Categories Berita

Wacana Penunjukan Gubernur Oleh Pusat Harus Memperhatikan Daerah Kekhususan

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua menilai pernyataan Bambang Soesatyo ketua MPR RI terkait wacana penunjukan Gubernur dan wakil Gubernur oleh Pemerintah Pusat akan mencederai semangat Otonomi Khusus (Otsus) di wilayah kekhususan di Indonesia.

Hal tersebut diutarakan Yoel Luiz Mulait wakil ketua I Majelis Rakyat Papua menangapi pernyataan ketua MPR RI Bambang Soesatyo di media massa, beberapa hari terakhir ini. Senin, (6/2/2023).

Mulait menilai wacana MPR RI, bahwa Gubernur/ wakil Gubernur ditunjuk oleh Pemerintah Pusat telah menciderai nilai demokrasi di Indonesia sesuai amanat UUD 1945 pasal 18 ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah daerah provinsi, Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

“Bila wacana ini di berlakukan di 38 Provinsi di Indonesia, harus dikecualikan daerah kekhususan diantaranya Aceh, Jog Jakarta, DKI Jakarta dan Papua, sebagai daerah otonomi khusus,” bebernya.

MRP menegaskan untuk daerah dengan Otonomi Khusus (Otsus) di enam Provinsi di Papua sudah diatur melalui UU nomor 2 tahun 2021, perubahan kedua dari UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua sehingga harus diberikan kewenangan dan keistimewaan kepada Papua.

“Dari 38 Provinsi di Indonesia, Pemerintah Pusat harus pilah dengan baik, terutama 9 Provinsi dengan daerah kekhususan tidak boleh ada penunjukan langsung, jika tidak pilah dan diberlakukan sama maka Pemerintah Pusat tidak lagi konsisten dalam melaksanakan prinsip Otonomi Daerah, apalagi Otonomi Khusus, karena semua kebijakan diambil alih Pemerintah Pusat, artinya semangat Otonomi Khusus ibarat mati suri,” tegas Yoel Mulait.

Menurut Yoel Mulait, Majelis Rakyat Papua sebelumnya, tahun 2019 telah mendorong agar Gubernur/Wakil Gubernur dipilih oleh DPRP setelah pemberian pertimbangan dan persetujuan oleh MRP, terkait keaslian Orang Asli Papua dilanjukan dengan seleksi administrasi dan pendaftaran tetap melalui KPU, tapi dipilih oleh anggota DPRP sebagai refresentasi rakyat, tentunya ini sesuai semangat Otonomi khusus di Tanah Papua namun tidak ditanggapi serius oleh Pemerintah Pusat.

“Pemerintah Pusat harus membedahkan daerah khusus yang telah diatur dengan UU kekhususanharus diatur juga secara khusus termasuk Pemilihan Gubernur.

“Karena ada proses pemberian pertimbangan dan persetujuan oleh lembaga MRP, tentang keaslian Orang Asli Papua, setelah menerima berkas calon melalui DPRP, jika ditunjuk langsung oleh Pemerintah Pusat,  artinya semangat Otonomi khusus tidak bermakna lagi,” tegas Mulait.(*)

Humas MRP

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

Partisipasi Perempuan Asli Papua Dalam Pemilu 2024 Harus Diperioritaskan

JAYAPURA, MRP – Pemenuhan hak politik perempuan asli Papua dalam pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2024 di tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) harus diberi ruang dan kesempatan untuk perempuan asli Papua juga bisa tampil mengisi kursi legislatif.

Hal tersebut disampaikan Helena Hubi, ketua Pokja Agama Majelis Rakyat Papua. Minggu, (5/1/2023).

Kata Helena, pemberian ruang kepada perempuan asli Papua dalam politik sudah diatur dalam 12 keputusan Majelis Rakyat Papua, dimana salah satu pointnya merujuk pada keputusan MRP nomor.7/MRP/2022 tentang pemenuhan hak politik perempuan asli Papua dalam pelaksanaan pemilihan umum legislatif.

