Categories Berita

MRP di Nabire: Miras dan Narkoba Hancurkan Generasi Papua

Suasana sosialisasi MRP di aula TK Santo Antonius Bumiwonorejo (Selasa,22/6/2021) – Jubi/Titus Ruban.

NABIRE, MRP – Kelompok Kerja (Pokja) Keagamaan Majelis Rakyat Papua (MRP), melakukan sosialisasi tentang larangan miras serta narkoba di Nabire.

Kegiatan tersebut digelar sebagai wujud visi MRP untuk menyelamatkan tanah dan Orang Asli Papua. Sosialisasi berlangsung di dua tempat yakni, aula kampus STAK Wadio dan aula TK Antonius Bumiwonerejo Nabire.

Sosialisasi dihadiri oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda dan para mahasiswa dan berlangsung selama dua hari yakni 21-22 Juni.

Anggota Pokja Agama MRP, Fransiskus Tekege mengatakan, salah satu masalah dasar saat ini di Tanah  Papua adalah kaum muda mudi dan anak-anak yang terjerumus dan mengkonsumsi miras dan narkoba.

“Generasi muda Papua saat ini sudah hancur dan tergantung dengan hal-hal tadi (miras, lem aibon, narkoba). Ini sangat berbahaya untuk masa depan mereka, jadi kita harus putuskan rantai itu,” ujar Tekege dalam sosialisasi di aula TK Anthonius Bumiwonorejo, Selasa (22/6/2021).

Menurutnya, penyelamatan generasi muda Papua perlu dilakukan oleh berbagai pihak. Baik MRP, Pemerintah Daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan seluruh elemen orang Papua.

“Jadi kami akan terus mengingatkan kaum muda. Tapi tentunya perlu dukungan dan peran serta seluruh pihak untuk memberantas dan menyadarkan mereka,” tuturnya.

Hal lain yang diingatkan Petege adalah pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional ke-xx (PON) Tahun 2021 di Tanah Papua sudah dekat. PON merupakan kegiatan besar bersifat Nasional yang mempercayakan Papua sebagai tuan rumah. Maka orang Papua wajib mensyukseskan pelaksanaannya dengan menjaga persatuan dan keamanan.

“Salah satunya dengan tidak mengkonsumsi miras, tidak narkoba. Kita perlu menjaga nama baik sebagai orang Papua dalam PON nanti,” ungkapnya.

Salah satu tokoh pemuda, Zakeus Petege menyayangkan banyaknya anak muda Papua yang tergantung pada narkoba, miras bahkan rokok. Kata dia, kandungan dalam barang- barang itu akan mempengaruhi aktivitas saraf yang terhubung ke otak.

“Termasuk akan berpengaruh kepada pelajar dan mahasiswa, otaknya akan lambat berpikir dan susah mengerjakan ulangan,” kata Petege.

Petege mengimbau kepada para pemuda untuk tidak lagi memiliki ketergantungan terhadap miras dan obat-obat terlarang. Sebab, tentunya akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

”Kalau bisa saya minta, anak muda jangan sampai terus mengkonsumsi miras dan narkoba. Kasihan masa depan, orang tua berjuang cari uang, kalian habiskan untuk hal tidak bermanfaat,” pesannya. (*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

UU Otsus Papua direvisi sepihak, MRP dan MRPB “gugat” Presiden di MK

Ketua MRP Timotius Murib, Ketua MRPB, Maxsi Ahoren, Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait ditemui awak media saat mendaftarkan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (17/6/2021). – Dok. Tim Kuasa Hukum MRP/MRPB

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Permohonan itu diajukan karena pemerintah pusat secara sepihak mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.  

Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) itu didaftarkan dengan nomor pokok perkara 2085-0/PAN.MK/VI/2021. Advokat Roy Rening SH selaku salah satu kuasa hukum Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan SKLN ditujukan terhadap Presiden Joko Widodo selaku termohon.

“Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara [itu] atas perubahan kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. [Sengketa itu merupakan sengketa] antara Majelis Rakyat Papua dan Presiden Republik Indonesia,” kata Rening mengurai pengajuan SKLN itu melalui materi yang dikirimkan ke Redaksi Jubi pada Kamis.

