Categories Berita

Wawancara Imajiner dengan Ketua MRP dan Ketua DPR Papua tentang Pokja Otsus

Ketua MRP Timotius Murib bersama ketua DPR Papua Johny Banua Rouw – Humas MRP

 

Oleh: Yosef Rumaseb)*
)* Penulis adalah anak kampung, tinggal di Biak

Ini adalah artikel (opini) yang saya buat dalam bentuk wawancara imajiner dengan  Ketua MRP dan Ketua DPR Papua tentang rencana MRP dan DPR Papua menarik kembali RUU Otsus Plus.

Saya : Syalom Bapak-Bapak yang mulia. Langsung ke pokok pertanyaan, mengapa RUU Ostus Plus hendak ditarik?

Ketua DPR Papua : Saya juga jelaskan to the point. Begini, public berpersepsi bahwa UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua atau UU Otsus Papua akan dirubah seluruhnya. Persepsi ini bisa keliru tetapi bisa benar. Pasal-pasal yang secara konstitusional memiliki dasar untuk dirubah adalah yang ada di Bab IX tentang Keuangan, misalnya Pasal 34 ayat 5 butir e, tentang dana Otsus berasal dari 2 % Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Karena masa berlakunya ditetapkan 20 tahun.  Tahun 2021 adalah tahun ke-20  Otsus Papua diundangkan. Sudah masanya  dirubah.  Opsi perubahan itu dapat berupa dana Otsus ditiadakan, atau ditambah atau dikurangi atau pun tetap. Apabila terjadi perubahan asumsi keuangan pembiayaan implementasi UU Otsus Papua itu maka terbuka kemungkinan terjadi perubahan pada pasal-pasal lain. Itu konsekwensi logis. Oleh karena itu saya katakan bahwa terbuka kemungkinan pasa-pasal lain mengalami penyesuaian pula sebagai konsekwensi dari perubahan asumsi keuangan. MRP dan DPR Papua memiliki persepsi sama bahwa perubahan itu harus melibatkan rakyat Papua. Tidak hanya pemerintah pusat.

Saya : Ada tanggapan YM [Yang Mulia] Ketua MRP Papua?

Ketua MRP Papua : Saudara dapat membaca pada pasal 77 bahwa usulan perubahan atas UU ini diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi saya garis-bawahi tiga hal. Yaitu, pertama, usulan perubahan itu diajukan oleh rakyat Provinsi Papua. Kedua, melalui DPR dan MRP Papua. Ketiga, disampaikan kepada DPR dan pemerintah RI. Jadi peran dari DPR dan MRP Papua hakekatnya adalah peran mediator atau fasilitator. Pokja yang kami bentuk ini adalah mediator. Jadi, jangan dibalik dari pusat ke rakyat.

Saya : Apabila tidak ada yang menolak perubahan UU Otsus Papua maka tidak perlu mediasi. Jadi mediator adalah konsekwensi logis dari adanya penolakan terhadap UU Otsus. Adakah penolakan? Dan mengapa  ada penolakan?

Ketua MRP Papua : Tentulah adik juga sudah mengikuti berita mengenai gelombang aksi, opini, artikel, berita dan bahkan petisi untuk menolak kelanjutan UU Otsus. MRP sebagai representasi kultural masyarakat adat Papua mengikuti dengan seksama semua berita dan opini yang masyarakat Provinsi Papua berkembang dan kami membuka ruang dialog untuk menampung semua aspirasi ini.  Secara garis besar, kami mendapatkan aspirasi dari kalangan masyarakat yang menolak perpanjangan UU Otsus yang menjelaskan alasan mereka menolak UU Otsus yaitu karena implementasi UU Otsus selama 20 tahun ini dinilai telah gagal mengatasi 4 (empat) akar masalah Papua. Otsus sebagai kebijakan affirmative bagi OAP gagal memberi jaminan untuk menyelesaikan konflik kemanusiaan di Papua. Ini merupakan konflik kemanusiaan yang terlama di Indonesia. Empat akar masalah Papua yang diidentifikasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map (2008) adalah masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM), marginalisasi orang Papua di tanahnya sendiri, masalah ketertinggalan pembangunan dan masalah distorsi sejarah politik Papua. Untuk menyelesaikan masalah distorsi sejarah politik Papua, MRP sudah mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah untuk berunding dengan ULMWP. Untuk mencegah makin termarginalnya dan makin meningkatnya penambahan apparat yang berpotensi meningkatkan pelanggaran HAM, MRP sudah menolak semua rencana pembentukan DOB alias pemekaran baik provinsi maupun kabupaten. MRP berpendapat bahwa adalah lebih baik kita duduk bersama dan berdialog untuk menyelesaikan masalah yang saat ini ada dan tidak menambah masalah di atas masalah. Itu lebih dulu. MRP mendapat gambaran bahwa pemerintah pusat tidak serius memberi perhatian untuk menjawab aspirasi yang sudah kami sampaikan. Masyarakat juga membuat kesimpulan seperti itu. Inilah yang menimbulkan kesimpulan dan aspirasi bahwa UU Otsus gagal. Sesungguhnya, UU Otsus tidak dapat dikatakan gagal, sebab UU itu benda mati. Pelaksanaannya yang gagal. Sebagai mediator, kami mendorong para implementator untuk duduk bersama dan berdiskusi untuk menjelaskan mengapa implelemtasi UU Otsus gagal dan bagaimana mencari solusi bersama untuk mengatasi kegagalan itu sekarang dan ke depan. Kita perlu membangun persepsi yang sama mulai dari persepsi tentang indicator keberhasilan implementasi UU Otsus. Itu dulu.

