Categories Berita

Datangi MRP, Mahasiswa Puncak se-Indonesia Minta Keadilan 5 Warga Sipil Dibunuh Oleh Aparat Negara

 

 

Mahasiswa Puncak se-Indonesia saat menyerahkan aspirasi, yang di terima oleh Yoel Mulait ketua Pokja Agama MRP bersama enam anggota MRP lainnya – (Humas MRP)

 

JAYAPURA, MRP – Bertemu Pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Tim Peduli Kebenaran pembunuhan warga sipil kabupaten Puncak pelajar mahasiswa se-Indonesia meminta elite politik Papua, MRP, DPR Papua, Gubernur Papua dan seluruh staf Pemerintah untuk menyikapi penembakan empat pelajar dan satu PNS korban warga sipil kabupaten Puncak yang dilakukan oleh aparat negara. 

Ketua tim Tias M. D dihadapan pimpinan dan anggota MRP menyampaikan pernyataan sikap dengan tegas kepada pihak berwajib bahwa mahasiswa Puncak se-Indonesia dengan tegas meminta kepada negara untuk bertanggung jawab atas penembakan empat pelajar dan satu PNS korban warga sipil di kabupaten Puncak.

“Kami mahasiswa Puncak se-Indonesia mendesak kepada para elit politik Papua, MRP, DPR Papua, Gubernur Papua, dan seluruh staf Pemerintahan agar sikapi penembakan lima warga sipil asal Puncak tersebut,” ujarnya.

Lanjutnya, Mahasiswa Puncak se-Indonesia juga mengutuk tindakan yang dilakukan oleh aparat negara terhadap empat pelajar dan satu PNS sebagai staf di kantor dinas pertanian menjabat sebagai bendahara.

“Kami mahasiswa dan rakyat pribumi di Puncak mendesak tegas agar segera tarik aparat keamanan non organik dari kabupaten Puncak dan meminta dengan tegas TNI-Polri jangan membatasi ruang gerak masyarakat Puncak tanpa alasan apapun,” tegasnya.

Wemiron Tabuni, penanggung jawab kegiatan aksi juga menambahkan mahasiswa Puncak se-Indonesia meminta lembaga independent baik Komnas HAM dan aktivitas HAM segera lakukan inventarisasi guna mengungkap kasus pembunuhan ini tanpa intervensi pihak institusi TNI-Polri.

“Kami mahasiswa kabupaten Puncak se-Indonesia meminta lembaga dan negara harus menanggapi kasus ini, jikalau tidak menangapi serius maka kami mahasiswa akan bertindak tegas dengan mencabut dan mengembalikan Surat Keputusan (SK) ke pusat (Jakarta),” ujarnya.

Mewakili pimpinan MRP, Yoel Mulait ketua Pokja Agama MRP bersama enam anggota MRP menerima aspirasi mahasiswa Puncak se-Indonesia menyampaikan turut berdukacita atas kejadian yang menimpa lima warga sipil di Puncak.

“Untuk proses selanjutnya lembaga akan melanjutkan aspirasi sesuai mekanisme Lembaga sehingga bisa ditindaklanjuti sesuai harapan kita bersama,” harapnya. (*)

 

Sumber: Suara Papua

 

Read More
Categories Berita

Terkait penolakan RDP: LMA, kelompok Pepera, dan para bupati di Papua menampar wajah Indonesia

Aksi pemalangan dengan orasi di depan pintu keluar bandara Wamena oleh massa Tokoh Pepera dan pejuang veteran Jayawijaya terhadap anggota MRP / ist

JAYAPURA, MRP – Legislator Papua, Natan Pahabol menyatakan kepala daerah di Papua yang menolak pelaksanaan rapat dengar pendapat atau RDP pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan pamanfaatan dana Otsus, sama saja ikut menguatkan isu referendum.

Ia mengatakan, Majelis Rakyat Papua atau MRP sebagai representasi lembaga kultur orang asli Papua mengagendakan menggelar RDP evaluasi Otsus, dengan perwakilan berbagai kalangan masyarakat adat Papua di lima wilayah adat, 17-18 November 2020 silam.

Akan tetapi, di beberapa daerah muncul penolakan pelaksanaan RDP dari kelompok tertentu. Bahkan ada kepala daerah juga menyatakan menolak.

“Penolakan itu justru menguatkan isu Papua merdeka (referendum) di mata berbagai kalangan termasuk dunia internasional,” kata Natan Pahabol melalui panggilan teleponnya, Selasa (24/11/2020).

Menurutnya, penolakan evaluasi Otsus itu mungkin saja akan dipertanyakan berbagai pihak yang selama ini mengikuti isu Papua.

Tidak menutup kemungkinan para pihak ini akan menyimpulkan kalau pelaksanaan Otsus Papua selama ini memang gagal, sehingga ada pihak tak diingin dilakukan evaluasi, termasuk beberapa bupati yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah.

“Bupati yang menolak RDP, sama saja menyampaikan Otsus gagal. Ini justru menguatkan isu Papua merdeka. Berbagai pihak, termasuk dunia internasional selalu mengikuti perkembangan Papua. Penolakan ini tidak hanya bagian dari pembungkaman ruang demokrasi, juga pintu masuk berbagai pihak berkepentingan memperbesar isu Papua,” ujarnya.

Mantan anggota MRP periode 2009-2014 itu berharap Menteri dalam Negeri menegur para kepala daerah yang ikut-ikutan menolak RDP evaluasi Otsus.

Katanya, pelaksanaan evaluasi Otsus merupakan amanat pasal 77 Undang-Undang Otsus Papua. Pasal itu memberi kewenangan kepada MRP melakukan evaluasi. Hasilnya diserahkan ke DPR Papua untuk diparipurnakan, kemudian dilanjutkan kepada pemerintah pusat.

“Pemerintah daerah hanya memfasilitasi pelaksanaan RDP. Apapun hasil RDP nantinya, tidak perlu khawatir berlebihan. Misalnya saja mereka yang hadir menyatakan Otsus gagal, Otsus berhasil atau meminta referendum, tidak langsung terjadi. Ada proses dan mekanismenya,” ucapnya.

