Categories Berita

UU Otsus Papua ‘Cacat Prosedur’, Ini Sebabnya

Pimpinan MRP dan MRPB saat menyerakan sengketa UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta hari ini – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Tim Hukum Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) akhirnya menarik permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Penarikan ini dilakukan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dan telah dibacakan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (21/07/2021).

Pasalnya, setelah sebelumnya MK menunda persidangan SKLN dengan dalih Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Namun, di sisi lain DPR RI akhirnya mengesahkan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21/2001 tentang Otsus Papua, dalam Rapat Paripurna, pada Kamis (15/7/2021).

“Saat ini Tim Hukum fokus dalam penarikan permohonan SKLN. Terkait langkah berikutnya yang akan ditempuh, MRP dan MRPB selaku principal akan mengkaji langkah yang ditempuh. Dan mereka tidak akan berhenti sampai di sini,” kata koordinator Tim Hukum, MRP/MRPB, Saor Siagian, dalam acara jumpa pers melalui aplikasi Zoom, di Jakarta, Rabu (21/7/2021).

Abuse of Power
Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Tim Hukum MRP dan MRPB mengungkapkan alasan penarikan gugatan yang dilakukan pihaknya:

  • Bahwa Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB memperhatikan relevansi serta kepentingan konstitusional atas permohonan SKLN dengan pengesahan dan pengundangan UU Nomor 2/2021 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 19 Juli 2021.
  • Usulan Perubahan Kedua UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua didasarkan pada Surat Presiden (Surpres) Nomor : R-47/Pres/12/2000 tertanggal 4 Desember 2020 yang ditujukan kepada Ketua DPR RI sama sekali tidak memperhatikan aspirasi Orang Asli Papua melalui MRP dan MRPB.
  • Pada saat pembahasan RUU ini di DPR RI tentang Perubahan kedua UU Otsus Papua, rakyat Papua  sama sekali tidak dilibatkan/didengarkan aspirasinya dalam proses pembahasan perubahan kedua UU Otsus. Padahal, MRP dan MRPB sebagai lembaga negara (Desentralisasi Asimetris) diatur secara konstitusional Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
  • Sesuai ketentuan Pasal 77 UU Nomor 21/2001 menyatakan bahwa Usulan Perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Secara prosedural, semestinya Majelis Rakyat Papua dan DPRP yang memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan hak usul perubahan dari rakyat Papua tersebut kepada DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang sebagaimana pasal 20 ayat (1) UUD 45 atau Pemerintah dalam hal ini Presiden yang berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) UUD 1945

“Dengan demikian, kami berpendapat, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan pengusulan perubahan UU, pembahasan dan pengesahan Perubahan Kedua UU Otsus Provinsi Papua tanpa memperhatikan aspirasi/partisipasi rakyat Papua melalui MRP dan MRPB dapat dikualifikasi sebagai perbuatan abuse of power oleh penguasa dalam hal ini pembentuk UU,” kata Tim Hukum.

Cacat Prosedur
Tim Hukum juga menegaskan, secara yuridis-konstitusional pengusulan perubahan materi RUU, Pembahasan dan Pengesahan Perubahan Kedua RUU Otsus Bagi Provinsi Papua tidak memenuhi syarat formil alias ‘Cacat prosedur’.

“Dan material RUU Perubahan Kedua Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (material RUU bukan aspirasi Rakyat Papua) bertentangan dengan UU Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua jo. Pasal 18A ayat (1) jo. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 atau Inkonstitusional,” tutupnya.

Praktik Diskriminasi
Dalam jumpa pers dua pekan lalu, Tim Hukum MRP dan MRPB melayangkan gugatan Sengketa Kewenangan Kelembagaan Negara (SKLN) menyusul penundaan persidangan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasalnya, MRP dan MRPB telah mendaftarkan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara soal perubahan kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus atau UU Otsus Papua ke Mahkamah Konstitusi (MK) pertengahan Juni lalu.

Permohonan sengketa ini ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan DPR sebagai termohon karena termohon melakukan pembahasan revisi UU Otonomi Khisus tanpa melibatkan orang asli Papua.

“Penundaan persidangan dengan tanpa adanya kepastian waktu sidang dalam permohonan SKLN menciptakan ketidak pastian hukum bagi principal (MRP/MRPB) dalam memperjuangkan hak-hak konsitusionalnya,” kata Ecoline Situmorang dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Minggu (4/7/2021) lalu.

Di lain pihak, Pansus DPR RI RUU Perubahan Kedua UU Otonomi Khusus Papua tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19.

“Dengan begitu, dapat dikatakan bangsa kita sedang mempertontonkan ketidak-adilan dan diskriminasi bagi Orang Asli Papua dalam memperoleh hak-hak konstitusionalnya melalui lembaga MK sebagai penjaga konstitusi dan merupakan benteng terakhir keadilan bagi pencari keadilan (the last fortress),” beber Ecoline

Sahkan RUU Otsus Papua
Sementara itu, DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (RUU Otsus Papua) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-23 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021.

“Selanjutnya kami akan menanyakan kepada seluruh fraksi apakah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dapat di setujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” tanya Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang kemudian diikuti ketukan palu pengesahan di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (15/7/2021).

Ketua Pansus Otsus Papua Komarudin Watubun dalam laporannya mengatakan, terdapat 20 pasal yang mengalami perubahan dalam RUU ini. Sebanyak 20 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal usulan Pemerintah yang memuat materi menganai dana Otsus Papua, sebanyak 15 pasal di luar substansi yang diajukan, ditambah 2 pasal substansi materi di luar undang-undang.

Dalam perubahan tersebut, lanjut Komarudin, RUU Otsus Papua ini mengakomodir perlunya pengaturan kekhususan bagi Orang Asli Papua (OAP) dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat.

“Dalam bidang politik, hal ini dapat dilihat dengan diberikannya perluasan peran politik bagi Orang Asli Papua dalam keanggotaan di DPRK, sebuah nomenklatur baru pengganti DPRD yang diinisiasi dalam RUU,” paparnya di hadapan Rapat Paripurna DPR RI.

Kewajiban Pemerintah
Di bidang pendidikan dan kesehatan, RUU Otsus Papua mengatur mengenai kewajiban Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan untuk OAP. Dalam bidang ketenagakerjaan dan perekonomian, pada pasal 38 telah menegaskan bahwa dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Papua, wajib mengutamakan OAP.

“Dalam bidang pemberdayaan, Pasal 36 ayat (2) huruf (d) menegaskan bahwa sebesar 10 persen dari dana bagi hasil dialokasikan untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat,” tambah Komarudin.

Terkait dengan lembaga MRP dan DPRP, RUU ini memberikan kepastian hukum bahwa MRP dan DPRP berkedudukan masing-masing di ibu kota provinsi serta memberikan penegasan bahwa anggota MRP tidak boleh berasal dari partai politik.

Komarudin menambahkan, mengenai pembahasan partai politik lokal, RUU Otsus Papua mengadopsi putusan MK Nomor. 41/PUU-XVII/2019 dengan menghapus ketentuan pada ayat (1) dan (2) pasal 28. UU ini juga memberikan kepastian hukum terkait dengan pengisian jabatan wakil gubernur yang berhalangan tetap.

Selain itu, dalam RUU ini diatur pula mengenai dana Otsus yang disepakati mengalami peningkatan dari 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, menjadi 2,25 persen. Melalui perubahan tata kelola dana otsus tersebut, diharapkan berbagai persoalan pembangunan selama ini dapat teratasi.

Kemudian, RUU ini juga mengatur tentang hadirnya sebuah Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3), pemekaran provinsi di tanah Papua, serta peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini yang mengatur bahwa penyusunan Peraturan Pemerintah harus dikonsiltasikan dengan DPR, DPD dan Pemerintah Daerah di Papua dan Papua Barat.