Dalam berkas permohonan SKLN itu Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan permohonan SKLN itu diajukan untuk mencari kebenaran dan keadilan. Alasan utama permohonan SKLN itu adalah langkah pemerintah pusat yang secara sepihak membuat Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan menegaskan selama ini pemerintah tidak melibatkan MRP maupun MRPB untuk membahas revisi UU Otsus Papua. Murib menyatakan MRP dan MRPB telah memberikan kuasa kepada Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia – Rumah Bersama Advokat untuk menangani SKLN di Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

“Pemerintah tidak pernah melibatkan MRP dan MRPB dalam proses perubahan atau revisi UU Otsus Papua. [Ketentuan] Pasal 77 [UU Otsus Papua yang mengatur] kewenangan MRP dan MRPB [dalam proses revisi UU Otsus Papua] tidak terlaksana. Karena itu, kami sepakat menggugat ke MK,” kata Murib kepada Jubi, Kamis.

Pasal 77 UU Otsus Papua mengatur tata cara untuk melakukan perubahan atas UU itu. Pasal itu menyatakan “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Ketua MRPB,  Maxsi Ahoren menyatakan MRP dan MRPB mengajukan permohonan SKLN itu untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan pemerintah pusat. “Kami intinya tidak melawan negara, tapi menuntut kebenaran yang menyangkut Pasal 77 [UU Otsus Papua]. Sekali lagi kami tegaskan di sini, [permohonan SKLN itu] bukan untuk melawan negara, tapi hanya menuntut keadilan, karena kami bagian dari NKRI juga,” kata Ahoren.

Hingga kini, Panitia Khusus (Pansus) Otsus Papua DPR RI masih membahas RUU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Pada Kamis, Pansus Otsus Papua DPR RI menggelar Rapat Kerja untuk membahas Daftar Isian Masalah RUU itu yang dihadiri Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. (*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

Kehadiran MRP Untuk Membela Hak Masyarakat Asli Papua

Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Yuliten Anouw dan Panus Werimon, saat foto bersama BMA Nabire dan DAP Dogiyai, Selasa (22/6/2021) – Jubi/Titus Ruban

 

NABIRE, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) dari Kelompok Kerja (Pokja) Adat melakukan sosialisasi identifikasi hak-hak adat orang asli Papua (OAP). Sosialisasi berlangsung di rumah makan JDF di Jalan Semarang Distrik Nabire, Kabupaten Nabire, Selasa (22/6/21) malam.

Ketua tim kelompok kerja (MPR) wilayah adat Meepago, Yuliten Anouw, mengatakan pihaknya mengundang beberapa badan musyawarah adat (BMA) serta dewan adat Papua (DAP) di wilayah ini untuk mengidentifikasikan hak-hak dasar OAP yang masih terabaikan.

“Karena MPR adalah lembaga kultur masyarakat Papua yang hadir untuk membela hak-hak OAP,” kata Anouw kepada Jubi usai pertemuannya dengan para tokoh adat.

Menurutnya, sosialisasi identifikasi hak-hak adat OAP, harusnya merupakan tugas utama anggota MRP periode pertama. Akan tetapi baru dilakukan pada periode ini yang telah memasuki akhir periode.

Namun tidak masalah baginya, sebab terpenting adalah harus dilakukan. Maka identifikasi adalah tentang alam berupa tanah, air, sungai, laut, sumber daya alam, yang harus diperhatikan oleh pemerintah nantinya, yaitu harus jelas  dan peruntukannya.

“Karena selama ini, implementasi dan perhatian pemerintah terhadap hak-hak adat OAP belum berjalan dengan baik. Ini menjadi tanggung jawab MRP, jadi harus ada satu ketetapan hukum hak-hak adat OAP dan perlu dijalankan oleh pemprov sesuai amanat UU Otsus,” tuturnya.

Sebab selama ini, katanya, hak dasar OAP belum terpenuhi, sering disepelekan, dan dipandang sebelah mata. Misalnya, pelaku usaha di bidang pertambangan   memasuki wilayah adat OAP tanpa memperhatikan haknya.

“Ini banyak yang terjadi, misalnya di Nabire. Ada banyak perusahaan tambang, masuk dengan paksa, masyarakat pemilik hak ulayat diabaikan bahkan sering terjadi kekerasan. Saya contohkan di sungai Musairo beberapa tahun lalu,” ungkap Anouw.

Dia berharap, sosialisasi ini akan menjadi acuan dan masukan bagi MRP, yang nantinya akan dibahas dalam rapat paripurna hingga menjadi aturan baku dan diterbitkan dalam sebuah dokumen atau buku pedoman tentang hak-hak adat OAP yang harus dijalankan dan dipatuhi.