Kata Sekretaris Fraksi Gerindra DPR Papua itu, sikap bupati yang menolak RDP evaluasi Otsus patut dipertanyakan. Mereka selama ini menggunakan dana Otsus, namun menolak dilakukan evaluasi.

Katanya, jika para kepala daerah menyatakan Otsus sudah berjalan semestisnya, tak perlu khawatir atau menolak saat akan dilakukan evaluasi oleh masyarakat. Cukup memfasilitasi pelaksanaan RDP.

“Kalau menolak, memunculkan kecurigaan dan tanda tanya. Mereka ini sama saja melecehkan Undang-Undang Otsus dan negara yang telah membuat undang-undang itu,” katanya.

Ia menambahkan, para kepala lain di Papua mesti mencontoh Bupati Biak Numfor. Ia memfasilitasi pelaksanaan RDP wilayah adat Saireri di daerahnya sehingga bisa terlaksana.

“Itu artinya Bupati Biak paham tugas dan tanggungjawabnya sebagai pemerintah daerah. Ikut melaksanakan amanat Undang-Undang Otsus,” ucap Pahabol.

Ketua MRP, Timotius Murib kepada awak media awal pekan lalu mengatakan adanya penolakan sejumlah pihak terhadap pelaksanaan RDP, disebabkan kecurigaan berlebihan. Mereka menduga RDP itu akan membawa aspirasi Papua merdeka.
Katanya, penolakan RDP justru merupakan pembungkaman hak demokrasi warga asli Papua.

“Kami hanya ingin ada perbaikan pelaksanaan Otsus secara menyeluruh,” kata Murib, 16 November 2020 silam.

MRP kata Murib, jika tidak memahami sikap sejumlah kepala daerah yang menolak pelaksanaan RDP. Sebelum pelaksanaan, lembaga itu telah menyurati kepala daerah di lima wilayah adat di Papua.

“Penolakan RDP evaluasi Otsus telah menciderai hak warga Papua menyampaikan pendapatnya, demi mencapai solusi bersama,” ujarnya. (*)

Sumber: Jubi

Read More

Categories Berita

Penangkapan Anggota Majelis Rakyat Papua Cermin Pembungkaman OAP*

Anggota MRP Papua ditangkap – Humas MRP

MERAUKE, MRP – Merespon penangkapan anggota dan staf Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh anggota Kepolisian Resor Merauke dengan tuduhan makar, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Rapat Dengar Pendapat yang dipersiapkan oleh Majelis Rakyat Papua di Merauke merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat. Menangkap mereka secara sewenang-wenang sangatlah diskriminatif sementara kita tahu kebebasan berkumpul untuk kelompok lain justru dijamin.”

“Belum lagi, mereka dituduhkan dengan pasal makar hanya karena mengutarakan pendapat dengan damai. Ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia.”

Beberapa peserta RDP yang menunggu pemeriksaan di Aula Polres Merauke.

“Majelis Rakyat Papua merupakan perwakilan dari masyarakat Papua dan mempunyai hak untuk meminta dan mengutarakan pandangan masyarakat Papua terhadap implementasi otonomi khusus. Seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum menjamin dan melindungi hak tersebut, bukan melakukan tindakan represif yang semakin menggerus kebebasan berekspresi di sana.”

“Penangkapan terhadap mereka di Papua yang menggunakan haknya untuk berekspresi dan berkumpul, seperti kawan-kawan MPR ini, akan sulit untuk dihentikan selama pasal makar di KUHP masih diterapkan di luar ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional.”

Latar belakang

Pada 17 November 2020, 55 orang, termasuk dua anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), ditangkap oleh anggota Polres Merauke dan dituduh melanggar Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang makar.

Ke-55 orang tersebut berada di Merauke untuk menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait implementasi otonomi khusus di Papua. RDP tersebut tadinya direncanakan untuk diadakan pada tanggal 17-18 November namun dihentikan karena adanya penolakan dari Kapolres Merauke.

Tenaga ahli MRP, Wensislaus Fatubun, mengatakan kepada Amnesty International Indonesia bahwa dia, koordinator tim RDP, dua anggota MRP, dan seorang staf MRP lainnya ditahan dan diperiksa di Polres Merauke sebelum akhirnya dibebaskan pada 18 November.

Wensislaus mengatakan bahwa barang-barang tim RDP MRP, termasuk uang penunjang kegiatan RDP MRP masih ditahan oleh Polres Merauke.

MRP merupakan lembaga resmi Negara yang ditegaskan di dalam Pasal 5 UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 54/2004 Tentang Majelis Rakyat Papua. Pasal 51 PP No. 54/2004 telah menegaskan salah satu kewenangan MRP adalah untuk melakukan rapat dengar pendapat yang dilakukan oleh alat kelengkapan MRP dengan badan dan lembaga-lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuai dengan kewenangan MRP.

Wensislaus Fatubun setelah menjalani pemeriksaan di Polres Merauke.
Otoritas Indonesia kerap menerapkan pasal “makar”, dengan pengertian yang terlalu umum dan kabur sehingga tidak lagi sesuai tujuan awal dari pasal tersebut. Amnesty menilai penerapan ketentuan makar yang terlalu luas akan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat sesuai dengan ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.

Setiap individu tanpa terkecuali berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. ICCPR secara tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.

Dalam konteks nasional, hak atas kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM.

Amnesty International tidak mengambil sikap apapun terkait status politik dari provinsi manapun di Indonesia. Meski demikian, kami memegang teguh prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan kemerdekaan atau gagasan politik apapun yang dilakukan secara damai yang tidak mengandung kebencian, diskriminasi serta kekerasan.

