Categories Berita

MRP Sebut Pemekaran wilayah tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua

Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) di Kotaraja Luar, Abepura – Ist

SENTANI, MRP – Anggota Kelompok Kerja Perempuan, Majelis Rakyat Papua, Sarah Ita Wahla menyatakan pemekaran wilayah di Papua tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua.

Wahla menyatakan berbagai pemekaran wilayah di Papua tidak memberi dampak positif bagi Orang Asli Papua, sehingga ia menolak rencana pemekaran Provinsi Papua. Hal itu dinyatakan Wahla di Sentani, Kamis (3/2/2021).

Wahla menuturkan, dirinya berasal dari Kabupaten Yahukimo, sebuah kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Kini, Kabupaten Yahukimo telah terbagi dalam 51 distrik dan 518 kampung, namun Wahla menyatakan Orang Asli Papua tidak merasakan manfaat pemekaran.

“Saya punya kabupaten di Yahukimo, itu ada 51 distrik. Orang Yahukimo bilang, ‘kami tidak perlu pemekaran’,” kata Wahla dalam sesi tanya jawab Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP yang berlangsung di Sentani, Kamis.

Wahla mempertanyakan rencana pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua.

“Pemekaran untuk siapa? Masyarakat [asli Papua] lari di gunung, di lereng. Otonomi Khusus yang khusus untuk perempuan saja kami tidak tahu [seperti apa]. Jadi, stop sudah dengan bicara pemekaran Papua. Saya ini mewakili perempuan Papua yang bicara,” jelasnya.

Wahla berharap rencana pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi baru tidak akan menimbulkan konflik baru di Papua. Ia juga mengkhawatirkan dampak pemekaran terhadap Orang Asli Papua, karena berbagai kabupaten hasil pemekaran saat ini justru memanas akibat konflik bersenjata di sana.

“Tidak usah ada pemekaran di daerah pegunungan [Papua], karena nanti ujung-ujungnya merusak orang-orang yang ada di sana saja. Tidak akan ada kesejahteraan pada pemekaran itu nanti,” ucap Wahla.

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib juga mengkritik banyaknya mantan bupati yang pergi ke Jakarta untuk meminta pemerintah pusat membentuk Daerah Otonom Baru di Papua.

Ia mengingatkan setiap pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru seharusnya dipertimbangkan masak-masak oleh Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP.

“Bupati, setelah [menjabat selama] dua periode, dia akan turun [dan] kembali jadi rakyat biasa. Di saat menganggur, [dia] pergi ke Jakarta, minta pemekaran. Pemekaran itu [seharusnya] melalui mekanisme rekomendasi Gubernur, DPR Papua, dan pertimbangan dari MRP. Ketiga mekanisme itu tidak dilalui, serta merta minta pemekaran,” kata Murib. Murib mempertanyakan mengapa pemerintah pusat malah merespon permintaan pemekaran yang diajukan mantan bupati. “Yang konyo itu,” jelasnya. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *