Categories Berita

Pemkot Jayapura diminta hentikan seluruh perdagangan minuman beralkohol

Rapat Dengan Pendapat Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau Pokja Agama MRP bersama Pemerintah Kota Jayapura dan Pemerintah Kabupaten Keerom di Aula Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, pada Kamis (20/2/2020) membahas peredaran minuman beralkohol dan narkoba. – Jubi/Benny Mawel

Jayapura, MRP – Pemerintah Kota Jayapura diminta menghentikan perdagangan minuman beralkohol di seluruh wilayahnya, dan ikut mencegah peredaran narkotika. Permintaan itu disampaikan para peserta Rapat Dengan Pendapat Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau Pokja Agama MRP bersama Pemerintah Kota Jayapura dan Pemerintah Kabupaten Keerom pada Kamis (20/2/2020).

Ketua Pokja Agama MRP, Yoel Mulait menyatakan para tokoh agama, tokoh perempuan, warga, pemuda, maupun mahasiswa yang mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) itu meminta Pemeritah Kota Jayapura menghentikan seluruh perdagangan minuman beralkohol di wilayahnya. “Masyarakat menghendaki [perdagangan] minuman keras ditutup saja,” ujar Mulait sesuai RDP itu.

Menurutnya, RDP itu juga meminta Pemerintah Kota Jayapura aktif mencegah peredaran narkotika di Jayapura. Mulait menyatakan pihaknya akan menyampaikan aspirasi masyarakat itu kepada Wali Kota Jayapura, Benhur Tomi Mano, agar Pemerintah Kota Jayapura bisa merumuskan solusinya. “Minuman keras dan narkoba ini masalah kronis, kita tidak bisa membiarkannya [beredar],” kata Mulait.

Menurutnya, RDP itu juga menerima informasi keberadaan ladang ganja di Kabupaten Keerom. Mulait menyatakan keberadaan ladang ganja di Keerom itu menunjukkan situasi peredaran narkotika di Papua berbahaya.

Salah satu tokoh perempuan yang menghadiri RDP itu, Agustina Apaseray menyatakan perempuan kerap menjadi korban dalam berbagai kasus kekerasan yang dipicu konsumsi minuman beralkohol. Ia menyatakan lelaki yang kecanduan minuman beralkohol kerap melakukan kekerasan terhadap perempuan, bahkan juga melakukan kekerasan terhadap perempuan hamil.

Apaseray menyatakan setiap kepala daerah di Papua seharusnya dampak konsumsi minuman beralkohol itu, dan menghentikan seluruh perdagangan minuman beralkohol di Papua. Ia meminta pemerintah daerah di Papua berhenti menggunakan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai alasan untuk melanjutkan perdagangan minuman beralkohol.

“[Lelaki yang mabuk karena minuman beralkohol] pukul tidak pakai aturan.  Siapapun perempuan Papua merasakan itu. Kalau bisa ditiadakan mengapa tidak. Kalau [soal] Pendapat Asli Daerah, bisa ada dari sumber lain. Sumber yang bunuh manusia itu, [seperti perdagangan minuman beralkohol], ditiadakan saja, karena menjadi sumber penderitaan bagi perempuan,”ujarnya.

Tokoh muslim Papua, Ismail Asso menyatakan perdagangan minuman beralkohol tidak membawa keuntungan bagi siapapun di Papua. Ia meminta Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2014 dijalankan dengan konsisten. “Minuman keras ini pembunuh terbesar anak Papua.Gubernur sudah buat aturannya, sekarang, penegakannya bagaimana?” ujar Asso mempertanyakan.

Asso juga mendesak pemerintah daerah berhenti menggunakan alasan potensi PAD untuk melegalkan perdagangan minuman beralkohol. “Yang mendapat untung itu hanya beberapa orang, tidak semua orang,”ungkapnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP apresiasi komitmen Pemkab Jayapura atasi Miras

MRP melalui Pokja Agama, Pemkab Jayapura, tokoh agama, Mahasiswa, pelajar dan pemangku kepentingan saat mengikuti rapat dengar pendapat tentang pencegahan dan pengawasan peredaran Narkoba dan Miras di kabupaten Jayapura -Humas MRP

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua mengapresiasi pemerintah Kabupaten Jayapura yang mulai menunjukkan komitmen mengkampanyekan bahaya minuman beralkohol dan pemberantasannya.