“Perempuan Papua hari ini harus di perioritaskan terutama di daerah DOB, memberikan ruang yang sama untuk mereka (perempuan) maju karena perempuan juga ingin membangun daerahnya,” ujar mama Helena.

Majelis Rakyat Papua juga berharap kursi legislatif 30 persen untuk Perempuan harus diberikan sepenuhnya kepada perempuan asli Papua yang akan maju di daerah mereka masing-masing.

“Jangan sampai hak politik perempuan semua direbut oleh laki-laki, harus juga berikan ruang dan kesempatan ke perempuan, kita tidak tinggal di jaman dulu lagi,” ujarnya.

MRP juga berharap Pj Gubernur dari 4 Provinsi harus memikirkan perempuan Papua karena Partai politik baru dapat mengikuti Pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat. Penegasan tersebut diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

“Representasi perempuan di legislatif akan memberikan keseimbangan dalam mewarnai perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengawasan yang akan lebih berpihak pada kepentingan kesejahteraan perempuan dan anak,” ujarnya.(*)

 

Read More
Categories Berita

Kemendagri Perpanjang Masa Jabatan MRP 6 Bulan Kedepan

JAYAPURA, MRP – Melalui Rapat Pleno pembukaan masa sidang I Majelis Rakyat Papua tahun 2023, pada Senin (29/1/2023), menetapkan perpanjangan kerja anggota Majelis Rakyat Papua berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kementrian Dalam Negeri nomor: 100.2.1.4-6202 tahun 2022, tentang perpanjangan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Periode 2017-2022.

Hal tersebut disampaikan Yoel Luiz Mulait, Waket I MRP dalam rapat pleno pembukaan di ruang sidang Majelis Rakyat Papua di Kotaraja Luar.

“Perpanjangan anggota MRP akan berlanjut selama 6 bulan kedepan hingga adanya pemilihan anggota MRP yang baru di provinsi Papua,” kata Mulait.

Pimpinan dan anggota MRP masing-masing Pokja, alat kelengkapan dan PURT akan dilanjutkan oleh kepemimpinan yang ada sesuai kesepakan dalam rapat pleno pembukaan tadi.

“Selanjutnya proses SK perpanjangan pimpinan MRP akan diajukan kepada Gubernur Papua, melalui Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Papua, untuk proses lebih lanjut,” kata Mulait.

Mulait menjelaskan, langkan ini dilakukan MRP untuk memastikan legalitas kepemimpinan lembaga kultur, dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan hak-hak dasar Orang Asli Papua selama 6 bulan kedepan.

Dalam SK yang di tandatanggani Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian menetapkan perpanjangan masa jabatan anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua masa jabatan tahun 2017 – 2022, paling lama sampai dengan tanggal 20 Juni 2023 dengan susunan sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari keputusan Menteri. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Dampak DOB, Banyak Mahasiswa OAP Terancam Putus Kuliah

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) menerima pengaduan dari orang tua mahasiswa/I yang kuliah dibiayai oleh Pemerintah Provinsi Papua terancam putus dampak dari pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

Hal tersebut disampaikan, Yoel Luiz Mulait Wakil ketua I MRP menyikapi pengaduan yang diterima lembaga kultural orang asli Papua. Senin, (30/1/2023).

Kata Mulait, awal tahun MRP telah menerima banyak pengaduan dari orang tua mahasiswa/i yang kuliah di dalam negeri dan luar negeri dibiayai oleh Pemerintah Provinsi Papua.

“Dampak dari DOB, pembiayaan kuliah yang selama ini dibiayai oleh Pemprov Papua tidak mampu lagi untuk tanggulangi semua mahasiswa Papua karena dana terbatas tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,” kata Mulait.

MRP melihat dampak dari DOB ini tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat namun juga mahasiswa dalam studi mereka, sehingga Pemerintah Daerah Otonomi Baru untuk secepatnya lakukan inventarisir mahasiswanya sesuai asal daerah/kabupaten masing-masing.

