Isir.(*)

Sumber: Suara Papua

Read More

Categories Berita

MRP Rakor Bahas Rencana Perubahan Kedua UU Otsus

Majelis Rakyat Papua (MRP) bersama DPRP dan Pemprov Papua menggelar rapat koordinasi membahas pandangan tentang usulan perubahan kedua Undang-Undang Otsus Nomor 21 tahun 2001, Kamis (17/2/2021) di Sentani, kabupaten Jayapura. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) bersama panitia khusus (Pansus) Otsus DPR Papua dan pemerintah provinsi Papua menggelar rapat koordinasi (Rakor) membahas pandangan tentang usulan perubahan kedua Undang-Undang Otonomi Khusus nomor 21 tahun 2001. Rakor selama empat hari dimulai sejak Rabu (17/2/2021) di Sentani, kabupaten Jayapura.

Timotius Murib, ketua MRP, mengatakan, rakor ini untuk menyampaikan pandangan terhadap perubahan kedua yang dilakukan pemerintah pusat khususnya DPR RI. Menurutnya, rapat sekaligus menyatukan persepsi agar melahirkan sebuah rekomendasi yang akan disampaikan ke pemerintah pusat.

“Rakor ini sangat penting agar ada rekomendasi untuk diberikan bersama MRPB, MRP, dan Gubernur kepada DPR RI khususnya supaya ada masukan, catatan yang menurut rakyat sangat urgen dibicarakan ketika dilaksanakan perubahan kedua,” kata Murib.

Ketua MRP menyatakan, jika pemerintah pusat tidak menanggapi proses hasil diskusi yang sudah dilakukan, dipastikan jalur hukum akan tetap diambil. MRP berharap sebelum ditetapkan perubahan kedua UU Otsus harus ada upaya koordinasi maupun duduk bersama.

“Pemerintah pusat harus duduk dengan MRP, DPRP, kemudian gubernur supaya ada masukan saran. Dan melihat pasal 1 sampai pasal 79 itu ada manfaat atau tidak selama implementasi Otsus 20 tahun, karena rakyat yang menerima manfaat Otsus itu,” ujarnya.

Sementara itu, Thomas Sondegau, ketua Pansus Otsus DPRP, memastikan akan mengawal hasil MRP hingga ke pemerintah pusat. Ia menyatakan, Papua dan Papua Barat harus berlaku satu UU Otsus.

“DPRP meminta pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan agar bisa mengatur rakyat Papua sendiri. Kita minta kewenangan, bukan pemekaran dan dana segala macamnya. Dengan kewenangan itu, kita bisa mengatur rakyat Papua,” ujar Thomas.

Musa Isir, kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) provinsi Papua mewakili Pemprov Papua menyatakan mendukung perjuangan MRP termasuk hasilnya terkait perubahan kedua UU Otsus.

“Kita mendukung yang dihasilkan MRP kepada pemerintah pusat dan semua pihak terkait dinamika yang terjadi terkait perubahan kedua Otsus agar bisa sesuai yang diharapkan masyarakat di Papua,” kata Isir.

Rakor diadakan selama empat hari, Rabu sampai Sabtu (17-20/2/2021) di salah satu hotel yang ada di kota Sentani, kabupaten Jayapura. (*)

Sumber: Suara Papua

Read More