Pertanyaan itu disampaikan Yoel Mulait, ketua Pokja Agama MRP dalam sambutan pembukaan rapat dengar pendapat dengan pemerintah kabupaten Jayapura, tokoh agama, adat, masyarakat dan gereja pada, Jumat (21/02/2020) pagi di Hotel Suni Grand Lake di Sentani, kabupaten Jayapura, Papua.

“Setuju atau tidak, Miras itu pembunuh terbesar orang Papua. Karena itu, kita apresiasi untuk pemerintah kabupaten Jayapura,”ujar Yoel Mulait, ketua Pokja Agama mengajak peserta RDP di kabupaten Jayapura.

Kata dia, pihaknya sangat berharap pemerintah kabupaten Jayapura terus melanjutkan komitmen yang baik itu. Karena Komitmen itu yang bisa menyelamatkan manusia Papua.

“Kita lanjutkan pesan saja, sampai minuman keras dan narkoba stop,”ungkap Mulait di sambutan pembukaan rapat dengar pendapat.

Kata dia, komitmen itu tidak akan hanya menyelamatkan masyarakat kabupaten Jayapura juga tetapi juga sejumlah kabupaten di pedalaman Papua.

“Pintu masuk Miras dan Narkoba ke kabupaten di gunung itu ada di Jayapura, di Sentani,”ungkapnya.

Rusman Kadir, kepala Kesatuan Bangsa dan Politik, Kabupaten Jayapura menyatakakan Pemkab setempat berkomitmen memberantas narkoba dan minuman beralkohol.”Pemerintah Jayapura mencanangkan sejumlah komitmen menjelang PON, salah satu pemberantasan Narkoba dan Miras,”ungkapnya.

Kata dia, pemerintah berharap komitmen itu tidak hanya demi kepentingan sukseskan PON . Tetapi juga berlaku setelah itu.”Karena miras itu mesin merusak orang melakukan hal-hal yang baik demi masa depan,”ungkapnya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

DPRP-MRP didesak minta Jokowi bentuk Pengadilan HAM di Papua

Rakyat Papua terus menagih janji pemerintah pusat selesaikan pelanggaran HAM besar di Paniai 2014 silam – Doc

Jayapura, MRP – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy memberi apresiasi dan penghormatan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah menetapkan peristiwa Lapangan Karel Gobay, Enarotali-Kabupaten Paniai, Provinsi Papua 7-8 Desember 2014 sebagai Pelanggaran HAM yang Berat.

Hal ini sesuai amanat Pasal 7 huruf b dab Pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Meskipun harus menunggu sekitar 5 tahun.

Akan tetapi paling tidak rasa keadilan dan kesempatan bagi keluarga korban untuk memperoleh kepastian hukum sedikit terbuka di Negara Hukum ini.

“Oleh sebab itu, sesuai amanat Pasal 45 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, saya mendesak DPR Papua dan MRP Papua serta DPT Papua Barat dan MRP Papua Barat untuk mengajukan permintaan resmi kepada Presiden Republik Indonesia agar segera mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Jayapura-Provinsi Papua,” ujarnya lewat rilis kepada Jubi, 17 Februari 2020.

Menurutnya, berdirinya Pengadilan HAM di Jayapura-Papua nantinya diharapkan dapat segera mendesak dibawanya perkara-perkara berkategori Pelanggaran HAM Berat lainnya. Misalkan kasus Wasior 2001, Wamena 2003 dan Enarotali-Paniai 2014 guna diadili sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menetapkan kasus Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM berat. Militer dan kepolisian diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

“Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7 – 8 desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Februari 2020, sebagaimana dikutip Tempo.co.

Peristiwa Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Kala itu terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal akibat luka tembak dan luka tusuk sedangkan 21 orang lain mengalami luka penganiayaan. Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut.

Keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh TIM Ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim bekerja selama lima tahun, dari Tahun 2015 hingga 2020.

“Peristiwa Paniai tanggal 7-8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi,” kata Ketua Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai M. Choirul Anam.

Atas peristiwa tersebut, Komnas HAM menyebut Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Tim Penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat.

“Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri,” kata Choirul.