“Mari kita berkomitmen untuk melaksanakan seluruh revisi Undang-Undang sesuai dengan tugas dan wewenang kita masing-masing, terutama bagi Parpol yang akan menentukan rekrutmen kepemimpinan daerah yang akan memikul tanggung jawab penuh untuk memastikan undang-undang ini dapat dilaksanakan atau tidak,” tutup legislator dapil Papua tersebut.

Sebagai informasi, Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB, terdiri dari; Saor Siagian, S.H., M.H., Imam Hidayat, S.H., M.H., Ir. Esterina D. Ruru, S.H., Dr. S. Roy Rening, S.H., M.H., Rita Serena Kolibonso, S.H., LL.M, Lamria Siagian, S.H., M.H., Ecoline Situmorang, S.H., M.H., Alvon Kurnia Palma, S.H., M.H., dan Haris Azhar, S.H., M.A.

 

Sumber: https://pontas.id

Read More
Categories Berita

MRP Minta DPR RI Hentikan Pembahasan Perubahan RUU Otsus

Konferensi Pers Setelah Melakukan Pendaftaran ke MK – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua, meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk segera menghentikan proses pembahasan perubahan kedua Undang-undang Otsus.

Hal tersebut ditegaskan Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua usai mengelar Rapat Panmus MRP di hotel Horison Kotaraja, Jumat (9/7/2021), lalu.

“Terkait perubahan kedua UU Otsus, MRP telah mendaftar di Mahkamah Konstitusi untuk memastikan pasal 77 yang mana menghendaki untuk usul perusahaan itu dilakukan oleh rakyat melalui MRP dan DPRP,” kata Murib.

Namun nyatanya, kata Murib, proses sidang di MK bila memutuskan dan berpihak kepada kehendak Jakarta, maka rakyatlah yang akan menilai keadilan di negara hukum ini.

“MRP mendapat informasi bahwa proses di Jakarta (DPR RI) akan menetapkan perusahaan kedua UU Otsus pada tanggal 15 Juli 2021 mendatang, sedangkan surat dari MK untuk lakukan tahanan proses sidang pada tanggal 21 Juli 2021, sehingga bisa dilihat penetapan di DPR RI lebih dahulu dari pada proses hukum di MK,” kata Murib.

Dengan proses penetapan ini, kata Murib, MRP mempertanyakan konsekuensi hukumnya seperti apa kedepannya. Rakyat menghendaki agar proses politik di DPR RI harus dihentikan dulu karena MRP meminta kewenangan sesuai pasal 77.

“MRP ingin pastikan di MK terkait pasal 77, ini kewenangan DPR RI atau rakyat Papua? Sebelum ada putusan DPR RI segera hentikan pembahasan di Jakarta,” tegas Murib.

Murib menegaskan bila dalam proses putusan di MK gugatan MRP di anggap terlambat, MRP akan menindaklanjuti dengan proses-proses hukum lain.

Ditempat terpisah, dengan pertimbangan pandemi COVID-19, Mahkamah Konstitusi menunda sidang pendahuluan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diajukan Majelis Rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua Barat terkait revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah.

Di pihak lain, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI masih membahas revisi itu, dan belum mengumumkan penundaan pembahasan karena pandemi COVID-19.

Tim Hukum dan Advokasi Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan MK menunda sidang itu sampai batas waktu yang belum ditentukan. “Penundaan sidang MK [seperti itu] mencederai rasa keadilan orang asli Papua,” kata Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB dalam keterangan pers secara daring pada Minggu (4/7/2021).