 

*OAP: Orang Asli Papua

 

Sumber: https://www.amnesty.id/

 

Read More
Categories Berita

Tim MRP Meepago: Begitu Tiba Kami Diintimidasi Aparat TNI dan Polisi

NABIRE, MRP – Salah seorang dari anggota tim Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diutus ke wilayah Meepago untuk gelar kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Otonomi Khusus, mengaku pihaknya sejak tiba di bandara udara Nabire dari Jayapura, pada Sabtu (13/11/2020) lalu, mendapat intimidasi langsung dari aparat keamanan TNI dan Polisi.

Intimidasi dimaksud intimidasi non verbal yakni diikuti dan diawasi ketat.

“Tiba Sabtu pagi. Pas keluar di pintu keluar gedung bandara, kiri, kanan, depan, sudah ada anggota TNI dan polisi. Ada yang pakaian lengkap tapi paling (banyak) itu pakaian preman,” ujar anggota tersebut yang enggan dimediakan kepada Wagadei, Kamis (19/11/2020).

Tak sampai disitu, sepanjang perjalanan ke tempat penginapan aparat terus buntuti.

“Mereka pakai motor dan mobil. Kami tahu itu aparat tapi bikin malas tahu. Selama di Nabire sebelum naik ke Dogiyai, kemana kami pergi diawasi terus,” katanya.

Lebih parah menurutnya, ketika di Dogiyai. Aparat tak hanya mondar-mandir diluar disekitar tempat penginapan. Mereka (aparat) masuk dalam pagar halaman bahkan sampai depan pintu kamar penginapan.

“Hari lain juga. Tapi di hari Senin (16/11), pendropan aparat dalam jumlah besar dari Nabire pakai mobil banyak sekali. Saya lihat sendiri. Terus sekitar jam 04.00 sore, ada satu pleton aparat masuk ke kediaman kami. Mereka hanya mondar-mandir. Tidak sentuh kami (lakukan kekerasan)” ungkapnya.

Kendati begitu, sikap aparat tersebut, dia dan kawan-kawannya menuding sebagai salah satu bentuk tindakan intimidasi terhadap pihaknya secara langsung.

“Karena begitu tiba kami langsung diintimidasi sampai -1 hari H. Kami rasa sekali ada dalam kurungan aparat seperti dalam penjara. Tidak bisa bergerak bebas,” tudingnya.

Diakhir keterangannya, dia menyesalkan sikap aparat yang seharusnya menegakkan hukum dan undang-undang ditetapkan negara malah balik ‘memperkosa’.

“Kami (mau) jalankan RDP sesuai UU Otsus tapi negara Indonesia tidak mau, tidak tahu kenapa. Untuk itu kepada rakyat Papua di Meepago, kami minta maaf sekali, RDP tidak kami gelar. Sekali lagi sebagai manusia biasa, kami minta maaf sekali,” tutupnya.

Seperti diketahui, RDP dibatalkan oleh surat penolakan dari Asosiasi Bupati Meepago yang dikeluarkan Senin (16/11/2020) lalu atau sehari sebelum hari H.

Tiga alasan yang dipakai; adanya Pemilukada di Nabire, adanya maklumat Kapolda Papua dan adanya penolakan RDP digelar di Dogiyai oleh sekelompok orang.(*)

 

Sumber: Wagadei.com

 

Read More
Categories Berita

MRP Bahas Otsus: Diintai, Digeledah, Ditangkap, dan Dituduh Makar

Kantor MRP di Kotaraja Jayapura – Humas MRP

Rapat legal pembahasan otsus oleh Majelis Rakyat Papua dijegal. Orang-orangnya ditangkapi karena dituding merencanakan makar.

JAYAPURA, MRP – Pembahasan soal otonomi khusus (otsus) Papua, yang akan berakhir pada 2021 nanti, terus berlanjut. Baru-baru ini salah satu forum legal yang membahas itu justru direpresi aparat, dalam hal ini kepolisian. Orang-orang yang terlibat ditangkapi karena dituduh merencanakan makar.

Salah satu orang yang ditangkap adalah Wensislaus Fatubun pada 17 November lalu. Ia berstatus Tenaga Ahli Majelis Rakyat Papua (MRP), representasi kultural di Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Ia ditangkap ketika MRP tengah menyelenggarakan rapat dengar pendapat (RDP) wilayah, salah satu program kerja yang tujuannya mendengarkan aspirasi orang asli Papua (OAP) tentang otsus, berlangsung pada 17-18 November kemarin di gedung Vertenten Sai atau Aula Katedral Merauke.

Setelah RDP wilayah, mekanisme selanjutnya adalah menggelar RDP umum yang diikuti oleh MRP Papua-Papua Barat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Papua-Papua Barat.

Pada 15 November, sekitar pukul 22.00, Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata bertemu dan meminta Pastor Hengky Kariwob (Vikjen Keuskupan Agung Merauke), Pastor John Kandam (Sekretaris Uskup), dan Pastor Anselmus Amo (Direktur SKP KAMe) di Keuskupan untuk tidak memfasilitasi RDP. Pastor Anselmus lantas menelepon Canisius Mandagi, Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke. Uskup menegaskan RDP dapat dilakukan karena itu bukan kegiatan politik.

Setengah jam kemudian, beberapa polisi datang ke Hotel Grand Mandala, Hotel Pangkat, dan Hotel Valentine, tempat para peserta dan penyelenggara RDP menginap. “MRP diminta untuk ke polres malam itu juga untuk bertemu dengan kapolres,” ucap Fatubun dalam keterangan tertulis Kamis (19/11/2020).

Fatubun bersama Koordinator Tim RDP MRP wilayah Anim Ha, seorang staf MRP dan dua orang anggota MRP lain ke Polres Merauke untuk bertemu kapolres, tapi batal karena yang bersangkutan ternyata sudah pulang. Melalui ajudannya, kapolres bilang bertemu esok pagi saja. Pukul 08.46 keesokan harinya, mereka kembali menyambangi polres. Karena Kapolres lagi-lagi tak di tempat, rombongan menyerahkan surat kepada sespri kapolres dan memberikan nomor telepon untuk koordinasi.

