Categories BeritaPokja Agama MRP

Partisipasi Perempuan Asli Papua Dalam Pemilu 2024 Harus Diperioritaskan

JAYAPURA, MRP – Pemenuhan hak politik perempuan asli Papua dalam pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2024 di tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) harus diberi ruang dan kesempatan untuk perempuan asli Papua juga bisa tampil mengisi kursi legislatif.

Hal tersebut disampaikan Helena Hubi, ketua Pokja Agama Majelis Rakyat Papua. Minggu, (5/1/2023).

Kata Helena, pemberian ruang kepada perempuan asli Papua dalam politik sudah diatur dalam 12 keputusan Majelis Rakyat Papua, dimana salah satu pointnya merujuk pada keputusan MRP nomor.7/MRP/2022 tentang pemenuhan hak politik perempuan asli Papua dalam pelaksanaan pemilihan umum legislatif.

“Perempuan Papua hari ini harus di perioritaskan terutama di daerah DOB, memberikan ruang yang sama untuk mereka (perempuan) maju karena perempuan juga ingin membangun daerahnya,” ujar mama Helena.

Majelis Rakyat Papua juga berharap kursi legislatif 30 persen untuk Perempuan harus diberikan sepenuhnya kepada perempuan asli Papua yang akan maju di daerah mereka masing-masing.

“Jangan sampai hak politik perempuan semua direbut oleh laki-laki, harus juga berikan ruang dan kesempatan ke perempuan, kita tidak tinggal di jaman dulu lagi,” ujarnya.

MRP juga berharap Pj Gubernur dari 4 Provinsi harus memikirkan perempuan Papua karena Partai politik baru dapat mengikuti Pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat. Penegasan tersebut diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

“Representasi perempuan di legislatif akan memberikan keseimbangan dalam mewarnai perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengawasan yang akan lebih berpihak pada kepentingan kesejahteraan perempuan dan anak,” ujarnya.(*)

 

Read More
Categories Berita

Kemendagri Perpanjang Masa Jabatan MRP 6 Bulan Kedepan

JAYAPURA, MRP – Melalui Rapat Pleno pembukaan masa sidang I Majelis Rakyat Papua tahun 2023, pada Senin (29/1/2023), menetapkan perpanjangan kerja anggota Majelis Rakyat Papua berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kementrian Dalam Negeri nomor: 100.2.1.4-6202 tahun 2022, tentang perpanjangan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Periode 2017-2022.

Hal tersebut disampaikan Yoel Luiz Mulait, Waket I MRP dalam rapat pleno pembukaan di ruang sidang Majelis Rakyat Papua di Kotaraja Luar.

“Perpanjangan anggota MRP akan berlanjut selama 6 bulan kedepan hingga adanya pemilihan anggota MRP yang baru di provinsi Papua,” kata Mulait.

Pimpinan dan anggota MRP masing-masing Pokja, alat kelengkapan dan PURT akan dilanjutkan oleh kepemimpinan yang ada sesuai kesepakan dalam rapat pleno pembukaan tadi.

“Selanjutnya proses SK perpanjangan pimpinan MRP akan diajukan kepada Gubernur Papua, melalui Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Papua, untuk proses lebih lanjut,” kata Mulait.

Mulait menjelaskan, langkan ini dilakukan MRP untuk memastikan legalitas kepemimpinan lembaga kultur, dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan hak-hak dasar Orang Asli Papua selama 6 bulan kedepan.

Dalam SK yang di tandatanggani Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian menetapkan perpanjangan masa jabatan anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua masa jabatan tahun 2017 – 2022, paling lama sampai dengan tanggal 20 Juni 2023 dengan susunan sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari keputusan Menteri. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Dampak DOB, Banyak Mahasiswa OAP Terancam Putus Kuliah

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) menerima pengaduan dari orang tua mahasiswa/I yang kuliah dibiayai oleh Pemerintah Provinsi Papua terancam putus dampak dari pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

Hal tersebut disampaikan, Yoel Luiz Mulait Wakil ketua I MRP menyikapi pengaduan yang diterima lembaga kultural orang asli Papua. Senin, (30/1/2023).

Kata Mulait, awal tahun MRP telah menerima banyak pengaduan dari orang tua mahasiswa/i yang kuliah di dalam negeri dan luar negeri dibiayai oleh Pemerintah Provinsi Papua.

“Dampak dari DOB, pembiayaan kuliah yang selama ini dibiayai oleh Pemprov Papua tidak mampu lagi untuk tanggulangi semua mahasiswa Papua karena dana terbatas tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,” kata Mulait.

MRP melihat dampak dari DOB ini tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat namun juga mahasiswa dalam studi mereka, sehingga Pemerintah Daerah Otonomi Baru untuk secepatnya lakukan inventarisir mahasiswanya sesuai asal daerah/kabupaten masing-masing.