Tim yang dipimpin Choirul telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7-8 Desember 2014 tersebut. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP bahas tiga agenda penting bersama Kemenkopolhukam di Jakarta

Berpose bersama usai Pertemuan MRP dengan petinggi Kementerian Politik Hukum dan Keamanan di Jakarta (Jubi/Humas MRP)

Jayapura, MRP – Wakil ketua I MRP, Jimmy Mabel didampingi ketua PURT MRP, Dolince Mehue dan anggota mengikuti rapat koordinasi bersama petinggi kementerian Politik Hukum dan Keamanan di Jakarta, pada Rabu (19/02/2020).

“Rapat kordinasi dihadiri Deputi I Bidang Politik dan Ketua Desk Papua, Birgjen Danu Prionggono dan beberapa pejabat  Kemenkopolhukam,”ungkap Felix Wanggai, anggota delegasi kepada jurnalis Jubi melalui humas MRP, Rabu (19/02/2020).

Dalam rapat koordinasi itu, ada tiga agenda penting yang dibahas. Pertama, pentingnya Perubahan PKPU Pilkada Daerah Khusus.

“Perubahan ini harus disahkan sebelum pendafatan Calon Kepala Daerah di 11 kabupaten di Provinsi Papua dan beberapa kabupten di Provinsi Papua Barat,”ujarnya.

Kalau disahkan dalam perubahan itu, MRP akan diberikan kewenangan memberikan rekomendasi, atau surat keterangan kepada bakal calon kepala daerah yang mengenal daerah nya dan dikenal masyarakat nya,

“Ini sebagai turunan dari pasal 28 UU 21 Tahun 2021 Otsus Papua tentang Rekrutmen Politik yang wajib diberi pertimbangkan oleh MRP,”ujarnya.

Kata dia, ini penting mengingat proteksi hak politik terhadap OAP dan mengantisipasi kekecewaan masyarakat Papua, yang kerterwakilan nya DPR kab/kota sangat sedikit pada Pileg 2019.

Kedua , pihaknya membahas perubahan Kedua PP 54 tentang MRP. Perubahan ini untuk menambah Kewenagan MRP dalam Perencanaan dan Pengawasan Dana Otsus yang selama ini kurang dirasakan oleh masyarakat.

Agenda terakhir, rencana Revisi RUU Otsus yang masuk dalam Prolegnas 2020. MRP, meminta Pemerintah Pusat untuk melakukan Rapat Kordinasi dengan Pemerintah Provinsi di Tanah Papua terkait Dokumen Draf RUU Otsus dan melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Masyarakat melalui MRP.

“Permintaan itu sesuai dengan Pasal 77 UU Otsus nomor 21 tahun 2001,”ujarnya kepada jurnalis Jubi.

Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga Majelis Rakyat Papua, Dolince Mehue, bebarapa waktu lalu, mengelar rapat koordinasi antara pimpinan, anggota , alat kelengkapan dan sekretariat selama dua hari (30-31/01/2020) di hotel Horison Jayapura, mendengar s masukkan untuk perjuangan kedua PP 54.

“Kami bersyukur pertemuan hari ini Anggota MRP dan sekretariat MRP juga hadir memberikan pokok-pokok pikiran,”ujar Dolince Mehue, ketua PURT MRP kepada jurnalis Jubi di hotel Horison Jayapura, Jumat (31/01/2020).

Ketua kelompok kerja Agama, Adat dan perempuan MRP yang hadir juga memberikan beberapa masukan berharga. Melengkapi kelemahan atau mengatasi lamanya penetapan perubahan ini.

“Kita mendapatkan beberapa masukan dari ketua Pokja adat, agama dan perempuan. Kami akan merumuskan sebagai materi ke Jakarta atau kalau sangat penting mendorong menjadi agenda sidang untuk menjadi keputusan lembaga,”ujarnya.

Kata dia, usulan perubahan ini terkait penambahan hak keungan dan kewenangan MPR mengawasi implementasi otonomi khusus.

“Hak keuangan kita ditinjau kembali dan kewenangan mengawasi pelaksanaan otonomi khusus,”ujarnya.

Kata dia, pihaknya berjuang supaya ada Kewenangan yang lebih luas untuk mengawasi, memonitor dan meninjau semua proses implementasinya. (*)

 

Sumber: Jubi. co. id

 

Read More
Categories Berita

Diputus MRP membayar ganti rugi, Pertamina nyatakan ganti rugi sudah dibayar pemda

Manajemen Pertamina menanggapi unjukrasa marga Tanawani di Serui, Kabupaten Yapen, Papua, yang pada Kamis (13/2/2020) pekan lalu menuntut Pertamina membayar ganti rugi atas penguasaan tanah ulayat mereka. – Humas MRP

Jayapura, MRP – Manajemen Pertamina menanggapi unjukrasa marga Tanawani di Serui, Kabupaten Yapen, Papua, yang pada Kamis (13/2/2020) pekan lalu menuntut Pertamina membayar ganti rugi atas penguasaan tanah ulayat mereka. Pertamina menghargai penyampaian aspirasi dalam unjukrasa itu, namun menyatakan pemerintah telah membayar ganti rugi atas lahan yang dikuasai Pertamina itu.

Tanggapan itu disampaikan Unit Manager Communication, Relations & CSR MOR VIII – Maluku Papua, Brasto Galih Nugroho. Menurutnya, pembayaran ganti rugi atas lahan yang diperkarakan marga Tanawani telah dilakukan Bupati Yapen Waropen, dan dituangkan di dalam Berita Acara Pembebasan Tanah Lokasi Sub. Depot Pertamina di Serui pada 23 Juli 1980.

Brasto menegaskan penguasaan lahan itu diperoleh Pertamina secara sah, dan Pertamina telah mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional pada 1994. “Proses pembebasan sudah dilakukan oleh pemerintah daerah. Dari pemerintah daerah, lahan itu kemudian dikuasai Pertamina,” kata Brasto saat dihubungi melalui panggilan telepon di Jayapura, Rabu (19/2/2020).

Pada Kamis (13/2/2020) pekan lalu, marga Tanawani berunjukrasa, menuntut Pertamina segera menjalankan putusan Majelis Rakyat Papua pada November 2019 yang menyatakan Pertamina harus membayar ganti rugi atas penguasaan 2 hektar persil tanah ulayat keluarga Tanawani. Salah satu wakil keluarga Tanawani, Mesak A Tanawani menyatakan Pertamina telah menduduki tanah ulayatnya sejak 1979, dan belum pernah membayar ganti rugi.

Pada awal 2019, keluarga Tanawani mengadukan sengketa tanah ulayat itu kepada Majelis Rakyat Papua (MRP). Pada November 2019, MRP memutus Pertamina harus membayar ganti rugi atas penguasaan tanah ulayat marga Tanawani secara tidak sah sejak 1979.

Brasto menyatakan Pertamina menghormati penyampaian aspirasi marga Tanawani, namun meminta semua pihak menghormati hukum dalam menyelesaikan perselisihan pendapat terkait penguasaan lahan yang saat ini digunakan sebagai terminal bahan bakar di Serui itu.

Brasto merujuk kepada Surat Edaran Gubernur Irian Jaya tertanggal 18 Juni 2001 tentang Penyelesaian Permasalahan Tanah. Surat edaran itu menyarankan tuntutan atas tanah yang sudah bersertifikat diselesaikan melalui proses hukum.

Brasto enggan menanggapi putusan MRP yang memerintahkan Pertamina membayar ganti rugi kepada marga Tanawani. “Upaya hukum yang bisa digunakan [adalah] gugatan [atas] tanah bersertifikat,” ujar Brasto.

Ketua Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua atau MRP, Demas Tokoro saat ditemui Jubi di Jayapura pada Selasa (18/2/2020) menyatakan putusan itu dijatuhkan karena Pertamina tidak memiliki bukti pelepasan hak ulayat dari para pemilik tanah ulayat itu. “MRP sudah mengeluarkan keputusan, tanah lokasi Pertamina ini milik [marga] Tanawani Tanao Tarao,” tegas Tokoro.

Tokoro menyatakan seharusnya semua pihak dapat menerima putusan MRP, karena MRP dibentuk Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua dan memiliki wewenang dalam rangka perlindungan hak orang asli Papua. “Semua orang Papua mengatakan, tanah itu milik Tanawani Tanao Tarao,” kata Tokoro.

