Categories Siaran Pers

Calon Terpilih Anggota MRP Periode 2023-2028 Silaturahmi di Rumah Kebangsaan

JAYAPURA, MRP – Belasan Calon Anggota Terpilih Majelis Rakyat Papua (MRP) Periode 2023-2028 bersilaturahmi di Rumah Kebangsaan Republik Indonesia yang terletak di Waena Batas Kota Jayapura, yang mana kunjungan ini diterima langsung oleh Anak dari Pejuang Merah Putih Almarhum Bapak Ramses Ohee yaitu Max Abner Ohee yang saat ini mengantikan Ayahnya sebagai Ketua Barisan Merah Putih Provinsi Papua (BMP).

Tujuan dari kunjungan tersebut sebagai mana mereka memandang bahwa eksistensi Rumah Kebangsaan ini berkorelasi dengan kewajiban (MRP) sebagaimana tercantum pada pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang berbunyi MRP mempunyai kewajiban :

  1. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
  2. Mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan;
  3. Membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua;
  4. Membina kerukunan kehidupan beragama; dan, mendorong emberdayaan Perempuan.

Kewajiban ini akan dijabarkan lebih detail baik secara personal maupun institusional sehingga tidak menjadi suatu konsideran atau norma yang dicantumkan pada Undang-undang saja, tetapi dapat diwujudnyatakan dalam bentuk program dan kegiatan dalam Lembaga Majelis Rakyat Papua. Contohnya kegiatan apa yang dilakukan agar kewajiban mempertahankan dan memelihara Keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua dapat terlaksana, misalnya dengan Sosialisasi wawasan kebangsaan kepada konstituen Anggota MRP, Penandatanganan Pakta Integritas untuk mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua, dan sebagainya.

Belasan Calon Anggota Terpilih Majelis Rakyat Papua (MRP) Periode 2023-2028 bersilaturahmi di Rumah Kebangsaan Republik Indonesia yang terletak di Waena Batas Kota Jayapura – Dok Humas MRP

Dari perspektif rumah kebangsaan ini maka setiap warga negara Indonesia yang merupakan Orang Asli Papua harus ditempatkan dalam proporsi yang sama dan layak dihadapan hukum, sehingga perbedaan persepsi terkait proses dan hasil pemilihan MRP yang sering didengungkan oknum oknum dan kelompok tertentu perlu dihindari,” Ungkap Ketua Barisan Merah putih Max Ohee dalam releasenya Jumaat (4/8/2023).

Di tambahkannya karena sesungguhnya pemikiran tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.Orang-orang ini menyebut dirinya warga negara Indonesia, membela NKRI, tetapi kegiatan yang mereka lakukan paradoks karena dengan gencarnya menghembuskan issu-issu miring terhadap Anggota terpilih yang sudah sesuai mekanisme Tahapan seleksi oleh Panitia baik tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi jadi sudah Sahbawcara aturan.

“Justru oknum-oknum ini yang ingin memecah-belah NKRI, Kelompok seperti ini tidak menyadari mereka melanggar aturan, karena mereka lakukan pembohongan publik bagi orang Papua dan Negara Indonesia bahwa mereka mengatakan tidak ada perwakilan anggota dari Tabi-Saireri, padahal ada dan sesuai,kursi yang ditetapkan,” ujarnya.

Calon Terpilih Anggota MRP Periode 2023-2028 Silaturahmi Dirumah Kebangsaan, dierima langsung oleh Max Ohee -Dok Humas

Jadi kata Max, kalau mau dilihat kelompok ini atau oknum-oknum ini adalah kelompok sakit hati sesungguhnya mereka itu mengikuti pemilihan calon anggota MRP tetapi tidak lolos karena tidak memenuhi syarat calon.

“Contohnya lewat usia diatas 60 tahun, terlibat partai politik, tidak mendapatkan rekomendasi dari Lembaga agama, dan lain sebagainya, tapi sudah tahu tidak memenuhi syarat, namun masih mencoba memprotes sana-sini, jadi percuma karena pasti akan tabrak tembok, tidak sesuai peraturan,” ujar Max Apner Ohee yang merupakan Anggota Terpilih dari Unsur Adat Di Wilayah Pemilihan Tabi.

Dalam kesempatan tersebut Calon Anggota Terpilih MRP Periode 2023-2028 yang hadir di rumah kebangsaan) antara lain,Max Abner Ohee, Frangklin Demena, KH. Islam Al Payage, Yoel L. Mulait, Adnan Sawaki, Irene Duwiri, Mina Numberi, Adolina Simunapendi, Julius Ohee, Zandra Mambrasar, Cyrilus Moman, Izak Hikoyabi, Benny Sweny, Mina Numberi, Natalia Barbalina Wona

Megharapkan kepada Menteri Dalam Negeri RI Muhammad Tito Karnavian agar segera mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI tentang Pengesahan Anggota MRP Periode 2023-2028 dan melaksanakan Pelantikan sebelum HUT Kemerdekaan RI Ke- 78 tahun pada tanggal 17 Agustus 2023.

Melalui Pengesahan dan Pelantikan Anggota MRP dalam semarak perayaan HUT Kemerdekaan RI, akan semakin meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang pada gilirannya setiap anggota MRP dapat mengaktualisasikan karyanya untuk didedikasikan bagi masyarakat Orang Asli Papua di Provinsi Papua,” Harapa Franklin Demena salah satu anggota MRP Terpilih dari unsur Adat Tabi. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Siaran Pers

MRP Resmi Serahkan Berkas Kesimpulan Uji Materill UU Otsus ke MK

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) akhirnya resmi menyerahkan berkas berisi kesimpulan dari langkah uji materi atas UU Otsus Jilid I ke Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 25 Mei 2022. Bersama tim kuasa hukum DPN Peradi, Ketua MRP Timotius Murib beserta Wakil Ketua I Yoel Luiz Mulait, dan sejumlah anggota MRP menyerahkan langsung berkas tersebut di Gedung MK dan diterima tepat pada pukul 11.07 WIB.

“Sekarang harapan terakhir keadilan terletak di pundak para hakim konstitusi. Kami telah berusaha melakukan yang terbaik agar tidak ada perubahan kebijakan yang merugikan hak-hak konstitusional orang asli Papua,” kata Timotius.

Timotius menjelaskan bahwa langkah uji materi tersebut merupakan upaya untuk menyalurkan aspirasi rakyat Papua melalui jalur yang terhormat dan bermartabat.