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Proses Sengketa UU Otsus di MK Harus Didukung Semua Pimpinan dan anggota MRP-MRPB

Foto bersama pimpinan lembaga dan anggota MRP usai menutup kegiatan Rapat Panmus MRP di Kotaraja, Abepura – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Rapat Panitia Musyawarah Majelis Rakyat Papua (MRP) yang berlangsung, Jumat (9/7/2021) tersebut membahas beberapa agenda terkait dengan situasi yang terjadi di tanah Papua khususnya agenda-agenda yang di dorong oleh Majelis Rakyat Papua.

Hal tersebut disampaikan Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua usai menutup Rapat Panmus MRP pembahasan agenda pleno pembukaan masa sidang ke III Tahun 2021 di Horison hotel Kotaraja, Abepura.

“Pembahasan dalam rapat Panmus ini pertama tentang penetapan pleno pembukaan masa Reses dan kemudian yang berikut tentang satu situasi terkait dengan masalah HAM di tanah Papua,” kata Murib.

Terkait dengan masalah HAM, Murib menjelaskan Panmus mengagendakan untuk pimpinan lembaga dan pimpinan Pokja yaitu Adat, Agama dan Perempuan serta pimpinan alat kelengkapan lainnya untuk menindaklanjuti hasil yang sudah di paparkan dalam rapat Panmus MRP.

“Ada dua agenda yang sangat urgent yang dibicarakan. Pertama terkait dengan MRP melakukan gugatan sengketa kewenangan pasal 77 UU Otsus Papua yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan kunjungan ke Biak terkait pembangunan satelit dan di Timika dimana lahan masyarakat adat dijadikan lahan kelapa sawit yang akan dikunjungi oleh Pokja Adat MRP,” katanya.

Lanjutnya, pimpinan Pokja dan alat kelengkapan MRP memberikan dukungan penuh kepada tim kerja rancangan perubahan kedua UU Otsus tahun 2001, meskipun demikian masyarakat orang asli Papua dan juga di dalam lembaga (tubuh) anggota MRP juga terjadi kurang pengertian sesama anggota sehingga perlu mendapat dukungan dari MRP-MRPB agar proses ini dapat berjalan baik di Mahkamah Konstitusi.

Sebelumnya dengan pertimbangan pandemi COVID-19, Mahkamah Konstitusi menunda sidang pendahuluan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diajukan Majelis Rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua Barat terkait revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah. Di pihak lain, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI masih membahas revisi itu, dan belum mengumumkan penundaan pembahasan karena pandemi COVID-19.

Tim Hukum dan Advokasi Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan MK menunda sidang itu sampai batas waktu yang belum ditentukan. “Penundaan sidang MK [seperti itu] mencederai rasa keadilan orang asli Papua,” kata Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB dalam keterangan pers secara daring pada Minggu (4/7/2021).

Humas MRP

Read More

Categories Berita

MK Tunda Gugatan MRP/MRPB Karena COVID-19

Ketua MRP Timotius Murib, Ketua MRPB, Maxsi Ahoren, Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait ditemui awak media saat mendaftarkan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkaman Konstitusi, Kamis (17/6/2021). – Dok. Tim Kuasa Hukum MRP/MRPB

JAYAPURA, MRP – Dengan pertimbangan pandemi COVID-19, Mahkamah Konstitusi menunda sidang pendahuluan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diajukan Majelis Rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua Barat terkait revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah. Di pihak lain, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI masih membahas revisi itu, dan belum mengumumkan penundaan pembahasan karena pandemi COVID-19.

Tim Hukum dan Advokasi Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan MK menunda sidang itu sampai batas waktu yang belum ditentukan. “Penundaan sidang MK [seperti itu] mencederai rasa keadilan orang asli Papua,” kata Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB dalam keterangan pers secara daring pada Minggu (4/7/2021).

MRP/MRPB mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta pada 17 Juni 2021. Permohonan itu diajukan karena pemerintah pusat secara sepihak mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).  