Sekitar pukul 11.00 sekelompok orang dari Buti berdemonstrasi di kantor Bupati menolak RDP MRP. Massa meminta agar otsus dilanjutkan dan pemekaran Provinsi Papua Selatan. Enam jam berikutnya, Fatubun cs memutuskan membatalkan RDP karena situasi tak kondusif dan mereka dalam pantauan kepolisian.

Pukul 22.00, polisi datang lagi ke hotel. Kali ini dengan membawa senjata laras panjang.

Pada 17 November, pukul 08.00 pagi, seorang pria berbaju merah dan bukan tamu duduk di depan hotel. Tim RDP curiga orang itu ialah intelijen. Dia hanya diam sekitar 30 menit lalu pergi. Satu jam berikutnya, ada dua orang yang diduga sebagai intelijen polres menyambangi penginapan. Mereka menanyakan ke pihak hotel soal jumlah dan penghuni kamar. Lantas mereka angkat kaki.

Pukul 10.00, ketika Fatubun sedang duduk di depan hotel, Kapolres Merauke bersama anak buahnya datang. Beberapa dari mereka membawa senjata laras panjang. Mereka menggeledah hotel dan kamar tim RDP. Saat itulah Fatubun ditangkap. “Sebelum menangkap saya, kapolres bertanya asal, pekerjaan, [serta] kepentingan saya di Merauke. Mereka minta KTP saya,” katanya.

Fatubun dimasukkan ke mobil Dalmas, sementara barang bawaannya dijadikan barang bukti. “Di mobil Dalmas, saya melihat Koordinator Tim RDP MRP, dua staf MRP, dan seorang peserta diborgol seperti saya.” Ia dan rekan-rekannya diinterogasi dan baru dibebaskan pada 18 November sekira pukul 16.45.

Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata menyatakan dalam penggeledahan pada pagi jelang siang tanggal 17 November, ia dan rombongan menemukan sebuah pisau. “Lalu kenapa kami tangkap mereka? Karena ada buku makar, buku untuk mengajak merdeka di berbagai tempat, yang buku kuning itu,” ujar Untung kepada reporter Tirto, Kamis. Untung bilang buku itu sempat dibuang ke luar dari jendela hotel.

Buku kuning itu berjudul ‘Pedoman Dasar Negara Republik Federal Papua Barat’, edisi pertama yang terbit Januari 2012, dikeluarkan oleh Sekretariat Negara Republik Federal Papua Barat. Kata sambutan buku ditulis oleh oleh Presiden NRFPB Forkorus Yaboisembut.

Berdasar berkas yang didapatkan reporter Tirto, ditemukan juga dokumen Polisi Negara Republik Federal Papua Barat Nomor: 001/KKP-NRFPB/IV/2012 yang ditandatangani oleh Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Federal Papua Barat Letnan Jenderal Fery Fernando Yensenem tentang Penunjukan Kepala dan Wakil Kepala Kepolisian Negara Bagian Ha-Anim.

“Sementara kita (Indonesia) punya pangdam, kapolda, bupati, dan gubernur. Karena mereka makar, kami tegas begitu tak apa. Ini bukan kasus maling ayam atau sandal jepit,” katanya, lalu mengatakan kalau apa yang mereka lakukan lebih baik karena di negara lain para terduga makar dapat ditembak mati.

Ada 54 orang yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Dia bilang “harusnya semua [jadi] tersangka karena ada buku itu.”

Dua dari mereka dinyatakan positif COVID-19 setelah dites. Ini alasan mengapa mereka akhirnya dibebaskan. “Kami juga punya tahanan. Nanti rawan.”

Pembungkaman

Ketua MRP Timotius Murib mengkritik penangkapan ini. Ia bilang apa yang dilakukan polisi sama saja melawan lembaga dan program negara. MRP itu lembaga legal, pun dengan acara yang mereka selenggarakan. “Berarti secara tidak langsung kepolisian menolak [pembahasan] otonomi khusus karena menolak RDP,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.

Murib tak tahu ihwal ‘buku kuning’ yang jadi alasan polisi menangkapi para peserta dan penyelenggara. Namun ia menduga buku itu milik peserta rapat, bukan milik anggota atau tim MRP. Peserta rapat saat itu adalah Barisan Merah Putih, organisasi pemuda serupa, serta perwakilan adat. Total peserta 35 orang per kabupaten. Sementara dari MRP yang hadir sekira 20-an orang. Sebanyak 2 anggota dan 9 staf sekretariat diciduk.

Sebelum penangkapan, tepatnya pada 14 November 2020, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menerbitkan maklumat bernomor Mak/1/Xl/2020 tentang Rencana Rapat Dengar Pendapat pada Masa Pandemi COVID-19. Maklumat itu melarang RDP diikuti lebih dari 50 orang; peserta wajib mengikuti protokol kesehatan (swab/PCR, 3M) dan menyediakan tempat cuci tangan atau cairan pembersih tangan; lalu bagi pelanggar akan ditindak oleh kepolisian.

“Maklumat ini dikeluarkan untuk mencegah penyebaran COVID-19, karena khawatir rapat yang mengundang berkumpulnya orang dapat menimbulkan klaster baru,” ujar Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/11/2020).

Bagi pengacara dari Perkumpulan Advokat HAM Papua Michael Himan, maklumat tersebut “sangatlah politis dan terlalu abstrak.” Ia mengatakan demikian untuk mengomentari bagian lain dari maklumat, angka 3 huruf c. Di sana disebutkan siapa pun yang terlibat RDP “dilarang merencanakan atau melakukan tindakan yang menjurus tindak keamanan negara, makar, atau separatisme atau pun tindakan lainnya yang dapat menimbulkan pidana umum atau atau perbuatan melawan hukum lainnya dan konflik sosial.”

Kepada reporter Tirto, Rabu (18/11/2020), ia mengatakan RDP bukan termasuk tindakan penyerangan, apalagi makar. Selama dilangsungkan secara damai, tindakan menyampaikan pendapat tidak dapat dianggap makar.