Saya : Apakah ada tambahan dari YM Ketua DPR Papua?

Ketua DPR Papua : DPR Papua, baik pimpinan maupun anggota, dipilih oleh rakyat dan bertugas sebagai mitra pemerintah di tingkat provinsi. Pada konteks itu, kami mengikuti dengan seksama aspirasi masyarakat yang antara lain sudah disampaikan oleh Yang Mulia Saudara Ketua MRP. Paptulah jika kita mengakui bahwa di satu sisi UU Otsus telah memberikan peluang positif untuk membangun SDM Papua. Baik di bidang kesehatan, pendidikan maupun ekonomi kerakyatan. Namun demikian, kita semua sudah mengikuti pernyataan kekecewaan yang dikemukakan antara lain oleh Saudara Gubernur Papua Bapak Enembe mengenai banyaknya rancangan perdasus dan perdasi yang diajukan ke pemerintah pusat sebagai payung hukum untuk melaksanakan UU Otsus namun telah ditolak atau tidak ditanggapi. Bahkan Bapak Enembe menyampaikan statemen bahwa beliau sudah tidak percaya pemerintah pusat dan lebih percaya jika UU Otsus digantik dengan perjanjian yang difasilitasi pihak internasional seperti yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik Aceh. Sebagai mitra eksekutif, kami menangkap adanya sikap pesimis dari mitra kami di eksekutif. Sebagai mitra dari Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, kami juga tidak menyangkal bahwa pemerintah pusat mempertanyakan kinerja pemerintah provinsi, mengapa dana banyak tetapi tingkat kemiskinan di Provinsi Papua masih yang tertinggi? Pula dari kabupaten, misalnya dari Bupati Jayapura, kami mengikuti aspirasi bahwaa implementasi UU Otsus sepertinya hanya berlaku di level provinsi dan di level  kabupaten yang diimplementasikan adalah UU Otonomi Daerah (bukan UU Otsus). Jadi saya bisa membuat kesimpulan seperti begini, pertama, di level nasional ada kecurigaan bahwa penggunaan dana Otsus tidak tepat sasaran. Ini menyangkut tata kelola pemerintahan di provinsi. Kedua, menurut provinsi, pemerintah pusat tidak tulus … seperti kasih ekor tetapi masih tahan kepala. Banyak rancangan perdasi dan perdasus sebagai paying hukum untuk mengimplemenetasikan UU Otsus tidak disetujui. Ketiga, di level kabupaten terjadi satu kapal dua nahkoda, Otsus dan Otonomi Daerah. Jadi, sama seperti yang dikemukakan oleh YM Saudara Ketua MRP, inilah antara lain pokok persoalan yang perlu kita gali dan cari solusi. Mengapa demikian dan bagaimana mengatasinya? Selama kita tidak berhasil mengatasi masalah-masalah ini maka argument untuk menolak UU Otsus tetap ada dan persepsi masyarakat yang menolak UU Otsus akan meningkat.

Saya : Bagaimana jika proses perubahan UU Otsus ini dijadikan momentum untuk menghentikan krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di tanah Papua. Antara lain yang sedang terjadi di Nduga. Bagaimana jika melalui MRP dan DPR Papua disampaikan kepada Presiden RI agar sebagai Panglima Tertinggi TNI/POLRI memerintahkan penghentian krisis kemanusiaan di Papua dan menunjukkan komitmen serius dengan melakukan proses hukum terhadap para pelaku dengan dimulai dari tubuh TNI dan POLRI. Apa tanggapan Bapak-Bapak?

Baik Ketua DPR maupun Ketua MRP Papua menjawab dengan penekanan yang sama bahwa di Indonesia yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, secara khusus sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, dan UUD 1845 Pasal 27 ayat (1) bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya” aspirasi tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu aspirasi ini akan mendapat tempat dan disampaikan bersama aspirasi lainnya kepada DPR RI dan pemerintah pusat.

