Categories Berita

Mentransformasi Konflik Politik Bersenjata menjadi Gerakan Politik Berpartai di Papua

Sidang Perdana diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) – HUMAS MKRI

JAYAPURA, MRP – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/2/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi Pemohon.

Otto Nur Abdullah dalam kapasitasnya sebagai Ahli yang dihadirkan MRP (Pemohon) berpandangan bahwa Papua adalah daerah konflik vertikal pasca penentuan pendapat rakyat pada 1969. Ada juga yang mengatakan konflik vertikal ini sejak 1962.

“Namun demikian, yang pasti rentang waktu konflik di Papua ini sudah sangat panjang. Bahkan jauh lebih panjang dari konflik Aceh. Sekarang Papua bisa kita katakan sudah masuk generasi ketiga,” jelas Otto kepada Pleno Hakim MK yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.

Partai Politik Lokal

Dalam situasi konflik vertikal yang berkelanjutan, lanjut Otto, secara teoritis sulit dihentikan dengan segera dan seketika. Konflik vertikal itu harus ditransformasi dulu karena sudah terlampau lama, untuk dieskalasi konflik bersenjata yang sekaligus berkenaan dengan peningkatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, UUD NRI Tahun 1945 dan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila.

“Pendekatan transformasi konflik ini dilakukan di Aceh. Namun sebelum tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menempuh jalur informal dengan mengirim utusan Mensesneg saat itu, untuk bertemu dengan Panglima GAM,” jelas Otto.

Sedangkan di Papua, kata Otto, kesadaran transformasi konflik muncul sejak diberikan status Otonomi Khusus Papua. Salah satu bentuk kesadaran transformasi konflik adalah dengan pemberian payung hukum bagi partai lokal dalam UU No. 21 Tahun 2001. Hal ini bertujuan untuk mentransformasi dari konflik politik bersenjata menjadi gerakan politik berpartai. Selain itu, partai lokal dalam perspektif teori resolusi konflik, dapat menjadi wadah untuk membentuk kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan bernegosiasi, kompromi serta mengedepankan rasa keadilan.

Hal positif lainnya, sambung Otto, sebagaimana terjadi di Aceh, partai politik lokal merupakan media yang lebih mudah diakses oleh warga Aceh dalam menyalurkan aspirasi politiknya dan dengan tanpa rasa curiga sebagai politik pusat. Di samping itu, parlemen lokal di satu pihak menjadi arena kontestasi dan di lain pihak menjadi arena kolaborasi antara partai nasional dan partai lokal dalam memperjuangkan aspirasi daerah ke tingkat nasional.

Sejarah Pembentukan Provinsi Papua

Pada kesempatan kali ini, MRP juga menghadirkan saksi M. Musa’ad yang menjelaskan pembentukan Provinsi Papua berdasarkan UU No. 1 PNPS/1962 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat Bentuk Baru, UU No. 12/2009 tentang Pembentukan Provinsi Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonomi di Provinsi Irian Barat. Selanjutnya nama Irian Barat diganti dengan Irian Jaya berdasarkan PP No. 5 Tahun 1973.

“Kemudian berdasarkan aspirasi masyarakat Papua, nama Irian Jaya diganti menjadi Papua yang dituangkan dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya No. 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya menjadi Papua dan secara resmi nama Papua dipakai sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,” urai Musa’ad.

Dalam kurun waktu yang panjang, penyelenggaraan pemerintahan di daerah Otonomi Provinsi Irian Barat hingga Provinsi Irian Jaya tidak dapat berjalan sebagaimana suatu daerah otonom yang diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk mengatur dan mengurus rumahtangga sendiri untuk mengembangkan aspirasi dan prakarsa daerah, tidak ada kebebasan dan kemandirian menjalankan kewenangan. Kebijakan sentralistik telah lama dipraktikkan di Provinsi Irian Barat sampai Provinsi Irian Jaya. Hal ini telah menimbulkan konflik yang mengarah pada terjadinya disintegrasi bangsa.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Timotius Murib mengajukan permohonan tersebut karena setelah mencermati perubahan UU Otsus Papua, terdapat klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.

Selain itu, Timotius menyebut dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *