Categories Berita

MRP dan Komnas Perempuan Bekerja Sama Lindungi Perempuan di Daerah Konflik

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib dan Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani berfoto usai menandatangani Nota Kesepahaman kedua lembaga di Kota Jayapura, Selasa (15/3/2022) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menandatangani Nota Kesepahaman kerja sama untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan Papua. Nota kesepahaman itu ditandatangani di Kota Jayapura, Selasa (15/3/2022).

Menurut Ketua MRP, Timotius Murib, Nota Kesepahaman MRP dan Komnas Perempuan itu berjangka waktu tiga tahun.

“Hari ini MRP melakukan MoU dengan Komnas Perempuan. Kerja sama itu untuk mewujudkan advokasi bagi ibu dan anak, terutama yang berada di daerah konflik,” kata Murib.

Menurut Murib, Nota Kesepahaman kedua lembaga itu sangat penting. “Itu sangat penting untuk melakukan perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan terhadap ibu dan anak Orang Asli Papua di daerah konflik. Seperti di Kiwirok, Intan Jaya, Nduga, Puncak, dan daerah konflik lainnya,” kata Murib.

Ia menjelaskan MRP telah membentuk tim hak asasi yang nantinya juga akan bekerja sama dengan Komnas Perempuan dalam melakukan pelayanan dan advokasi hak perempuan dan anak di daerah konflik.

“Sangat penting untuk melakukan satu kerja sama, supaya kerja-kerja kami memberi dampak terhadap perlindungan perempuan dan anak,” kata Murib.

Murib menyatakan kerja sama MRP dan Komnas Perempuan itu juga akan menjangkau masalah penanganan ribuan warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata di sejumlah wilayah.

“Kerja sama Komnas Perempuan itu akan memberikan dampak, terutama [dalam] pelayanan kepada para pengungsi daerah konflik. Konflik berdampak [kepada] perempuan dan anak, [mereka] kehilangan segala sesuatu,” ujarnya.

Menurut Murib, MRP ingin memberikan proteksi kepada perempuan dan anak di wilayah konflik. “Contohnya ada masyarakat yang dari daerah konflik pindah ke daerah lain, itu harus diperhatikan oleh MRP. Bagaiman korban itu bisa mendapatkan makan, minum, pendidikan, dan kesehatan. Itu adalah kerja kongkrit yang akan dilakukan MRP,” ucapnya.

Ia menjelaskan MRP telah membentuk sejumlah tim untuk mengunjungi para warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata. “Tensi konflik makin meningkat, sehingga kami akan bergandengan tangan dengan berbagai pihak. MRP juga akan mengajak Pemerintah Provinsi Papua untuk lebih memperhatikan perlindungan [bagi perempuan dan anak di wilayah konflik] itu,” ujarnya.

Murib juga berharap pemerintah bisa segera memulangkan para warga sipil yang mengungsi. “Pemerintah setelah memulihkan daerah [dapat] mengembalikan mereka ke daerah asal atau kabupaten masing-masing. Itu menjadi tugas MRP, untuk melakukan diskusi dengan pihak pemerintah daerah,” ucap Murib.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan pihaknya merasa mendapatkan penghormatan karena bisa bekerja sama dengan MRP untuk memajukan perlindungan bagi perempuan dan anak Orang Asli Papua.

“Salah satu pekerjaan rumah kami adalah memastikan Peraturan Daerah Khusus No 1 tahun 2011 [bisa berlaku efektif] untuk pemulihan perempuan asli Papua [yang menjadi] korban kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan itu melalui Peraturan Gubernur Papua,” katanya.

Andy menyatakan pihaknya mengapresiasi upaya MRP untuk berkoordinasi dengan Gubernur.