“Kami ingin menyalurkan ekspresi protes dan aspirasi rakyat Papua tersebut melalui jalan yang terhormat dan bermartabat. Kami tidak ingin ekspresi-ekspresi protes rakyat Papua hanya dilihat sebagai ekspresi jalanan yang kerap disikapi secara berlebihan. Kami tidak ingin ada lagi korban. MK adalah tempat yang tepat untuk menyampaikan keberatan kami atas UU tersebut,” katanya.

Kepada pers, perwakilan kuasa hukum dari DPN Peradi Roy Rening menyampaikan terima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang sedari awal mendengarkan apa yang menjadi permasalahan dari revisi kedua UU Otonomi Khusus. “Kami juga amat berterima kasih kepada semua pihak yang membantu, termasuk media massa. Para saksi, ahli, dan jajaran pemerintah provinsi Papua serta lembaga negara seperti Komnas HAM yang turut memberikan pendapat dalam perkara ini,” kata Roy.

Sejak tahun lalu, MRP mengajukan keberatan atas sejumlah pasal dalam UU No. 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Terhadap UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Di antaranya, MRP mempersoalkan dihapusnya ketentuan Pasal 28 tentang pendirian partai politik lokal oleh orang asli Papua hingga perubahan atas ketentuan Pasal 76 yang akhirnya membuat kewenangan untuk melakukan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi tidak lagi membutuhkan persetujuan MRP.

Dalam kesempatan yang sama, Yoel menambahkan bahwa MRP telah menemui pimpinan partai politik nasional, sejumlah menteri dan juga Presiden.

“Banyak dari mereka sangat memberi perhatian terhadap situasi Papua. Mereka semua memberikan penghormatan kepada MK untuk mengambil keputusan atas perkara ini. Mereka setuju jika keputusan apa pun, termasuk daerah otonomi baru, agar ditunda setelah putusan MK. Kami juga lega ketika Presiden mengatakan akan patuh pada putusan MK,” kata Yoel.

Pada pertengahan April lalu MRP melakukan kunjungan keliling menemui pimpinan partai-partai politik nasional. Di antaranya MRP bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Syaikhu.

Pada 26 April pimpinan MRP bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Presiden didampingi oleh Menkopolhukam Mahfud MD dan Mendagri Tito Karnavian. Dalam pertemuan tersebut, Presiden mengatakan akan patuh pada putusan MK. Presiden juga mempersilahkan MRP untuk membicarakan keberatan atas kebijakan pemerintah pusat melalui menteri terkait. Ketika diminta untuk berkunjung ke Kantor MRP, Jokowi langsung menyanggupi.

“Saya sudah 14 kali datang ke Papua. Mengenai undangan hadir ke Kantor MRP, saya siap memenuhinya,” kata Jokowi ketika itu. (*)

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

MRP: Pembentukan Tiga Provinsi Baru Bukan Solusi Menangani Krisis di Papua

Ketua MRP, Timotius Murib ketika menyampaikan materi dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada Rabu (27/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Pemerintah pusat kembali didesak untuk menunda dan mengevaluasi rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Tanah Papua. Pembentukan tiga provinsi baru di provinsi Papua dinilai bukan merupakan solusi dalam menangani krisis berupa konflik bersenjata, pelanggaran HAM, dan rendahnya tingkat capaian pemerintah dalam membangun kesejahteraan orang asli Papua.

Dalam media briefing yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute (PVRI) pada Rabu (27/04/22), sejumlah akademisi dan perwakilan masyarakat sipil sepakat bahwa langkah pemekaran atau pembentukan DOB bukan solusi bagi penanganan krisis Papua yang semakin kompleks. Pasalnya, strategi dalam menyelesaikan persoalan Papua melalui DOB selama ini juga tidak berjalan maksimal dan bahkan jauh dari kebutuhan orang asli Papua (OAP).

Peneliti PVRI Ainun Dwiyanti mempertanyakan sikap pemerintah pusat yang gencar mendorong langkah pembentukan DOB. Menurutnya, jika pemerintah bersungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan rakyat, sudah sepatutnya terjadi proses konsultasi kebijakan dengan OAP agar kebijakan pemerintah dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

“Jika rencana pemekaran terus berlangsung, artinya aspirasi OAP hanya untuk formalitas dan tidak menjadi konsiderasi pembuatan kebijakan. Lalu untuk siapa dan kesejahteraan seperti apa yang ditawarkan pemerintah dalam kebijakan DOB?” tanya Ainun.

Ainun juga menambahkan bahwa gencarnya penolakan masyarakat terhadap pembentukan DOB mengindikasikan bahwa kebijakan ini dianggap tidak representatif dan tidak menjadi solusi atas krisis kemanusiaan yang ada. Justru sebaliknya, menambah persoalan baru di Tanah  Papua.

“Dalam catatan PVRI, sejak awal Maret hingga April 2022 saja sudah terjadi 10 kali demonstrasi di Papua guna menolak DOB. Beberapa diantaranya berujung kekerasan aparat keamanan dan mengakibatkan 2 orang tewas di Yahukimo. Pemerintah harus melihat gejolak tersebut,” tegas Ainun.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fitriani Bintang Timur juga mengungkapkan persoalan pemekaran berkorelasi dengan masalah keamanan dan kekerasan di Papua.

“Tantangan keamanan dari pemekaran DOB meliputi, aspek struktural-militer pasca adanya provinsi baru, yaitu akan dibangunnya pos-pos komando militer baru. Meskipun pemerintah bisa mengklaim hal itu untuk keamanan dan ketertiban, kita harus sadar bahwa ramifikasi tersebut belum bisa diterima oleh masyarakat Papua mengingat kasus-kasus kekerasan pada masyarakat Papua, isu pelanggaran HAM terhadap warga sipil, dan sebagainya. Dasar dari pembentukan provinsi baru adalah luasnya wilayah yang hendak diatur dan agar distribusi akses kesejahteraan dan pembangunan merata. Alasan itu pun belum dianggap meyakinkan karena perluasan satuan territorial militer justru menimbulkan keresahan dan ketidakamanan,” ujar Fitriani.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan pendapat serupa bahwa rencana pembentukan DOB minim partisipasi dan mengindikasikan bahwa pemerintah pusat gagal dalam menjalankan kewajibannya.