(Waktu wawancara imajiner berakhir. Saya menyalami kedua Pimpinan Lembaga yang terhormat itu dan berlalu dengan harapan agar aspirasi-aspirasi ini mendapat tempat terhormat pula dalam agenda kerja Pokja MRP dan DPR Papua. Semoga). (*)

 

Sumber: Suara Papua

 

Read More
Categories Berita

BEM USTJ Minta MRP Undang Seluruh Masyarakat untuk Evaluasi Otsus

Ilustrasi Dana Otsus Papua – IST

JAYAPURA, MRP – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (BEM USTJ) meminta Majelis Rakyat Papua (MRP) membuka diri memngundang semua pihak elemen masyarakat untuk melakukan evaluasi Otsus secara menyeluruh dari berbagai aspek.

Hal tersebut disampaikan Alexander Gobai, ketua BEM USTJ Jayapura melalui pernyataan pers yang diterima suarapapua.com pada Senin, (27/7/2020).

semua pihak bersuara, baik Lembaga pemerintahan, Para Tokoh-Tokoh Papua, Agama, Masyarakat, Perempuan, Adat, Aktivis Mahasiswa, Pemuda, Aktivis Papua Merdeka dan semua pihak yang telah mengalami dan merasakan kehadiran Otsus selama 20 tahun di tanah Papua.

“20 Tahun Otsus diberlakukan di tanah Papua membuat nuansa terhadap tatanan kehidupan orang Papua semakin berubah. Peningkatkan Infrasruktur, Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan dan lainnya sesuai dengan amanah Otsus bahwa Orang papua menjadi tuan diatas negerinya,” tuturnya.

Ia menambahkan, MRP salah satu contoh yang menjadi salah satu Lembaga yang dijawab Otsus yang bertujuan mengangkat jati diri orang Papua sesuai dengan petunjuk Keberpihakan, Pemberdayaan hak-hak orang asli Papua di atas tanah Papua. Dibentuk MRP agar orang asli Papua dilindungi dan disuarakan berdasarkan aspirasi rakyat Papua dari semua aspek, termasuk aspek Politik.

“Upaya keberpihakan sudah dijalankan meski tidak maksimal. Pada saat ini, MRP sedang berupaya melakukan berbagai kegiatan yang nuansanya mendengar pendapat dari berbagai pihak tentang keberhasilan dan kegagalan Otonomi Khusus selama 20 tahun diatas tanah Papua,” jelas Gobay.

Lanjut Gobai, Kecenderungan digelarnya berbagai kegiatan mendorong Evaluasi Otsus dari MRP itu, justru disoroti dari berbagai pihak, dimana rakyat Papua bersuara agar MRP tidak boleh melakukan kegiatan yang menghadirkan berbagai pihak yang cenderung agar Otsus jilid II dilanjutkan.

“Sementara, dinamika rakyat Papua yang tergabung 31 Organisasi Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua telah menandatangi Petisi Penolakan Otsus Jilid II. Upaya penandatanganan itu sudah dilakukan dan akan terus dilakukan agar Otsus tidak boleh lanjut,” tuturnya.

Berdasarkan Dinamika diatas, kata Gobai, kami Mahasiswa dari BEM PT USTJ sebagai Agen Of Change yang adalah independen tidak berpihak kepada siapa-siapa, maka, Mahasiswa memberikan solusi sebagai wujud agar berbagai pihak sebagai pengambilan kebijakan bisa dilanjutkan.

“Pertama, kami BEM USTJ meminta agar Otsus dievaluasi secara detail dari berbagai Aspek. Aspek Ekonomi, Kesehatan, Infrastruktur, Pendidikan, Hukum dan HAM, dan Politik,” katanya.

Kedua, kata Gobai, kami BEM USTJ meminta MRP harus membuka diri dan mengundang semua pihak, Tokoh-Tokoh Papua, Pemerintahan, Adat, Masyarakat, Agama, Perempuan, Akademisi, Mahasiswa, Aktivis untuk duduk berbicara keberhasilan dan kegagalan Otsus selama 20 tahun di tanah Papua.

“Ketiga, kami meminta dalam Evaluasi Otsus, pentingnya mengudang organisasi kiri dan Lembaga Pemerintahan untuk duduk Bersama membicarakan tentang Otsus. Dan keempat, kami sarankan agar BEM se-Papua duduk Bersama untuk membicarakan tentang Otsus dan melakukan Kajian Ilmiah berdasarkan Rill hadirnya Otsus di Papua selama 20 tahun ini,” terang Alexander Gobai Eks Tapol korban rasisme di Balikpapan.

Sebelumnya, Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengatakan MRP akan mengupayakan proses evaluasi Otsus Papua dilakukan secara terbuka dan menyeluruh.