Tokoro mempersilahkan pihak yang tidak puas dengan putusan MRP itu menempuh jalur hukum. “Kalau tidak setuju, silahkan mengugat lembaga [MRP]. Kami, 51 anggota MRP, siap memberikan keterangan,” ujar Tokoro.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP kunjungi tanah ulayat Tanawani yang dikuasai Pertamina

Ketua Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua atau MRP, Demas Tokoro menyatakan pihaknya pada pekan lalu telah mengunjungi 2 hektar persil tanah ulayat keluarga Tanawani di Serui, Kabupaten Yapen, yang sejak 1979 dikuasai PT Pertamina.

Jayapura, MRP – Ketua Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua atau MRP, Demas Tokoro menyatakan pihaknya pada pekan lalu telah mengunjungi 2 hektar persil tanah ulayat keluarga Tanawani di Serui, Kabupaten Yapen, yang sejak 1979 dikuasai PT Pertamina. Peninjauan itu dilakukan setelah MRP pada November 2019 memutuskan PT Pertamina harus membayar ganti rugi atas penguasaan tanah ulayat keluarga Tanawani itu.

Demas Tokoro menyatakan kunjungan itu dilakukan pada Kamis (13/2/2020) pekan lalu.  “Kita tinjau lokasi tanah yang dikuasai atau digunakan Pertamina selama 40 Tahun,” kata Tokoro saat ditemui Jubi pada Selasa (18/2/2020).

Tokoro menuturkan saat tim MRP tiba di lokasi tanah ulayat keluarga Tanawani, mereka bertemu dengan marga Tanawani yang sedang berunjukrasa di sana. Dalam unjukrasa itu, marga Tanawani meminta Pertamina segera menjalankan putusan MRP dan membayar ganti rugi. “Kami tahu masyarakat meratap, menangis di tempat itu, karena hak ulayatnya dipakai Pertamina,” ujar Tokoro.

Dalam kunjungan itu, rombongan MRP juga bertemu dengan pihak Pertamina dan polisi yang mengamankan unjukrasa itu. Tokoro menyatakan Pertamina dan polisi akhirnya mengizinkan rombongan MRP memasuki lokasi tanah ulayat yang dikuasai Pertamina itu.

Pada Jumat (14/2/2020), MRP bertemu dengan pemerintah daerah, Pertamina, dan masyarakat adat pemilik hak ulayat. Menurut Tokoro, dalam pertemuan itu marga Tanawani mengeluhkan sikap Pertamina yang tidak pernah mengindahkan masyarakat di sekitar lokasi itu. Pertamina juga tidak pernah menanggapi tuntutan dari para warga yang meminta beasiswa ataupun membuka lowongan kerja bagi masyarakat setempat.

“Pertamina tidak pernah respon. Sikapnya sama seperti  perusahaan lain di Papua, tidak pernah hargai pemilik hak ulayat. Masyarakat minta anak-anak mereka diterima kerja, kirim kita punya anak-anak pergi sekolah, [Pertamina] tidak pernah mau,”ungkapnya.

Dalam dokumentasi video pertemuan para pihak yang dibuat MRP,  Mesak A Tanawani selaku pemilik hak ulayat persil tanah yang dikuasai Pertamina itu menyatakan Pertamina memang tidak pernah memperdulikan warga setempat. “Natal saja tidak pernah ada bingkisan Natal sementara kami ini ada di pinggir pagar Pertamina,”ungkap Tanawani.

Mesak A Tanawani mendesak Pertamina segera menjalankan putusan MRP terkait sengketa tanah ulayat itu. “MRP sudah mengeluarkan keputusan, tanah lokasi Pertamina ini milik Tanawani, Tanao, Tarao,” ujar Mesak.

Sayangnya, dalam pertemuan Jumat itu Demas Tokoro tidak bisa menyerahkan salinan putusan MRP atas sengketa tanah ulayat itu. Menurut Tokoro, putusan itu masih dalam proses pembukuan MRP. Namun Tokoro menjelaskan bahwa putusan itu telah disahkan MRP. “Saya belum bisa serahkan keputusan itu. Kami lagi proses pembukuan,” ujar Tokoro.

