Categories Berita

MRP Terima Laporan Kasus Dugaan Pelangaran HAM di Nduga Papua

Theo Hesegem, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembelah HAM Internasional), di dampingi Ikabus Gwijangge, ketua DPRD Nduga menyerahkan laporan kasus dugaan pelangaran HAM di kabupaten Nduga kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) di terima langsung oleh ketua MRP Timotius Murib di ruang kerjanya. Jumat, (28/8/2020) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Theo Hesegem, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembelah HAM Internasional), di dampingi Ikabus Gwijangge, ketua DPRD Nduga menyerahkan laporan kasus dugaan pelangaran HAM di kabupaten Nduga kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) di terima langsung oleh ketua MRP Timotius Murib di ruang kerjanya. Jumat, (28/8/2020).

Theo Hesegem, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua usai menyerahkan laporan mengatakan kewajiban kami sebagai masyarakat telah menyerahkan laporan tersebut kepada Lembaga dan pimpinan MRP untuk di tindaklanjuti secara internal.

“DPRD atas nama rakyat, atas nama korban hari ini kami serahkan laporan resmi kepada MRP, dan kami ingin sampaikan bahwa di Nduga itu ada dugaan pelangaran HAM,” tuturnya.

Hesegem, berharap MRP bisa memjadi sebuah jembatan untuk menyembatani guna membawa aspirasi ini ke Jakarta untuk menyelesaikan seluruh kasus dugaan pelangaran HAM di Papua termasuk kasus Nduga.

“Kita berharap kasus terakhir pembunuhan kedua korban atas nama Selu Karunggu, 20 tahun (anak laki-laki) dan Elias Karunggu, 34 tahun (ayah). Mereka adalah penduduk sipil berstatus pengungsi pasca peristiwa 2 Desember 2018 di Distrik Yigi, Nduga belum ada tim investigasi yang turun olah TKP,” kata Hesegem.

Hesegem Menegaskan, Masyarakat Nduga hingga saat ini membutuhkan proses penegakan hukum, bahwa lokasi tersebut perlu dilakukan identifikasi olah TKP oleh penyidik, karena masyarakat sangat membutuhkan penjelas apa yang sebenarnya yang terjadi disana entah itu benar atau tidak benar.

“Masyarakat butuh penegakan hukum, bila rakyat yang di bunuh dan TNI/Polri mengklaim bahwa yang dibunuh adalah OPM, KKSB dan kelompok kriminal tanpa bukti dan investigasi yuang jelas dan hal klaim tersebut kami sangat tidak mau, harus dibuktikan dalam proses hukum yang jelas,” katanya.

Sementara itu Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menerima laporan kasus dugaan pelangaran HAM di Nduga memberi apresiasi kepada pejabat Nduga dan Pembela HAM Papua yang hadir memberikan laporan sebagai bentuk kepedulian demi kepentingan keselamatan orang asli Papua.

“MRP menerima dan akan menindaklanjuti laporan tersebut sesuai mekanisme Lembaga karena laporan yang disampaikan oleh DPRD, Bupati dan Pembela HAM ini merupakan bentuk dari kepedulian demi kepentingan keselamatan orang asli Papua di tanah Papua,” tuturnya. (*)

 

Sumber: Humas MRP

 

Read More
Categories Berita

MRP terima demonstran yang menolak pendatang dicalonkan dalam Pilkada Merauke

Para pemuda dan mahasiswa dari Wilayah Adat Anim Ha berunjuk rasa di depan Kantor Majelis Rakyat Papua, menolak pencalonan orang non Papua dalam Pilkada Serentak 2020. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP  – Ratusan pemuda dan mahasiswa yang berasal dari Wilayah Adat Anim-Ha berunjuk rasa di Kantor Majelis Rakyat Papua atau MRP di Kota Jayapura, Kamis (27/8/2020). Mereka menyatakan menolak warga pendatang atau orang non Papua dicalonkan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 di Merauke.

