Categories Berita

Sidang Gugatan UU Otsus: Kuasa Hukum MRP Hadirkan 4 Saksi, DPRP Tidak Hadir

3 Saksi Fakta dari Majelis Rakyat Papua saat mengambil sampah sebelum di laksanakan sidang gugatan UU Otsus di MK, Kamis (10/3/2022) – Humas MRP

JAKARTA MRP – Sidang gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua), diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sidang digelar secara daring pada Rabu 10 Maret 2022, dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.Terbuka untuk umum.

Agenda sidang yakni mendengar keterangan saksi pemohon. Pemohon menghadirkan 4 saksi yakni Nursahri, Benny Swenny, Helena Hubi, Whenslaus Fatubun. Semua hadir kecuali pihak DPRP . Majelis Rakyat Papua (MRP) diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II). Mereka tercatat sebagai Pemohon dengan Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang itu, para pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).

Para saksi merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo (pengejewantahan dari kebiasaan internasional yang telah dituangkan dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional- red) .

Pemohon menghadirkan saksi Wakil Ketua Tim Kerja RDP Majelis Rakyat Papua, anggota wilayah adat Saireri, Benny Swenny. Dia membeberkan situasi yang dialaminya saat melakukan Rapat dengar Pendapat di Lapangan.

“Kedua lembaga ini akan memfasilitasi RDP, sesuai amanat pasal 77 Undang-Undang Otsus Papua. Sehingga MRP melakukan RDP untuk mengantisipasi penyampaian aspirasi secara anarkistis namun inisiatif itu dihadang oleh aparat penegak hukum dan segelintir waraga,” katanya. (*)

Sumber: Jubi

Read More
Categories Berita

MRP Sentil Rezim soal HAM di Papua: Yang Tewas Manusia Bukan Hewan

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua, Timotius Murib mengingatkan kepada pemerintah Indonesia bahwa yang tewas di Papua itu adalah manusia bukan hewan. Hal itu ia sampaikan menyusul banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan.

Timotius mengatakan, dari 34 provinsi di Indonesia, masyarakat yang tidak mendapatkan kedamaian barangkali Provinsi Papua atau masyarakat asli Papua. Kekerasan yang terjadi pada bidang sipil, politik, ekonomi dan sosial di tanah Papua belum pernah diselesaikan dengan baik.

“kalau kita berbicara soal pelanggaran HAM di Papua belum pernah diselesaikan secara konstituen oleh negara,” kata Timotius dalam acara Media Briefing yang diadakan oleh lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) secara daring, Rabu (9/3).

Ia mengungkapkan, Presiden Jokowi bahkan tidak pernah menemui baik Dewan Perwakilan Rakyat Papua maupun Majelis Rakyat Papua yang menjadi representasi kultural orang asli Papua. Sehingga, tidak heran jika masalah pelanggaran HAM di Papua tak pernah selesai.

“Sudah 11 kali ke Papua, tetapi tidak pernah menemui DPR Papua dan MRP Papua. Omong kosong kesana kemari mau selesaikan apa?” ungkapnya.

Timotius menyebut pelanggaran HAM terus terjadi di Papua karena negara tidak menjalankan Otonomi Khusus (Otsus) Papua secara konsekuen. Seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi HAM, dan Pengadilan HAM di Papua. Ada banyak sebab kegagalan pelaksanaan Otsus.

Salah satu kegagalan UU Otsus itu terjadi karena pemerintah secara sepihak membuat kebijakan sendiri seperti dalam pemekaran wilayah. Sebab lain adalah konflik dua regulasi. UU Otonomi Khusus dan UU Otonomi Daerah.

“Sayangnya, para walikota dan bupati kebanyakan hanya melaksanakan UU Otonomi Daerah, tidak kepada UU Otsus. Pada akhirnya, MRP mendesak Pemerintah untuk melaksanakan UU Otsus Tahun 2001 dan jika hendak mengubah UU tersebut maka seharusnya UU Otsus terkait Papua harus dikonsultasikan dengan rakyat Papua,” ungkap Timotius.

Ia mengatakan bahwa rakyat Papua sempat harapan dengan hadirnya Otonomi Khusus dinilai dapat sedikit menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua.

Kendati demikian, sudah 20 tahun Otonomi Khusus diimplementasikan namun faktanya hal itu tidak menyelesaikan permasalahan HAM di Papua.

Lebih lanjut, Timotius mengingatkan pentingnya hak orang asli Papua sebagai masyarakat adat yang telah dijamin oleh UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Namun, kewenangan-kewenangan otonomi tersebut sekarang melemah dengan adanya UU No. 2/2021 Tentang Amandemen Kedua Otonomi Khusus.

