Categories Berita

Saksi Fakta Pemrov Papua Sebut Perubahan Kedua UU Otsus Papua Tidak Aspiratif

Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/2/2022) siang. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/2/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi Pemohon.

Dr. Muhammad Ridwan Rumasukun, kapasitanya sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Papua dalam memberikan keterangan fakta pemerintah provinsi Papua mengatakan perubahan undang-undang Otonomi Khusus nomor 21 tahun 2001 haruslah bersifat aspiratif dari dan oleh masyarakat daerah yaitu orang asli Papua.

“Harus ada proses meminta pendapat masyarakat Papua, sebagaimana ketika untuk pertama kali membentuk UU Otsus nomor 21 tahun 2001,” kata Rumasukun.

Lanjutnya, tugas dan peran ini telah di atur dalam UU nomor 21 tahun 2001 yang secara konstitusional dilakukan oleh MRP dan DPRP. Gubernur Papua telah menyerahkan proses meminta pendapat rakyat Papua kepada MRP.

“MRP telah melakukan  Rapat Dengar Pendapat (RDP), tetapi kurang mendapat dukungan dan respons positif dari pemerintah, DPR dan berbagai pihak lainnya,” kata Rumasukun.

Ia menegaskan, jika proses perubahan undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua tidak melalui proses  meminta pendapat/aspirasi masyarakat daerah, maka ini adalah suatu kekeliruan, yang cenderung bertentangan dengan konstitusi.

“Sebab dalam salah satu bagian dari ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, bagian III mengenai rekomendasi, mengamanatkan .. UU Otonomi Khusus bagi daerah istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai amanat ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan,” tutur Rumasukun.

Kata Rumasukun, pasal-pasal yang di ujikan yang tertuang dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi provinsi Papua pasal 76 menjelaskan pemekaran provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi di lakukan atas persetujuan MRP dan DPRD setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan social-budaya, kesiapan Sumber Daya Manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang.

Pasal 77 terkait dengan pengujian norma denga frasa; usul perubahan atas undang-undang ini “dapat di ajukan oleh rakyat provinsi Papua melalui MRP dan DPRP” kepada DPR dan pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

“Kami berpendapat bahwa meskipun pemerintah dan DPR memiliki kewenangan dalam pembuatan suatu undang-undang, tetapi untuk undang-undang Otonomi Khusus Papua, proses dan prosedurnya serta subtansi dalam membuat atau merubah UU Otonomi Khsus Papua haruslah dilakukan dengan memperhatikan alasan dan latarbelakang dibentuknya UU nomor 21 tahun 2001 sebagaimana di atur dalam ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/1999 dan ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/2000,” kata Rumasukun.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Timotius Murib mengajukan permohonan tersebut karena setelah mencermati perubahan UU Otsus Papua, terdapat klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.

Selain itu, Timotius menyebut dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories Berita

Perubahan UU Otsus Papua Abaikan Hak OAP

Ifdhal Kasim, Zainal Arifin Mochtar, dan Herlambang Perdana Wiratraman selaku Ahli Pemohon diambil sumpahnya secara daring untuk memberikan keterangan pada sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Kamis (13/01) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

JAYAPURA, MRP – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua), pada Kamis (13/1/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 tersebut diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II).

Dalam sidang tersebut, Mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan UU Otsus Papua sebetulnya dapat diletakkan dalam konteks re-negoisasi dengan mengatur kembali tatanan pemerintah, politik, hukum, dan ekonomi dalam susunan negara RI.

Ifdhal juga menegaskan proses re-negoisasi tidak berjalan dengan baik, adil, dan partisipasif. Perubahan UU Otsus Papua mengabaikan elemen yang paling penting, yaitu tidak mengakomodasi sepenuhnya proses dengar pendapat, konsultasi, dan dialog yang difasilitasi oleh MRP. Padahal partisipasi proses pengambilan kebijakan yang berdampak pada hak dan kepentingan Orang Asing Papua (OAP) itu sangat mutlak.

Dikatakan Ifdhal, deklarasi hak-hak individualisme juga mengaris bawahi pentingnya partisipasi tersebut yang ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan masyarakat adat mempunyai hak partisipasi dalam pembuatan keputusan berkenaan dengan hal-hal yang akan membawa dampak pada hak-hak mereka. Hak partisipasi tersebut dilakukan melalui perwakilan-perwakilan yang mereka pilih sesuai dengan prosedur mereka sendiri dan juga untuk mempertahankan pranata pembuatan keputusan yang mereka miliki secara tradisional.