“MRP mau evaluasi harus terbuka, semua komponen harus terlibat memberikan pendapat tentang 20 tahun implementasi Otsus di Papua,” tuturnya.

Murib menambahkan empat bidang akan menjadi perioritas evaluasi Otsus MRP khusus 2001- 2019 pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur.(*)

Sumber: Suara Papua

Read More

Categories Berita

MRP Evaluasi Dana Otsus, 11 Pimpinan Keagamaan Kembalikan Pada Umatnya

MRP Evaluasi Dana Otsus, 11 Pimpinan Keagamaan Kembalikan Pada Umatnya – Dok Pribadi

JAYAPURA, MRP – Kabar berakhirnya alokasi dana Otonomi Khusus Papua yang akhir-akhir ini gencar diberitakan media massa dan mendapat tanggapan dari berbagai Pihak baik di tanah Papua maupun diluar Papua, membuat banyak pihak turut berfikir atas kebijakan khusus pemerintah pusat untuk memproteksi Orang Asli Papua dalam bentuk undang-undang 21 Tahun 2001 tentang dampaknya selama 20an Tahun berjalan.

Terkait permasalahan Otonomi Khusus inilah maka Senin (20/7/2020), Pokja Agama Majelis Rakyat Papua melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama pimpinan Sinode dan PW,NU di Tanah Papua mendengar pendapat dan pandangan serta presentasi pimpinan Gereja (Sinode),PW,NU Tentang dampak Kebijakan Otsus di Tanah Papua.

Rapat tersebut dilaksanakan di kantor MRP di Pimpin Langsung Timotius Murib selaku Ketua Majelis Rakyat Papua dan di Hadiri oleh 11 Perwakilan Sinode Gereja, Keuskupan dan PW serta NU di Papua.

Untuk itu dari hasil Rapat dalam Mendengarkan Pendapat serta Presentasi dari berbagai Perwakilan Sinode, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan bahwa ada hasil Positif yang di dapatkan dari Dampak Berlakunya Undang undang Otsus Papua, khususnya lembaga Keagamaan. Dimana menurut mereka sangat terasa Dana Otsus Provinsi 10% yang di peruntukan bagi lembaga Keagamaan saat Kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal Dua Periode pimpin Bumi Cendrawasih,”Ucap Ketua MRP saat di Tanya Usai Rapat di Ruang Kerjanya.

“Dari Sebelas pimpinan keagamaan yang hadir, mereka semua mengaku bahwa telah menerima Dana Otsus tersebut sesuai dengan jumlah Umat yang diperuntukkan bagi kebutuhan umat dimasing-masing Organisasi Sinode,” jelas murib.

Didalam Rapat tersebut juga Majelis Rakyat Papua (MRP) membagikan Kuesioner yang harus di Jawab oleh Para Hamba-hamba Tuhan, Pendeta dan Pastor serta Haji yang mewakili Organisasi mereka. Di mana Soal dari kuesioner sebagai berikut, Bagaimana jika Otonomi Khusus Papua tidak di Jalankan lagi atau tidak di perpanjang, Apa sikap lembaga keagamaan?

Kesebelas Sinode PW dan NU dengan Jawaban yang sama, mengatakan bahwa tidak dipersoalkan ada atau tidaknya Otonomi Khusus karena Sebelum ada Pemerintah Gereja sudah terlebih dulu ada di Papua untuk membangun Umat tanpa dana Otsus Karena Gereja berkeyakinan besar bahwa Tuhanlah yang dapat menolong Umat dari berbagai Persoalan di muka bumi ini ini adalah Prinsip berjemaat.

“Terkait dengan Evaluasi Otonomi Khusus Jilid II, Seluruh Pimpinan Sinode, PW dan NU Merekomendasikan bahwa Evaluasi Otsus di Kembalikan kepada Umatnya masing masing, Hasil dari Umatlah yang akan di Sampaikan kepada MRP sebagai Perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat ini merupakan amanat Undang-undang,” jelas Timotius Murib.

Hadir dalam pertemuan bersama MRP Papua, ketua sinode dan wakil ketua sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. Andrikus. Mofu dan Pdt. Hiskia Rollo. Presiden Gidi Pdt. Dorman Wandikbo, kemudian Sinode Kingmi Pdt. Beny Giay. Pdt. Robert Horik mewakili Majelis Daerah GPdI, Evangelis Hendrik Tanem Sinode Gereja Bethel (Gereja Pantekosta) GBGP, perwakilan Sinode Gereja Pantekosta di Tanah Papua (GPDP), Ustad. Toni. Wanggai mewakili Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Papua, Perwakilan Keuskupan serta hamba Tuhan lainnya. (*)

 

Sumber: beritapapua.co

 

Read More