“Dengan demikian beban biaya kuliah dapat di tanggulangi oleh kabupaten/kota masing-masing sesuai dengan kucuran dana pendidikan di masing-masing Daerah Otonomi Baru di tanah Papua oleh pemerintah pusat,” kata Mulait.

Mulait menambahkan, data yang ada di BPSDM Provinsi Papua, jumlah cukup banyak anak-anak Papua yang kuliah di dalam dan luar negeri, sehingga masing-masing Provinsi DOB terutama Provinsi Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Selatan agar segera lakukan pendataan mahasiswa untuk biayanya ditanggung oleh Pemda masing-masing sesuai asal daerah.

“Jika tidak, banyak mahasiswa yang bakal putus kuliah,” tegas Mulait.

MRP juga meminta pemerintah secara berjenjang harus bertanggungjawab atas masa depan anak-anak Papua, jangan karena DOB membuat banyak mahasiswa putus kuliah.

“Mereka adalah aset generasi emas Papua yang harus dipastikan masa depan mereka melalui Pendidikan, hari ini mereka terancam putus kuliah, ini harus ada solusi cepat, oleh Pemerintah Pusat juga Pemerintah Daerah, khusus nya DOB baru,” tegas Mulait. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Layanan Penkes Kritis, MRP Soroti Kebijakan Satu Pintu di Jayawijaya

JAYAPURA, MRP — Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan satu pintu di kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, dianggap sebagai penghambat jalannya efektifitas pendidikan dan kesehatan di distrik dan kampung yang jauh dari perkotaan.

Demikian diungkapkan Yoel Luiz Mulait, wakil ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP), menanggapi tak maksimalnya pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terus dikeluhkan masyarakat di kabupaten Jayawijaya.

Kata Mulait, dalam beberapa pekan terakhir media massa memberitakan masih adanya sekolah yang tak menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM) selama tiga tahun, kantor distrik dan rumah dokter yang hilang dalam rerumputan akibat tak ada aktivitas.

“Kondisi seperti itu seharusnya dikontrol oleh kepala distrik di masing-masing wilayahnya. Tidak ada pengawasan membuat semua berjalan sesukanya. Kepala distrik dan staf yang tidak masuk kantor, kepala sekolah dan guru tidak di tempat tugas, itu kan sangat disayangkan,” tuturnya.

Faktor lain, kata Mulait, pemerintahan selama empat tahun berjalan di kabupaten Jayawijaya hanya berpusat di kota Wamena saja. Hal itu mengakibatkan aktivitas di distrik dan kampung tak efektif.

“Urus KTP saja semua di kota. Kenapa tidak diarahkan ke kantor distrik masing-masing supaya ada aktivitas pemerintahan di distrik? Dengan adanya aktivitas di distrik, kepala distrik punya kewajiban untuk kontrol Puskesmas, Pustu, dan sekolah yang ada di wilayahnya. Seharusnya begitu,” kata Yoel.

Bila proses pemerintahan terfokus di kabupaten, ia pastikan aktivitas pemerintahan di distrik dan kampung tak akan berjalan efektif. Solusinya, kepala daerah harus berikan kewenangan penuh kepada bawahannya yaitu kepala distrik dan kampung untuk jalankan administrasi di sana.

Akibat dari itu kasus HIV/AIDS juga makin meningkat. Penyebabnya tak ada pengawasan serius dari pemerintah maupun dinas terkait.

“Nanti ada kasus baru muncul dan baku tegur. Itu yang tidak boleh terjadi. Kebijakan seperti ini disayangkan sekali,” kata Mulait.

Keluhan selalu diutarakan mengingat buruknya fakta di lapangan. Seperti kepala suku dan warga masyarakat yang ada di distrik Musatfak, bahkan mendesak Pemkab Jayawijaya segera ganti kepala Puskesmas (Kapus) distrik Musatfak.

Lazarus Alua, kepala suku di wilayah itu sangat kecewa dengan pelayanan kesehatan dari tenaga medis kesehatan yang ditugaskan di Puskesmas Musatfak.

Karena, kata Alua, petugas medis sering datang terlambat untuk membuka jam pelayanan. Belum lagi petugas datangnya cepat dan pulang lebih awal. Banyak pasien yang mau berobat, terpaksa harus menunggu bahkan memilih pulang ke rumah. Kadang pergi berobat ke kota Wamena.

Beberapa waktu lalu juga heboh dengan macetnya akivitas KBM di SD Negeri Logotpaga, distrik Asologaima. Selama tiga tahun anak-anak di sana tak lagi belajar. Penyebabnya, kepala sekolah dan guru tak di tempat tugas. (*)

Read More
Categories Berita

MRP Sarankan Pemprov Papua Pegunungan Pastikan Pemilik Sah 72 Ha Tanah Hibah di Welesi

JAYAPURA, MRP — Majelis Rakyat Papua (MRP) menyarankan penjabat gubernur Papua Pegunungan membuka ruang untuk menghadirkan pemilik hak wilayat wilayah Welesi agar memastikan kepemilikan sah dari tanah seluas 72 hektare yang dihibahkan ke pemerintah.

