Categories Berita

Proteksi Orang Asli Papua, Pemprov, DPRP dan MRP sudah bikin apa?

Rapat Konsultasi Tim Kerja Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Orang Asli Papua tentang Implementasi Hak Asasi Manusia pada wilayah konflik di Provinsi Papua, Kamis (18/3/2021) Jubi/Yuliana Lantipo

JAYAPURA, MRP – Satu per satu narasumber dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan lembaga agama yang concern pada isu kemanusiaan di atas Tanah Papua saling berbagi informasi, temuan, hingga kendala dan tantangannya selama melakukan advokasi terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam forum Rapat Konsultasi Tim Kerja Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Orang Asli Papua tentang Implementasi Hak Asasi Manusia pada wilayah konflik di Provinsi Papua,  di Padang Bulan, Kota Jayapura, Papua, Kamis (18/3/2021).

Forum yang diselenggarakan oleh Majelis Rakyat Papua ini bertujuan menjaring masukan dari pekerja kemanusiaan dan bercita-cita melahirkan solusi atas konflik berkepanjangan di Tanah Papua nantinya akan diusulkan kepada negara.

“Pertemuan hari ini [MRP] ingin mendapatkan masukan langsung dari narasumber yang sedang atau sudah melakukan kerja-kerja [kemanusiaa] di sana [Nduga, Intan Jaya, dan Puncak],” kata Pdt. Markus Kajoi, anggota Pokja Agama MRP, yang juga dipercayakan menjadi Ketua Tim Kerja [Pansus] Kemanusiaan Lembaga kultur orang asli Papua tersebut.

Hadir pada pertemuan tersebut, pimpinan dan perwakilan sejumlah LSM dan lembaga gereja yang menjadi narasumber, di antaranya: Raga Kogoya yang menyampaikan nasib para pengungsi asal Nduga yang hidup di pengungsian sejak akhir 2018 hingga hari ini.

“Kondisi saat ini, banyak orang yang meninggal. Banyak yang hilang akibat dari operasi militer ini,” kata Raga Kogoya dalam pemaparannya.

“Sampai saat ini, orang yang meninggal [dalam] satu hari itu 1-5 orang. Belum [sempat] tutup duka ada yang meninggal lagi. Sampai hari ini. Ada yang karena batuk, ada yang karena panas tinggi langsung meninggal. Ada yang kena asap bom, ada anak sekolah,” bebernya.

Kogoya juga memaparkan bagaimana nasib anak-anak di pengungsian yang pernah memiliki sekolah darurat dari terpal di halaman Gereja, tempat pengungsi tinggal, namun saat ini, aktivitas belajar itu sudah tidak ada lagi.

“[Karena] ditekan, diancam. Bahkan ibadah di gereja juga ada mobil ‘anggota’ yang keliling. Sampai hari ini mereka tidak sekolah. Jadi, saya harapkan bisa perhatikan pendidikan. Saya minta pendidikan ini bisa diperhatikan untuk orang Nduga selain kesehatan,” ujar Kogoya.

Pembela HAM berikutnya adalah Theo Hesegem. Bersama tim kerjanya, Hesegem telah menyampaikan laporan tertulis dari kerja lapangan atas sejumlah peristiwa kekerasan fisik hingga menelan korban jiwa sipil dan anggota keamanan pada kasus Nduga kepada berbagai instansi dan lembaga negara dari Papua hingga Jakarta dan Internasional. Di antaranya, DPRP, Pangdam Cenderawasih XVII, Kapolda Papua, DPR RI, Komnas HAM, MRP. “Presiden dapat [laporan] dua kali, sebenarnya. Saya juga menyerahkan kepada pelapor khusus PBB,” jelasnya.

Sementara itu, Saul Wanimbo dari SKP Timika menceritakan bagaimana nasib para pengungsi asal Intan Jaya yang mencari perlindungan hingga ke wilayah suku lain di Mimika. Dijelaskan Wanimbo, pengungsian bahkan sudah terjadi sejak 2019 dan berpuncak pada akhir 2020 dan awal 2021.

Wanimbo menyanggah pernyataan pihak Kepolisian di Papua yang menyatakan melalui media, tidak ada pengungsi di Intan Jaya. “Mereka [pengungsi] hari ini ada di rumah kami. Sampai hari ini kami masih mencari bantuan untuk kasih mereka makan,” kata Wanimbo.

Banyaknya pengungsi asal Intan Jaya di Mimika juga terlihat dari munculnya wajah-wajah baru di Mimika dan bersamaan gereja-gereja di Intan Jaya kosong. “Semakin banyak karena gereja-gereja di lima stasi [di wilayah Intan Jaya] kami itu kosong. Lima stasi artinya ratusan gereja,” jelas Wanimbo.