“Hasilnya harus ada sebuah buku untuk dijalankan oleh semua pihak,” harap Anouw.

Ketua Dewan Adat Papua (DAD) wilayah Kabupaten Dogiyai, Germanus Goo, menyampaikan terima kasih kepada MPR yang terus menyuarakan hak-hak masyarakat adat orang Papua. Ia mendukung program lembaga kultur orang Papua ini, demi menyelamatkan Tanah dan manusia asli Papua.

“Karena tanah adalah ciptaan Tuhan dan pekerjanya adalah manusia,” kata Goo.

Dia menilai, saat ini dalam implementasi UU Otsus belum selaras antara pemerintah dan adat, yakni belum ada komitmen yang jelas dalam mengatur tanah adat di Papua pada umumnya
terlebih khusus wilayah Meepago.

Karena itu, Dewan adat Dogiyai mendukung program MRP untuk mensosialisasikan demi penyelamatan tanah dan manusia Papua. Ia juga meminta kepada Dewan Adat di wilayah Meepago untuk meneruskan program MPR kepada masyarakat sambil menunggu program selanjutnya.

“Selama ada Otsus, belum ada komitmen yang jelas dari pemerintah untuk hak-hak dasar OAP,” ungkap Goo.

Sekretaris Umum Badan Musyawarah Adat (BMA) Suku Wate, Otis Money, berterima kasih kepada MRP yang telah memberikan sosialisasi tentang identifikasi hak-hak adat OAP.

Tahun 1969 orang Wate telah menyerahkan tanah kepada pemerintah untuk membangun melalui SK 66.

Namun hingga saat ini, orang Wate masih dipandang sebelah mata dan tidak diperhitungkan dala, pemerintahan di daerah ini. Sebab, walaupun dalam SK tersebut dinyatahkan hibah, tetapi setidaknya  bisa diperhatikan genersi mudanya untuk diangkat menjadi ASN atau menduduki jabatan penting di pemerintahan.

“Orang Wate di Nabire masih terbelakang, belum ada perhatian pemerintah yang serius. Padahal tanah sudah dikasih oleh moyang dulu gratis,” ucap Money.

Menurutnya, perlu diperhatikan oleh Pemkab Nabire agar anak asli suku Wate diberikan ruang dalam meraih Pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.

“Kalau bisa saya usulkan, dalam penerimaan ASN bisa ada keterwakilan orang Wate, atau mungkin Pemkab bisa kuliahkan tiap tahun satu atau dua orang. Artinya, ini sebagai perhatian kepada pemilik hak ulayat,” tuturnya. (*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

Pokja Perempuan MRP: OAP Adalah Ayah Dan Ibunya Harus Asli Papua

Ciska Abugau ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Kelompok Kerja atau Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciska Abugau berpendapat definisi orang asli Papua (OAP) adalah mereka yang memiliki ayah dan ibu asli Papua.

Pernyataan itu dikatakan Ciska Abugau menyikapi rencana Panitia Khusus Otonomi Khusus atau Pansus Otsus DPR Papua, menyerahkan hasil kajiannya terkait Otsus Papua kepada pemerintah dan DPR RI.

Kajian dilakukan Pansus Otsus DPR Papua, berkaitan dengan rencana pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Otsus Papua.

Dalam hasil kajiannya, Pansus Otsus mengusulkan perubahan Pasal 1 huruf (t) UU Otsus mengenai definisi orang asli Papua yang berbunyi “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.”

Usulan perubahan yang akan diajukan Pansus Otsus, yakni poin (a) menyebutkan OAP adalah “orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang ayah dan ibunya, atau ayahnya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua.”

Poin (b) berbunyi orang asli Papua adalah “Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua.”

Dibagian penjelasan, disebutkan alasan menghilangkan frasa “orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua” agar dapat memberi perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua, terutama berkaitan dengan hak hak dasar penduduk asli Papua sebagai upaya mewujudkan harkat, martabat, dan jati diri orang asli Papua.

Menurut Ciska, sebuah pihak terkait mesti duduk bersama membicarakan dan menyepakati definisi orang asli Papua.

“Saya sangat mengerti sekali. Namun sejak periode kedua saya di MRP, kami Pokja Perempuan ketika itu mempertahankan [argumen] yang namanya OAP itu adalah mereka yang ayah dan ibu asli Papua, itu saja,” kata Ciska Abugau kepada Jubi, Kamis (17/6/2021).