Hal tersebut dikemukakan Yoel Luiz Mulait, wakil ketua I MRP, menyikapi aksi pemalangan jalan oleh masyarakat Wouma di Wamena, beberapa waktu lalu.

Dari informasi yang diperoleh, kata Mulait, masyarakat Wouma tak terima karena tanah yang dihibahkan ke Pemprov Papua Pegunungan tanpa melibatkan pemilik ulayat dari wilayah Wouma.

“Pemerintah harus buka ruang untuk menghadirkan semua pihak, baik dari Welesi, Asolokobal dan Wouma untuk melihat dan memastikan batas-batas wilayah mereka. Hal ini penting agar prosesnya berjalan benar dan kemudian hari aksi palang memalang tidak terjadi lagi,” tegasnya, Jumat (27/1/2023).

Baca Juga:  Gempa Berkekuatan Magnitudo 4,8 Kembali Guncang Jayapura

Yoel menduga proses penyerahan tanah tidak sesuai aturan dan hanya dilakukan oleh pihak tertentu, pemilik ulayat lain merasa diabaikan. Makanya timbul permasalahan seperti terjadi belakangan.

“Pemerintah harus mendengarkan semua pihak, tidak boleh hanya satu dua orang serahkan, lalu klaim tanah itu. Tidak boleh pemerintah dengan tekanan keamanan, lalu abaikan pemilik ulayat,” ujarnya.

Pemerintah juga diminta harus melihat baik, tanya apakah lokasi dihibahkan itu tanah produktif atau tanah hamparan yang sama sekali tidak ada aktivitas masyarakat.

Baca Juga:  Respons Natalius Pigai Terhadap Vonis Bebas Terdakwa Kasus HAM Berat Paniai

“Lahan yang dihibahkan itu hampir semua lahan pertanian. Di sana masyarakat biasa bikin kebun dan lainnya. Kalau dihibahkan dan dibuat kantor, nanti masyarakat ini mau berkebun dimana? Orang Huwula hampir semua bergantung sama kebun dan ternak. Pemerintah harus lihat tempat strategis lain yang tidak ada aktivitas masyarakatnya,” tegas Mulait.

Sebelumnya, Pemprov Papua Pegunungan mengklaim lima suku di Welesi telah menghibahkan 72 hektare tanah untuk lokasi pembangunan kantor gubernur Papua Pegunungan.

Baca Juga:  Korban Kebakaran di Sentani Mendapat Bantuan Alat Tidur Dari Sekda Jayapura

Nikolaus Kondomo, penjabat gubernur Papua Pegunungan, mengaku lima suku besar di wilayah Welesi yakni suku Lani-Matuan, Yelipele, Lani-Wetapo, Assolipele, dan Yelipele-Elopere, telah mendatanginya.

“Kedatangan lima suku untuk menawarkan sekaligus menghibahkan tanah seluas 72 hektare untuk diberikan kepada Pemprov sebagai lokasi bangun kantor gubernur di wilayah adat mereka,” kata Kondomo.

Kedatangan mereka menurutnya tanpa minta biaya apapun atas tanah adatnya kecuali mereka minta kompensasi untuk anak-anak mereka harus direkrut jadi ASN setiap tahun di instansi pemerintahan provinsi Papua Pegunungan. (*)

Read More

Categories Berita

MRP Apresiasi Tim Save Tanah dan Manusia Huwula Di Jayawijaya

JAYAPURA, MRP – Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) memberikan apresiasi kepada tim Save Tanah dan Manusia Huwula di Jayawijaya dalam penyelamatan dan perlindungan terhadap tanah masyarakat adat untuk tidak diperjualbelikan.

Hal tersebut diungkapkan Yoel Luiz Mulait Wakil ketua I MRP ketika melakukan tatap muka dengan para pemilik wilayat suku Huwula di Wamena, beberapa waktu lalu. Rabu, (25/1/2023).

MRP secara kelembagaan, kata Mulait, sudah mengeluarkan keputusan Majelis Rakyat Papua No.3/MRP/2022 tentang larangan jual beli tanah di Papua.

“MRP telah mengeluarkan keputusan, untuk penerapan di lapangan harus dilakukan oleh para pemilik wilayat suku Huwula,” kata Mulait.

Ia juga berpesan kepada pemilik wilayat untuk mempertahankan tanahnya demi anak cucu mereka di kemudian hari agar mereka tidak jadi pendatang di tanahnya sendiri.

“Proses konsilidasi yang dilakukan tim Save Tanah dan Manusia Huwula perlu di dukung semua pihak, baik gereja, adat, pemuda, perempuan dan pemerintah dalam menjaga eksistensi masyarakat adat sebagai pemilik wilayat di wilayah Huwulama,” tuturnya.

MRP juga berpesan kepada setiap komponen yang hadir untuk terus sosialisasikan keputusan MRP ini di setiap suku/klan masing-masing, sampaikan juga di mimbar gereja, tiap kampung dan distrik.