Dalam hal ini pihaknya terus berupaya untuk menjaga sistem perlindungan hak-hak OAP (Orang Asli Papua) melalui pelaksanaan tugas dan wewenang UU Otsus 2001 sebagai solusi yang sejak awal reformasi diyakini dapat memperbaiki situasi HAM di Papua, termasuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. (*)

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/

Read More
Categories Berita

PBB Pertanyakan Soal Kekerasan di Papua, MRP: Negara Wajib Menjawab, Tidak Boleh Disembunyikan

Timotius Murib, Ketua MRP (tenggah) di dampingi Yoel Luiz Muliat Waket I MRP dan Debora Mote Waket II MRP saat memberikan keterangan pers, Rabu (9/3/2022) – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Pemerintah Indonesia diminta oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB melalui Special Procedures Mandate Holders (SPMH) untuk memberikan klarifikasi dan penjelasan soal beragam kekerasan yang terjadi di Papua.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib menilai, pemerintah tidak boleh menyembunyikan apa yang terjadi di Bumi Cenderawasih.

Ia sempat menyampaikan ucapan terima kasih kepada para ahli di PBB karena sudah meminta klarifikasi kepada Indonesia. Atas adanya permintaan tersebut, maka menurutnya Indonesia harus transparan.

“Negara wajib menjawabnya tidak boleh menyembunyikan apa yang terjadi di Papua. Pemerintah perlu memenuhi janji mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung Papua. Jika tidak ingin Komisioner Tinggi HAM PBB berkunjung ke Papua, maka muncul pertanyaan di masyarakat, ada apa?” kata Timotius dalam acara diskusi daring yang ditayangkan YouTube Public Virtue Institute, Rabu (9/3/2022).

Kemudian, ia juga menyinggung adanya pelanggaran HAM terus terjadi di Papua karena pemerintah tidak menjalankan Otonomi Khusus Papua secara konsekuen. Menurutnya hal tersebut dikarenakan konflik dua regulasi.

“UU Otonomi Khusus dan UU Otonomi Daerah. Sayangnya, para walikota dan bupati kebanyakan hanya melaksanakan UU Otonomi Daerah, tidak kepada UU Otsus. MRP menilai seharusnya UU Otsus terkait Papua dikonsultasikan dengan rakyat Papua.”

PBB Pertanyakan Kekerasan Papua ke Pemerintah Indonesia

Pakar HAM PBB menyampaikan desakan serius mengenai situasi HAM di Provinsi Papua Barat dan Papua. Disebutkan bahwa ada banyak kekerasan mengejutkan yang dialami oleh masyarakat asli Papua.

Mengutip laman resmi Dewan Tinggi HAM PBB (Office of the High Commissioner/OHCHR), beberapa kekerasan yang terjadi di Papua dan Papua Barat meliputi pembunuhan anak-anak dan hilangnya sejumlah orang.

Karena itulah, Pakar HAM PBB mendesak agar akses kemanusiaan menuju daerah terkait dapat segera dibuka. Selain itu, para pakar juga meminta pemerintah Indonesia untuk mengadakan penyelidikan secara penuh dan independen terkait masalah kekerasan terhadap warga asli Papua.

“Antara rentang April hingga November 2021, kami menerima banyak tuduhan yang mengindikasikan adanya beberapa praktik pembunuhan di luar proses hukum (extrajudical killing), termasuk kepada anak-anak kecil,” ungkap para pakar, dikutip Suara.com pada Rab (2/3/2022).

“(Ada upaya) penghilangan paksa, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi.”

“Dan pemindahan paksa terhadap setidaknya lima ribu orang asli Papua, yang dilakukan oleh pasukan keamanan,” katanya.

Sejak terjadi peningkatan kekerasan pada Desember 2018 lalu, setidaknya ada sekitar 60.000-100.000 warga Papua yang dipindahkan paksa.

Konflik yang terjadi pun, dijelaskan para pakar, menyebabkan sebagian besar pengungsi di Papua Barat tidak bisa kembali ke rumah masing-masing.

“Mereka tidak bisa kembali karena kehadiran pasukan keamanan yang ketat dan konflik bersenjata yang terjadi di daerah,” jelasnya.

“Beberapa pengungsi lalu memilih tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. (Tapi) ribuan penduduk desa yang terlantar memilih melarikan diri ke hutan, di mana mereka berhadapan dengan iklim yang keras di dataran tinggi tanpa akses ke fasilitas makanan, perawatan kesehatan, dan pendidikan,” ujarnya.

Di sisi lain, badan kemanusiaan seperti palang merah kesulitan untuk mengakses para pengungsi.

“Kami sangat terganggu juga dengan laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh otoritas setempat,” ujarnya. (*)

 

Sumber: https://www.suara.com/

Read More