Categories Berita

Bertemu MRP, BEM Uncen Serahkan Pernyataan Sikap Tolak Pemekaran Papua

BEM Uncen menyerahkan pernyataan sikap mereka untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua kepada Ketua MRP, TImotius Murib di Kota Jayapura, Kamis (24/3/2022). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Universitas Cenderawasih menemui pimpinan Majelis Rakyat Papua di Kota Jayapura, Kamis (24/3/2022). Dalam pertemuan itu, BEM Universitas Cenderawasih menyerahkan pernyataan sikap resmi mereka untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua.

Rombongan BEM Universitas Cenderawasih (Uncen) yang mendatangi Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) itu dipimpin Ketua BEM Uncen, Salmon Wantik. Mereka diterima oleh Ketua MRP, Timotius Murib. Wantik menyatakan rakyat Papua tidak pernah meminta pemekaran Provinsi Papua.

Menurutnya, wacana pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk sejumlah provinsi baru itu justru dipaksakan pemerintah pusat di Jakarta, dengan meminjam tangan elit politik Papua.

“Para Bupati dan pejabat elit politik lain, stop minta pemekaran. Rakyat tidak pernah berikan mandat kepada mereka untuk meminta pemekaran Provinsi Papua. Kami mengutuk mereka yang jalan minta pemekaran itu [dengan] mengatasnamakan Orang Asli Papua yang telah mati dan atas nama Tanah Papua ini,” kata Wantik saat beraudiensi dengan MRP.

Wantik menyatakan berbagai pemekaran wilayah yang pernah dilakukan di Tanah Papua tidak membawa kesejaheraan bagi Orang Asli Papua. Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua justru dinilai Wantik berdampak negatif bagi Orang Asli Papua. Hal itulah yang menyebabkan berbagai pihak bersuara untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua.

“Lapisan masyarakat Papua bersama mahasiswa masih konsisten melakukan kampanye menolak DOB. Karena pemekaran merupakan peluang bagi trasmigrasi, peluang bagi investasi asing. [Itu] realita objektif yang telah berlangsung lama, bahkan menjadi pengetahuan umum bagi rakyat Papua. Kebijakan Jakarta yang sedang mengupayakan pemekaran [bertemu] siasat elit Papua [yang] mencari kuasa. Pembahasan usulan DOB oleh DPR RI mengabaikan kritik publik [terhadap rencana pemekaran Papua,” kata Wantik.

Wantik menyatakan ada banyak data yang menunjukkan bahwa Orang Asli Papua telah menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri, antara lain karena pemekaran wilayah yang semakin mendorong migrasi orang dari luar Papua. Bahkan, Otonomi Khusus (Otsus) Papua gagal mencegah migrasi besar-besaran itu.

“Banyak data yang mununjukkan bahwa Orang Asli Papua menjadi minoritas di atas tanah sendiri, sekalipun ada Otonomi Khusus Papua. Oleh karena itu, kami menilai Otonomi Khusus Papua telah gagal. Otonomi Khusus dan pemekaran adalah satu paket kebijakan politik pembangunan yang tidak pro rakyat Papua. Tanah dan hutan Papua diambil alih atas nama pembangunan, pertanian, hingga perkebunan kelapa sawit. Hasilnya memicu transmigrasi spontan tak terkendali di Tanah Pарua,” kata Wantik.

Ia juga mengkritik pemekaran wilayah yang selalu diikuti dengan penambahan satuan teritorial TNI dan Polri di Tanah Papua. Pos TNI dan Polri terus bertambah banyak dan meluas, yang pada akhirnya justru memperluas wilayah konflik di Papua.

“Apa untungnya pemekaran bagi orang Papua, jika pemekaran mengabaikan hak orang asli Papua? Maka dari itu, kami bersama rakyat Papua menolak segala paket [kebijakan pemekaran] yang ditawarkan,” kata Wantik.

Wantik menyerahkan pernyataan resmi BEM Uncen itu kepada Ketua MRP, Timotius Murib. Pernyataan itu juga memuat tuntutan BEM Uncen kepada pemerintah untuk menarik pasukan organik dan non organik dari sejumlah kabupaten yang dilanda konflik bersenjata, yaitu Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak Jaya, Puncak, serta Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat.

BEM Uncen juga menolak paket kebijakan Otsus Papua Jilid 2. BEM Uncen mendorong pemerintah pusat untuk melihat akar persoalan Papua dari perspektif Orang Asli Papua, dan bukan memaksakan cara pandang Jakarta untuk melihat akar masalah Papua.

BEM Uncen menyatakan pemerintah harus berhenti mengeluarkan berbagai perizinan yang mengeksploitasi sumber daya alam di Papua, dan meminta pemerintah Indonesia memberi akses kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengunjungi Papua.

Selain itu, BEM Uncen juga meminta Jakarta menggelar referendum sebagai solusi demokratis untuk menyelesaikan konflik Papua.