“MRP juga minta dukungan dan kerja sama dari LMA dan DAP dalam perlindungan dan penyelamatan tanah adat sebagai bagian dari kepentingan bersama,” katanya.

Alex Kossay, salah satu pemilik wilayat wilayah Hubikiak mengaku kesadaran masyarakat Huwula dalam melindungi tanah adat belum dilakukan secara maksimal karena keterbatasan pemahaman.

“Lewat keputusan MRP dan kerja tim Save Tanah dan Manusia Huwula diharapkan dapat melindungi tanah adat yang ada di Huwulama (Wamena), karena kita tau sendiri hampir semua tanah dalam kota sudah di kuasai (dibeli) oleh pendatang, dan yang tersisa saat ini hanya tanah tempat Kramat dan kebun, kalau di jual nanti masyarakat berkebun dimana?” ujarnya.

Ia berharap langka yang di ambil tim dapat menyatukan semua suku/klan pemilik wilayat yang ada di Huwulama untuk bersama bersepakat tidak menjual tanah kepada siapapun.

“Saya berharap DOB ini juga tidak serta merta merampas hak masyarakat adat atas tanah mereka atas nama pembangunan,” tegasnya.

Read More
Categories Berita

Bertemu Kedubes Australia, MRP Sampaikan Situasi Papua Tidak Baik-Baik Saja

JAYAPURA, MRP – Pejabat Kedutaan Besar (Kedubes) Australia melaksanakan kunjungan kerja ke Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) guna ingin mendengar langsung kemajuan pembangunan di Papua di era Otonomi khusus (Otsus) Papua.

Kunjungan rombongan Kedubes Australia disambut oleh Wakil ketua I Majelis Rakyat Papua Yoel Luiz Mulait, pimpinan Pokja dan anggota MRP di salah satu hotel di Jayapura, Selasa (17/1/2023) siang.

Pertemuan yang berlangsung selama 2 jam tersebut, membahas terkait situasi Papua, efektivitas Otsus, serta membahas kerja sama dalam pendampingan di bidang pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan terutama di Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

Yoel Luiz Mulait, Wakil ketua I MRP dalam pertemuan tersebut menyampaikan kepada Kedubes Australia bahwa situasi di Papua tidak baik-baik saja, dimana banyak terjadi kekerasan, pelanggaran HAM dan pembungkaman ruang demokrasi masih terjadi dan dialami langsung oleh orang asli Papua.

“Perubahan revisi UU Otsus Papua nomor 21 tahun 2001 tanpa keterlibatan rakyat Papua, MRP dan DPR Papua membuat rakyat Papua marah dan kecewa sama pemerintah pusat hingga saat ini, tidak ada jaminan dengan kehadiran 3 DOB akan mensejahterakan rakyat Papua,” tegas Mulait.

Lanjutnya, kehadiran 3 DOB hanya akan mendatangkan banyak aparat militer di tanah Papua, selain itu banyak warga non Papua yang akan masuk ke Papua untuk kuasai semua instansi pemerintah di 3 DOB.

“Masyarakat Papua masih trauma dengan kehadiran aparat, adanya DOB juga akan ada banyak pos militer yang berdiri di pelosok pedalaman dan ini akan membuat situasi di Papua tidak aman,” tegasnya.

Ciska Abugau, ketua Pokja Agama MRP yang hadir juga meminta pihak Kedubes Australia untuk melihat situasi Papua dimana banyak terjadi Pelanggaran HAM, kekerasan terhadap perempuan dan anak dan penangkapan aktivis tanpa prosedur hukum yang jelas oleh kepolisian republik Indonesia di Papua.

“Kami orang Papua sedang sakit, situasi di Papua dalam kota tidak sama dengan di pedalaman Intan Jaya, Nduga, Yahukimo dan daerah konflik lainnya, sehingga beliau dorang juga harus turun ke daerah pedalaman sana biar bisa lihat situasi Papua yang sebenarnya,” tegas Ciska.

Ia juga menegaskan dengan banyak program kerjasama yang dilakuan Indonesia dan Australia untuk orang asli Papua tidak akan berjalan baik (percuma), karena yang akan menikmati pejabat Papua di kota bukan masyarakat yang ada di pedalaman sana.

“Kami minta bantuan kemanusiaan dari Australia untuk melihat situasi Papua yang di alami orang asli Papua, sehingga kedamaian dan kesejahteraan itu tercipta di tengah masyarakat orang asli Papua,” harap Abugau.

Sementara itu, Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Steve Scott di Jayapura, Selasa (17/1/2023) saat melakukan pertemuan dengan pimpinan Lembaga dan anggota MRP mengatakan kunjungan ini bagian dari kerja sama bilateral antara Indonesia dan Australia di bidang Pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan serta ingin mendengar langsung efektivitas dari Otsus sendiri dari lembaga Kultural orang asli Papua.

