Categories Berita

DPR Papua dan MRP Satukan Persepsi Untuk Lakukan RDP Sesuai UU Otsus

DPR Papua bersama MRP melakukan rapat bersama guna menyatukan persepsi dalam pembahasan evaluasi UU Otsus – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) melakukan rapat kerja Panitia khusus (Pansus) Otsus dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) guna menyatukan persepsi bersama dalam pembahasan Otonomi Khusus berpacu pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua atau UU Otsus Papua harus mengacu Pasal 77 UU Otsus Papua.

Timotius Murib, ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengatakan pertemuan ini lebih bertujuan kepada mempersiapkan langkah-langkah menuju Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan rakyat Papua dalam rangka evaluasi UU Otsus Papua.

“Hari ini kita lihat di media sosial, ada dua belah pihak yang berdiri berseberangan antara pemerintah pusat dan rakyat Papua sehingga MRP, DPR Papua harus menjadi fasilitator guna mefasilitasi rakyat untuk menyampaikan hasil implementasi Otsus dalam rangka evaluasi Otsus mengacu pada Pasal 77 UU Otsus Papua,” tuturnya.

Dalam Amanat tersebut dengan jelas meminta kepada rakyat Papua untuk mengevaluasi Otsus melalui lembaga MRP dan DRP Papua sehingga hari ini DPRP dan MRP satukan persepsi, untuk mengerjakan masing-masing tugas lalu satukan untuk di Paripurnakan oleh DPRP untuk menyampaikan kepada presiden Joko Widodo.

sementara itu John Banua Rouw,  ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menambahkan pertemuan Pansus Otsus DPRP dan MRP guna menyatuhkan persepsi bersama sebagai lembaga aspirasi rakyat untuk menyampaikan apa yang diaspirasikan rakyat kepada pusat terutama Komisi II RPR RI sebagai pengambil kebijakan dalam mengesahkan UU Otsus harus melihat kondisi real saat ini di Papua.

“Tujuan kami hari ini lebih kepada menyatuhkan presepsi terkait dengan adanya usulan untuk merevisi UU Otsus. Dengan Diskusi ini kita bisa membuat presepsi dan sudut pandang yang sama antara DRP Papua dan MRP untuk bekerja bersama sesuai aspirasi masyarakat Papua,” tuturnya. (*)

Humas Majelis Rakyat Papua (MRP)

Read More

Categories Berita

MRP: calon bupati dan calon wakil bupati harus orang asli Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib saat memimpin rapat koordinasi antar pimpinan MRP, Kelompok Kerja MRP, dan Sekretariat MRP. – Dok. MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menyatakan partai politik harus mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati dalam 11 Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 di Papua. Hal itu dinyatakan Ketua MRP Timotius Murib di Kota Jayapura, Kamis (23/7/2020).

“[Partai politik] harus kembalikan hak konstitusional orang asli Papua. Pimpinan partai yang tidak melakukan itu melakukan pelanggaran [terhadap ketentuan Otonomi Khusus Papua],” kata Murib.

Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) mengatur kewajiban partai politik di Papua untuk memprioritaskan masyarakat asli Papua dalam proses rekrutmen politik. Akan tetapi, demikian menurut Murib, dalam praktiknya ketentuan itu kerap diabaikan partai politik di Papua.

Murib menegaskan pimpinan partai politik tidak punya alasan untuk tidak mengusung calon bupati dan calon wakil bupati orang asli Papua. Ia menyatakan MRP akan menempuh upaya hukum untuk menegaskan kewajiban partai politik mencalonkan orang asli Papua dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020.

Kewajiban partai politik mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati itu dinilai Murib sebagai pemenuhan hak konstitusional orang asli Papua yang telah diatur dalam UU Otsus Papua. “MRP akan [menempuh upaya hukum] di Mahkamah Agung, ketika perjuangan MRP terkait pasal itu tidak dianggap,” kata Murib.

Murib menyatakan MRP sudah menyosialisasikan kewajiban partai politik itu kepada masyarakat di Papua, agar masyarakat mengetahui hak-hak terkait kekhususan Otsus Papua. Murib menyebut, MRP juga sudah bertemu dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi ManusiaKomisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

MRP juga telah menemui 16 pimpinan partai politik di Jakarta pada awal 2020 lalu, membahas kewajiban partai politik mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati. “Kita sampai ke tingkat lembaga, bertemu 16 pimpinan partai politik di Jakarta,”ungkapnya.

Menurut Murib, usai pertemuan itu MRP telah menerima semacam rekomendasi untuk dijalankan di Papua. Dalam rekomendasi itu, diharapkan ada peraturan KPU untuk yang menegaskan kewajiban partai politik mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati, sesuai dengan kekhususan Otsus Papua. “Pimpinan partai harus memahami Papua itu daerah khusus, sama seperti Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta,” kata Murib.

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP, Pdt Nikolaus Degey menambahkan, pemerintah Indonesia tidak tulus memberikan otonomi khusus kepada Provinsi Papua. “Otsus Papua sudah berlaku hampir 20 tahun, Pasal 28 itu tidak pernah terealisasi secara penuh,” kata Degey.