Menurutnya, jika proses pembukan telah selesai, MRP akan menyerahkan putusan soal sengketa tanah ulayat itu kepada Presiden, manajemen PT Pertamina, dan semua pihak yang berkepentingan. “Semua orang Papua mengatakan tanah ini milik Tanawani Tanao Tarao,” kata Tokoro.

Tokoro menyatakan MRP memutuskan Pertamina harus membayar ganti rugi, karena Pertamina tidak memiliki bukti pelepasan hak ulayat dari para pemilik tanah ulayat itu. Ia mempersilahkan para pihak yang tidak puas dengan putusan MRP itu menempuh jalur hukum. “Kalau tidak setuju, silahkan menggugat lembaga. Kami 51 anggota MRP siap memberikan keterangan,” ujarnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Ketua MRP: Miras Merupakan Mesin Pembunuh Orang Papua

Ketua MRP disela-sela Peringatan HUT GIDI di Mulia Kab. Puncak Jaya – Papua

Wamena, MRP – “Demi nama Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus dalam HUT GIDI ke 57 tahun ini saya akan memusnahkan segala mesin pembunuh orang papua.”tegas Ketua MRP Timotius Murib

“Orang tua terdahulu tidak pernah tau apaitu obat – obatan terlarang seperti daun ganja dan narkoba. Dimata kami uang begitu sangat berharga tapi sekarang banyak orang papua yang salah menggunakan uang, menghabiskan uang di meja judi, togel, sabung ayam, main perempuan bahkan sampai membeli narkoba. Hal inilah yang membuat banyak orang papua meninggal.” jelasnya

Ungkapan tersebut disampaikan Timotius Murib di sela-sela perayaan ulang tahun GIDI ke-57 di Puncak Jaya rabu (12/02) kemarin.

Ditengah – tengah ibadah syukuran HUT Gereja Injili Di Indonesia yang ke 57 tahun dengan mengusung thema Pandanglah Ladang yang Sudah Menguning (Abet Mbakorak Angen Baniyak Muk Jinip Agarak Wone) Yohanes 4 : 35. Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib, Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo, Bupati Puncak Jaya Yuni Wonda, S.Sos, S.IP, MM, Wakil Bupati Puncak Jaya Deinas Geley, S.Sos, M.Si bersama Muspida Kabupaten Puncak Jaya sepakat dan memusnahkan segala jenis mesin pembunuh orang Papua. Rabu (12/2).

Seperti yang diketahui bahwa Pemerintah Provinsi Papua sudah mengeluarkan PERDA nomor 15 tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minumal Berakohol. Tetapi sampai saat ini produksi dan pengedaran minuman beralkohol masih banyak beredar di Papua khususnya di Puncak Jaya. Oleh karena itu dalam momen HUT GIDI ke 57 tahun ketua MRP bersama Anggota MRP lainnya menyampaikan kepada masyarakat yang hadir tentang bahayanya miras, narkoba dan judi togel bahkan sekarang hal tersebut telah menjadi mesin pembunuh bagi orang Papua.

Sebelum memusnahkan mesin pembunuh orang papua, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan bahwa Miras, Judi togel, sabung ayam adalah kegiatan yang merusak masyarakat khususnya di Puncak Jaya bahkan memusnahkan orang papua dan generasi yang akan datang

Sementara itu Bupati Puncak Jaya Yuni Wonda, S.Sos, S.IP, MM berpesan kepada masyarakat Puncak Jaya di 27 Distrik dan 302 Kampung bahwa “Benda – benda ini dulu telah kita buang tetapi kenapa sekarang ada lagi. Jadi sekarang Distrik dimana, Kampung dimana kalau ketemu barang ini segera dimusnahkan karena ini merupakan pemusnahan terakhir.”

Kapolres Puncak Jaya AKBP. Drs. Mikael Suradal, MM juga berpesan kepada masyarakat bahwa “Mulai hari ini mayarakat tidak boleh lagi mengkonsumsi miras, membeli togel dan hadir di tempat perjudian. Atas nama Tuhan semoga permintaan ini didengarkan dan dikabulkan, mari kita berantas judi togel dan miras di Puncak Jaya” tegas Kapolres.

Anggota DPRD Puncak Jaya juga secara signifikan mendukung penuh pemusnahan tersebut dan siap mengawal keputusan yang diambil oleh gereja.