“Kami ingin meningkatkan kerja sama yang terjalin selama ini di bidang Pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan ini dapat di fokuskan di Papua guna ada pemerataan dan pendampingan terhadap orang asli Papua,” katanya.

Kedubes Australia juga akan menindaklanjuti laporan keamanan yang di sampaikan MRP dalam kerja sama pertahanan dan akan mengingatkan militer Indonesia untuk junjung tinggi Hak Asasi Manusia di tanah Papua. (*)

Read More
Categories Berita

MRP Bahas Draft Rancangan Perdasus Pemilihan Anggota MRP Baru

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua menggelar sidang Rapat Pleno dalam rangka pemberian pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua terhadap rancangan peraturan daerah khusus Provinsi Papua tentang tata cara pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua.

Sidang Rapat Pleno berlangsung di ruang sidang utama Majelis Rakyat Papua, dipimpin langsung oleh Timotius Murib ketua MPR dan Yoel Luiz Mulait Wakil Ketua I MRP dan dihadiri pimpinan Pokja Agama, Perempuan dan Adat, Selasa (6/12/2022) pagi ini.

Dalam arahannya, Timotius Murib meminta anggota MRP untuk melihat jeli rancangan peraturan daerah khusus Provinsi Papua tentang pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua dengan memberikan pertimbangan dan penguatan dalam draf.

“Pemberian pertimbangan anggota MRP hari ini menentukan pemilihan anggota MRP besok sehingga harus lihat baik apa yang perlu di tambahkan dan dikurangi agar keberpihakan dan proteksi terhadap orang asli Papua dalam lembaga MRP kuat dan solid,” pesan Murib.

Timotius juga menjelaskan pemberian pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua yang dibahas hari ini difokuskan pada Provinsi Papua (induk) mencangkul dua wilayah adat yakni Tabi dan Saireri.

“Sehingga kita harus rancang baik terutama perwakilan dari tiap suku wilayah adat baik dari Agama, Adat dan Perempuan dapat terwakilkan dari masyarakat suku asli yang mendiami wilayah tersebut agar tidak terjadi konflik perebutan wilayah dan lainnya,” kata Murib.

Dan untuk wilayah adat Lapago, Meepago dan Animha agar menunggu petunjuk dari pemerintah pusat karena Daerah Otonomi Baru (DOB) akan disesuaikan dengan pembentukan 2 DOB baru di Provinsi Papua Barat, maka lembaga MRP di masing-masing DOB juga akan dilakukan pemilihan.

“Untuk saat ini, Negara berkomitmen untuk perpanjangan masa jabatan lembaga MRP sambil menunggu pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua di masing-masing DOB dan seketika MRP Saireri dan Tabi dilantik secara otomatis MRP masa jabatan ini selesai dan akan diisi dengan anggota MRP yang baru,” ujar Murib. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

Masa Reses, MRP Sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural kepada FKUB

JAYAPURA, MRP – Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Masa Reses Triwulan IV Tahun 2022, Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Kelompok Kerja (Pokja) Agama, Dr. H. Toni V. M. Wanggai, SAg, MA, menggelar sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural tahun 2021 dan tahun 2022 kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua, FKUB Kota dan Jayapura dan juga para pemimpin lembaga agama di Kota Jayapura.

Kegiatan ini berlangsung  di Aula Kantor Kementerian Agama Kota Jayapura, Senin (14/11/2022).

Toni menyampaikan sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural, yakni.

  1. Keputusan Nomor 2/MRP/2022 Tentang Larangan Pemberian Nama atau Gelar Adat kepada Orang Lain di Luar Suku Pemangku Adat.
  2. Keputusan Nomor 3/MRP/2022 Tentang Larangan Jual Beli Tanah di Papua. 3
  3. Keputusan Nomor 4/MRP/2022 Tentang Moratorium Izin Pengelolaan Sumber Daya Alam di Papua.
  4. Keputusan Nomor 5/MRP/2022 Tentang Penghentian Kekerasan dan Diskriminasi oleh Aparat Penegak Hukum terhadap Orang Asli Papua.
  5. Keputusan Nomor 6/MRP/2022 Tentang Perlindungan Cagar Alam di Tanah Papua.
  6. Keputusan Nomor 7/MRP/2022 Tentang Pemenuhan Hak Politik Perempuan Asli Papua dalam Melaksanakan Pemilihan Umum Legislatif.
  7. Keputusan Nomor 8/MRP/2022 Tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pelestarian Areal Tanah Sakral Orang Asli Papua.
  8. Keputusan Nomor 9/MRP/2022 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Rumah Adat Orang Asli Papua.
  9. Keputusan Nomor 10/MRP/2022 Tentang Pentingnya Pemantapan dan Penataan Kembali Kedudukan MRP di Provinsi Papua.
  10. Keputusan Nomor 11/MRP/2022 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Fungsi Ekosistem Hutan Manggrove di Provinsi Papua.
  11. Keputusan Nomor 4/MRP/2021 Tentang Pengetatan Pengawasan terhadap Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol serta Obat obatan Terlarang Lainnya.
  12. Keputusan Nomor 5/MRP/2021 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Asli Papua di Wilayah Konflik, Khususnya di Kabupaten Intan Jaya, Nduga dan Puncak di Provinsi Papua.