Aspirasi para pengunjukrasa itu diterima sejumlah anggota MRP, termasuk Wakil Ketua II MRP Debora Mote. Koordinator demonstrasi itu, Elisen W Mahuze pihaknya menyampaikan dua tuntutan terkait Pilkada Serentak 2020 yang akan berlangsung di 11 kabupaten di Papua. Pertama, mereka menuntut pejabat pemerintah pusat segera menggunakan diskresi untuk memperjelas aturan rekrutmen politik di Papua.

Selama ini, rekrutmen politik di Papua diatur secara khusus dalam Pasal 28 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). Akan tetapi, ketentuan itu tidak mengatur bahwa kepala daerah kabupaten/kota di Papua harus orang asli Papua.

“Kami baca Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 [undang-undang itu] membahas tentang diskresi. Kami berharap pemerintah pusat mengeluarkan diskresi, mengisi kekosongan hukum supaya orang Papua menjadi tuan di negerinya sendiri,” kata Mahuse.

Mahuse menyatakan pihaknya juga menuntut agar orang dari luar Papua tidak dicalonkan dalam Pilkada Merauke. “Kami menolak orang luar Papua dicalonkan [menjadi] bupati dan wakil bupati di Merauke,” ujar Mahuse.

Anggota MRP dari Wilayah Adat Anim-Ha, Albert Gebze Moiwend mengatakan aspirasi itu merupakan akumulasi pergumulan masyarakat atas penggusuran hak-hak mereka. “Suku-suku [dari bagian] selatan [Papua] ibarat air tenang. Orang pikir tenang, tidak bisa buat suatu lebih. [Jika] hak-hak mereka terampas habis, bisa mengakibatkan pemberontakan lebih dasyat,” kata Moiwend.

Moiwend menyatakan protes masyarakat asli Papua itu bisa berkembang menjadi konflik baru. Ia berharap semua pihak mempertimbangkan secara serius aspirasi para pengunjuk rasa yang mendatangi kantor MRP itu. Moiwend menyatakan ia bersama para anggota MRP dari Wilayah Adat Anim-Ha akan mengawal aspirasi para pengunjuk rasa itu.

“Kalau orang dalam rumah punya kebiasaan [untuk] makan duduk beralas tikar, jangan datang [lalu] duduk makan di atas meja,” kata Moiwend menggunakan ungkapan bagaimana adat dan hak masyarakat adat di Merauke harus dihormati oleh para warga yang datang dari luar Papua.

Saat menerima para pengunjuk rasa, Wakil Ketua II MRP, Debora Mote mengatakan unjuk rasa yang memprotes pencalonan orang non Papua dalam Pilkada Serentak 2020 tidak akan terjadi jika Otsus Papua berjalan sebagaimana mestinya. “Kami sedih dan menangis. Orang asli [Papua] menangis dan masih mengadukan [hal] seperti itu,” kata Mote.

Mote menegaskan aspirasi yang menolak pencalonan orang non Papua itu tidak akan pernah terjadi jika pemerintah dan masyarakat pendatang di Papua memahami UU Otsus Papua. “Orang harus menghargai UU Otsus Papua dan hak kesulungan orang Papua. Jangan mendobrak, melawan Otsus [Papua]. Harus mulai stop, harus hargai orang asli Papua,” kata Mote.

Mote menyatakan pihaknya akan menggelar rapat gabungan untuk memperjuangkan aspirasi terkait hak orang asli Papua untuk diprioritaskan dalam pencalonan kepala daerah di Papua. “Hari ini kami rapat gabungan, membentuk tim untuk menindaklanjuti aspirasi itu,” kata Mote.

Anggota MRP yang menerima masa Demo diantaranya Yohanes Wob (Pokja Agama), Yoel Luis Mulaid (Ketua Pokja Agama), Debora Motte (Wakil Ketua 2 MRP), Panus Werimon (Pokja Adat), Natalia Kalo (Pokja Perempuan), Alberth Moyuen (Pokja Adat), Herman Yoku (Pokja Adat), Yehuda Dabi (Pokja Adat), Amatus Ndatips (Pokja Adat) dan Pendius Jikwa (Pokja Adat).(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

Read More