Categories Berita

Banyak pihak kecewa, Asosiasi Bupati Meepago tolak RDP

Rakyat Meepago yang melakukan aksi di Dogiyai karena RDP MRP tak dilaksanakan, Selasa (17/11/2020) – Egedy untuk Jubi

JAYAPURA, MRP– Majelis Rakyat Papua (MRP) mengungkapkan kekecewaannya ketika ditolak Asosiasi Bupati Meepago (ABM) padahal mereka sudah di Nabire dan Dogiyai untuk melaksanakan rapat dengar pendapat (RDP) tentang evaluasi implementasi pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua.

“Kami menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Meepago karena batal menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Wilayah (RDPW) karena tidak didukung oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) Asosiasi Bupati Meepago,” kata Ketua I MRP, Debora Mote, melalui keterangan tertulis yang diterima Jubi, Selasa (17/11/2020).

Pembatalan kegiatan RDPW di wilayah adat Meepago yang dipusatkan di Kabupaten Dogiyai tersebut ditolak oleh para bupati di wilayah Meepago Meepago yakni Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, dan Intan Jaya, yang tergabung dalam Asosiasi Bupati Meepago, melalui surat yang dikirim langsung ke MRP.

Atas pelarangan ini Debora Mote menyayangkan sikap pimpinan bupati di wilayah Meepago yang menolak kegiatan RDPW.

“Secara pribadi dan lembaga MRP kami menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Meepago, yang mana antusias dalam beberapa hari terakhir ini ingin menyukseskan kegiatan RDPW, namun menjelang hari pelaksanaan secara tiba-tiba tidak didukung oleh bupati setempat,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pelaksanaan RDP tersebut sesuai dengan aturan UU pasal 77 nomor 21 tahun 2001 sehingga wajib Aparatur Sipil Negara untuk mendukung pelaksanaan RDP tersebut, bukan malah menolaknya.

Anggota Komisi I DPR Papua dari daerah pemilihan Meepago, Laurenzus Kadepa, mempertanyakan ada apa dengan para bupati di wilayah Meepago yang menolak MRP yang menjalankan amanah Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yakni rapat dengar pendapat (RDP) di wilayah Meepago, yang hendak dipusatkan di Kabupaten Dogiyai pada Selasa (17/11/2020) dan Rabu (18/11/2020).

Kadepa menyayangkan sikap Bupati Nabire yang mengatasnamakan Asosiasi Bupati Meepago. Padahal menurut dia, RDP sangat penting sekali untuk tiga komponen yakni adat, agama, dan perempuan duduk bersama dan berbicara.

“Kami kecewa Bupati Meepago melalui Ketua, Bupati Nabire Isaias Douw, menolak tim MRP untuk tiadakan RDP. Ini ruang mereka (tiga komponen) bicara tentang manfaat yang dirasakan dari otsus selama ini. Bukan bicara NKRI harga mati atau Papua merdeka. Negara harusnya dewasa dalam menyikapi situasi ini,” ungkap Laurenzus Kadepa kepada Jubi, Selasa (17/11/2020).

Jika menolak, politisi Partai NasDem ini minta pihak berwajib segera melakukan evaluasi dan memeriksa penggunaan dana otsus oleh para bupati selama 20 tahun berjalan.

Di masa pandemi Covid-19 ini, kata dia, semua pihak wajib mematuhi dan menjalankan anjuran pemerintah soal protokol kesehatan. Pelaksanaan RDP pun akan mematuhi protokol kesehatan.

Sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP), John NR Gobai, mengakui seluruh masyarakat Meepago telah menunggu MRP di Dogiyai untuk menyaksikan, mendengarkan, dan menyampaikan aspirasi pelaksanaan otsus di Papua selama 20 tahun berjalan.

“Apa sesungguhnya pertimbangan MRP, surat Bupati Nabire sebenarnya mesti dilihat sebagai bagian dari perhatian untuk menjaga keamanan bukan larangan. MRP mengapa harus mengecewakan masyarakat Meepago yang telah siap menyampaikan aspirasi mereka. Di Meepago tidak ada aksi maupun demo penolakan RDP seperti wilayah adat lain,” kata Gobai.