Dalam sambutannya Ketua MRP Timotius Murib berterima kasih kepada Bupati Puncak Jaya dan semua pihak yang membantu menjaga kedamaian di Puncak Jaya. Ketua MRP juga berterima kasih kepada Presiden GIDI yang telah datang di Puncak Jaya.

“Dalam sambutan saya kali ini saya tidak akan berbicara panjang lebar karena semua yang ingin saya katakan sudah tersampaikan dalam drama singkat yang telah kita saksikan tadi.” Ungkap Timotius

Harapan besar serta penekanan ketua Majelis Rakyat Papua dua periode itu agar Orang Asli Papua segera menyadari terkait bahayanya minuman keras yang di yakini menjadi akar dari pada kejahatan di Tanah ini, yang menjerumuskan OAP kepada kematian.

Perayaan Hari Ulang Tahun Gereja Injili Di Indonesia ke 57 tahun yang diselenggarakan di lapangan Aula GIDI pada Kota Mulia itu berlangsung meriah dan hikmat. Rabu (12/2).

Hadir dalam perayaan tersebut Ketua MRP Timotius Murib bersama Anggota MRP, Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo, Bupati Puncak Jaya Yuni Wonda, S.Sos, S.IP, MM, Wakil Bupati Puncak Jaya Deinas Geley, S.Sos, M.Si, Anggota DPRD Matius Wonda, S.IP, Kapolres Puncak Jaya AKBP. Drs. Mikael Suradal, MM, Danramil Mulia, Ketua Wilayah Yamo Pdt. Yason Elabi, Wakil Ketua Klasis GIDI Mulia Pdt. Telius Wonda, Pejabat Eselon II, III serta seluruh elemen masyrakat yang turut meramaikan perayaan.

Selain itu, Pada agenda yang sama Ketua MRP Timotius Murib, Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo, Bupati Puncak Jaya Yuni Wonda, S.Sos, S.IP, MM, Wakil Bupati Puncak Jaya Deinas Geley, S.Sos, M.Si, bersama muspida lainnya melakukan peletakan batu pertama pembangunan gedung aula GIDI Klasis Mulia wilayah Yamo.

Sumber: Nokenlive.com

Read More

Categories Berita

Ke Papua, pimpinan MPR, DPR RI, dan DPD akan kunjungi pengungsi Nduga

anak-anak pengungsi Nduga saat kembali bersekolah di sekolah darurat yang dibangun kembali oleh tim relawan pada pertengahan Agustus 2019 di halaman Gereja Weneroma. -Jubi/Islami

Jakarta, MRP – Pimpinan Majelis Perwakilan Rakyat atau MPR, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI, dan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD akan datang ke Papua pada 3-5 Maret 2020. Pimpinan ketiga lembaga tinggi negara itu akan mengunjungi sejumlah tempat di Papua, termasuk menemui para pengungsi Nduga yang berada di Kabupaten Jayawijaya.

Hal itu disampaikan Ketua Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPD-DPR RI Dapil Papua dan Papua Barat (MPR RI for Papua), Yorrys Raweyai di Jakarta, Jumat (14/2/2020). “Jumat pagi, kami [sudah] rapat bersama Sekretariat Jenderal [ketiga lembaga] yaitu MPR, DPR, dan DPD RI. Pimpinan ketiga lembaga [itu] akan hadir di Papua tanggal 3-5 Maret 2020,” kata Raweyai.

Raweyai mengatakan kehadiran pimpinan ketiga lembaga itu merupakan sejarah, karena mereka bersama-sama hadir di Papua untuk melihat kondisi Papua secara langsung. Ia menyatakan pimpinan ketiga lembaga itu akan mengunjungi Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, untuk melihat kondisi pengungsi asal Kabupaten Nduga di sana.

Selain menemui para pengungsi Nduga, pimpinan MPR, DPR RI, dan DPD juga pimpinan ketiga lembaga bersama MPR For Papua akan mengunjungi PT Freeport Indonesia, untuk melihat perkembangan bisnis Freeport pasca divestasi. Mereka juga akan meninjau kemajuan pembangunan sejumlah arena Pekan Olahraga Nasional atau PON XX Papua 2020.