Toni menjelaskan, 12 Surat Keputusan Kultural ini  sangat penting untuk disampaikan ke para pemimpin lembaga agama atau tokoh agama  FKUB, karena mereka ini yang mempunyai basis umat langsung.

“Jadi 12 surat keputusan kultural MRP ini adalah himbauan atau penguatan moral, agar orang asli Papua bisa lebih menjaga dan melestarikan budaya dalam penyelamatan tanah dan manusia Papua,” ujarnya.

Perdasus

Toni menuturkan, pihaknya berharap dengan adanya 12 Surat Keputusan Kultural  MRP ini bisa ditindaklanjuti di dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), sehingga mempunyai kekuatan hukum.

Pasalnya, menurut Toni, 12 Surat Keputusan Kultural MRP ini hanya berupa himbauan moral, agar orang asli Papua dapat menjaga atau menyelamatkan manusia dan tanah Papua, sehingga orang asli Papua bisa diproteksi atau dilindungi, affirmative action  atau keberpihakan terhadap orang asli Papua sebagai pemilik negeri ini.

Kepunahan

Toni menjelaskan, FKUB Provinsi Papua, FKUB Kota Jayapura dan juga para pemimpin lembaga agama di Kota Jayapura sangat mengapresiasi bahwa budaya di Papua ini harus dilestarikan.

Dengan adanya 12 Surat Keputusan Kultural MRP ini menegaskan bahwa budaya di Papua, yang terdiri dari pelbagai macam ragam suku ini harus dijaga dari kepunahan.

“Contohnya bahasa ada beberapa bahasa yang sudah punah di Papua. Hal ini kalau tak ada 12 Surat Keputusan Kultural  MRP ini, maka  perlahan budaya di Papua ini akan punah,” katanya.

Sementara budaya ini sebagai pengikat orang asli Papua, termasuk agama. Antara agama dan budaya ini tak bisa dipisahkan, karena manusia lahir dari budaya dan didalam budaya itu ada nilai-nilai kebaikan yang harus dijaga dan dilestarikan.

“Karena ada pesan pesan moral disana, pesan pesan kultural, pesan pesan toleransi, saling menghormati, menjaga, melindungi, melestarikan alam. Itu pesan pesan budaya itu harus terus kita jaga,” ucapnya.

“Jadi kalau tak ada budaya, maka masyarakat itu akan kering dari budaya, sehingga kita akan mengalami kekosongan kekosongan budaya, maka kita akan merasa terasing dengan kita sebagai orang asli Papua,” terangnya.

Toni berharap agar MRP kedepan termasuk salah satunya tugas dan fungsi kewenangan MRP ini harus diperkuat, khususnya  mempunyai hak legislasi didalam Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2004 tentang Tugas dan Kewenangan MRP.

“Ini harus diperkuat, sehingga MRP bisa mempunyai hak legislasi untuk mengawasi jalannya Otsus secara baik di 4 bidang, yakni pendidikan kesehatan infrastruktur dasar dan ekonomi kerakyatan,” tukasnya.

Selain itu, ungkapnya, MRP juga mempunyai hak inisiasi untuk membuat Perdasus, karena MRP adalah lembaga kuktural yang lebih memahami kondisi dan aspirasi orang asli Papua.(*)

 

Read More
Categories Berita

Suara Pelanggaran HAM Akhirnya Terdengar di Dewan HAM PBB

JAYAPURA, MRP – Persoalan HAM di Papua hingga kini seperti tak berujung. Setiap tahun selalu saja ada insiden dan laporan terkait kekerasan bersenjata yang dilakukan oknum aparat keamanan. Sekalipun telah disuarakan dengan berbagai cara bahkan presiden ganti presiden, persoalan HAM masih menjadi catatan kelam bagi masyarakat yang menjadi korban.

Dari peliknya persoalan HAM di Papua juga menarik perhatian negara luar bahkan pada 8 November lalu sempat disuarakan langsung dalam forum side event di Geneva Swiss. sidang UPR (Universal Periodic Review) Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss.

Forum ini biasa digelar menjelang sidang UPR Dewan HAM PBB. Mudahnya, semua isu HAM dikumpulkan agar dalam pembahasan nantinyaseluruh peserta sudah memahami apa materi yang akan jadi pokok pembahasan.

Dari Papua sendiri awalnya Dr Benny Giay yang diundang untuk hadir namun karena dalam kondisi tidak fit akhirnya nama Timotius Murib maju menggantikan. “Benar saat itu saya memang ke gedung PBB.  Saya diminta bicara menggantikan Dr Benny Giay yang berhalangan karena kurang sehat.  Panelis lainnya adalah Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dan aktivis KontraS, Nadine, Amnesty Internasional, Usman Hamaid.