Ia mempertanyakan mengapa harus takut dengan dugaan dinamika yang akan berkembang, sebab itu merupakan dinamika karena RDP bukan sarana pengambilan keputusan.

“RDP hanyalah sarana mendengar pendapat rakyat bukan pendapat bupati yang merupakan kuasa pengguna anggaran termasuk dana otsus di kabupaten dan kota,” ujarnya.

“Apa yang ditakutkan MRP sebenarnya di Meepago, dugaan saya ada silent operation di Papua menjelang RDP MRP, tentu dengan garansi akan ada pemekaran atau jabatan yang penting jangan ada RDP MRP, seperti yang bisa kita lihat di Merauke,” katanya.

Ketua Fraksi PKB DPRD Deiyai, Naftali Magai, menegaskan MRP telah menjadi boneka eksekutif, dan takut menemui rakyatnya yang memberikan amanat melindungi orang dan Tanah Papua.

“Mental MRP ini diragukan, apakah mereka benar lindungi orang dan tanah Papua atau jalankan misi lainnya,” ujarnya.

“Seharian penuh ini kami (DPRD Deiyai dan Paniai tanpa DPRD Dogiyai) di Dogiyai, tunggu tim MRP. Tapi tak kunjung datang. Masyarakat antusias sambut mereka, tapi karena mereka (MRP) tidak datang maka mereka bacakan pernyataan tolak otsus dan minta kemerdekaan Papua,” katanya. (*)

Read More

Categories Berita

Diadang sekelompok orang, tim RDP Otsus Papua tertahan di Bandara Wamena

Tim Rapat Dengar Pendapat Otsus Papua tiba di Bandara Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan diadang sekelompok orang yang mengatasnamakan Lembaga Masyarakat Adat. – Jubi/Yuliana Lantipo

JAYAPURA, MRP – Sekelompok orang yang mengatasnamakan Lembaga Masyarakat Adat atau LMA mengadang Tim Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua di Bandara Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua, Minggu (15/11/2020). Mereka menyatakan menolak tim itu menggelar Rapat Dengan Pendapat atau RDP Otonomi Khusus Papua, dan meminta tim MRP tersebut segera meninggalkan Wamena.

Tim MRP yang tiba di Bandara Wamena berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat terkait pelaksanaan Otonomi Khusus (RDP Otsus) Papua dengan para pemangku kepentingan dari 10 kabupaten di Wilayah Adat Lapago. Sejumlah 10 kabupaten di Wilayah Adat Lapago itu adalah Kabupaten Jayawijaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yalimo, Lanny Jaya, Nduga, Puncak Ilaga, Mamberamo Tengah, dan Puncak Jaya.

RDP Otsus Papua untuk Wilayah Adat Lapago itu akan dipusatkan di Wamena, berlangsungpada 17 – 18 November 2020, bersamaan dengan RDP Otsus Papua di keempat wilayah adat lainnya.

Dari pantauan Jubi di Bandara Wamena, rombongan Tim MRP itu diadang sekelompok orang yang dipimpin Ketua LMA Wamena Karlos Hubi, Kepala Kampung Lantipo-Honelama Hengky Heselo, serta tokoh adat Silo, Karno Doga dan Alex Doga. Hingga berita ini diturunkan pada pukul 13.00 WP, sejumlah 36 anggota tim MRP belum bisa keluar dari Bandara Wamena, dan menunggu di ruang kedatangan penumpang.

Karlos Hubi menyatakan pihaknya tidak setuju dengan rencana MRP menggelar RDP Otsus Papua di Wamena. “Kami minta MRP pulang, tidak ada [yang melakukan] pertemuan apapun. Hari ini juga MRP pulang [kembali ke Jayapura],” kata Karlos Hubi saat berbicara menggunakan pelantang dari pintu keluar ruang kedatangan penumpang di Bandara Wamena.