“Pemerintah memiliki tiga kewajiban yang harus dipenuhi saat membuat kebijakan, yaitu duty to inform atau kewajiban untuk menginformasikan kebijakan yang akan berdampak pada mereka, lalu duty to consult atau kewajiban mengonsultasikan kebijakan, dan duty to obtain free and prior informed consent atau kewajiban memperoleh persetujuan tanpa paksaan dari orang asli Papua,” ungkap Usman.

Usman mengingatkan jika ketiga kewajiban tersebut krusial untuk pemenuhan hak-hak warga OAP karena diakui oleh ketentuan Pasal 18B UUD 1945. Laporan Amnesty International terbaru yang terkait rencana penambangan emas di Blok Wabu juga menunjukkan betapa minimnya konsultasi dan partisipasi orang asli Papua dalam proses pembuatan rencana kebijakan negara di Intan Jaya, Papua.

Hadir bersama Usman Hamid yaitu Timotius Murib selaku Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengingatkan, jika pembuat kebijakan tidak melibatkan OAP dalam keputusan-keputusan yang menyangkut Papua maka dapat menimbulkan permasalahan serius.

“Saat bertemu Presiden Jokowi, MRP menyampaikan kepada Presiden bahwa cikal bakal dari kesalahan besar yang terjadi di Papua adalah perubahan kedua UU Otsus Tahun 2021 yang disahkan tanpa konsultasi dengan lembaga negara di Papua dan masyarakat sipil Papua. Oleh karenanya, rencana pembentukan DOB juga diteruskan oleh pemerintah secara sepihak,” ujar Timotius.

Timotius menambahkan jika Tiga UU DOB yang didorong oleh Mendagri dan Komisi II DPR RI merupakan mekanisme yang salah dan illegal karena merujuk asosiasi bupati yang tidak ada di UU Otsus. Karenanya Presiden dan pimpinan DPR RI perlu menunda keputusan tersebut dan mengoreksi tindakan Menteri terkait yang keliru membaca aturan.

“Ada empat alasan penting mengapa masyarakat Papua menolak DOB. Pertama, DOB masih di-moratoriumkan oleh pemerintah. Kedua, DOB provinsi lain dan daerah-daerah kabupaten di Papua tidak memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tinggi, sehingga secara fiskal akan sangat berketergantungan berat dengan pemerintah pusat, membebani APBN. Ketiga, sumber daya manusia yang berasal dari OAP hampir tidak ada atau sedikit, mayoritas adalah warga non-Papua. Yang terakhir aspirasi DOB bukan berasal dari akar rumput dan MRP sesuai UU” imbuh Timotius.

Senada dengan Timotius, akademisi Universitas Cendrawasih Bernarda Meteray mengatakan jika 20 tahun Otsus belum membawa banyak perubahan signifikan bagi OAP. Menurutnya, pembangunan cenderung berpola nasional dan mengabaikan pola lokal, kurang menyentuh kebutuhan dan hak-hak asasi rakyat, dan pemerintah meredam perlawanan dengan memekarkan provinsi.

“Pemekaran wilayah lebih bersifat politik, berorientasi untuk meningkatkan prestise negara, bukan menunjukkan niat memajukan penduduk. Perlu dilihat dengan baik karakteristik wilayah apabila akan mengadakan pemekaran wilayah. Perubahan dan perbaikan akan terjadi hanya jika pemerintah serius mensejahterakan orang di Papua, terutama OAP,” ungkapnya.

Terkait persoalan bertambahnya provinsi di Papua, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengungkapkan jika rencana pembentukan DOB perlu dievaluasi.

“Ketua Dewan Pengarah BRIN, Ibu Megawati, sudah menyampaikan kritik terhadap Mendagri tentang kebijakan pemekaran daerah sehingga BRIN diminta melakukan riset tentang potensi pemekaran daerah,” ujarnya.

Cahyo juga menambahkan kecenderungan paradigma proses pembangunan dilaksanakan dari sudut pandang Jakarta, seperti melihat Papua dari Monas. Kebijakan pemekaran Mendagri saat  ini didasarkan pada premis bahwa ‘uang adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah di Papua’.

“Semakin banyak investasi yang berjalan, semakin lumpuh daya otonomi orang Papua. Papua akan semakin bergantung pada bantuan-bantuan dari Jakarta. Ini harus dikoreksi,” pungkas Cahyo. (*)

Humas MPR

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Wakil Ketua DPR RI Setuju Tunda DOB Sampai Putusan MK

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Sufmi Dasco Ahmad menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib di Gedung Nusantara III DPR RI, Selasa, (26/4/2022). -for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Sufmi Dasco Ahmad menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib di Gedung Nusantara III DPR RI, Selasa, (26/4/2022).

Hadir pada pertemuan tersebut Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny, tenaga ahli Joram Wambrauw, staff khusus MRP Andi Andreas Goo, staff khusus Onias Wenda, maupun Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Menurut Dasco, penduduk asli Papua harus diberi kesempatan untuk menyampaikan masukan atas kebijakan perubahan UU Otonomi Khusus dan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).

“Tentu wajar jika kemudian MRP berusaha menyalurkan aspirasi orang asli Papua. Ini bagus, dan perlu dicarikan jalan keluar yang terbaik agar tidak menimbulkan eskalasi konflik yang tinggi,“ kata Dasco.

“Saya sudah mendengarkan. Dua poin yang saya catat. Pertama, tentang evaluasi UU Otsus Papua yang diminta oleh MRP supaya transparan dan terbuka bagi MRP untuk melaksanakan tugas sesuai UU. Kedua, terkait dengan aspirai menunda DOB,“ lanjutnya.

“Memang pada 12 April lalu, rapat paripurna DPR RI sudah mengesahkan tiga RUU DOB sebagai RUU Usul Inisiatif DPR RI. Tapi dengan masukan MRP saya akan sampaikan pada pimpinan DPR lainnya, termasuk rekan-rekan di Komisi II, agar mempertimbangkan penundaan RUU DOB sampai ada putusan MK,“ katanya.

Aspirasi yang disampaikan tersebut, menurut Dasco, sangat masuk akal. “Sebagai penduduk asli Papua yang merasakan dampak dan manfaat UU Otsus, tentu apabila diberikan kesempatan untuk memberikan masukan, tentu sangat wajar. Apalagi MRP telah meminta masukan dari penduduk di 28 kabupaten,“ kata Dasco yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.

Dasco menjelaskan, DPR RI telah mengirimkan kepada Presiden dan DPR menunggu adanya surat presiden. “Tanpa ada surpres maka RUU ini tidak akan bisa dibahas. Saya akan sampaikan kepada DPR untuk menunda terlebih dahulu pembahasan keitga RUU DOB sampai ada putusan MK,“ pungkasnya.

Sebelumnya Timotius menjelaskan, MRP meminta DPR RI menangguhkan rencana pembentukan DOB. Pertama, pemerintah sedang memberlakukan moratorium kebijakan pemekaran wilayah dan pembentukan DOB. Kedua, karena rencana kebijakan DOB tidak didukung oleh kajian ilmiah. Ketiga, pengalaman dalam pembentukan DOB selama ini tidak memiliki PAD yang tinggi, bahkan rendah sehingga membebani APBN. Keempat, DOB tidak dilakukan dengan aspirasi dari bawah.

“Perubahan UU yang menambahkan ayat 1 dan ayat 2 membuat otonomi khusus tidak lagi menjadi pendekatan dari bawah ke atas, melainkan pendekatan dari atas ke bawah yang sentralistik,“ tutup Timotius.

Dalam kesempatan yang sama, Usman menambahkan bahwa kebijakan yang sepihak dalam hal perubahan UU Otsus maupun pemekaran provinsi jelas merugikan hak-hak orang asli Papua. “Orang asli Papua berhak untuk memperoleh informasi tentang rencana-rencana kebijakan yang berdampak pada mereka. Mereka juga berhak untuk diajak konsultasi, termasuk memberikan pendapat. Dan mereka juga berhak untuk dimintai persetujuan terkait perubahan UU, pemekaran provinsi, atau rencana penambangan emas seperti di Intan Jaya, jelas Usman.

“Jika pemerintah dan DPR RI mau menangguhkan rencana pembentukan DOB, maka hal itu bisa mengurangi peningkatan eskalasi konflik, kekerasan, dan pelanggaran HAM di Papua. Sudah ada 12 kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Intan Jaya. Dan sudah ada tua orang asli Papua tewas ketika menyampaikan pendapat menolak DOB,“ tutupnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Temui MRP dan MRPB, Presiden Janji Hormati Putusan MK

Anggota MRP dan MRPB berfoto bersama sebelum bertemu Presiden Jokowi di Istana Presiden – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Presiden RI Ir. Joko Widodo menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan MRP Papua Barat (MRPB) di Istana Merdeka pada hari ini, Senin, (25/4/2022).  

Dalam pertemuan tersebut hadir pimpinan MRP Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), Benny Sweny (Ketua Panitia Musyawarah MRP), Joram Wambrauw (tenaga ahli MRP) dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Sementara itu dari MRP Papua Barat hadir Maxsi Nelson Ahoren dan sejumlah pimpinan MRPB lainnya.

Saat menerima delegasi MRP dan MRPB, Presiden didampingi oleh Menkopolhukam Mahfud MD, Mendagri Tito Karnavian, dan Deputi V Kantor Staff Presiden Jaleswari Pramodhawardani.

Kepada Presiden, Timotius menyampaikan apresiasi atas perhatian Jokowi yang telah berkunjung ke Papua selama belasan kali. “Kunjungan itu amat berharga karena mencerminkan perhatian dan kepedulian Presiden dalam membangun Papua. Namun demikian, MRP menemukan adanya dua masalah. Pertama, MRP menyesalkan proses perubahan UU yang tidak melalui usul rakyat Papua melalui MRP dan DPRP, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 77 UU Otsus. Substansinya pun banyak merugikan hak-hak orang asli Papua sehingga kami mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,“ kata Timotius.

Menurut Timotius, Pasal 77 sangat penting agar ada konsultasi dan partisipasi rakyat Papua, sesuai amanat Bapak Presiden tanggal 13 Februari 2020 yang mengajak semua pihak untuk mengevaluasi efektifitas pelaksanaan UU Otonomi Khusus selama 20 tahun.

Timotius menjelaskan, substansi UU hasil perubahan ternyata mengandung banyak pasal yang merugikan hak-hak orang asli Papua. Banyak pasal yang berubah tidak sesuai isi surat Presiden tertanggal 4 Desember 2020 yang mengamanatkan perubahan terbatas tiga pasal: ketentuan umum, keuangan daerah, dan pemekaran wilayah.

Akan tetapi, setelah dibahas DPR RI justru terdapat 19 pasal yang berubah. Menurut kajian MRP, terdapat sembilan pasal merugikan hak-hak orang asli Papua. Karena itulah, MRP Papua dan MRP Papua Barat mengajukan uji materi ke MK.

Kedua, kami juga menyesalkan pembentukan DOB yang tidak melibatkan MRP sesuai ketentuan Pasal 76 UU Otsus yang menyatakan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Ini artinya tanpa persetujuan MRP dan DPRP, tidak boleh ada DOB, tegasnya.

Ketua Tim Panmus MRP Benny Sweny yang juga turut berbicara kepada presiden menambahkan, dari belasan kali kunjungan Presiden ke Papua, belum pernah satu kali pun mengunjungi MRP yang merupakan rumah rakyat Papua.

“Dalam kesempatan berikutnya, mohon Bapak Presiden agar berkunjung ke MRP, karena lembaga ini adalah rumah rakyat Papua.

Menanggapi aspirasi MRP, Jokowi mengaku heran mengapa proses perubahan UU Otsus dianggap tidak melibatkan partisipasi orang asli Papua. Begitupula materinya yang dianggap bermasalah. Pemerintah menghargai langkah MRP menempuh uji materi ke MK. Pemerintah akan menghargai dan menghormati putusan MK.

“Mengenai proses perubahan kedua UU Otsus, sejauh laporan yang saya terima, telah melibatkan DPR RI dan DPD RI, termasuk DPRP dan MRP. Tetapi jika memang ada materi yang sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi, kami akan menghargai, menghormati, dan patuh apa pun putusan MK,“ kata Presiden.

“Mengenai tuntutan pemekaran provinsi, ini memang sering menjadi aspirasi dari daerah. Hampir setiap saya ke daerah, selalu ada tuntutan untuk pemekaran provinsi. Dalam catatan pemerintah,m tercatat dalam data diperhitungkan kondisi fiskal keuangan negara, termasuk potensi APBD daerah. Jangan sampai membebani APBN,“ jelas Presiden.

“Saya ingin menegaskan bahwa pemekaran provinsi bukan hal yang mudah.Kalau ada yang belum baik, kita harus bicarakan lagi. Silahkan melalui menteri-menteri, dan jika masih tidak puas, saya tetap membuka diri. Mengenai undangan MRP, saya tunggu dan saya akan kunjungi MRP segera,“ kata Presiden kepada MRP.

