Categories Berita

MRP Soroti Maraknya Peredaran Minuman Beralkohol di Wamena

Kunjungan kerja Wakil Ketua 1 MRP, Yoel Luiz Mulait dan Pokja Agama MRP ke Wamena. – Humas MRP

WAMENA, MRP – Dalam kunjungan kerjanya ke Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau MRP menerima banyak laporan dan keluhan masyarakat terkait peredaran minuman beralkohol di Wamena.

MRP meminta Bupati Jayawijaya dan para pemangku kepentingan lainnya memperketat peredaran minuman beralkohol di Wamena.

Wakil Ketua 1 MRP, Yoel Luiz Mulait menyatakan kunjungan kerja Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP ke Wamena pada 12 November 2021 menerima banyak laporan dan keluhan masyarakat tentang peredaran minuman beralkohol di Wamena. MRP mengapresiasi Bupati Jayawijaya, John R Banua yang terus merazia penjualan minuman beralkohol di Wamena.

“Aspirasi rakyat yang begitu banyak masuk. MRP apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Jayawijaya. Bupati sendiri pernah turun [melakukan] inspeksi mendadak, menangkap dan merendam [orang yang mabuk-mabukan] di kolam. Itu merupakan langkah positif, dan kami berharap langkah-langkah itu kontinyu,” kata Mulait di Kota Jayapura, Kamis (18/11/2021).

Mulait menyatakan MRP telah mengeluarkan Surat Keputusan MRP nomor 4 tahun 2021 tentang Pengetatan Pengawasan Terhadap Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Serta Obat Obatan terlarang. Ia berharap para bupati, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Polri, dan TNI lebih berperan memberantas peredaran minuman beralkohol di Papua.

“Bupati Jayawijaya harus tampil berperan dalam pemberantasan minuman beralkohol itu. DPRD harus sediakan anggaran [untuk pemberantasan minuman berallkohol. Masalah COVID-19 bisa dianggarkan besar-besaran, masalah minuman beralkohol harus dianggarkan juga. COVID-19 banyak membunuh orang, minuman beralkohol juga banyak membunuh,” kata Mulait.

Ia menyatakan upaya pemberantasan peredaran minuman beralkohol di Wamena harus melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM), karena mereka mengetahui kondisi di lapangan.

“Ada 80 titik tempat pembuatan minuman [beralkohol] lokal yang ada di Jayawijaya. Data sudah ada, seharusnya dilakukan eksekusi. Minuman keras tidak boleh merampas hak damai orang Wamena,” kata Mulait.

Ketua Solidaritas Pemberantasan Minol dan Narkoba Jayawijaya, Theo Hesegem mengatakan Wamena tidak hanya menghadapi masalah peredaran minuman beralkohol. Ia menyatakan obat-obatan terlarang dan narkotika juga telah beredar di Wamena.

Hesegem menilai upaya pemberantasan minuman beralkohol juga belum dilakukan secara serius.

“Kita bilang, ‘minuman keras musuh kita bersama’, tetapi saya lihat macam tidak ada kepedulian untuk menangani secara serius [peredaran] minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang di Wamena,” jelasnya.

Hesegem menyatakan upaya pemberantasan peredaran minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang di Wamena harus dilakukan seserius pemerintah menangani pandemi COVID-19. Apalagi peredaran minuman beralkohol dan obat-obatan berbahaya itu membahayakan generasi muda di Jayawijaya dan kabupaten sekitarnya.

“Masalah COVID-19 ditangani secara serius, sedangkan minuman beralkohol tidak di tangani dengan secara serius. Padahal minuman beralkohol itu masalah yang ada di depan mata kita. Di Papua, secara khusus orang asli Papua, kurang sekali jumlah penduduknya. Jika penanganan minuman beralkohol dan obat-obat terlarang tidak serius, [orang asli Papua] tambah berkurang lagi jumlahnya,” ujar Hesegem.(*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP dan Komnas Perempuan Bahas Perlindungan Perempuan ODHA di Wilayah Konflik

MRP dan Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021).

Lokakarya bertema “Mendorong Kebijakan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan dengan HIV/AIDS di Wilayah Konflik dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua” itu diikuti perwakilan sejumlah organisasi pemuda gereja, aktivis yang bergerak di bidang kesehatan, mahasiswa, dan anggota MRP.

Lokakarya itu menghadirkan narasumber dari perwakilan Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Ketua DPR Papua, dan komisioner Komnas Perempuan.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyatakan lokakarya itu digelar untuk menyikapi situasi pelayanan bagi perempuan dengan HIV/AIDS yang berada di wilayah konflik. Lokakarya itu juga membahas masalah tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua.

“Kami Komnas Perempuan mendapatkan data bahwa Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia [dengan] tingkat prevalensi HIV paling tinggi. Juga dengan tingkat kekerasan [terhadap perempuan] yang tinggi. Hanya saja, tingkat kekerasan terhadap perempuan tidak tercatat dengan baik,” kata Andy di Kota Jayapura, Rabu.

Ia menegaskan pelayanan kesehatan bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), termasuk bagi perempuan dengan HIV/AIDS sangat penting dan tidak boleh terputus. Andy menyatakan kasus perempuan dengan HIV/AIDS dan kasus kekerasan terhadah perempuan saling berkolerasi.

“Perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS itu rentan mendapatkan kekerasan. Sebaliknya, perempuan korban kekerasan itu rentan terinfeksi HIV,” ujar Andy.

Menurutnya, pelayanan bagi perempuan dengan HIV/AIDS harus dilakukan secara terintegrasi, untuk memastikan kualitas kehidupan mreka terjaga dengan baik.

“Kami sangat berterima kasih karena MRP membuat lokakarya itu, dihadiri Ketua DPR Papua. Itu menjadi langkah awal membangun kerja sama yang lebih luas, dan tentunya langkah itu akan didukung DPR Papua, yang akan segera menindaklanjutinya,” kata Andy.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan pelaksanaan lokakarya itu sempat tertunda karena situasi pandemi COVID-19 di Papua. Ia menyatakan para pengambil kebijakan di Papua harus memperhatikan situasi perempuan dengan HIV/AIDS, khususnya yang berada di wilayah konflik.

Ia juga berharap para penentu kebijakan di Papua memperhatikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang berada di wilayah konflik.

“Itu masalah yang serius, dan semua pihak harus bicara terkait perlindungan perempuan dan anak, terutama di wilayah konflik, dan juga bukan di wilayah konflik,” kata Murib.

Murib ingin lokakarya itu akan mendorong lahirnya Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Khusus tentang perlindungan bagi perempuan dan anak di Papua.

“Pada era Otonomi Khusus ini, regulasi yang perlu disiapkan. [Regulasi saat ini]  belum memberikan manfaat yang baik untuk perlindungan terhadap perempuan dan anak, terutama orang asli Papua,” ujar Murib.

Murib berharap Komnas Perempuan akan membantu para pemangku kepentingan untuk menyusun Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Khusus tentang perlindungan bagi perempuan dan anak di Papua.

“Lembaga-lembaga harus bersatu, terutama Komnas Perempuan, DPR Papua dan MRP, supaya kita melahirkan solusi dengan membuat  satu regulasi yang tepat untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak,” kata Murib. (*)

Sumber: JUBI

Read More