“Maka terlihat dengan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus tidak cukup menjamin hak ini khususnya norma dapat diajukan oleh OAP melalui MRP dan DPRP sebab usul perubahan UU tidak bersifat imperatif harus melalui MRP sebagai kultural OAP bisa saja dilakukan konsultasi, rapat dengar pendapat dengan rakyat papua melalui MRP,” jelas Ifdhal dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman secara daring.

Menurut Ifdhal, dalam konteks internal self-determination terlihat Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Otsus Papua menempatkan kedudukan OAP tidak diperlakukan sama dalam kedudukan hukum dan pemerintahan. Hal ini jelas tidak sejalan dengan deklarasi hak individual yang menyatakan masyarakat adat dan warganya bebas dan sederajat dengan warga lainnya serta mempunyai hak bebas dalam menjalankan haknya tersebut didasarkan atas asal usul atau identitasnya. Selain itu, ketentuan yang tidak memperlakukan sama OAP itu juga tidak sejalan dengan konvenan internasional hak sipil dan politik.

Pada kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar hadir menjadi Ahli Pemohon lainnya. Zainal menjelaskan mengenai frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sebenarnya menjadi sesuatu yang netral. Namun begitu dilekatkan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6A huruf (a) UU Otsus Papua, maka membuat multitafsir yang sangat luar biasa dan berpotensi untuk menimbulkan ketidakpastian hukum.

Menurut Zainal, apabila sesuai dengan peraturan perundang-undangan berarti jenis peraturan perundang-undangannya bisa apa saja. Kemudian, apabila membahas mengenai otonomi khusus, kepastian hukum dalam konteks pemberian peraturan yang lebih kuat didasarkan pada aspirasi daerah lebih harus diperhatikan. Ia mengatakan,  peraturan tersebut jauh lebih baik dan lebih spesifik diatur lebih lanjut. Selain itu, sambungnya, UU ini harus dikaitkan dengan konteks kebijakan mulai dari konsep politik hukum, naskah akademik, pembahasan bahkan dengan UU sebelumnya.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Pemohon menilai adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’. Kemudian, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.(*)

Sumber: HUMAS MKRI

Read More
Categories Berita

Negara Diminta Hormati Proses Gugatan Perubahan Kedua UU Otsus di MK

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di dampinggi ketua MRP Timotius Murib saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Amensty Internasional Indonesia menilai negara (Jakarta) terus mengambil kewenangan-kewenangan yang sudah sebelumnya di berikan  kepada rakyat Papua hingga berdampak pada kerenggangan hubungan antara pemerintahan di daerah dan pusat.

Hal tersebut di sampaikan Usman Hamid, Direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia kepada wartawan, Senin, (21/2/2022).

Kata Usman, kewengan-kewenangan yang di ambil pusat seperti perubahan kedua UU Otsus Papua, pemekaran (DOB) serta kebijakan pembangunan lainnya di tanah Papua.

“Dengan mengambil kewenangan-kewenangan yang sudah sebelumnya di berikan itu sebaliknya justru makin merengangkan hubungan antara pusat dan daerah sehingga menimbulkan keteggangan politik antara Jakarta dan Papua dan pada akhirnya membuat kita semua anti negara, ngak ada menghormati dan melindungi hak-hak orang asli Papua sebagaimana yang diwajibkan oleh konstitusi atau di wajibkan oleh undang-undang,” kata Usman.

Sehingga, Amnesty Internasional Indonesia berharap rapat-rapat sekarang yang intensif di gelar oleh wakil Presiden harus mempertimbangkan proses persidangan yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan menunda sementara terbitnya keputusan-keputusan baru seperti pemekaran wilayah dan lainnya.

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib juga mengkritik banyaknya mantan bupati yang pergi ke Jakarta untuk meminta pemerintah pusat membentuk Daerah Otonom Baru di Papua.

Ia mengingatkan setiap pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru seharusnya dipertimbangkan baik dan matang oleh Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP.

“Bupati, setelah (menjabat selama) dua periode, dia akan turun dan kembali jadi rakyat biasa. Di saat menganggur, dia pergi ke Jakarta, minta pemekaran. Pemekaran itu (seharusnya) melalui mekanisme rekomendasi Gubernur, DPR Papua, dan pertimbangan dari MRP. Ketiga mekanisme itu tidak dilalui, serta merta minta pemekaran,” kata Murib.

Murib mempertanyakan mengapa pemerintah pusat malah merespon permintaan pemekaran yang diajukan mantan bupati.

“Yang konyol itu,” jelasnya. 

Sumber: Suara Papua

Read More