Usai pertemuan, Usman menyampaikan secara langsung kepada Presiden tentang laporan terbaru Amnesty yang menunjukkan memanasnya situasi di Papua, khususnya Intan Jaya. “Saya utarakan juga kepada Presiden tentang meningkatnya kehadiran pasukan militer, seiring dengan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di Intan Jaya, Papua,“ katanya.

Latar belakang

Sebelumnya ramai diberitakan tentang polemik pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru. Pada 12 April lalu, DPR RI mengesahkan tiga RUU usul inisiatif berupa RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Papua Tengah, dan RUU Tentang Pegunungan Tengah.

Berbagai kalangan pemerhati Papua menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang ingin membentuk DOB di Papua. Mereka menilai, kebijakan itu menyalahi ketentuan Pasal 76 yang mengamanatkan agar pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.

Selain itu, pemekaran juga hanya bisa dilakukan setelah pemerintah mempertimbangkan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.

Kesatuan sosial budaya penting karena Papua memiliki 250 suku yang sangat beragam. Kebijakan yang keliru dapat memicu konflik baru atau memecah belah Papua, seperti editorial The Jakarta Post pekan lalu.

MRP mengingatkan bahwa pemerintah wajib menghormati ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya….“

MRP juga meminta pemerintah memperhatikan faktor kesiapan sumber daya manusia (SDM) di Papua karena saat ini banyak kantor pemerintahan provinsi yang kekurangan SDM, terutama orang asli Papua. Belum lagi situasi keamanan.

Menurut MRP, faktor kemampuan ekonomi juga penting diperhatikan dalam pemekaran wilayah. Alasan ekonomi seperti pendapatan asli daerah (PAD) adalah salah satu alasan Pemerintah pusat memberlakukan moratorium pemekaran provinsi.

Berbagai kalangan mempertanyakan apakah pemekaran Papua telah melalui sebuah kajian ilmiah berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut. (*)

Humas MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Presiden PKS Akan Perjuangkan Usul MRP Tunda DOB

Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua melanjutkan road show menemui pimpinan partai politik nasional. Akhir pekan ini MRP menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu di Kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS, Jakarta, Sabtu siang (23/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua melanjutkan road show menemui pimpinan partai politik nasional. Akhir pekan ini MRP menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu di Kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS, Jakarta, Sabtu siang (23/4/2022).

Ahmad menyambut positif kunjungan MRP dan berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi MRP melalui Fraksi PKS di DPR RI, khususnya Komisi II yang bermitra dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.

“Aspirasi MRP terkait amandemen kedua UU Otonomi Khusus sudah kami tangkap baik. Kami juga mencermati, seringkali proses perundang-undangan berjalan terlalu cepat. Sehingga banyak hal terlewati, termasuk RUU DOB yang menimbulkan polemik,” kata Ahmad yang mengenakan batik bercorak Papua.

“Kami menerima aspirasi MRP dan meminta Fraksi PKS untuk memperjuangkan aspirasi MRP di DPR RI. Saya akan meminta fraksi PKS di DPR RI khususnya di Komisi II agar mengawasi undang-undang’ini, termasuk memperjuangkan aspirasi MRP. Untuk Papua, perlu kearifan lokal,” katanya.

Menurut Timotius, MRP berharap sekali agar pemerintah pusat dan DPR RI mendengar aspirasi masyarakat orang asli Papua.

“Proses pengesahan perubahan kedua UU Otonomi Khusus pada Juli 2021 lalu tidak melibatkan representasi orang asli Papua. Sekarang ada Daerah Otonomi Baru, juga tanpa melibatkan representasi orang asli Papua. Ini sangat disayangkan,” katanya kepada segenap pengurus pusat PKS.

Ahmad didampingi oleh anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera menambahkan dan Wakil Sekretaris Jenderal PKS Soegeng Susilo

“Sudah diketuk oleh paripurna. Tapi RUU ini masih menunggu surat presiden. Selama itu belum ada, maka RUU ini belum bisa berjalan ke tingkat Panitia Kerja. Apa pun, kami akan selalu merujuk pertimbangan dari MRP. Saya sampaikan ke pimpinan Komisi II yang memang belum bertemu banyak pihak,” kata Mardani.

Selain Timotius, pimpinan MRP yang hadir antara lain Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait, dan Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny. Hadir pula sejumlah staff ahli dan staff khusus MRP Onias Wenda, Andreas Goo, mantan anggota Tim Perumus UU Otsus 21/2001 Joram Wambrauw.

Benny menyesalkan pembentukan DOB yang terburu-buru dan tanpa diikutin oleh kajian.

“UU Otsus setidaknya memberi empat syarat yaitu kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, potensi pendapatan daerah, dan perkembangan sosial di masyarakat,” katanya.

Sementara itu Yoel menambahkan bahwa pemekaran sebagai solusi untuk meredam Papua Merdeka itu keliru. Malah bisa jadi boomerang bagi pemerintah pusat. “Kami mohon pimpinan partai politik memberikan rasa keadilan untuk Papua,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, akademisi senior Joram Wambrauw mengatakan jika RUU ini dipaksakan, maka orang Papua akan semakin merasa dihinakan. “Saya dulu tinggal 10 bulan di Jakarta untuk ikut serta dalam proses perumusan UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus. Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi itu bukan seperti sekarang ini caranya, tapi wajib mendapat persetujuan MRP,” katanya.

Seperti diberitakan, MRP melalukan road show menemui pimpinan partai politik di Jakarta. Selain PKS, mereka juga menemui pimpinan Partai Gerindra, PPP, Golkar, PAN, dan lainnya. Mereka juga tengah berupaya untuk bertemu dengan pimpinan PDIP, Partai Demokrat, dan Partai Nasional Demokrat. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Dikunjungi MRP, Ketum PKB Janji Sampaikan Harapan Penundaan DOB

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menerima Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib di komplek Widya Chandra, Jakarta, Jum‘at, (22/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menerima Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib di komplek Widya Chandra, Jakarta, Jum‘at, (22/4/2022).

Dalam permasalahan Papua, menurut Muhaimin, yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah sikap kesediaan untuk mendengar apa yang menjadi kemauan dari masyarakat orang asli Papua, serta sikap saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah Papua. Dengan demikian, aspirasi untuk menunda pemekaran wilayah atau pembentukan DOB Papua akan mudah diterima.