Lagipula maklumat itu bukan produk hukum yang tidak memiliki kekuatan hukum bagi orang luar. Maklumat sekadar informasi bagi internal Polri. “Pernyataan tersebut bertentangan dengan ketentuan Perkap 15/2007. Kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan yang berlaku eksternal.”

Atas dasar itu Himan menyimpulkan maklumat, dan penangkapan, telah melanggar hak kebebasan berekspresi masyarakat Papua.

Kritik serupa disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem, kepada reporter Tirto, Rabu. Ia pertama-tama mengatakan bahwa otsus pada dasarnya adalah bentuk tawaran politik yang diberikan pemerintah pusat terhadap aspirasi merdeka orang Papua. Pusat Data dan Analisa Tempo pada 2019 lalu menulis Otsus adalah “jalan tengah bagi kelompok pro kemerdekaan Papua dan pemerintah pusat.”

Ketika itu aspirasi untuk merdeka memang sedang tinggi-tingginya di tanah Papua. Keputusan Kongres Rakyat Papua (KRP) II yang diadakan Presidium Dewan Papua (PDP) di Gedung Olahraga Cenderawasih APO, Kota Jayapura, 29 Mei sampai 4 Juni 2000, bulat menyebut rakyat Papua ingin lepas dari Indonesia.

Maka, “bila ruang [ekspresi] masyarakat dilarang, tidak mengevaluasi atau RDP, [maka] isu Papua merdeka akan semakin menguat di akar rumput.”

Sumber: Tirto.id

Read More

Categories Berita

Kronologi Penangkapan Anggota MRP di Merauke saat Bahas Otsus Papua

Anggota MRP Papua ditangkap – Humas MRP

 

Polisi membubarkan diskusi otonomi khusus dan menangkap staf serta anggota Majelis Rakyat Papua berdalih ada bahasan referendum.

JAYAPURA, MRP – Kegiatan penyerapan aspirasi Majelis Rakyat Papua (MRP) tentang otonomi khusus direpresi oleh kepolisian dengan dalih akan ada pembahasan referendum.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menyebut ada penangkapan kepada anggota dan staf dalam rangkaian rapat dengar pendapat. Rapat itu termasuk program kerja MRP tahun 2020 guna mendengarkan keterangan orang asli Papua (OAP) perihal kepuasan terhadap otonomi khusus.

Rapat Dengar Pendapat Wilayah berlangsung pada 17-18 November. Lantas esoknya, jajaran MRP menuju ke Jayapura untuk melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diikuti oleh MRP Papua-Papua Barat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Papua-Papua Barat.

Tiba di Jayapura tim dari anggota, staf sekretariat, dan staf ahli MRP ditolak kedatangannya oleh beberapa kelompok masyarakat, salah satunya Barisan Merah Putih. Organisasi itu menolak MRP menggelar RDPU.

“Untuk menghindari bentrok sesama orang Papua, pimpinan menarik kembali rombongan ke Jayapura,” jelas Murib ketika dihubungi Tirto, Kamis (19/11/2020).

Sementara, tim yang berada di wilayah Sarmi dan Keerom ditolak oleh Bupati Jayapura. Sedangkan tim yang berada di Hotel Horison Express di Sentani Jayapura dibubarkan oleh kepolisian dengan alasan COVID-19. Padahal di hotel itu tidak lebih dari 30 peserta yang ikut.

Polisi merujuk Maklumat Kapolda Papua Nomor: Mak/1/Xl/2020 sebagai dasar pembubaran acara evaluasi otonomi khusus yang akan habis tahun depan setelah berlaku 20 tahun.

Evaluasi otsus oleh MRP juga digelar di Kabupaten Merauke, wilayah selatan Provinsi Papua. Anggota MRP menginap menginap di hotel.

“Laporan yang saya terima, anggota dan staf MRP diborgol dari hotel. Sementara tidak ada kesalahan yang dilakukan,” tutur Murib.

Dia belum bisa memastikan jumlah jajarannya yang ditangkap, tapi ada 2 anggota MRP dan 9 staf sekretariat diciduk. Sementara rombongannya sekira 20-an orang.

Murib bahkan tak tahu ihwal ‘buku kuning’ yang ditemukan dalam penggerebekan yang diklaim oleh polisi berisi pedoman dasar negara Republik Federal Papua Barat.

Ia menduga buku itu milik peserta rapat, bukan milik MRP. Peserta diskusi di antaranya dari organisasi masyarakat Barisan Merah Putih dan organisasi pemuda serupa, serta perwakilan adat. Total peserta 35 orang per kabupaten.

Menurut Murib, penangkapan ini berlebihan lantaran seolah mencerminkan negara melawan lembaga dan program negara.

“Berarti kepolisian menolak (bahasan) otonomi khusus secara tidak langsung, karena menolak RDP. Sesungguhnya RDP ini biarkan saja, kami buka ruang untuk rakyat menyampaikan psikologis mereka, supaya ada perbaikan yang lebih bijak,” ujar dia.

Polisi Klaim Temukan Bukti Referendum

Dalam penangkapan di Merauke, bertindak represif. Wensislaus Fatubun, tenaga ahli MRP menyebut diskusi digelar dua hari 17-18 November di gedung Vertenten Sai.

Dua hari sebelum acara, Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata atau dikenal Untung Sangaji bertemu dengan Pastor Hengky Kariwob (Vikjen Keuskupan Agung Merauke), Pastor John Kandam (Sekretaris Uskup) dan Pastor Anselmus Amo (Direktur SKP KAMe) di Keuskupan.

Dalam pertemuan tersebut, Sangaji meminta ketiga pastor tidak memfasilitasi acara MRP di Vertenten Sai. Lalu Pastor Anselmus menelepon Canisius Mandagi (Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke) dan Uskup menegaskan bahwa RDP dapat dilakukan di kalau itu bukan kegiatan politik.

Pada 15 November sekitar pukul 22.30, beberapa anggota polisi datang ke Hotel Grand Mandala, Hotel Pangkat dan Hotel Valentine.

“Kami tidak tahu maksud dan tujuan kedatangan polisi, tapi MRP diminta untuk ke polres malam itu juga untuk bertemu dengan Kapolres,” ucap Fatubun.