“Saya ketika itu dibantu Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia,” kata Ketua MRP, Timotius Murib dalam penjelasannya yang diterima Cenderawasih Pos, Rabu (16/11). Hadir pula pada side event ini sejumlah diplomat beberapa negara, termasuk perwakilan PTRI. Dalam pertemuan ini Timotius menyampaikan bahwa yang disampaikan kala itu adalah menyangkut situasi HAM dan problem pembangunan di Papua.

Dari pelanggaran HAM masa lalu berupa marjinalisasi sampai pelanggaran HAM masa kini berupa pembunuhan dengan mutilasi hingga persoalan pengungsian. Selain itu kurangnya pelibatan orang asli Papua dalam revisi kedua UU Otsus dan pemekaran provinsi juga ikut disampaikan. Ini kondisi ril yang tak bisa dipungkiri. Ia bersyukur karena dari penyampaiannya ini perwakilan diplomat beberapa negara lantas mencatat situasi HAM di Papua serta menyampaikannya kepada Indonesia di sidang Tinjauan Berkala Universal atau UPR (Universal Periodic Review) sehari setelahnya.

Timotius juga yakin apa yang dipaparkan akan menjadi masukan yang bermanfaat untuk perbaikan situasi HAM di Papua. “Itu harapan kami semua, semoga ada perubahan dalam penanganan HAM,” tambahnya. Dalam sambutannya, Ketua MRP, Timotius Murib menyampaikan bahwa dirinya senang sekali bisa hadir dan memenuhi undangan tersebut. Iapun menjelaskan posisi MRP yakni sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua yang diamanatkan oleh UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang memiliki wewenang khusus untuk menyelamatkan Orang Asli Papua dan tanahnya.

Ia menyampaikan 2 pendapat tentang situasi HAM dan pembangunan di Papua pada saat ini dalam perspektif MRP. Pertama situasi HAM 59 tahun lalu, pada 1 Mei 1963, Indonesia mengambil mengambil alih Papua melalui PBB. Sebelum itu, orang Papua berharap dapat hidup dengan bermartabat. Tapi sejak tanggal itu, kehidupan orang Papua telah ditandai oleh kekerasan dan pelanggaran HAM, marjinalisasi serta diskriminasi.

Akibatnya, banyak orang Papua yang kecewa dengan pemerintah Indonesia hingga secara terus menerus menyuarakan ketidaksetujuan mereka. Namun, untuk menangkal itu, pemerintah sering menggunakan penggunaan kekuatan berlebihan untuk membungkam protes- protes yang dibuat oleh orang Papua.Turunnya resim orde baru membuahkan Otonomi KHusus untuk Papua.

Dimana dalam 20 tahun implementasi Otonomi Khusus Papua, penduduk Papua masih banyak yang hidup dalam ketakutan dan teror. “Hampir ratusan orang telah ditangkap, diinterogasi, diteror, disiksa, dan dibunuh oleh oknum aparat keamanan negara di beberapa daerah di tanah Papua, akhir-akhir ini kita mengetahui bersama situasi kemanusian dan pelanggaran HAM begitu meningkat khususnya di kabupaten Intan Jaya, kabupaten Puncak, kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Maybrat dan kabupaten Nduga,” bebernya.

Kondisi ini menjadi kontras dengan pengungsian internal warga dimana sejak tahun 2018 hingga November 2022, MRP mencatat telah terjadi pengungsian internal warga asal beberapa kabupaten yang sedang mengalami konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan TPN PB OPM. Lokasi yang disebut adalah Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Puncak. Kedua, terlihat jelas bahwa budaya impunitas terpelihara dengan baik di tanah Papua.

Situasi kekerasan hak asasi manusia terus terjadi bahkan beberapa bulan lalu terjadi mutilasi / pembunuhan terhadap 4 (empat) warga sipil dan menganiaya 4 remaja oleh oknum aparat keamanan Indonesia di Kabupaten Kerom dn Mimika Papua. Ini kata Timotius justru ini tidak memperlihatkan itikad baik oleh Indonesia dalam merespon pernyataan Kantor Komisioner HAM PBB tahun 2018/2019 yang mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan penyiksaan dan hukuman mati dan menyelidiki semua kejahatan yang dilakukan untuk memastikan akses orang Papua terhadap hak atas pendidikan, kesehatan dan makanan memperoleh gizi bagi orang Papua terjawab.

Lalu persoalan Otsus dan Pemekaran di Papua dalam beberapa tahun terakhir ada dua masalah serius yaitu kegagalan penerapan Otonomi Khusus bagi Papua. Catatan yang diberikan adalah pertama, permasalahan yang terkait UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21/2001 tentang Otsus bagi Papua. Kedua, permasalahan yang terkait dengan rencana pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi atau Daerah Otonomi Baru (DOB).