“Yang harus dijadikan pegangan adalah apa yang menjadi kemauan masyarakat orang asli Papua. Itulah yang harus kita ikuti. Mengenai RUU Pembentukan Daerah Otonomi Baru DOB, prosesnya masih panjang. Karena (RUU) ini baru sebatas inisiatif. Di luar urusan DOB, yang penting adalah adanya rasa saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah Papua,“ kata Muhaimin.

Timotius menyampaikan pentingnya MRP dilibatkan. “Bahkan Otonomi Khusus Papua memberi amanat penting agar pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan dengan melibatkan MRP. Bukan hanya dimintai pertimbangan. Tetapi juga dimintai persetujuannya. Sayang, proses pembentukan DOB saat ini sangat tergesa-gesa,“ kata Timotius.

Saat menerima kunjungan MRP, Muhaimin didampingi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Jazilul Fawaid, Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Reza, dan Ketua Fraksi PKB Cucun Ahmad Syamsurijal.

Jazulil mengatakan, seharusnya ini bukan RUU inisiatif DPR RI. Melainkan pemerintah. “Karena ini mengenai otonomi daerah. Ternyata dicantolkan ke DPR RI. Di Senayan sendiri, sosialisasinya pasti tak merata. Sekarang, MRP perlu mengawal Komisi II DPR. Tanpa rekomendasi MRP akan berat. DPR harus meyakinkan MRP. Tidak mungkin tanpa dibantu oleh pemerintah“, kata Jazulil.

Selain Timotius, hadir pula Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny, staff khusus Ketua MRP Onias Wenda, staff khusus MRP Andreas Goo, staff MRP Joram Wambrauw dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Sementara itu Benny menjelaskan, seharusnya proses pengajuan RUU DOB tersebut dimulai dari MRP selaku lembaga representasi kultural orang asli Papua yang diberi wewenang untuk memberi persetujuan atas pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi.

“Setelah dari MRP, barulah kemudian RUU tersebut diajukan kepada Mendagri untuk selanjutnya diajukan kepada DPR RI. Dalam pembahasannya pun, berbagai komponen masyarakat yang telah memperhatikan situasi Papua selama ini dimintakan pendapatnya,“ kata Benny.

“PKB pada prinsipnya tidak masalah. Kepercayaan sudah terbangun. Hampir semua aspirasi Papua senantiasa kami ikuti melalui wakil-wakil PKB. Kalau rasa saling percaya yang menyeluruh antara pemerintah harus terbangun, maka ketika nanti membatalkan inisiasi pemekaran itu benar-benar mudah. Mengenai harapan pimpinan MRP, pasti kami sampaikan ke Presiden,” lanjut Muhaimin.

Sementara itu, Timotius mengatakan, MRP sangat menghargai pendapat Muhaimin sebagai salah satu pimpinan DPR RI dan juga ketua umum dari salah satu partai yang besar di Papua.

“MRP optimis. Sebagai pimpinan partai besar, Pak Muhaimin pasti bersedia mempertimbangkan aspirasi masyarakat orang asli Papua terkait penundaan DOB untuk disampaikan kepada pimpinan partai politik nasional lainnya,“ ujar Timotius.

Dalam kesempatan yang sama, Yoel mengonfirmasi adanya surat MRP meminta penundaan DOB yang telah diserahkan MRP kepada sejumlah pimpinan partai politik.

“Kami menyampaikan surat sekaligus menemui Pak Zulkifili Hasan, Pak Airlangga Hartanto dan Pak Suharso Monoarfa. Kami juga tengah berupaya menemui Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),“ tambahnya.

Baru-baru ini, Megawati juga menyindir Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang dinilai mendorong pemekaran provinsi tanpa didasarkan pada kajian ilmiah. Megawati lantas meminta Mendagri agar melakukan riset dahulu melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Putri proklamator Soekarno ini juga sempat mengeluhkan rendahnya Pendapatan Asli Daerah dari DOB selama ini.

Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan, pemekaran provinsi belum tentu dapat menurunkan eskalasi konflik bersenjata di Tanah Papua, khususnya di Intan Jaya.

“Riset terbaru Amnesty Internasional menunjukkan kuatnya kepentingan perebutan sumber daya alam di Papua Tengah dan Pegunungan Tengah. Ini adalah dua wilayah yang menjadi target DOB,“ kata Usman.

“Protes menolak DOB telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa seperti yang terjadi dalam aksi protes di Yahukimo. Jika pemerintah menunda, maka itu akan meredakan situasi di lapangan. Situasi lapangan memperlihatkan potensi eskalasi konflik dan memburuknya situasi HAM di Papua, terutama karena terkait rencana tambang emas di Intan Jaya, Papua,“ kata Usman.

Seperti diberitakan sebelumnya, pimpinan MRP tengah berada di Jakarta untuk menyuarakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat orang asli Papua yang sebagian besar menolak pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua menjadi provinsi-provinsi.

MRP menemui sejumlah Menteri dan pimpinan partai-partai politik. Di antaranya adalah Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud MD, Menteri Kordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga merupakan ketua umum Partai Golongan Karya (Golkar), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa yang juga merupakan ketua umum Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) dan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. MRP masih berupaya menemui Ketua Umum PDIP, Partai Demokrat dan Partai Demokrat.

MRP juga dijadwalkan akan menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu pada akhir pekan ini di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Pusat Menegakkan Hak Konstitusional Orang Asli Papua (OAP)

Public Virtue Research Institute (PVRI), Majelis Rakyat Papua (MRP), serta akademisi dan aktivis perempuan papua – for MRP

JAKARTA, MRP – Public Virtue Research Institute (PVRI), Majelis Rakyat Papua (MRP), serta akademisi dan aktivis perempuan papua mendesak Pemerintah Pusat untuk menunda pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) dan berharap Mahkamah Konstitusi (MK) Kabulkan Gugatan MRP.

Hal ini disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute bertajuk “Judicial Review untuk Otonomi Khusus yang Aspiratif” (21/04/22), yang dimoderatori jurnalis Kompas Josie Susilo. Dalam acara tersebut, peneliti PVRI Fanya Tarissa mengungkapkan bahwa judicial review yang dilakukan oleh MRP merupakan wujud dari lahirnya kebijakan yang tidak demokratis dan mengabaikan hak konstitusional OAP.