Berselang 30 menit, Fatubun bersama Koordinator Tim RDP MRP wilayah adat Anim Ha, seorang staf MRP dan dua orang anggota MRP lainnya ke Polres Merauke untuk bertemu Kapolres, tapi batal karena polisi itu sudah pulang.

Melalui ajudannya, Kapolres ingin bertemu esok pagi. Kemudian 16 November, pukul 08.46 mereka kembali menyambangi Polres. Karena Kapolres lagi-lagi tak di tempat, rombongan menyerahkan surat kepada Sespri Kapolres dan memberikan nomor telepon untuk koordinasi. Selanjutnya rombongan mengantar surat untuk Bupati, Dandim, Uskup Merauke dan Ketua DPRD.

Sekitar pukul 11.00 sekelompok warga dari marga Buti berdemonstrasi tolak RDP MRP di kantor Bupati Merauke. Massa meminta agar otsus dilanjutkan dan mekarkan Provinsi Papua Selatan.

Enam jam berikutnya, Fatubun cs memutuskan membatalkan RDP karena situasi tak kondusif dan mereka dalam pantauan kepolisian. Pukul 22.00, anggota polisi datang ke hotel dengan membawa senjata laras panjang.

Pada 17 November, pukul 08.00, seorang pria berbaju merah dan bukan penghuni hotel, duduk di depan hotel. Tim curiga orang itu ialah aparat intelijen .

Dia berdiam sekitar 30 menit dan lalu pergi. Satu jam berikutnya, ada dua orang yang diduga sebagai intelijen kepolisian, menyambangi penginapan. Mereka menanyakan ke pihak hotel mengenai jumlah kamar dan penghuninya. Lantas mereka angkat kaki.

Pukul 10.00, Fatubun sedang duduk di depan hotel, tiba-tiba Kapolres Merauke bersama anak buahnya datang. Beberapa polisi membawa senjata laras panjang. Mereka menggeledah hotel dan kamar tim. Lantas menangkap dan memborgol Fatubun.

“Sebelum menangkap saya, Kapolres bertanya asal, pekerjaan, (serta) kepentingan saya di Merauke. Mereka minta KTP saya,” jelas dia.

Kemudian Fatubun dimasukkan ke mobil Dalmas, sementara barang bawaannya dijadikan barang bukti.

“Di mobil Dalmas, saya melihat Koordinator Tim RDP MRP, dua staf MRP dan seorang peserta diborgol seperti saya,” imbuh Fatubun. Ia dan rekan-rekannya diinterogasi dan dibebaskan pada 18 November, sekira pukul 16.45.

Kapolres Merauke AKBP Untung Sangaji menduga pertemuan MRP di Merauke membahas referendum atau kemerdekaan Papua. Ia berdalih ada temuan buku berisi dasar negara-negara republik Federasi Papua Barat (west Papua).

“Itu yang saya tidak suka, sehingga belum terjadi apa-apa, saya sudah gerak duluan,” kata Sangaji, melansir Jubi, media asal Papua.

Terkait tindakan represif memborgol anggota dan staf MRP, Sangai mengklaim demi menjaga keamanan. Setelah sampai polres, borgol dilepas. “Kita juga mengantisipasi jangan sampai ada yang membawa pisau,” ujar dia.(*)

Sumber: tirto.id

 

Read More
Categories Berita

Presiden Jokowi Diundang Buka RDPU Soal Otsus Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi)  diundang membuka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)  di lima wilayah adat di Provinsi Papua soal implementasi Otsus  pada tanggal 24-25 November 2020 di wilayah Tabi yakni Kota Jayapura.

Sebelumnya,  digelar Rapat Dengar Pendapat Wilayah (RDPW) pada tanggal 17-18 November 2020.

Diketahui, lima wilayah adat  di Papua, masing-masing Tabi, Saereri, La Pago, Mee Pago dan Ha Anim.

Demikian disampaikan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP)  Timotius Murib, di sela-sela Rapat Gabungan Pokja  Sinkronisasi  Pemutahiran  Data dan Persiapan Terakhir  Kegiatan Rapat Dengar Pendapat  di lima wilayah adat  di @Hom Premiere Abepura, Selasa (10/11/2020).

Dikatakan dalam pelaksanaan RDPU oleh MRP sudah sesuai dengan konstitusi negara pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus, dimana memberikan mandat kepada MRP dan DPR Papua untuk melaksanakannya, sehingga pihaknya minta kepada semua komponen negara maupun institusi negara harus menghargai terlaksananya kegiatan tersebut.

Terkait keamanan pada pelaksanaan RDPU nanti, katanya, hal itu  sudah menjadi tanggungjawab dari negara, karena kegiatan tersebut dilakukan oleh lembaga negara sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 54 tentang MRP dan Tata Tertib MRP, dimana RDPU dilaksanakan sebagai sarana komunikasi antara lembaga representatif lembaga kultural Orang Asli Papua (OAP) dalam memberikan pendapat atas jalannya Otsus selama 19 tahun di Papua.

“Bila pelaksanaan evaluasi Otsus hanya dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, maka  pasti hasilnya tak akan maksimal, sehingga harus melibatkan semua pihak dan komponen masyarakat, karena rakyat yang menjadi penerima dana Otsus tersebut,” ujarnya.

Menurutnya, dalam pelaksanaan RDPW di lima wilayah adat nanti akan mengkaji semua pasal yang ada di Undang-Undang Otsus, sehingga dapat diketahui sejauhmana konsekuensi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam melaksanakannya, karena dinilai selama ini Perdasi dan Perdasus selalu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah yang ada.

Pelaksanaan RDPW akan dilakukan secara tertib, dimana setiap Kabupaten hanya diwakili 35 (tiga puluh lima) orang dari lembaga maupun organisasi untuk nantinya menyampaikan aspirasi mereka dan selanjutnya dibawa ke agenda berikutnya yaitu RDPU.

“Pada pelaksanaan RDPU nanti tak ada lagi yang menyampaikan aspirasinya, sehingga apa yang sudah menjadi keputusan atau kesepakatan pada RDPW itu yang akan dilaporkan hasilnya dan akan dihadiri seluruh Forkopimda provinsi Papua dan provinsi Papua Barat,” terang Timotius. (*)

Sumber: http://papuainside.com/

Read More

Categories Berita

Timotius Murib Tegaskan RDP Otsus tak Membawa Aspirasi Papua Merdeka

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) menegaskan, adanya penolakan pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang evaluasi Otsus, lantaran rasa curiga yang berlebihan bahwa RDP akan membawa aspirasi Papua merdeka.

“Penolakan RDP telah membungkam hak demokrasi orang asli Papua.  Padahal,  kami hanya ingin adanya perbaikan pelaksanaan Otsus secara menyeluruh,” tegas Ketua MRP  Timotius Murib saat dikonfirmasi di Jayapura,  Senin (16/11/2020).

Timotius menuturkan, pihaknya  sungguh kecewa aksi penolakan RDP oleh sekelompok orang di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Minggu (15/11/2020).  Padahal RDP itu sesungguhnya membahas implementasi Otsus selama 19 tahun.

Selain itu,  tuturnya,  pihaknya juga merasa heran dengan sikap sejumlah kepala daerah yang menolak pelaksanaan RDP di wilayahnya.

“Kami sudah menyurati para kepala daerah di lima wilayah adat, sebelum pelaksanaan RDP yang dijadwalkan pada tanggal 17 hingga 18 November 2020,” terangnya.

Menurutnya, pelaksanaan RDP terkait evaluasi Otsus sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tentang MRP.

“Pelaksanaan RDP ini sesuai dengan amanah Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus. Karena itu, ia meminta kepala daerah dan seluruh lembaga negara wajib mendukung pelaksanaan RDP evaluasi Otsus,” pungkas Timotius.

Timotius menegaskan,  penolakan RDP evaluasi implementasi Otsus di Papua telah mencederai hak warga untuk menyampaikan pendapatnya demi mencapai solusi bersama.

Ditambahkannya,  MRP akan menggelar rapat dalam waktu dekat untuk menentukan jadwal terbaru pelaksanaan RDP di lima wilayah adat dan RDP Umum. Masing-masing wilayah adat Tabi, Saireri, Mee Pago, La Pago dan Animha. (*)

 

Sumber: http://papuainside.com/

 

Read More
Categories Berita

Banyak pihak kecewa, Asosiasi Bupati Meepago tolak RDP

Rakyat Meepago yang melakukan aksi di Dogiyai karena RDP MRP tak dilaksanakan, Selasa (17/11/2020) – Egedy untuk Jubi

JAYAPURA, MRP– Majelis Rakyat Papua (MRP) mengungkapkan kekecewaannya ketika ditolak Asosiasi Bupati Meepago (ABM) padahal mereka sudah di Nabire dan Dogiyai untuk melaksanakan rapat dengar pendapat (RDP) tentang evaluasi implementasi pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua.

“Kami menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Meepago karena batal menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Wilayah (RDPW) karena tidak didukung oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) Asosiasi Bupati Meepago,” kata Ketua I MRP, Debora Mote, melalui keterangan tertulis yang diterima Jubi, Selasa (17/11/2020).

Pembatalan kegiatan RDPW di wilayah adat Meepago yang dipusatkan di Kabupaten Dogiyai tersebut ditolak oleh para bupati di wilayah Meepago Meepago yakni Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, dan Intan Jaya, yang tergabung dalam Asosiasi Bupati Meepago, melalui surat yang dikirim langsung ke MRP.

Atas pelarangan ini Debora Mote menyayangkan sikap pimpinan bupati di wilayah Meepago yang menolak kegiatan RDPW.

“Secara pribadi dan lembaga MRP kami menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Meepago, yang mana antusias dalam beberapa hari terakhir ini ingin menyukseskan kegiatan RDPW, namun menjelang hari pelaksanaan secara tiba-tiba tidak didukung oleh bupati setempat,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pelaksanaan RDP tersebut sesuai dengan aturan UU pasal 77 nomor 21 tahun 2001 sehingga wajib Aparatur Sipil Negara untuk mendukung pelaksanaan RDP tersebut, bukan malah menolaknya.

Anggota Komisi I DPR Papua dari daerah pemilihan Meepago, Laurenzus Kadepa, mempertanyakan ada apa dengan para bupati di wilayah Meepago yang menolak MRP yang menjalankan amanah Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yakni rapat dengar pendapat (RDP) di wilayah Meepago, yang hendak dipusatkan di Kabupaten Dogiyai pada Selasa (17/11/2020) dan Rabu (18/11/2020).

Kadepa menyayangkan sikap Bupati Nabire yang mengatasnamakan Asosiasi Bupati Meepago. Padahal menurut dia, RDP sangat penting sekali untuk tiga komponen yakni adat, agama, dan perempuan duduk bersama dan berbicara.

“Kami kecewa Bupati Meepago melalui Ketua, Bupati Nabire Isaias Douw, menolak tim MRP untuk tiadakan RDP. Ini ruang mereka (tiga komponen) bicara tentang manfaat yang dirasakan dari otsus selama ini. Bukan bicara NKRI harga mati atau Papua merdeka. Negara harusnya dewasa dalam menyikapi situasi ini,” ungkap Laurenzus Kadepa kepada Jubi, Selasa (17/11/2020).

Jika menolak, politisi Partai NasDem ini minta pihak berwajib segera melakukan evaluasi dan memeriksa penggunaan dana otsus oleh para bupati selama 20 tahun berjalan.

Di masa pandemi Covid-19 ini, kata dia, semua pihak wajib mematuhi dan menjalankan anjuran pemerintah soal protokol kesehatan. Pelaksanaan RDP pun akan mematuhi protokol kesehatan.

Sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP), John NR Gobai, mengakui seluruh masyarakat Meepago telah menunggu MRP di Dogiyai untuk menyaksikan, mendengarkan, dan menyampaikan aspirasi pelaksanaan otsus di Papua selama 20 tahun berjalan.

“Apa sesungguhnya pertimbangan MRP, surat Bupati Nabire sebenarnya mesti dilihat sebagai bagian dari perhatian untuk menjaga keamanan bukan larangan. MRP mengapa harus mengecewakan masyarakat Meepago yang telah siap menyampaikan aspirasi mereka. Di Meepago tidak ada aksi maupun demo penolakan RDP seperti wilayah adat lain,” kata Gobai.

Ia mempertanyakan mengapa harus takut dengan dugaan dinamika yang akan berkembang, sebab itu merupakan dinamika karena RDP bukan sarana pengambilan keputusan.

“RDP hanyalah sarana mendengar pendapat rakyat bukan pendapat bupati yang merupakan kuasa pengguna anggaran termasuk dana otsus di kabupaten dan kota,” ujarnya.

“Apa yang ditakutkan MRP sebenarnya di Meepago, dugaan saya ada silent operation di Papua menjelang RDP MRP, tentu dengan garansi akan ada pemekaran atau jabatan yang penting jangan ada RDP MRP, seperti yang bisa kita lihat di Merauke,” katanya.

Ketua Fraksi PKB DPRD Deiyai, Naftali Magai, menegaskan MRP telah menjadi boneka eksekutif, dan takut menemui rakyatnya yang memberikan amanat melindungi orang dan Tanah Papua.

“Mental MRP ini diragukan, apakah mereka benar lindungi orang dan tanah Papua atau jalankan misi lainnya,” ujarnya.

“Seharian penuh ini kami (DPRD Deiyai dan Paniai tanpa DPRD Dogiyai) di Dogiyai, tunggu tim MRP. Tapi tak kunjung datang. Masyarakat antusias sambut mereka, tapi karena mereka (MRP) tidak datang maka mereka bacakan pernyataan tolak otsus dan minta kemerdekaan Papua,” katanya. (*)

Read More

Categories Berita

Diadang sekelompok orang, tim RDP Otsus Papua tertahan di Bandara Wamena

Tim Rapat Dengar Pendapat Otsus Papua tiba di Bandara Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan diadang sekelompok orang yang mengatasnamakan Lembaga Masyarakat Adat. – Jubi/Yuliana Lantipo

JAYAPURA, MRP – Sekelompok orang yang mengatasnamakan Lembaga Masyarakat Adat atau LMA mengadang Tim Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua di Bandara Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua, Minggu (15/11/2020). Mereka menyatakan menolak tim itu menggelar Rapat Dengan Pendapat atau RDP Otonomi Khusus Papua, dan meminta tim MRP tersebut segera meninggalkan Wamena.

Tim MRP yang tiba di Bandara Wamena berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat terkait pelaksanaan Otonomi Khusus (RDP Otsus) Papua dengan para pemangku kepentingan dari 10 kabupaten di Wilayah Adat Lapago. Sejumlah 10 kabupaten di Wilayah Adat Lapago itu adalah Kabupaten Jayawijaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yalimo, Lanny Jaya, Nduga, Puncak Ilaga, Mamberamo Tengah, dan Puncak Jaya.

RDP Otsus Papua untuk Wilayah Adat Lapago itu akan dipusatkan di Wamena, berlangsungpada 17 – 18 November 2020, bersamaan dengan RDP Otsus Papua di keempat wilayah adat lainnya.

Dari pantauan Jubi di Bandara Wamena, rombongan Tim MRP itu diadang sekelompok orang yang dipimpin Ketua LMA Wamena Karlos Hubi, Kepala Kampung Lantipo-Honelama Hengky Heselo, serta tokoh adat Silo, Karno Doga dan Alex Doga. Hingga berita ini diturunkan pada pukul 13.00 WP, sejumlah 36 anggota tim MRP belum bisa keluar dari Bandara Wamena, dan menunggu di ruang kedatangan penumpang.

Karlos Hubi menyatakan pihaknya tidak setuju dengan rencana MRP menggelar RDP Otsus Papua di Wamena. “Kami minta MRP pulang, tidak ada [yang melakukan] pertemuan apapun. Hari ini juga MRP pulang [kembali ke Jayapura],” kata Karlos Hubi saat berbicara menggunakan pelantang dari pintu keluar ruang kedatangan penumpang di Bandara Wamena.

Pada Kamis (12/11/2020) lalu, sekelompok orang yang juga dipimpin Karlos Hubi berunjuk rasa di Wamena. Dalam unjuk rasa itu, mereka menyatakan menerima dan mendukung Otsus Papua. Oleh karena itu, mereka menolak rencana MRP menggelar RDP Otsus Papua di Wamena.

Salah satu anggota tim RDP Otsus MRP, Engelbertus Kasibmabin menyayangkan tindakan yang dilakukan beberapa orang yang mengatasnamakan LMA itu. Kasibmabin menyatakan RDP Otsus Papua di Wamena seharusnya menjadi forum untuk menampung apapun aspirasi rakyat asli Papua, termasuk aspirasi untuk mendukung atau menolak Otsus Papua.

“Kami sayangkan saja. Hal seperti itu kan ada forumnya, bukan potong di tengah jalan begini. Mereka [yang mendukung Otsus Papua] harusnya juga memberikan ruang kepada masyarakat asli Papua yang lain. Ini [yang menolak RDP Otsus] kan hanya mereka. Masih ada rakyat asli Papua lain, dari daerah lain di Wilayah adat Lapago,” kata Kasibmabin.

Kasibmabin yang juga anggota Kelompok Kerja Adat MRP dan utusan masyarakat adat dari Wilayah Adat Lapago menegaskan tidak boleh ada sekelompok orang yang mengatasnamakan seluruh rakyat Lapago dan menentang tim MRP yang sedang bekerja. “Terima Otsus dan tolak Otsus bukan urusan kami. Justru itu harus datang dari seluruh rakyat Papua, bukan hanya satu dua kelompok,” tegasnya.(*)

Read More