Ia berpendapat mereka yang ayah atau ibunya non-Papua mestinya tidak dapat dikategorikan asli Papua, meski di Papua mengakui keaslian lewat garis keturunan ayah atau patrilinear.

Akan tetapi lanjut Abugau, jika garis keturunan ayah dianggap asli Papua, bagaimana dengan garis keturunan ibu.
Mestinya mereka yang lahir dari ibu Papua, juga dianggap asli Papua. Sebab, perempuan yang mengandung anak anak.

Katanya, definisi orang Papua ini menjadi polemik ketika dalam pembahasan MRP periode kedua kala itu.

“Kalau seperti itu, biar adil yang namanya asli Papua, kedua orang tuanya mesti orang asli Papua. Garis keturunan bapak juga tidak perlu. Siapa suruh ko kawin perempuan lain. Ada perempuan Papua to,” ujarnya.

Ciska Abugau mengatakan, ia berpendapat seperti itu bukan untuk mendiskriminasi mereka yang lahir dari ayah atau ibu bukan asli Papua.

Akan tetapi, ini sebagai menjaga jati diri orang asli Papua, dengan ciri khas berambut keriting dan berkulit hitam.

Katanya, orang asli Papua mesti menghilangkan semua pikiran negatif. Namun bagaimana berupaya mempertahankan jati diri, mesti duduk membuat komitmen bersama.

Para pihak dipandang perlu mendiskusikan mengenai keaslian ini, agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat adat.

Ia berharap, para pihak harus lebih memperhitungkan keberadaan orang asli Papua pada masa mendatang dan menyadari, kini jumlah orang asli Papua makin berkurang.

“Daripada kita terus berdebat mempertahankan keaslian dari garis keturunan bapak atau mama, sebaiknya yang dianggap asli adalah mereka yang kedua orangtuanya asli Papua. Kalau tidak, dalam beberapa tahun ke depan jati diri orang yang benar benar asli Papua, tak akan ada lagi,” kata Ciska Abugau.

Sementara itu, Ketua Pansus Otsus DPR Papua, Thomas Sondegau mengatakan semua masukan yang disampaikan kepada pihaknya itu sangat baik.

Akan tetapi, mesti mempertimbangkan waktu, sebab kini tahapan revisi UU Otsus Papua di DPR RI terus berlangsung.

“Jika saja, pemerintah dan DPR RI dapat memberi waktu kepada kami, tidak masalah,” kata Thomas Sondegau.

Ia mengaku, revisi Pasal 1 huruf (t) UU Otsus yang diusulkan pihaknya itu, berdasarkan aspirasi masyarakat yang disampaikan ke Pansus DPR Papua.

“Ya, itu berdasarkan aspirasi masyarakat saat kami turun lapangan. Tidak mungkin kami berani mengajukan seperti itu kalau tidak berdasarkan aspirasi yang kami terima,” ucapnya.

Sehari sebelumnya, Sekretaris II Dewan Adat Papua, John NR Gobai juga mengingatkan agar usulan perubahan Pasal 1 huruf (t) UU Otsus Papua, yang akan diajukan Pansus Otsus DPR Papua, sebaiknya dikaji kembali.

Ia khawatir, usulan perubahan itu nantinya dapat menimbulkan polemik di masyarakat adat. Sebab, masyarakat adat Papua menganut paham patrilinear.

“Kita hargai upaya Pansus Otsus untuk memproteksi hak hak dasar orang asli Papua. Namun, kami khawatir itu akan menimbulkan polemik di masyarakat,” ujar John Gobai.

Menurutnya, definisi orang asli Papua mesti disepakati bersama masyarakat adat di lima wilayah adat. Dengan begitu, usulan perubahan yang nantinya didorong Pansus Otsus DPR Papua mendapat legitimasi dari masyarakat adat.

“Memang itu harus diperjelas. Tapi tidak mesti dengan regulasi nasional. Cukup dengan regulasi daerah, misalnya perdasus. Perdasus itu kita lahirkan setelah rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat adat,” ujarnya.

Katanya, dalam dengan menggelar rapat dengar pendapat umum, dapat diketahui apakah masyarakat adat menerima revisi pasal yang mau didorong, ataukah masyarakat adat tetap pada kebiasaan mengikuti garis keturunan ayah, bukan ibu.