“Gugatan MRP ke MK atas revisi UU Otsus yang terjadi hari ini merupakan perjuangan untuk meraih afirmasi dan rekognisi OAP. Minimnya ruang dialog dan rancangan pembangunan berbasis aspirasi OAP menjadi sebab mengapa pemerintah Indonesia mengalami krisis legitimasi sosial di Papua. Menjadi penting untuk menunda pemekaran,” ujar Fanya.

Timotius Murib selaku Ketua MRP membenarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, UU Otsus yang baru secara substansial dan material cacat, secara prosedural dan formal juga cacat. Perubahan UU Otsus Papua terdapat adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional rakyat Papua.

“Pengambilan kebijakan yang berdampak pada OAP sudah semestinya dijalankan secara demokratis dengan mengedepankan dialog dan hak-hak konstitusional OAP. Pemerintah belum serius dalam memenuhi tiga kewajiban: menginformasikan, melakukan konsultasi dan mendapatkan persetujuan dari masyarakat asli Papua,” ungkap Timotius.

Timotius juga mengingatkan bahwa keberadaan Otsus sudah semestinya dianggap sebagai capaian OAP dalam menempatkan diri sebagai bagian dari Indonesia. “Latar belakang lahirnya UU Otsus Papua itu bukan sebuah hadiah, tetapi pencapaian orang Papua dalam rangka menempatkan dirinya sebagai bagian dari negara Indonesia,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, aktivis perempuan asal Papua Javier Rosa menyayangkan 20 tahun keberadaan Otsus masih ditemui sentralisasi pembangunan dan minim upaya meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan terhadap OAP. Menurutnya, situasi ini membutuhkan evaluasi berbasis aspirasi masyarakat.

“Orang Papua tidak merasa menjadi aktor utama dalam proses pemerintahan Papua sendiri. Pejabat-pejabat orang Papua memang sudah dilaksanakan kewenangannya, tapi bagaimana dengan kewenangan lainnya seperti yang disampaikan Pak Murib? Jakarta menjalankan kontrol yang sentralistik,” ungkapnya.

Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar yang merupakan Ahli Pemohon pengujian UU Otsus Papua menguatkan argumen narasumber yang lainnya. Menurut dia, kepastian hukum dalam konteks pemberian peraturan yang lebih kuat haruslah berbasis aspirasi OAP.

“Kalau kita bicara soal otonomi khusus, pemberian peraturan yang lebih tepat harus berasal dari aspirasi daerah. Salah satunya adalah memberi porsi kewenangan terhadap lembaga representasi kultural OAP,” ujarnya.

Zainal juga menegaskan bahwa minimnya ruang aspirasi OAP akan berdampak pada ancaman otoritarianisme di Papua.

“Poin yang saya mau bilang adalah salah satu problem Papua muncul karena kepentingan elite nasional yang terlalu banyak bermain di sana. Karenanya, kalau kita biarkan lagi, misalnya proses-proses pemekaran dan lain‑lain sebagainya, tanpa melalui tahapan persiapan, saya mengatakan norma ini bisa menjadi sentralistik dan di ujungnya bisa jadi menjadi sangat otoritarian Bisa jadi menjadi kepentingan pemerintah pusat saja,” tegasnya. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Majelis Rakyat Papua (MRP) Gugat UU 2/2021 Tentang Otsus Papua Ke Mahkamah Konstitusi

Tim Hukum dan Advokasi MRP sebagai principal dalam permohonan Uji Materiil terhadap UU Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua kepada Mahkamah Konstitusi. Ist

JAYAPURA, MRP – Jakarta, 30 Agustus 2021. Kami, Tim Hukum dan Advokasi MRP yang terdiri dari ; Saor Siagian, S.H., M.H., Imam Hidayat, S.H., M.H., lr. Esterina D. Ruru, Dr. S. Roy Rening, S.H., M.H., Rita Serena Kolibonso, S.H., LL.M, Lamria Siagian, S.H., M.H., Ecoline Situmorang, S.H., M.H., Alvon Kurnia Palma, S.H., M.H., Haris Azhar, S.H., M.A. dan Muniar Sitanggang dalam hal ini mewakili Majelis Rakyat Papua sebagai principal dalarn permohonan Uji Materiil terhadap UU Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua kepada Mahkamah Konstitusi. Permohonan pengujian materiil ini, kami daftarkan pada hari ini, Rabu, 30/08/2021 yang juga bertepatan dengan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional.

Tim Hukum dan Advokasi adalah para advokat yang ditunjuk oleh MRP dalam rangka menindaklanjuti MoU (Nota Kesepahaman) antara MRP dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) Rumah Bersama Advokat. Pendaftaran permohonan pengujian ini kami lakukan karena dalam muatan pasal UU tersebut terdapat pasal-pasal yang merugikan hak-hak konstitusional Orang Asli Papua (OAP) yang dalam hal ini diwakili oleh Principal (MRP). Revisi UU Otsus ini merupakan revisi terbatas sebagaimana surat presiden pada tanggal 20 Desember kepada DPR. Hal tersebut diperkuat lagi sebagaimana dalam Naskah Akademik (NA) RUU Otsus 2021. Dalam NA tersebut, ditemukan adanya revisi norma yang terdapat dalam Pasal 1, mengatur tentang ketentuan umum; Pasal 34, mengatur tentang Dana Otsus; dan pasal 76 mengatur tentang pemekaran daerah/provinsi. Ironisnya, dalam UU 2/2021 ini ditemukan adanya penghapusan norma dan pembuatan norma baru yang sama sekali tidak memiliki landasan konseptual/teoritik dalam naskah akademik. Padahal seharusnya tujuan NA dibuat agar peraturan perundang-undangan sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang akan memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan peraturan perundang-undangan.