“Dengan demikian beban biaya kuliah dapat di tanggulangi oleh kabupaten/kota masing-masing sesuai dengan kucuran dana pendidikan di masing-masing Daerah Otonomi Baru di tanah Papua oleh pemerintah pusat,” kata Mulait.

Mulait menambahkan, data yang ada di BPSDM Provinsi Papua, jumlah cukup banyak anak-anak Papua yang kuliah di dalam dan luar negeri, sehingga masing-masing Provinsi DOB terutama Provinsi Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Selatan agar segera lakukan pendataan mahasiswa untuk biayanya ditanggung oleh Pemda masing-masing sesuai asal daerah.

“Jika tidak, banyak mahasiswa yang bakal putus kuliah,” tegas Mulait.

MRP juga meminta pemerintah secara berjenjang harus bertanggungjawab atas masa depan anak-anak Papua, jangan karena DOB membuat banyak mahasiswa putus kuliah.

“Mereka adalah aset generasi emas Papua yang harus dipastikan masa depan mereka melalui Pendidikan, hari ini mereka terancam putus kuliah, ini harus ada solusi cepat, oleh Pemerintah Pusat juga Pemerintah Daerah, khusus nya DOB baru,” tegas Mulait. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Layanan Penkes Kritis, MRP Soroti Kebijakan Satu Pintu di Jayawijaya

JAYAPURA, MRP — Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan satu pintu di kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, dianggap sebagai penghambat jalannya efektifitas pendidikan dan kesehatan di distrik dan kampung yang jauh dari perkotaan.

Demikian diungkapkan Yoel Luiz Mulait, wakil ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP), menanggapi tak maksimalnya pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terus dikeluhkan masyarakat di kabupaten Jayawijaya.

Kata Mulait, dalam beberapa pekan terakhir media massa memberitakan masih adanya sekolah yang tak menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM) selama tiga tahun, kantor distrik dan rumah dokter yang hilang dalam rerumputan akibat tak ada aktivitas.

“Kondisi seperti itu seharusnya dikontrol oleh kepala distrik di masing-masing wilayahnya. Tidak ada pengawasan membuat semua berjalan sesukanya. Kepala distrik dan staf yang tidak masuk kantor, kepala sekolah dan guru tidak di tempat tugas, itu kan sangat disayangkan,” tuturnya.

Faktor lain, kata Mulait, pemerintahan selama empat tahun berjalan di kabupaten Jayawijaya hanya berpusat di kota Wamena saja. Hal itu mengakibatkan aktivitas di distrik dan kampung tak efektif.

“Urus KTP saja semua di kota. Kenapa tidak diarahkan ke kantor distrik masing-masing supaya ada aktivitas pemerintahan di distrik? Dengan adanya aktivitas di distrik, kepala distrik punya kewajiban untuk kontrol Puskesmas, Pustu, dan sekolah yang ada di wilayahnya. Seharusnya begitu,” kata Yoel.

Bila proses pemerintahan terfokus di kabupaten, ia pastikan aktivitas pemerintahan di distrik dan kampung tak akan berjalan efektif. Solusinya, kepala daerah harus berikan kewenangan penuh kepada bawahannya yaitu kepala distrik dan kampung untuk jalankan administrasi di sana.

Akibat dari itu kasus HIV/AIDS juga makin meningkat. Penyebabnya tak ada pengawasan serius dari pemerintah maupun dinas terkait.

“Nanti ada kasus baru muncul dan baku tegur. Itu yang tidak boleh terjadi. Kebijakan seperti ini disayangkan sekali,” kata Mulait.

Keluhan selalu diutarakan mengingat buruknya fakta di lapangan. Seperti kepala suku dan warga masyarakat yang ada di distrik Musatfak, bahkan mendesak Pemkab Jayawijaya segera ganti kepala Puskesmas (Kapus) distrik Musatfak.

Lazarus Alua, kepala suku di wilayah itu sangat kecewa dengan pelayanan kesehatan dari tenaga medis kesehatan yang ditugaskan di Puskesmas Musatfak.

Karena, kata Alua, petugas medis sering datang terlambat untuk membuka jam pelayanan. Belum lagi petugas datangnya cepat dan pulang lebih awal. Banyak pasien yang mau berobat, terpaksa harus menunggu bahkan memilih pulang ke rumah. Kadang pergi berobat ke kota Wamena.

Beberapa waktu lalu juga heboh dengan macetnya akivitas KBM di SD Negeri Logotpaga, distrik Asologaima. Selama tiga tahun anak-anak di sana tak lagi belajar. Penyebabnya, kepala sekolah dan guru tak di tempat tugas. (*)

Read More
Categories Berita

MRP Sarankan Pemprov Papua Pegunungan Pastikan Pemilik Sah 72 Ha Tanah Hibah di Welesi

JAYAPURA, MRP — Majelis Rakyat Papua (MRP) menyarankan penjabat gubernur Papua Pegunungan membuka ruang untuk menghadirkan pemilik hak wilayat wilayah Welesi agar memastikan kepemilikan sah dari tanah seluas 72 hektare yang dihibahkan ke pemerintah.

Hal tersebut dikemukakan Yoel Luiz Mulait, wakil ketua I MRP, menyikapi aksi pemalangan jalan oleh masyarakat Wouma di Wamena, beberapa waktu lalu.

Dari informasi yang diperoleh, kata Mulait, masyarakat Wouma tak terima karena tanah yang dihibahkan ke Pemprov Papua Pegunungan tanpa melibatkan pemilik ulayat dari wilayah Wouma.

“Pemerintah harus buka ruang untuk menghadirkan semua pihak, baik dari Welesi, Asolokobal dan Wouma untuk melihat dan memastikan batas-batas wilayah mereka. Hal ini penting agar prosesnya berjalan benar dan kemudian hari aksi palang memalang tidak terjadi lagi,” tegasnya, Jumat (27/1/2023).

Baca Juga:  Gempa Berkekuatan Magnitudo 4,8 Kembali Guncang Jayapura

Yoel menduga proses penyerahan tanah tidak sesuai aturan dan hanya dilakukan oleh pihak tertentu, pemilik ulayat lain merasa diabaikan. Makanya timbul permasalahan seperti terjadi belakangan.

“Pemerintah harus mendengarkan semua pihak, tidak boleh hanya satu dua orang serahkan, lalu klaim tanah itu. Tidak boleh pemerintah dengan tekanan keamanan, lalu abaikan pemilik ulayat,” ujarnya.

Pemerintah juga diminta harus melihat baik, tanya apakah lokasi dihibahkan itu tanah produktif atau tanah hamparan yang sama sekali tidak ada aktivitas masyarakat.

Baca Juga:  Respons Natalius Pigai Terhadap Vonis Bebas Terdakwa Kasus HAM Berat Paniai

“Lahan yang dihibahkan itu hampir semua lahan pertanian. Di sana masyarakat biasa bikin kebun dan lainnya. Kalau dihibahkan dan dibuat kantor, nanti masyarakat ini mau berkebun dimana? Orang Huwula hampir semua bergantung sama kebun dan ternak. Pemerintah harus lihat tempat strategis lain yang tidak ada aktivitas masyarakatnya,” tegas Mulait.

Sebelumnya, Pemprov Papua Pegunungan mengklaim lima suku di Welesi telah menghibahkan 72 hektare tanah untuk lokasi pembangunan kantor gubernur Papua Pegunungan.

Baca Juga:  Korban Kebakaran di Sentani Mendapat Bantuan Alat Tidur Dari Sekda Jayapura

Nikolaus Kondomo, penjabat gubernur Papua Pegunungan, mengaku lima suku besar di wilayah Welesi yakni suku Lani-Matuan, Yelipele, Lani-Wetapo, Assolipele, dan Yelipele-Elopere, telah mendatanginya.

