Categories Berita

MRP Sebut Pelaksanaan Otsus di Papua Tidak Beri Perubahan

pengelolaan dana Otsus Papua meski menuai sorotan tetap dilanjutkan – Ist

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait menyatakan, pelaksanaan otonomi khusus (Otsus) di Papua tidak memberikan banyak perubahan bagi masyarakat lokal. Menurut Yoel, selama ini, tidak ada kekhususan yang dirasakan di Papua.

“Kami berharap melalui pelaksanaan otsus ada suatu perubahan baik bagi rakyat Papua, tapi kenyataan yang terjadi dalam pelaksanaannya tidak ada hal yang baru. Tidak ada kekhususan di tanah Papua,” ujar Yoel dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Rabu (23/2/2022).

Yoel mengungkapkan, selama 20 tahun, pemerintah hanya menjanlankan empat dari 24 kewenangan yang diatur dalam UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001. Empat kewenangan itu adalah adanya ketentuan gubernur orang asli Papua, MRP, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan dana otsus.

“Yang lainnya tidak jalan, termasuk Pasal 49 tentang pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Banyak masalah belum selesai,” ucapnya.

Sementara itu, pemerintah dan DPR memutuskan merevisi UU Otsus Papua dan kemudian mengesahkannya pada Juli 2021.

Menurut Yoel, revisi UU Otsus Papua dilakukan secara terburu-buru tanpa melihat akar masalah yang sebenarnya terjadi di Papua. Ia pun menyatakan, rakyat Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi undang-undang tersebut.

“Kami melihat pemerintah menggampangkan persoalan Papua. Tidak melihat persoalan yang mengakar, misal ada kajian LIPI, mestinya bisa jadi rujukan bagi pemerintah dlm menyelesaikan masalah dengan baik. Kami merasa proses yang berjalan sangat melukai hati dan perasaan orang Papua,” tuturnya.

Karena itu, MRP mengajukan gugatan terhadap UU Otsus Papua Nomor 2 Tahun 2021 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun gugatan tercatat sebagai perkara nomor 47/PUU-XIX/2021. Yoel menegaskan, gugatan ke MK merupakan upaya konstitusional yang ditempuh MRP demi meraih keadilan.

“Kami ingin secara bermartabat menguji konstitusi. Kami tahu sembilan hakim MK adalah negarawan, bagaimana (menjaga) keutuhan NKRI. Kami berharap melalui majelis hakim MK bisa memberikan putusan yang berkeadilan bagi rakyat Papua,” ucapnya. (*)

Sumber: https://nasional.kompas.com/

Read More
Categories Berita

MRP: Pemekaran Papua Untuk Kepentingan Siapa?

Timotius Murib (Ketua), saat memberikan keterangan pers di didampingi Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) mempertanyakan niat pemerintah pusat terkait rencana pemekaran Papua menjadi enam wilayah administrasi. Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan Papua tidak memenuhi syarat kepadatan penduduk untuk dimekarkan.

“Indikator pemekaran di Provinsi Papua, sama sekali tidak ada. Terus kepentingan siapa? Kepentingan apa? Pemerintah Pusat bernafsu sekali untuk mendorong melakukan pemekaran di Provinsi Papua,” kata Timotius saat media visit dengan CNN Indonesia, Selasa (22/3).

Ia membandingkan jumlah penduduk Papua dengan provinsi lain yang memiliki penduduk banyak. Menurutnya, aneh jika pemerintah justru berambisi melakukan pemekaran di Papua alih-alih di daerah tersebut.

“Kami serba bingung. Sementara teman-teman di provinsi lain, katakan seperti di Jawa Barat, ini kan puluhan juta penduduk, tidak dimekarkan. Indikator syarat pemekaran itu kan juga sudah dipenuhi, tapi tidak dimekarkan,” katanya.

Lebih lanjut, Timotius juga menyinggung soal UU Otsus Papua hasil revisi yang telah mempermudah pemekaran wilayah di Bumi Cendrawasih.

Aturan sebelumnya, pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, namun berdasarkan UU Otsus revisi, pemerintah pusat punya wewenang untuk melakukan pemekaran di Papua.