“Untuk yang pertama, kami menyesalkan proses perubahan UU yang tidak melalui usul dari rakyat Papua melalui MRP dan DPRP, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 77 UU OTSUS. Substansinya pun banyak merugikan hak-hak orang asli Papua sehingga kami–MRP Provinsi Papua dan Papua Barat telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.

Kemudian pasal 77 dirasa sangat penting agar terjadi konsultasi dan partisipasi yang bermakna dari rakyat Papua, sesuai arahan bapak Presiden dalam rapat terbatas kabinet pada tanggal 11 Maret 2020 yang mengajak semua pihak, termasuk orang asli Papua untuk mengevaluasi UU Otonomi Khusus.

Bahkan atas arahan Presiden itu, MRP lalu mengadakan Kegiatan rapat dengar pendapat masyarakat di 28 kabupaten dan 1 kota yang tersebar di lima wilayah adat. “Sayangnya, atas kecurigaan tertentu, upaya ini dihambat. Jajaran aparat keamanan berupaya untuk kegiatan ini tidak terlaksana meski ini merupakan kegiatan resmi lembaga MRP.  Bentuk yang dilakukan adalah menghalangi warga, membubarkan rapat, hingga menangkap dan memborgol beberapa staff MRP seperti yang terjadi di Merauke,” cerita Timotius.

Akibatnya, MRP tidak dapat melanjutkan agenda tersebut meski diberi kewenangan oleh Undang-Undang, yaitu menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat orang asli Papua. Kemudian untuk masalah yang kedua, pihaknya menyesalkan proses pembentukan DOB yang tidak melibatkan representasi rakyat Papua sesuai ketentuan Pasal 76 UU OTSUS. Ketua MRP menjelaskan bahwa sebelum perubahan kedua, pasal ini berbunyi: “Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.”

Ini artinya tanpa persetujuan dari MRP dan DPRP, tidak boleh ada provinsi baru di Papua. Intinya, jika kebijakan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi tidak lagi dilakukan atas persetujuan MRP pertanyaannya adalah apakah ini selaras dengan spirit Otonomi Khusus? Pemerintah tentu dapat melakukan pemekaran provnisi, tetapi itu untuk wilayah-wilayah yang bukan berstatus otonomi khusus, melainkan otonomi daerah.

“Dengan memperhatikan berbagai situasi obyektif itulah maka kami mengajak siapa pun terutama kita semua yang ada di sini untuk menolong kami mendorong kondisi yang kondusif di Tanah Papua,” harapnya menutup penyampaian terkait HAM dan pembangunan di depan forum tersebut. Sementara dari kegiatan selama 3 hari ini, sebuah video yang cukup menarik perhatian justru beredar.

Video berdurasi selama 42 detik ini dibuat sendiri oleh Timotius Murib usai keluar dari ruangan. Dalam video tersebut terdengar narasi bahwa video dibuat pukul 3 sore waktu Swiss dan Timotius menyampaikan pesan bahwa pihaknya sedang berjuang mendapatkan kebebasan West Papua untuk bisa berdiri beserta bangsa yang lain. Video ini cukup banyak dikomentari karena menyangkut ideology. Ada juga yang mempertanyakan soal keberadaan Ketua MRP yang berangkat ke Swiss mengunakan dana APBD.

Terkait video itu, Timotius akhirnya mengklarifikasi. Ia menjelaskan bahwa tiket dan semua akomodasi ditanggung oleh pengundang Karenanya keliru jika dikatakan dirinya memakai anggaran negara untuk menghadiri kegiatan tersebut.

“Disitu ada perwakilan pemerintah Indonesia dan bisa ditanyakan ke mereka atau pihak pengundang soal perjalanan dan agenda kami. Kemudian perihal video, saat itu saya juga ditemui oleh aktivis dan akademisi Filipina yang menyuarakan isu-isu Papua. Saya pikir itu bagian dari ekspresi yang sah. Saya kira rakyat Papua sering bicara seperti itu,” bebernya.

Kata Timotius sejauh disampaikan dengan cara-cara bermartabat, maka sepatutnya tidak perlu ditafsirkan berlebihan. “Indonesia adalah bangsa besar. Bangsa yang menjunjung tinggi hak asasi manusia yang universal, perdamaian dunia, dan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Apa pun alasannya, penjajahan harus dihapuskan,” tambah Timotus. Jadi dalam video tersebut ia menyampaikan sesuai apa yang dikeluhkan rakyat selama ini.

“Konteksnya lebih pada bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua yang sedang terjadi dan tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Saya 10 tahun dan mengalami dan merasakan itu di MRP. Disini saya pertegas juga bahwa saya tidak pernah memiliki hubungan dengan pihak manapun termasuk pihak yang berseberangan,” tegasnya.

“Saya menyampaikan itu sebagai bentuk ekspresi atas kondisi HAM di Papua, kami mempertanyakan kapan kasus HAM ini tidak lagi terjadi. Itu lebih pada kekecewaan dan harapan agar tak ada kekerasan bagi masyarakat Papua lagi dan saya pikir itu wajar,” tutupnya. (*)

 

Read More