“Kedatangan lima suku untuk menawarkan sekaligus menghibahkan tanah seluas 72 hektare untuk diberikan kepada Pemprov sebagai lokasi bangun kantor gubernur di wilayah adat mereka,” kata Kondomo.

Kedatangan mereka menurutnya tanpa minta biaya apapun atas tanah adatnya kecuali mereka minta kompensasi untuk anak-anak mereka harus direkrut jadi ASN setiap tahun di instansi pemerintahan provinsi Papua Pegunungan. (*)

Read More

Categories Berita

MRP Apresiasi Tim Save Tanah dan Manusia Huwula Di Jayawijaya

JAYAPURA, MRP – Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) memberikan apresiasi kepada tim Save Tanah dan Manusia Huwula di Jayawijaya dalam penyelamatan dan perlindungan terhadap tanah masyarakat adat untuk tidak diperjualbelikan.

Hal tersebut diungkapkan Yoel Luiz Mulait Wakil ketua I MRP ketika melakukan tatap muka dengan para pemilik wilayat suku Huwula di Wamena, beberapa waktu lalu. Rabu, (25/1/2023).

MRP secara kelembagaan, kata Mulait, sudah mengeluarkan keputusan Majelis Rakyat Papua No.3/MRP/2022 tentang larangan jual beli tanah di Papua.

“MRP telah mengeluarkan keputusan, untuk penerapan di lapangan harus dilakukan oleh para pemilik wilayat suku Huwula,” kata Mulait.

Ia juga berpesan kepada pemilik wilayat untuk mempertahankan tanahnya demi anak cucu mereka di kemudian hari agar mereka tidak jadi pendatang di tanahnya sendiri.

“Proses konsilidasi yang dilakukan tim Save Tanah dan Manusia Huwula perlu di dukung semua pihak, baik gereja, adat, pemuda, perempuan dan pemerintah dalam menjaga eksistensi masyarakat adat sebagai pemilik wilayat di wilayah Huwulama,” tuturnya.

MRP juga berpesan kepada setiap komponen yang hadir untuk terus sosialisasikan keputusan MRP ini di setiap suku/klan masing-masing, sampaikan juga di mimbar gereja, tiap kampung dan distrik.

“MRP juga minta dukungan dan kerja sama dari LMA dan DAP dalam perlindungan dan penyelamatan tanah adat sebagai bagian dari kepentingan bersama,” katanya.

Alex Kossay, salah satu pemilik wilayat wilayah Hubikiak mengaku kesadaran masyarakat Huwula dalam melindungi tanah adat belum dilakukan secara maksimal karena keterbatasan pemahaman.

“Lewat keputusan MRP dan kerja tim Save Tanah dan Manusia Huwula diharapkan dapat melindungi tanah adat yang ada di Huwulama (Wamena), karena kita tau sendiri hampir semua tanah dalam kota sudah di kuasai (dibeli) oleh pendatang, dan yang tersisa saat ini hanya tanah tempat Kramat dan kebun, kalau di jual nanti masyarakat berkebun dimana?” ujarnya.

Ia berharap langka yang di ambil tim dapat menyatukan semua suku/klan pemilik wilayat yang ada di Huwulama untuk bersama bersepakat tidak menjual tanah kepada siapapun.

“Saya berharap DOB ini juga tidak serta merta merampas hak masyarakat adat atas tanah mereka atas nama pembangunan,” tegasnya.

Read More
Categories Berita

Bertemu Kedubes Australia, MRP Sampaikan Situasi Papua Tidak Baik-Baik Saja

JAYAPURA, MRP – Pejabat Kedutaan Besar (Kedubes) Australia melaksanakan kunjungan kerja ke Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) guna ingin mendengar langsung kemajuan pembangunan di Papua di era Otonomi khusus (Otsus) Papua.