Permohonan SKLN itu didaftarkan dengan nomor pokok perkara 2085-0/PAN.MK/VI/2021, dengan Presiden Joko Widodo selaku termohon. Permohonan itu diajukan ketika Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI tengah membahas RUU Perubahan Kedua UU Otsus dari pemerintah.

Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB menyatakan pada 29 Juni 2021 Panitera MK telah mengirimkan relas panggilan kepada para pihak untuk mengikuti persidangan pada 5 Juli 2021. Dalam relas panggilan sidang itu, MK meminta para pihak mengikuti persidangan secara daring, tanpa datang ke MK.

“Akan tetapi, pada tanggal 3 Juli 2021, kami menerima surat MK nomor 2.1/SKLN/PAN.MK/PS/7/2021 perihal penundaan sidang sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian. “Sidang ditunda karena adanya kebijakan MK terkait upaya pencegahan dan penanganan penyebaran virus COVID-19 di lingkungan kantor MK,” demikian Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB.

Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB mengatakan bisa memahami dan menyatakan prihatin atas situasi pandemi COVID-19 yang meluas. Tim itu juga memahami bahwa penundaan sidang MK itu menindaklanjuti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3 – 20 Juli 2021.

Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB menyayangkan penundaan sidang itu tanpa disertai kepastian kapan sidang akan dilanjutkan. Ketidakjelasan kapan sidang pendahuluan perkara SKLN itu akan dilanjutkan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi MRP/MRPB selaku pemohon yang memperjuangkan hak konsitusionalnya untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Penundaan sidang dengan frasa “ditunda sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian” dinilai bermakna persidangan menjadi tidak memiliki batasan waktu yang jelas. Padahal MRP/MRPB membutuhkan kepastian dan keadilan dalam perkara SKLN itu, mengingat Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI masih melanjutkan pembahasan revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

Pada 1 Juli 2021, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI di Jakarta melanjutkan pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Hingga kini, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI belum mengumumkan rencana menunda pembahasan itu karena penerapan PPKM Darurat mulai 3 Juli 2021.

Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB mengkritik Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI yang terus membahas RUU itu, padahal pandemi COVID-19 tengah melanda Jakarta. Sebaliknya, upaya MRP/MRPB menghentikan pembahasan RUU itu melalui permohonan SKLN di MK justru ditunda dengan pertimbangan pandemi COVID-19.

Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB menilai pembahasan RUU Perubahan Kedua UU Otsus Papua justru mempertontonkan ketidak-adilan dan diskriminasi bagi orang asli Papua untuk memperoleh hak konstitusional mereka melalui MK. Padahal MK merupakan bentuk terakhir bagi pencari keadilan.

“Kami ingin menegaskan, penundaan atas persidangan yang tidak diiringi dengan penundaan pembahasan revisi UU Otsus di Pansus DPR RI adalah pengkhianatan atas keadilan, dan mencederai semangat lembaga peradilan yang impartial dan independen bagi semua pihak,” demikian pernyataan Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB.

Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB mendesak Panitera MK segera mengumumkan jadwal pasti sidang pendahuluan sidang perkara itu. “Karena, menurut hemat kami, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali yang berlaku mulai tanggal 3 Juli 2021 sampai dengan 20 Juli 2021 bukanlah libur nasional,” demikian keterangan pers Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB.

Advokat Roy Rening selaku anggota Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB mengatakan permohonan MRP/MRPB itu merupakan upaya orang Papua terlibat dalam proses pembahasan revisi UU Otsus Papua. Akan tetapi, penundaan itu memberi kesan negara tidak punya itikad baik melaksanakan UU Otsus Papua.

Roy mengungkapkan sejumlah hal yang menunjukkan pemerintah tidak punya itikad baik itu. Para menteri hingga presiden tidak pernah bertemu MRP dan MRPB untuk mendengarkan aspirasi mereka. “Kalau mereka tidak terlibat, UU akan menimbulkan resistensi di akar rumput Papua. Negara yang rugi,” kata Rening. (*)

 

Sumber: Jubi

 

Read More