Degey mengingatkan, jika ketentuan untuk memprioritaskan orang asli Papua dalam rekrutmen politik itu tidak terlaksana dalam Pilkada 2020 di Papua, masyarakat di Papua akan mempertanyakan untuk apa ada Otsus Papua. Degey menyebut, kemauan partai politik untuk mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati dalam Pilkada 2020 bisa menjadi indikator apakah Otsus Papua berhasil atau gagal.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP gelar RDP sesuai amanah UU Otsus

 

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengatakan Majelis Rakyat Papua (MRP) wajib menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama masyarakat.

“RDP diatur sesuai dengan pasal 77 di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus sehingga MRP menyelenggarakan rapat untuk mendegarkan aspirasi masyarakat,” katanya kepada Jubi melalui sambungan selulernya, di Kota Jayapura-Papua, Minggu (19/7/2020).

Murib mengatakan usulan perubahan undang-undang dari masyarakat Papua melalui jajak pendapat ini dapat diusulkan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada pemerintah. Hal itu sesuai dengan yang tertuang dalam undang-undang.

“Tahun 2021 akan berakhirnya dana DAU dua persen yang dilakukan dialokasikan untuk Papua. Sehingga (MRP) sebagai lembaga mandataris orang Papua wajib menyelenggarakan rapat dengar pendapat masyarakat Papua untuk memberikan penilaian terhadap 20 tahun implementasi otonomi khusus di Tanah Papua yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat,” katanya.

Murib menyatakan MRP melalui Pokja Agama, Pokja Perempuan, dan Pokja Adat menyelenggarakan rapat jajak pendapat masyarakat khusus untuk empat bidang prioritas yakni kesehatan, pendidikan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur.

Dalam rapat dengar pendapat yang diselenggarakan oleh MRP itu akan diundang semua elemen kelompok paguyuban pemuda, agama, dan lain-lain. Tetapi orang perwakilan dari paguyuban-paguyuban.

“Kunjungan kerja yang dilakukan oleh MRP dan kunjungan kerja untuk mendengarkan isi hati masyarakat Papua melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh MRP melalui kuesioner yang dibagikan itu adalah sampel sebenarnya,” katanya.

Dalam pertemuan ini, masyarakat harus terlibat untuk memberikan masukan terhadap penyelenggaraan otsus selama 20 tahun terakhir ini.

“Kami melakukan pertemuan pertemuan di asrama-asrama dan di tempat lainnya. Sehingga apabila ada penolakan dari masyarakat, tidak usah membubarkan aksi, tetapi ketidakpuasan masyarakat itu bisa dituliskan melalui kuesioner yang dibagikan oleh Majelis Rakyat Papua,” katanya.

Murib menyatakan MRP tidak bisa serta-merta menyatakan otonomi khusus gagal tanpa data.  “Sehingga kita perlu data konkret dari masyarakat Papua terkait dengan implementasi Otsus,” katanya.

Murib mengatakan rapat dengar pendapat bersama intelektual di tempat-tempat yang disasar oleh MRP. Otonomi khusus ditolak tetapi atas dasar apa otonomi khusus ditolak.

“MRP sebagai lembaga kultural orang Papua punya tanggung jawab untuk melaksanakan amanah undang-undang tadi untuk mendengar pernyataan dari masyarakat terkait dengan implementasi Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001,”katanya.

nggota Dewan Perwakilan Daerah RI, Helina Murib, meminta pemerintah Indonesia melakukan jajak pendapat rakyat Papua atas rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Otonomi Khusus atau Otsus Papua. Herlina Murib menegaskan elit politik tidak bisa mengatasnamakan masyarakat Papua untuk menyatakan pendapat mereka atas pelaksanaan Otsus Papua.

Helina Murib menyatakan yang merasakan baik atau buruknya Otsus Papua dan dana Otsus Papua adalah masyarakat Papua yang berada di kampung-kampung. Menurutnya, jika pemerintah pusat menetapkan Rancangan Undang-undang Otsus Jilid II secara sepihak dan tidak melibatkan masyarakat, hal itu menimbulkan polemik panjang.

Elit politik tidak bisa klaim pendapat rakyat atas rencana Otsus Papua Jilid II di Papua.

“Para elit tidak bisa mengatasnamakan ide sekelompok orang, lalu bicara mengatasnamakan masyarakat. Bagaimana soal Otsus [Papua] itu, diperpanjang atau tidak, tergantung apa mau masyarakat Papua. Kita tidak bisa mengatasnamakan masyarakat lalu mengabil keputusan sepihak terkait pemberlakuan Otsus Papua. Kita harus kembalikan kepada masyarakat Papua,” katanya.

Murib menyatakan ia menginginkan pemerintah menggelar jajak pendapat masyarakat Papua itu demi kepentingan masyarakat Papua. Ia menyebut ramainya dialog atau perdebabatan mengenai masa depan Otsus Papua sah-sah saja, asalkan jangan menimbulkan pertumpahan darah.

“Bagaimanapun, sebelum Otsus bergulir dan setelah Otsus bergulir, nasib orang Papua sama saja. Sebagian masyarakat diperlakukan tidak adil, dan belum mendaparkan keadilan dari proses penegakan hukum [di Indonesia]. Itu juga menjadi persoalan,” katanya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

Read More