Categories Berita

MRPB: Revisi UU Otsus Papua harus didasarkan hasil evaluasi otsus oleh rakyat Papua

Pimpinan MRP dan MRPB memimpin Rapat Pleno Luar Biasa di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. – Dok. Humas MRP

Jayapura, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB, Maxsi Ahoren  menyatakan Rapat Pleno Luar Biasa Majelis Rakyat Papua atau MRP dan MRPB telah bersama-sama memutuskan agar draf revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua ditarik dulu. Draf itu harus ditarik, karena revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua seharusnya didasarkan hasil evaluasi rakyat Papua atas pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.

Hal itu disampaikan Maxsi Ahoren saat dihubungi Jubi pada Senin (2/3/2020), terkait keputusan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB pada Jumat (28/2/2020) yang menyatakan draf revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua ditarik. Maxsi Ahoren menyatakan keputusan MRP dan MRPB itu didasarkan ketentuan Pasal 77 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

Ia menegaskan Pasal 77 UU Otsus Papua telah menegaskan bahwa usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua kepada DPR RI atau Pemerintah. Dengan demikian, pihak yang bisa mengevaluasi Otsus Papua adalah rakyat Papua, bukan kelompok atau individu tertentu, dan bukan pemerintah.

Ahoren  menyatakan hasil evaluasi Otsus Papua oleh rakyat Papua itulah yang seharusnya dijadikan acuan dalam merevisi UU Otsus Papua. “Kita bicara undang-undang. Otonomi Khusus Papua ada berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. [Di dalamnya] ada Pasal 77 UU Otsus Papua. [Oleh karena itu draf revisi UU Otsus Papua] kami [nyatakan] ditarik kembali,” kata Ahoren.

Ahoren menegaskan bahwa rakyat Papua merupakan subyek dari Otsus Papua, mengingat otonomi khusus itu lahir sebagai jawaban atas berbagai tuntutan rakyat Papua pasca reformasi. MRP dan MRPB bersama-sama bersepakat menyatakan draf revisi UU Otsus Papua harus dicabut, karena kedua lembaga itu ingin mengembalikan mekanisme evaluasi Otsus Papua kepada rakyat Papua.

“Kita bawa ke rakyat dulu, rakyat lihat dulu, ‘ko buat apa?’ Karena, barang ini, [Otonomi Khusus bagi Papua], lahir dari rakyat. Kita [harus] dengar [evaluasi dari] rakyat. Bukan [evaluasi dari] pejabat,” kata Ahoren.

Ia mengajak semua pemangku kepentingan untuk menyerahkan proses evaluasi otonomi khusus kepada rakyat Papua, karena rakyat di Tanah Papua yang selama ini mendengar, melihat dan rasakan seperti apa Otonomi Khusus Papua dilaksanakan. “Kita bawa ke rakyat, [biar rakyat] menilai dulu, [Otsus Papua] berhasil atau gagal? Kalau [Otsus Papua dinilai rakyat] tidak berhasil, kita pikir langkah selanjutnya. Itu juga hak rakyat,” kata Ahoren.

Sebelumnya, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB yang berlangsung pekan lalu mengesahkan empat keputusan bersama kedua lembaga. Salah satu keputusan itu adalah Keputusan MRP dan MPRB tentang pencabutan draf revisi UU Otsus Papua.

Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB juga memutuskan kebijakan afirmasi untuk memprioritaskan orang asli Papua dalam dalam pencalonan Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota di Tanah Papua. Keputusan itu memperluas kebijakan afirmasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) yang menyatakan calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Tanah Papua harus orang asli Papua.

“Keputusan pertama, tentang Pemenuhan Hak Konstitusional Orang Asli Papua dalam Rekrutmen Politik terkait Pencalonan Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota di Provinsi Papua & Provinsi Papua Barat. Rekrutmen itu harus prioritaskan orang asli Papua,” kata Murib usai menutup Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, Jumat (28/2/2020).

Murib menyatakan MRP dan MRPB juga menyepakati keputusan tentang Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Orang Asli Papua. Keputusan itu menyatakan orang asli Papua harus diperlakukan sama dengan warga Indonesia di depan hukum Indonesia. “Perlindungan hukum itu harus memenuhi standar hak asasi manusia dan manusiawi,” kata Murib.

Perlindungan bagi para mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Tanah Papua menjadi keputusan ketiga Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB. Murib mengakui keputusan itu merupakan respon atas kasus persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu, dan rentetan intimidasi yang dialami para mahasiswa Papua di berbagai kota pasca kasus rasisme Papua di Surabaya itu.

“Sejak kasus rasisme [Papua di Surabaya itu], mahasiswa dan pelajar [asal Papua dan Papua Barat] berada dalam tekanan, merasakan tidak nyaman [menutut ilmu di luar Papua]. Oleh karena itu, perlu jaminan hukum dan hak asasi manusia dari pemerintah setempat,” ujar Murib.(*)

 

Sumber:Jubi.co.id