Ia mengakui, dalam kasus kasus tertentu di masyarakat adat Papua, tidak bisa dipungkiri anak-anak mengikuti marga ibunya.

Namun, dalam perumusan sebuah regulasi yang sifatnya mengikat nantinya, mesti benar benar mendapat legitimasi dari berbagai pihak, terutama masyarakat adat Papua.

“Jangan sampai masyarakat menilai kami di DPR Papua ini hanya mendorong kepentingan kelompok tertentu,” kata Gobai.(*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

Gugat di MK, Kuasa Hukum MRP-MRPB Minta Negara Beri Keadilan Bagi Rakyat Papua

Pimpinan MRP dan MRPB saat menyerahkan sengketa UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta hari ini – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Sejarah mencatat, Papua bergabung ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, dengan nama Irian Barat. Namun sejak awal, rakyat Papua merasa ada ketidakadilan. Hal itu ternyata masih dirasakan hingga kini, setelah 58 tahun bergabung dengan Ibu Pertiwi.

Ketidakadilan yang kini begitu nyata dirasakan terkait revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Padahal, tadinya pemberian Otonomi Khusus dipandang sebagai solusi bijak dan konsensus politik antara Jakarta dengan Papua.

Merasa kecewa karena tidak diikutsertakan pada pembahasan revisi UU Otsus Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menggugat UU No. 21/2001. Mereka melakukan uji sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 77 UU 21/2001 yang menyatakan, “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Sebab, faktanya pemerintah pusat telah mengambil alih kewenangan tersebut. MRP dan MRPB memberikan kuasa kepada Tim Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rumah Bersama Advokat (RBA) untuk melayangkan gugatan tersebut.

“Kami mempertanyakan, siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan, rakyat Papua atau pemerintah pusat?” tanya Timotius Murib Ketua MRP dalam acara Rapat Konsultasi sekaligus penandatanganan surat kuasa hukum untuk sengketa kewenangan di MK, di Jakarta, Rabu (16/6/2021)

Maxsi Nelson Ahoren Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) pada kesempatan itu menegaskan, pihaknya tidak melawan negara, hanya saja mempertegas siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan UU Otsus Papua. Selain itu, dipertanyakan pula soal sikap pemerintah pusat yang tidak melibatkan MRP dan MRPB dalam membahas kelanjutan Otsus yang habis masa berlakunya di tahun ini.

Menurut Murib, selama ini rakyat Papua bertanya-tanya, kenapa selama 20 tahun implementasi UU 21/2001 ini, dari 24 kekhususan yang diberikan, hanya 4 yang dilaksanakan. “Jelas ini tidak fair bagi rakyat Papua. Bahkan ada yang menduga itu hanya akal-akalan pemerintah pusat saja,” imbuh Murib.

Sementara itu, Dr. Roy Rening Anggota Tim Hukum dan Advokat MRP dan MRPB menegaskan, pihaknya ingin mempertegas soal kewenangan terkait usulan perubahan. “Kalau memang itu hak rakyat Papua, ya berikan saja. Jangan diambil alih oleh pemerintah pusat. Itu namanya sewenang-wenang. Jangan-jangan ini upaya pemerintah pusat untuk menarik kewenangan yang harusnya menjadi milik rakyat Papua,” ujarnya.

Karenanya, kata Roy, pihaknya akan fight untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat Papua. “Orang Papua juga warga Indonesia. Mereka memiliki hak yang sama untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya sendiri. Jangan hak itu diambil oleh pusat,” tegasnya.

Dirinya berharap MK bisa arif dan bijaksana dalam melihat persoalan ini. Paling tidak, ujar Roy, MK bisa menunda revisi ini dan meminta agar UU ini didiskusikan dengan rakyat Papua sesuai amanat UU No. 21/2001.

 

 

Read More
Categories Berita

Temui Mendagri, MRP dan MRPB Tegaskan UU Otsus Harus Diubah Menyeluruh

Pimpinan MRP dan MRPB saat Menemui Mendagri dan memberikan buku hasil RDP di Provinsi Papua – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, berkenan menerima pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Papua Barat, Rabu, (16/6) di Jakarta. Atas undangan tersebut, 6 orang perwakilan MRP Papua dan Papua Barat dipimpin langsung masing-masing Ketua MRP dan MRPB, Timotius Murib dan Max Ohuren.