“Dalam waktu dekat kami berharap [hal itu] bisa tercapai. Kami juga berharap yang kerja sama itu dapat membantu perumusan arah dan agenda strategis untuk pemenuhan perlindungan terhadap perempuan dan anak Orang Asli Papua,” ujarnya. (*)

Sumber: Jubi

Read More
Categories Berita

Elit Politik Papua Bertanggung Jawab Atas Rencana Jakarta Mekarkan Papua

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib menyatakan elit politik Orang Asli Papua turut bertanggung jawab atas rencana Jakarta memaksakan pemekaran Provinsi Papua. Hal itu dinyatakan Timotius Murib di Kota Jayapura, Selasa (15/3/2022).

“Hal itu harus dicatat oleh pemerintah pusat dan para elit di Papua. Pemekaran yang didesak itu kesalahannya ada di para elit politik Orang Asli Papua. Kalau orang Jakarta itu pihak kedua [saja]. Menurut pandangan MRP, itu [kesalahan] para elit politik, para Bupati,” kata Murib.

Murib menyatakan MRP sebagai lembaga representasi kultural Orang Asli Papua (OAP) tetap bersikap bahwa rencana pemekaran Provinsi Papua harus ditunda. Murib menyesalkan para elit politik di Papua yang terus datang ke Jakarta untuk meminta Provinsi Papua dimekarkan, karena mereka juga paham kalau Provinsi Papua belum layak dimekarkan.

“Pemekaran itu kunci-kuncinya seperti apa terhadap orang Papua, itu sebenarnya [mereka] pernah tahu. Tapi mereka paksa untuk minta pemekaran. MRP minta agar DOB ditunda, bukan dibatalkan, tapi ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan,” kata Murib.

Murib menyatakan pihaknya memiliki sejumlah alasan untuk terus meminta pemerintah pusat menunda rencana pemekaran Provinsi Papua.

“Penundaan itu maksudnya kita benahi dulu semua regulasi Otonomi Khusus yang ada. Kemudian [membenani] regulasi lain yang berbenturan dengan [kewenangan] Otonomi Khusus. Itu yang harus diperbaiki, dan semua pihak harus terlibat. Kalau sudah bagus, baru bicara pemekaran di kemudian hari, setelah kelayakan DOB dilakukan,” kata Murib.

Murib juga menanggapi pernyataan Forum Kepala Daerah Wilayah Tabi, yang meliputi Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, dan Kabupaten Mamberamo Raya.

Ia mengajak para bupati wilayah itu bersama-sama mengevaluasi mengapa pembentukan kabupaten hasil pemekaran terdahulu tidak membawa kesejahteraan bagi OAP.

“Saya pikir apa yang disampaikan oleh Bupati ini adalah aspirasi terdahulu [yang sempat] disampaikan masyarakat pro pemekaran. Sebagai bupati, dia harus tahu bahwa di kabupaten pemekaran yang [sudah] ada saja tidak memberikan manfaat yang baik kepada OAP. Kita bicara dulu regulasi Undang-undang Pemerintahan Daerah, baru kita bicara baik-baik [tentang] pemekaran,” kata Murib.

Murib menegaskan permintaan MRP kepada pemerintah pusat untuk menunda rencana pemekaran Provinsi Papua justru sejalan dengan moratorium pemekaran wilayah yang diberlakukan Presiden Joko Widodo di seluruh Indonesia. Jika ingin konsisten dengan kebijakan itu, demikian menurut Murib, seharusnya pemerintah pusat tidak memaksakan pemekaran Provinsi Papua.

Salah satu warga Kota Jayapura, Mama Erika menilai rencana pemekaran Provinsi Papua adalah kepentingan para elit. Erika menyatakan orang Papua memiliki pengalaman terhadap pemekaran wilayah terdahulu yang tidak terbukti berhasil menyejahterakan OAP.

Ia khawatir pemekaran provinsi hanya akan memperderas arus migrasi orang dari luar Papua.

“Kita punya anak-anak yang honorer saja belum diangkat, sampai sempat honorer ada demo. Jangan buka pemekaran, nanti orang dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan daerah lain yang datang kerja, dan kita hanya jadi penonton,” ujar Mama Erika. (*)

Sumber: Jubi

Read More