Adapun sejumlah pasal yang kami ajukan dalam permohonan pengujian materiil ini adalah Pasal 6 dan Pasal 6A tentang pengangkatan anggota DPRP dan DPRK; Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) tentang penghapusan partai politik lokal; pasal 38 ayat (2) tentang norma diskriminasi yang memberikan perlindungan kepastian hukum hanya kepada pengusaha di Papua; Pasal 59 ayat (3) tentang pelayanan

kesehatan dengan frasa “beban masyarakat serendah-rendahnya”; Pasal 68A berkenaan dengan Pembentukan Badan Khusus yang dipimpin oleh Wapres dan berkedudukan di Papua; Pasal 76 tentang pemekaran daerah tanpa melibatkan MRP, DPRP dan Gubernur; dan Pasal 77 UU 21/2001 tentang Perubahan usulan perubahan UU Otsus melalui MRP dan DPR. Kami berpandangan, bahwa pasal-pasal tersebut telah nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRl 1945 dan oleh karena itu, kami memohon kepada Mahkamah agar pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Pengujian permohonan ini diajukan oleh MRP sebagai pengingat bagi bangsa ini atas kekhususan Papua sebagaimana Tap MPR No. 1V/MPR/1999 GBHN 1999-2004, TAP MPR No. lV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dan UU No. 21/2001 tentang Otsus Papua. UU Otsus Papua merupakan bagian dari komitmen kebangsaan pasca reformasi sebagai upaya bangsa Indonesia menyelesaikan konflik yang telah merugikan Orang Asli Papua (OAP) selama puluhan tahun lamanya yang tidak dapat dikonversikan dalam bentuk apa pun.

Oleh karena itu, kami berharap MK sebagai penjaga konstitusi the guardian of constitution dapat mengadili perkara ini secara objektif sebagaimana UU MK yang berwenang menguji UU terhadap UUD Tahun 1945. Pada akhirnya kami Tim Hukum dan Advokasi MRP menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada rekan-rekan media atas peliputan permohonan pengujian materiil yang kami lakukan untuk menjaga Marwah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila & UUD Tahun 1945.

Read More

Categories Siaran Pers

MRP dan MRPB menetapkan agenda bersama untuk melaksanakan RDP OAP

Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) Maxsi Ahoren menyatukan agenda bersama mengenai pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan Rapat Pleno Luar Biasa tentang 20 tahun efektivitas pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 – Humas MRP

 

JAKARTA, MRP – MRP dan MRPB menetapkan agenda bersama untuk melaksanakan RDP OAP tentang Efektifitas Pelaksanaan Otsus di Tanah Papua, dan Mengkomunikasikannya dengan Kemendagri.

Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatukan agenda dan menyerahkan keputusan Pleno Luar Biasa kepada Kementerian Dalam Negeri RI dan DPR RI.  Ini sebagai bagian dari mempersiapkan Rapat Dengar Pendapat dan Pleno Luar Biasa mengenai dua puluh tahun efektivitas pemberlakuan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Jakarta, 1 September 2020: Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua tengah menjadi perhatian serius pemerintah dan warga Papua. Hal ini terkait dengan rencana Pemerintah Pusat untuk revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dimana telah menciptakan sikap pro dan kontra dari pihak warga masyarakat. Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat melakukan kunjungan kerja pada 31 Agustus – 4 September 2020 di Jakarta.

Kunjungan kerja ini merupakan bagian dari agenda bersama kedua lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008  tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dimana menjadi representasi kultural orang asli Papua.

MoU MRP dan MRPB

Agenda bersama MRP dan MRPB telah disepakati dan dituangkan dalam sebuah Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh Ketua MRP dan Ketua MRPB pada 1 September 2020 di Golden Boutique Hotel, Jakarta.

Penandatangan MoU ini didahului dengan sebuah sesi pertemuan bersama antara MRP dan MRPB dimana membahas point-point MoU mengenai pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat Umum dan Rapat Pleno Luar Biasa tentang dua puluh tahun efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan bahwa kerjasama MRP dan MRPB sebagai upaya dari orang asli Papua untuk melihat pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus dan mencari solusi terbaik demi masa depan orang asli Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

“Sebelum melihat lebih dalam mengenai efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, MRP dan MRPB melakukan sesi pertemuan bersama dengan diakhiri penandatanganan MoU bersama sebagai kesepakatan bersama kedua lembaga negara ini dalam melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum dan Pleno Luar Biasa bersama orang asli Papua,“ tegas Ketua MRP.

Senada dengan Ketua MRP, Maxsi Ahoren selaku Ketua MRPB menegaskan bahwa kerjasama ini adalah momentum dimana orang asli Papua bersatu dalam memikirkan masa depannya. “Kami dari MRPB melihat kerjasama antara kami dan MRP sebagai momentum dalam menjalankan mandat Pasal 77 dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, “ ungkapnya.

Menarik Kembali Draf Revisi UU Otsus Papua

Salah satu agenda bersama MRP dan MRPB selama di Jakarta adalah meminta kembali draft UU Revisi Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua untuk dibahas bersama orang asli Papua.

Hari ini, 1 September 2020, delegasi MRP dan MRPB yang dipimpin langsung oleh Ketua MRP dan Ketua MRPB berkunjung dan bertemu dengan Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus dan DPOD, Drs. Maddaremmeng, M.Si di Kantor Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, Jakarta.

Kegiatan ini merupakan bagian dari Rapat Koordinasi dengan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia untuk menyampaikan rencana Rapat Dengar Pendapat dari MRP dan MRPB bersama orang asli Papua mengenai efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan menyerahkan hasil keputusan Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB pada tanggal 28 Februari 2020 di Sentani, Jayapura. Salah satu keputusan dari Pleno Luar Biasa itu adalah MRP dan MRPB meminta kembali draf Undang-Undang Otsus Plus yang telah diserahkan ke Kemendagri.

“Pada dasarnya kami menyampaikan kepada Kementrian Dalam Negeri tentang rencana RDP dan meminta kembali draf Undang-Undang Otsus Plus. Kementrian Dalam Negeri sangat mendukung rencana pelaksanaan RDP dari MRP dan MRPB,”ungkap Maxsi Ahoren, Ketua MRPB setelah pertemuan di Kantor Kementrian Dalam Negeri RI.

Lebih lanjut Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan, “Sebelum merevisi kebijakannya mengenai Otonomi Khusus di tanah Papua, pemerintah Pusat dan DPR RI harus mendengarkan suara orang asli Papua, khususnya solusi yang ditawarkan oleh orang asli Papua untuk masa depannya.”

Selain dengan Kementrian Dalam Negeri RI, MRP dan MRPB mengagendakan pertemuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 3 September 2020 dimana juga akan meminta untuk mengambil kembali draf revisi UU Otonomi Khusus Papua yang telah masuk dalam Prolegnas 2020 DPR RI.

“Upaya MRP dan MRPB untuk meminta kembali draf revisi UU Otonomi Khusus Papua itu adalah bagian dari konsistensi MRP dan MRPB dalam melaksanakan perintah Pasal 77 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,” tegas Ketua MRP, Timotius Murib.

Humas MRP

 

Read More