Kunjungan rombongan Kedubes Australia disambut oleh Wakil ketua I Majelis Rakyat Papua Yoel Luiz Mulait, pimpinan Pokja dan anggota MRP di salah satu hotel di Jayapura, Selasa (17/1/2023) siang.

Pertemuan yang berlangsung selama 2 jam tersebut, membahas terkait situasi Papua, efektivitas Otsus, serta membahas kerja sama dalam pendampingan di bidang pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan terutama di Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

Yoel Luiz Mulait, Wakil ketua I MRP dalam pertemuan tersebut menyampaikan kepada Kedubes Australia bahwa situasi di Papua tidak baik-baik saja, dimana banyak terjadi kekerasan, pelanggaran HAM dan pembungkaman ruang demokrasi masih terjadi dan dialami langsung oleh orang asli Papua.

“Perubahan revisi UU Otsus Papua nomor 21 tahun 2001 tanpa keterlibatan rakyat Papua, MRP dan DPR Papua membuat rakyat Papua marah dan kecewa sama pemerintah pusat hingga saat ini, tidak ada jaminan dengan kehadiran 3 DOB akan mensejahterakan rakyat Papua,” tegas Mulait.

Lanjutnya, kehadiran 3 DOB hanya akan mendatangkan banyak aparat militer di tanah Papua, selain itu banyak warga non Papua yang akan masuk ke Papua untuk kuasai semua instansi pemerintah di 3 DOB.

“Masyarakat Papua masih trauma dengan kehadiran aparat, adanya DOB juga akan ada banyak pos militer yang berdiri di pelosok pedalaman dan ini akan membuat situasi di Papua tidak aman,” tegasnya.

Ciska Abugau, ketua Pokja Agama MRP yang hadir juga meminta pihak Kedubes Australia untuk melihat situasi Papua dimana banyak terjadi Pelanggaran HAM, kekerasan terhadap perempuan dan anak dan penangkapan aktivis tanpa prosedur hukum yang jelas oleh kepolisian republik Indonesia di Papua.

“Kami orang Papua sedang sakit, situasi di Papua dalam kota tidak sama dengan di pedalaman Intan Jaya, Nduga, Yahukimo dan daerah konflik lainnya, sehingga beliau dorang juga harus turun ke daerah pedalaman sana biar bisa lihat situasi Papua yang sebenarnya,” tegas Ciska.

Ia juga menegaskan dengan banyak program kerjasama yang dilakuan Indonesia dan Australia untuk orang asli Papua tidak akan berjalan baik (percuma), karena yang akan menikmati pejabat Papua di kota bukan masyarakat yang ada di pedalaman sana.

“Kami minta bantuan kemanusiaan dari Australia untuk melihat situasi Papua yang di alami orang asli Papua, sehingga kedamaian dan kesejahteraan itu tercipta di tengah masyarakat orang asli Papua,” harap Abugau.

Sementara itu, Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Steve Scott di Jayapura, Selasa (17/1/2023) saat melakukan pertemuan dengan pimpinan Lembaga dan anggota MRP mengatakan kunjungan ini bagian dari kerja sama bilateral antara Indonesia dan Australia di bidang Pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan serta ingin mendengar langsung efektivitas dari Otsus sendiri dari lembaga Kultural orang asli Papua.

“Kami ingin meningkatkan kerja sama yang terjalin selama ini di bidang Pendidikan, Pelayanan Masyarakat, kesehatan dan pemerintahan ini dapat di fokuskan di Papua guna ada pemerataan dan pendampingan terhadap orang asli Papua,” katanya.

Kedubes Australia juga akan menindaklanjuti laporan keamanan yang di sampaikan MRP dalam kerja sama pertahanan dan akan mengingatkan militer Indonesia untuk junjung tinggi Hak Asasi Manusia di tanah Papua. (*)

Read More
Categories Berita

MRP Bahas Draft Rancangan Perdasus Pemilihan Anggota MRP Baru

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua menggelar sidang Rapat Pleno dalam rangka pemberian pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua terhadap rancangan peraturan daerah khusus Provinsi Papua tentang tata cara pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua.