Gambaran ini juga diperkuat oleh Bartolius Mirip, yang ikut memberikan gambaran terkini situasi di Intan Jaya. “Di Biandoga, orang-orang sudah tidak ada. Gereja-gereja kosong,” ucapnya.

Sementara itu, Yuliana Langowuyo dari SKPKC Fransiskan Papua memaparkan bagaimana pihaknya bersama jaringan kerja kemanusiaan kerap dihadapkan pada berbagai kendala dalam melakukan monitoring kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di luar Kota Jayapura.

“Pimpinan gereja juga sudah distigma. Ketika kita minta tarik militer, itu dianggap politik. Gereja dianggap mendukung TPN PB. Padahal tidak. Kita tidak dukung militer, kita tidak dukung TPN PB, tapi setop [hentikan peperangan] supaya masyarakat yang terdampak dari perang itu tidak terus bertambah. Kita harus menekankan nilai kemanusiaan,” tegas Langowuyo.

Langowuyo mendorong agar ada para wakil rakyat terlebih wakil rakyat dari lembaga kultur orang asli Papua: MRP yang “memimpin” dan memulai turun langsung ke lapangan, hadir di tengah-tengah kehidupan pengungsi.

“Saat ini yang kita butuh harus ada yang berani masuk dan tinggal di sana. Sebagai seseorang yang independen. MRP bisakah buka posko di Bilogai?” ucapnya.

Kendala lain juga dialami tim KPKC Sinode di Tanah Papua. “Kesulitan bagi kami adalah wilayah pelayanan [gerejawi] mayoritas itu menjadi kesulitan bagi kami seperti di Nduga. Kami susah untuk membuat laporan-laporan kepada mitra kerja,” jelas Pdt. Anike Mirino, yang telah melakukan pendampingan pengungsi Nduga di Wamena melalui layanan medis bersama kelompok kerjanya.

Ia mendorong agar MRP dapat membentuk tim medis yang dapat bekerja secara independen dan langsung mendatangi para pengungsi. “Kunjungan ke camp pengungsian harus dilakukan karena mereka pasti takut ke rumah sakit setempat,” pintanya, diikuti pengalaman sejumlah pengungsi Nduga di Wamena yang ditolak oleh pihak rumah sakit karena sejumlah alasan seperti ketiadaan kartu penduduk dan kartu keluarga, baru-baru ini.

“Selain itu, MRP kalau bisa buat Posko dan jaminan keamanan di tempat [pengungsi] supaya rakyat tahu bahwa perwakilannya ada di sana, ada yang melindungi,” usul Mirino.

Dari sejumlah penyampaian, sebuah “tamparan” keras diungkapkan Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua menutup sesi terakhir forum tersebut. Gobay mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga yudikatif, eksekutif maupun MRP sebagai lembaga kultur orang asli Papua.

“Masalahnya, kita tidak pernah dengar MRP bilang PMI [Palang Merah Indonesia] turun, atau dari Gubernur, atau dari Ketua DPRP, karena itu tugasnya. Untuk menjalankan apa yang dilakukan kaka Raga Kogoya [dan pekerja kemanusiaan itu] adalah tugasnya PMI. Kalau tidak bisa PMI, ya Palang Merah Internasional,” tegas Gobay.
Pandangan Gobay yang menilai ada lamban respon pemerintah, ia menuding, “menurut saya ada pembisik Gubernur yang tidak benar. [Orang itu] harus ditarik,” katanya.

Gobay yang memiliki pengalaman bekerja di LBH Yogyakarta sejak 2008 lalu justeru menantang para anggota MRP untuk lebih optimal menggunakan kewenangan yang telah diembankan melalui Undang-Undang untuk menghasilkan kerja-kerja yang lebih konkret bagi masyarakat asli Papua. Di antaranya, ketika pengosongan daerah dilakukan dengan alasan keamanan, namun kemudian diisi oleh pihak lain, seperti kasus yang terjadi pada ratusan kepala keluarga di Tembagapura hingga persoalan pengungsian warga Nduga dan Intan Jaya karena alasan keamanan.

“Pertanyaannya, orang mau rampas tong punya hak adat ini. Upaya apa yang bapa-bapa di MRP [dan Ibu-Ibu] lakukan untuk [melindungi] itu?” tandanya, dilanjutkan, “atau, selama 21 tahun [otsus] berjalan ini, adakah KKR, penguatan Komnas HAM, yang MRP lakukan? Jadi, untuk proteksi orang asli Papua ini, Pemprov, DPRP dan MRP sudah bikin apa?” tandas Gobay, menutup pertemuan Forum tersebut. (*)

Sumber: Jubi

Read More