Pada Kamis (12/11/2020) lalu, sekelompok orang yang juga dipimpin Karlos Hubi berunjuk rasa di Wamena. Dalam unjuk rasa itu, mereka menyatakan menerima dan mendukung Otsus Papua. Oleh karena itu, mereka menolak rencana MRP menggelar RDP Otsus Papua di Wamena.

Salah satu anggota tim RDP Otsus MRP, Engelbertus Kasibmabin menyayangkan tindakan yang dilakukan beberapa orang yang mengatasnamakan LMA itu. Kasibmabin menyatakan RDP Otsus Papua di Wamena seharusnya menjadi forum untuk menampung apapun aspirasi rakyat asli Papua, termasuk aspirasi untuk mendukung atau menolak Otsus Papua.

“Kami sayangkan saja. Hal seperti itu kan ada forumnya, bukan potong di tengah jalan begini. Mereka [yang mendukung Otsus Papua] harusnya juga memberikan ruang kepada masyarakat asli Papua yang lain. Ini [yang menolak RDP Otsus] kan hanya mereka. Masih ada rakyat asli Papua lain, dari daerah lain di Wilayah adat Lapago,” kata Kasibmabin.

Kasibmabin yang juga anggota Kelompok Kerja Adat MRP dan utusan masyarakat adat dari Wilayah Adat Lapago menegaskan tidak boleh ada sekelompok orang yang mengatasnamakan seluruh rakyat Lapago dan menentang tim MRP yang sedang bekerja. “Terima Otsus dan tolak Otsus bukan urusan kami. Justru itu harus datang dari seluruh rakyat Papua, bukan hanya satu dua kelompok,” tegasnya.(*)

Read More

Categories Berita

Setelah tersandera 7 jam, Tim MRP kembali ke Sentani

Anggota MRP Engelbertus Kasibmabin (kiri) berkoordinasi dengan Kepala Trigana Wamena untuk menyiapkan pemulangan anggota tim ke Sentani – Jubi/Yuliana Lantipo.

WAMENA, MRP – Sejumlah anggota Majelis Rakyat Papua bersama tim penyelenggara rapat dengar pendapat wilayah memutuskan kembali ke Sentani, setelah tersandera sekitar 7 jam di ruang tunggu kedatangan Bandara Wamena. Mereka bertolak sekitar pukul 16.30 Waktu Papua ke Sentani dengan menumpang pesawat Trigana Air.

“Kami memutuskan kembali (ke Sentani) untuk menghindari konflik antarkelompok. Kalau kami bertahan, akan terjadi benturan besar-besaran. Kami tidak mau melihat pertumpahan darah di bandara ini (Wamena),” kata Engelbertus Kasibmabin, anggota tim saat dihubungi dari Jayapura, Minggu (15/11/2020).

Kasibmabin menyatakan ada ratusan warga menanti kehadiran tim mereka di Wamena. Warga tersebut ingin menyampaikan aspirasi mengenai penilaian terhadap efektifitas otonomi khusus di Papua.

Saat mengetahui Tim MRP tersandera di Bandara Wamena, kelompok warga yang terdiri atas masyarakat asli Papua tersebut berniat menjemput mereka. Namun, tim melarang karena dikhawatirkan memicu pertikaian dengan sekelompok warga penentang.

“Kalau masyarakat datang dan mereka berkelahi, aparat (keamanan) mau duduk nonton ka, nanti memihak kepada siapa? Situasi ini kami lihat tidak bagus maka kami putuskan untuk pulang (kembali ke Sentani),” jelas Kasibmabin, yang juga anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) utusan Wilayah Adat Lapago.

Setelah mendapat laporan mengenai situasi lapangan dari MRP, maskapai Trigana Air menerbangkan kembali pesawat mereka untuk menjemput Kasibmabin dan kawan-kawan di Wamena. Sekitar 36 anggota rombongan yang tertahan sejak pukul 09.26 Waktu Papua tersebut pun akhirnya diterbangkan lagi ke Sentani.

Kasibmabin belum dapat memastikan penjadwalan kembali rapat dengar pendapat mengenai evaluasi otonomi khusus Papua untuk wilyah adat Lapago. Itu semua bergantung kepada keputusan kolektif MRP. (*)

Read More