Pertemuan yang berlangsung dalam suasana akrab dan kekeluargaan itu dimulai tepat pukul 11.50 menit WIB.
“Sebagai lembaga Negara yang ada di daerah, kami rindu untuk sampaikan pokok-pokok pikiran kami, karena selama 20 tahun Otsus berlangsung, hanya 4 bidang yang sudah jalan.

Hari ini masyarakat Papua menuntut Undang-Undang nomor 21 untuk adanya perubahan yang menyeluruh,” ungkap Ketua MRP Papua, Timotius Murib mengawali pertemuan itu.

Ada 24 kewenangan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun kata Murib hanya empat kewenangan saja yang jalan selama kurun waktu 20 tahun Otsus ada di Tanah Papua. Itu sebabnya evaluasi Otsus haruslah menyeluruh.

Ditambahkan Murib, di hadapan Mendagri yang didampingi Dirjend Otonomi Daerah (Otda) itu, di mana harapan Presiden Joko Widodo dalam arahan pada rapat terbatas Kabinet tanggal 11 Maret 2020 di Kantor Presiden, di mana Murib mencoba mengulang lagi arahan itu.

“Arahan Presiden yakni evaluasi secara menyeluruh tata kelola dan efektivitas pelaksanaan otonomi khusus Papua. Yang kedua harus ada sebuah cara baru, kerja baru. Kita harus bangun sebuah system dan cara kerja baru untuk sebuah lompatan. Perlu ada perubahan yang signifikan yang terjadi. Yang berikutnya adalah penekanan presiden bahwa pelaksanaan Otsus harus dikonsultasikan dengan seluruh elemen masyarakat di Papua dan Papua Barat,” ungkap Murib.

Pada kesempatan itu, Murib mengingatkan kembali Mendagri bahwa di Papua dan Papua Barat telah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP), namun ketika itu terbentur dengan surat Bupati dan Walikota yang melarang pelaksanaan RDP di daerahnya.

“Ini kami rasa sebagai suatu pembukaman bagi lembaga MRP. Padahal kami sebenarnya tidak punya niat untuk melawan Negara,” ungkap Timotius Murib.

Dia menegaskan baik MRP dan MRPB belum pernah memberikan pokok-pokok pikiran terhadap perubahan kedua undang-undang Otsus kepada Pansus DPR RI Perubahan kedua Undang-Undang Otsus Papua.

Kesempatan yang sama Ketua MRP Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren, SE menegaskan pentingnya masa jabatan MRP harus disesuaikan dengan masa jabatan lembaga DPR dan kepala daerah di seluruh Indonesia. Hal ini karena pertimbangan MRP adalah lembaga Negara yang secara khusus karena amanat Undang-Undang Otsus, dengan tugas dan kewenangan yang sama dengan DPR.

Menginteraksi pertemuan itu, Mendagri Tito Karnavian menegaskan usulan-usulan yang disampaikan akan di tampung untuk diteruskan ke Pansus DPR RI perubahan kedua Undang-Undang Otsus.

“Tapi yang disampaikan ini menjadi masukan untuk diteruskan ke DPR RI,” kata mantan Kapolda Papua itu di hadapan anggota MRP dan MRP Papua Barat.

Tito Karnavian mengakui pihaknya mendapat kunjungan dan masukan dari Asosiasi Bupati/Walikota se Tanah Papua termasuk tokoh masyarakat untuk menkonsultasi pemekaran ke Kemendagri. Menurut Tito Karnavian secara pribadi dirinya inginkan Pilkada langsung ke DPR, akan tetapi usulan terhadap masalah pilkada langsung dan tidak langsung itu, kini sudah ada di Pansus DPR RI.

Dikatakan Tito Karnavian bahwa Pansus DPR RI perubahan kedua Undang-Undang Otsus menyampaikan keinginan sejumlah daerah-daerah yang menggunakan system noken dikembalikan ke DPR dalam hal ini Kabupaten dan Kota di Papua.

Sebelumnya Ketua Tim Kerja Perubahan kedua Undang-Undang Otsus MRP, Beny Sweny mengatakan tujuan MRP ke Jakarta dalam rangka menegakan kewenangan MRP sebagaimana perintah pasal 77 yang menyebutkan bahwa usul perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR dan Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.