Sidang Rapat Pleno berlangsung di ruang sidang utama Majelis Rakyat Papua, dipimpin langsung oleh Timotius Murib ketua MPR dan Yoel Luiz Mulait Wakil Ketua I MRP dan dihadiri pimpinan Pokja Agama, Perempuan dan Adat, Selasa (6/12/2022) pagi ini.

Dalam arahannya, Timotius Murib meminta anggota MRP untuk melihat jeli rancangan peraturan daerah khusus Provinsi Papua tentang pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua dengan memberikan pertimbangan dan penguatan dalam draf.

“Pemberian pertimbangan anggota MRP hari ini menentukan pemilihan anggota MRP besok sehingga harus lihat baik apa yang perlu di tambahkan dan dikurangi agar keberpihakan dan proteksi terhadap orang asli Papua dalam lembaga MRP kuat dan solid,” pesan Murib.

Timotius juga menjelaskan pemberian pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua yang dibahas hari ini difokuskan pada Provinsi Papua (induk) mencangkul dua wilayah adat yakni Tabi dan Saireri.

“Sehingga kita harus rancang baik terutama perwakilan dari tiap suku wilayah adat baik dari Agama, Adat dan Perempuan dapat terwakilkan dari masyarakat suku asli yang mendiami wilayah tersebut agar tidak terjadi konflik perebutan wilayah dan lainnya,” kata Murib.

Dan untuk wilayah adat Lapago, Meepago dan Animha agar menunggu petunjuk dari pemerintah pusat karena Daerah Otonomi Baru (DOB) akan disesuaikan dengan pembentukan 2 DOB baru di Provinsi Papua Barat, maka lembaga MRP di masing-masing DOB juga akan dilakukan pemilihan.

“Untuk saat ini, Negara berkomitmen untuk perpanjangan masa jabatan lembaga MRP sambil menunggu pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua di masing-masing DOB dan seketika MRP Saireri dan Tabi dilantik secara otomatis MRP masa jabatan ini selesai dan akan diisi dengan anggota MRP yang baru,” ujar Murib. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

Masa Reses, MRP Sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural kepada FKUB

JAYAPURA, MRP – Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Masa Reses Triwulan IV Tahun 2022, Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Kelompok Kerja (Pokja) Agama, Dr. H. Toni V. M. Wanggai, SAg, MA, menggelar sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural tahun 2021 dan tahun 2022 kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua, FKUB Kota dan Jayapura dan juga para pemimpin lembaga agama di Kota Jayapura.

Kegiatan ini berlangsung  di Aula Kantor Kementerian Agama Kota Jayapura, Senin (14/11/2022).

Toni menyampaikan sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural, yakni.

  1. Keputusan Nomor 2/MRP/2022 Tentang Larangan Pemberian Nama atau Gelar Adat kepada Orang Lain di Luar Suku Pemangku Adat.
  2. Keputusan Nomor 3/MRP/2022 Tentang Larangan Jual Beli Tanah di Papua. 3
  3. Keputusan Nomor 4/MRP/2022 Tentang Moratorium Izin Pengelolaan Sumber Daya Alam di Papua.
  4. Keputusan Nomor 5/MRP/2022 Tentang Penghentian Kekerasan dan Diskriminasi oleh Aparat Penegak Hukum terhadap Orang Asli Papua.
  5. Keputusan Nomor 6/MRP/2022 Tentang Perlindungan Cagar Alam di Tanah Papua.
  6. Keputusan Nomor 7/MRP/2022 Tentang Pemenuhan Hak Politik Perempuan Asli Papua dalam Melaksanakan Pemilihan Umum Legislatif.
  7. Keputusan Nomor 8/MRP/2022 Tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pelestarian Areal Tanah Sakral Orang Asli Papua.
  8. Keputusan Nomor 9/MRP/2022 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Rumah Adat Orang Asli Papua.
  9. Keputusan Nomor 10/MRP/2022 Tentang Pentingnya Pemantapan dan Penataan Kembali Kedudukan MRP di Provinsi Papua.
  10. Keputusan Nomor 11/MRP/2022 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Fungsi Ekosistem Hutan Manggrove di Provinsi Papua.
  11. Keputusan Nomor 4/MRP/2021 Tentang Pengetatan Pengawasan terhadap Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol serta Obat obatan Terlarang Lainnya.
  12. Keputusan Nomor 5/MRP/2021 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Asli Papua di Wilayah Konflik, Khususnya di Kabupaten Intan Jaya, Nduga dan Puncak di Provinsi Papua.