Dalam audiensi bersama BEM Uncen itu, Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan pihaknya telah melakukan banyak hal untuk menyelamatkan tanah dan Orang Asli Papua. Akan tetapi, berbagai upaya MRP itu dihambat banyak pihak.

“Kita mau lakukan Rapat Dengar Pendapat [Evaluasi Otsus Papua] dihadang, sampai ada anggota kami yang diborgol [polisi]. Ada pejabat yang tidak terima MRP melakukan Rapat Dengar Pendapat itu,” kata Murib.

Murib menyatakan wacana pemekaran Provinsi Papua terus muncul karena ada kepentingan sejumlah Bupati yang telah dua kali menjabat dan tidak bisa mencalonkan diri lagi. “Soal pemekaran, itu kepentingan para elit Papua, para Bupati yang sudah berkahir masa jabatan mereka,” ucap Murib.

Murib menyatakan MRP juga telah bersikap tegas atas langkah pemerintah pusat dan DPR RI yang secara sepihak membahas dan mengundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru).

Murib menyatakan banyak perubahan kewenangan dalam UU Otsus Papua Baru yang justru memperlemah upaya penyelamatan tanah dan orang Papua.

“Masalah hari ini bukan saja soal Orang Asli Papua yang ditembak mati, tapi [juga] soal tanah. Banyak masalah tanah di Papua ini. Besok-besok, tidak lagi para ondoafi yang [mengatur masalah tanah], [yang] berkuasa nanti, semua negara yang atur,” ucap Murib.(*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories AdatBerita

MRP Berharap Revisi RTRW Papua Berpihak Kepada Masyarakat Adat

Anggota Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua dari Wilayah Adat Saereri, Edison Tanati.- for Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP berharap revisi Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW Provinsi Papua yang saat ini sedang dibahas oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Papua benar-benar berpihak pada masyarakat adat.

Hal tersebut disampaikan anggota Kelompok Kerja Adat MRP, Edison Tanati di Kota Jayapura, Rabu (23/3/2022). Edison Tanati menghadiri diskusi kelompok terpumpun dan konsultasi publik revisi Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW di Jayapura.

Diskusi kelompok terpumpun dan konsultasi publik itu diselenggarakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua untuk menyelaraskan data berbagai lembaga yang digunakan sebagai basis data revisi RTRW Papua. Menurut Tanati, keberadaan RTRW sangat berpengaruh terhadap perlindungan tanah masyarakat adat. Oleh karena itu, perencanaan RTRW harus bisa mempertegas wilayah mana yang tidak boleh dibangun, misalnya kawasan hutan bakau dan sagu.

“Memang sebelumnya banyak sekali masyarakat adat yang dirugikan. Makanya untuk saat ini kami berharap [perencanaan dan revisi RTRW Papua] bisa [memberikan] perlindungan hutan adat serta hak-hak masyarakat adat,” ujarnya.

Tanati yang merupakan wakil masyarakat adat Saereri di MRP menegaskan bahwa Wilayah Adat Saereri memiliki lokasi sakral yang tidak boleh dirusak atau diganggu. Lokasi sakral itu antara lain berupa sekolah adat dan tempat yang ditumbuhi makanan pokok masyarakat adat setempat. Tanati melihat pembangunan di berbagai wilayah di Papua berdampak buruk bagi masyarakat adat.

“Kami melihat seperti di Sentani, [ibu kota] Kabupaten Jayapura, keberadaan kebun sagu sudah habis karena adanya pembangunan perumahan. Hal itu sangat merugikan, karena sagu merupakan makanan pokok masyarakat adat,” katanya.

Ia berharap lewat diskusi kelompok terpumpun dan konsultasi publik revisi RTRW yang digelar Bappeda Papua dapat memberi ketegasan dalam rangka perlindungan hutan sagu dan bakau. “Keduanya perlu perlindungan dari tangan para pengusaha properti, sebab hutan sagu akan menjadi pangan masa depan bagi anak cucu kita. Sementara bakau merupakan hutannya seluruh ekosistem [kawasan pesisir],” katanya.

Hal senada disampaikan anggota Kelompok Kerja Adat MRP dari Wilayah Adat Lapago, Aman Jikwa. Jikwa mengapresiasi langkah Bappeda Papua dan mitranya untuk melibatkan perwakilan dari lima wilayah adat di Papua untuk berpartisipasi dalam penyempurnaan revisi RTRW Papua yang akan berlaku selama 20 tahun mendatang.

“Harus ada tindak lanjut dari pertemuan hari ini. Supaya ada satu kekuatan besar yang nyata dalam membangun Papua,” kata Jikwa.

Jikwa menyatakan pemetaan hak ulayat masyarakat adat harus dilakukan secara baik. Menurutnya, hak ulayat dan masing-masing wilayah adat memiliki keunggulan yang perlu dikelola serta dikembangkan sebagai pendapatan masyarakat adat setempat.

“Itu sudah kami sampaikan. Semoga [revisi] RTRW [itu] benar-benar berpihak dan melindungi keberadaan masyarakat adat,” kata Jikwa. (*)

Sumber: Jubi

Read More