“Pada kenyataannya tanpa melalui mekanisme beberapa kepala daerah langsung ke DPR RI yang akhirnya fokus pada dua pasal yakni pasal 34 dan pasal 76. Oleh karena itu kami inginkan kewenangan pada pasal 77 apakah masih berlaku,” tanya Beny Sweny, sembari menegaskan pasal 76 belum ada urgensinya. Menurut mantan Ketua KPU Papua itu, bahwa Undang-Undang Otsus harus dirubah menyeluruh, bukan parsial.

Sebagaimana anggota MRP Papua dipimpin langsung Timotius Murib, Yoel Mulait (Waket I), anggota masing-masing, Beny Sweny, Roberth Wanggai. MRP Papua Barat Maxsi Nelson Ahoren (Ketua) dan anggota Christiana Ayello (Ketua Pokja Perempuan).

(Notulen: Roberth Wanggai)

 

Read More
Categories Berita

DPN Peradi Jadi Kuasa Hukum MRP Papua Bawah Masalah UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi

Pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) saat foto bersama dengan DPN Peradi usai melakukan penandatanganan Mou – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) mengelar rapat konsultasi dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) berkaitan dengan pembahasan perubahan kedua undang-undang Otsus Papua.

Luhut Pangaribuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) mengatakan pertemuan rapat konsultasi tersebut dengan inti tujuan MRP meminta pendapat hukum ke Peradi tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan kedua UU Otsus baik prosedurnya maupun subtansi.

“Prosedur yang pokok adalah bahwa perubahan sekarang yang dibicarakan di DPR RI tidak sesuai dengan mekanisme perubahan yang seharusnya diikuti yang di atur dalam UU Otsus itu,” katanya.

Di mana Dalam UU Otsus itu, kata Luhut, secara politik sebenarnya itu UU merupakan kesempatan dalam rangka menyelesaikan satu permasalahan.

“Jadi, boleh saya katakan bahwa dia (UU) lebih tinggi kurang pas tadi kira-kira begitulah maksudnya, tidak boleh di simpangi sebagaimana UU yang lain. Oleh karena itu, harus diperhatikan,” katanya.

Kalau ini pendekatannya secara demikian maka masalah di Papua tidak akan pernah selesai, dari mulai OPM sekarang Terorisme, Diskriminasi dan seterusnya.

“Jadi perlu secara lebih bijak untuk melihat persoalan perubahan kedua UU Otsus ini karena itu dengan bantuan tim yang akan dibentuk oleh Peradi untuk meresponnya akan coba mempelajari dan manakala ada hal yang bisa dilakukan secara hukum akan dilakukan misalnya dengan minta intepretasi atau pengujian dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan mekanisme yang ada di negara hukum di republik Indonesia,” tegasnya.

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua juga menambahkan rapat konsultasi tim kerja MRP tentang pokok-pokok pikiran rancangan perubahan kedua UU Otsus dengan DPN Peradi membicarakan subtansinya terkait dengan proses dan mekanisme yang dilakukan pemerintah pusat, eksekutif dan DPR RI untuk perubahan kedua atas UU Otsus Papua nomor 21 Tahun 2001.

“MRP mendapat respon yang luar biasa dari Peradi untuk melakukan komunikasi dengan MRP, dan Rakyat Papua dalam rangka membantu dimana satu polemik pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat terkait dengan proses perubahan kedua UU Otsus Papua, sehingga dengan komunikasi MRP hari ini dengan Peradi bisa membuka satu wawasan dimana proses yang dilakukan pemerintah pusat sesuai konstitusi pasal 77 ini bisa kita sinkronkan,” katanya.

Perubahan kedua UU nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua pada prinsipnya MRP Papua berkeinginan untuk dikembalikan kepada proses hukum yaitu pasal 77 tetapi kemudian pemerintah pusat oleh DPR RI terus melakukan proses mekanisme perubahan secara sepihak ini.

“Inilah yang MRP datang menyampaikan subtansi terkait proses mekanisme ini untuk kita kaji pasal 77 dan surat presiden kepada DPRI RI pasal 5 UUD 1945 di mana presiden berhak mengusulkan UU bukan perubahan sehingga konteks hukum ini yang perlu MRP sampaikan kepada Peradi agar di ketahui oleh kalangan umum lebih khusus masyarakat orang asli Papua,” katanya.

Dalam kesempatan itu MRP melakukan penandatanganan MoU antara Majelis Rakyat Papua dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia, berlangsung di salah satu hotel di Jakarta, (9/6/2021). (*)

Read More