“Kita tidak prasangka buruk. Tapi ini ada kepentingan apa? Negara memaksakan untuk pemekaran di tanah Papua. MRP menolak pemekaran atau DOB di tanah Papua dengan alasan tidak memenuhi syarat atau indikator untuk lakukan pemekaran,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid meminta pemerintah untuk menunda seluruh pelaksanaan UU Otsus Papua hingga Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan terkait uji materiil yang dilayangkan oleh MRP.

Salah satu implementasi UU Otsus baru itu adalah pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran wilayah di Papua.

“Pemekaran wilayah yang pemerintah sedang laksanakan itu menggunakan UU Otsus yang baru. Kalau UU Otsus yang lama, mereka enggak boleh melakukan itu, kalau mereka melakukan itu maka melanggar pasal 76 yang mewajibkan pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP,” kata Usman.

Ia justru curiga, ambisi pemerintah melakukan pemekaran terkait dengan proses perizinan penambangan di Blok Wabu.

Selama 2-3 tahun terakhir, kata dia, ada tarik ulur antara Kementerian ESDM dengan Gubernur Papua soal penambangan di tempat tersebut.

“ESDM seperti ingin cepat-cepat dapat izin wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dari Gubernur. Lalu muncul beredar surat dari gubernur yang menyetujui, tapi tidak pernah dikonfirmasi oleh kantor gubernur. Saya temui Kepala Biro Hukum, Biro Umum, staf ahli, semuanya membantah,” katanya.

Dengan kondisi itu, ia menduga pemerintah mengambil jalan pintas dengan pemekaran wilayah agar izin mudah diberikan.

“Tampaknya pemerintah seperti kesulitan untuk dapatkan persetujuan penuh dari gubernur, sehingga mencoba dalam ‘mencari jalan pintas’ untuk meminta persetujuan gubernur baru. Misalnya kalau ingin dapat WIUPK di Blok Wabu, bikin saja provinsi pemekaran, Papua Tengah misalnya. Gubernur bisa orang mereka atau orang yang dukung mereka. MRP-nya juga dibuat seperti yang mereka inginkan,” kata Usman.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan pemekaran Provinsi Papua bakal menjadi enam wilayah administrasi. Namun, rencana tersebut belum final karena masih terdapat perdebatan terkait pemekaran.

Enam provinsi yang diusulkan pemerintah pusat antara lain, Papua Barat Daya, Papua Barat, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tabi Saireri.

Sementara itu, Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan rencana pemekaran provinsi diPapua danPapua Barat adalah bagian dari upaya pemerintah meratakan pembangunan.(*)

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/

Read More
Categories Berita

MRP: Demonstrasi Tolak Otsus yang tak Konsisten, Bukan Papua Merdeka

Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, demonstrasi yang terjadi di beberapa wilayah di Papua merupakan aksi penolakan terhadap pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang tidak konsisten. Menurutnya, demonstrasi itu bukan untuk meminta Papua merdeka. 

“Demonstrasi yang terjadi di Wamena, di Mapaho, di Jayapura, itu mayoritas rakyat itu menolak, yang menolak ini bukan minta Papua merdeka, yang menolak ini adalah tidak setuju dengan pelaksanaan otsus yang tidak konsisten,” ujar Yoel dalam diskusi daring pada Kamis (25/3/2022) kemarin.

Dia menuturkan, sejauh ini tidak ada riset atau penelitian yang merekomendasikan perlu adanya pemekaran wilayah di Papua. Namun, pemerintah pusat justru akan membentuk empat daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.

Rencana pemekaran disampaikan pemerintah saat pembahasan perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Revisi itu kini sudah disahkan dalam UU Nomor 2/2021 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Juli 2021.

“Tidak ada riset, tidak ada penelitian yang merekomendasikan perlu ada pemekaran di Papua. Lalu sekarang pemekaran untuk siapa?” tanya Yoel.

Menurut Yoel, penyusunan UU Otsus yang baru itu dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Pemerintah tidak melibatkan aspirasi publik maupun masyarakat Papua, termasuk MRP. “UU ini adalah produk Jakarta, tapi dipaksakan untuk bisa diterapkan di Papua, enggak mungkin, aspirasi rakyat itu harus diakomodasi dulu,” kata dia.

Dia mengatakan, MRP membuka diri jika dilakukan dialog agar aksi kekerasan bisa dihentikan. Namun, dia menegaskan, dialog ini konteksnya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak ada aksi saling curiga antara satu sama lain. (*)

Sumber: https://www.republika.co.id/

Read More