Toni menjelaskan, 12 Surat Keputusan Kultural ini  sangat penting untuk disampaikan ke para pemimpin lembaga agama atau tokoh agama  FKUB, karena mereka ini yang mempunyai basis umat langsung.

“Jadi 12 surat keputusan kultural MRP ini adalah himbauan atau penguatan moral, agar orang asli Papua bisa lebih menjaga dan melestarikan budaya dalam penyelamatan tanah dan manusia Papua,” ujarnya.

Perdasus

Toni menuturkan, pihaknya berharap dengan adanya 12 Surat Keputusan Kultural  MRP ini bisa ditindaklanjuti di dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), sehingga mempunyai kekuatan hukum.

Pasalnya, menurut Toni, 12 Surat Keputusan Kultural MRP ini hanya berupa himbauan moral, agar orang asli Papua dapat menjaga atau menyelamatkan manusia dan tanah Papua, sehingga orang asli Papua bisa diproteksi atau dilindungi, affirmative action  atau keberpihakan terhadap orang asli Papua sebagai pemilik negeri ini.

Kepunahan

Toni menjelaskan, FKUB Provinsi Papua, FKUB Kota Jayapura dan juga para pemimpin lembaga agama di Kota Jayapura sangat mengapresiasi bahwa budaya di Papua ini harus dilestarikan.

Dengan adanya 12 Surat Keputusan Kultural MRP ini menegaskan bahwa budaya di Papua, yang terdiri dari pelbagai macam ragam suku ini harus dijaga dari kepunahan.

“Contohnya bahasa ada beberapa bahasa yang sudah punah di Papua. Hal ini kalau tak ada 12 Surat Keputusan Kultural  MRP ini, maka  perlahan budaya di Papua ini akan punah,” katanya.

Sementara budaya ini sebagai pengikat orang asli Papua, termasuk agama. Antara agama dan budaya ini tak bisa dipisahkan, karena manusia lahir dari budaya dan didalam budaya itu ada nilai-nilai kebaikan yang harus dijaga dan dilestarikan.

“Karena ada pesan pesan moral disana, pesan pesan kultural, pesan pesan toleransi, saling menghormati, menjaga, melindungi, melestarikan alam. Itu pesan pesan budaya itu harus terus kita jaga,” ucapnya.

“Jadi kalau tak ada budaya, maka masyarakat itu akan kering dari budaya, sehingga kita akan mengalami kekosongan kekosongan budaya, maka kita akan merasa terasing dengan kita sebagai orang asli Papua,” terangnya.

Toni berharap agar MRP kedepan termasuk salah satunya tugas dan fungsi kewenangan MRP ini harus diperkuat, khususnya  mempunyai hak legislasi didalam Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2004 tentang Tugas dan Kewenangan MRP.

“Ini harus diperkuat, sehingga MRP bisa mempunyai hak legislasi untuk mengawasi jalannya Otsus secara baik di 4 bidang, yakni pendidikan kesehatan infrastruktur dasar dan ekonomi kerakyatan,” tukasnya.

Selain itu, ungkapnya, MRP juga mempunyai hak inisiasi untuk membuat Perdasus, karena MRP adalah lembaga kuktural yang lebih memahami kondisi dan aspirasi orang asli Papua.(*)

 

Read More