Menurut Raweyai, MPR For Papua dan Panitia Khusus Papua di DPD RI telah mengundang beberapa lembaga yang diharapkan memberikan masukan kepada pimpinan ketiga lembaga itu. Ia menyatakan masukan itu dibutuhkan pimpinan ketiga lembaga untuk mengetahui solusi masalah Papua. “Apalagi muncul kasus di Nduga, dan berbagai persoalan yang menguat di dunia internasional,” katanya.

Senator asal Provinsi Papua itu menilai Papua membutuhkan ruang dialogis untuk menyuarakan aspirasinya. Raweyai menegaskan pemerintah perlu membuka mata dan telinga untuk mendengarkan aspirasi orang Papua, dan tidak membuat kesimpulan sepihak atas kegelisahan yang saat ini berkembang di Papua.

Yorrys Raweyai menjelaskan MPR For Papua sudah menginventarisir persoalan di Papua, dan membuat konsep bagaimana menyelesaikan persoalan di Papua dalam konteks NKRI. Penyelesaian itu diharapkan bisa dijalankan dalam periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.

“Namun ada kasus yang mencuat dan mengemuka. terutama di Nduga yang menjadi polemik di dunia internasional. Apalagi kasus [pemidanaan] Mispo Gwijangge [anak yang dijadikan terdakwa kasus pembunuhan pekerja PT Istaka Karya yang justru] menjadi keprihatinan [banyak pihak],” ujarnya.(*)

 

Sumber: ANTARA

 

Read More
Categories Berita

Anggota MRP desak Pemerintah Pusat izinkan pelapor khusus ke Papua

Rakyat Papua terus menagih janji pemerintah pusat selesaikan pelanggaran HAM besar di Paniai 2014 silam – Doc

Jayapura, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua, Pdt. Nikolaus Degey mendesak Pemerintah Indonesia mengizinkan perwakilan PBB yang menangani Hak Asasi Manusia untuk masuk ke Papua. Kata dia, dengan masuknya perwakilan PBB bisa membuka tabir pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua.

Menurutnya, Indonesia tak seharusnya menutupi berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Apalagi sudah ada penetapan sejumlah kasus yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Sebut saja pelanggaran HAM Paniai 7-8 Desember 2014.

“Kami menerima laporan aktivis HAM di Jakarta, Komnas HAM menetapkan Kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Minggu (16/02/2020) di Kota Jayapura, Papua.

Dikatakan Degey, penetapan itu membuktikan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua bukanlah rekayasa pihak tertentu. Karena itulah ia meminta pemerintah Indonesia berjiwa besar mengakui pelanggaran itu dan mengizinkan PBB masuk ke Papua.

“Pemerintah harus segera mengizinkan masuk ke Papua. Permintaan ini harus Jakarta yang sampaikan sehingga pelapor khusus PBB pun masih menanti, kapan undangan akan dikirim,”ungkapnya.

Di sisi lain, John Gobay, mantan anggota parlemen provinsi Papua mengatakan penetapan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat menambah panjang jumlah kasus pelanggaran HAM di Papua.

“Sebelumnya ada Wasior dan Wamena. dua kasus terendap di Makamah Agung,” ungkapnya.

Karena itu, pihaknya berharap 3 kasus ini menjadi pertimbangan utama dari Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membentuk pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Menurutnya, pembentukan pengadilan HAM ini akan membuat proses peradilan berjalan transparan.

“Ini penting, masyarakat harus dengan mata kepala sendiri menyaksikan proses tersebut, akan memberikan kepuasan kepada keluarga korban,”ungkapnya.

Sebelumnya, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020 memutuskan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.

“Secara aklamasi, kami putuskan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan dikutip dari Kompas.com, Sabtu (15/2/2020).

Kata Taufan, keputusan paripurna khusus ini melalui proses penyelidikan pajang Tim Ad Hoc selama 5 tahun, dari tahun 2015 hingga 2020. Peristiwa Paniai terjadi kekerasan penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang siswa berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Kemudian, 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan. Korban menjalani pengobatan serius di rumah sakit setempat. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Anggota MRP dukung Bupati Mimika tolak klaim area Freeport

Nikolaus Degey, anggota Pokja Agama MRP – Jubi/Mawel

Jayapura, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP dari Pokja Agama, Nikolaus Degei, mendukung perjuangan Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, menolak klaim atau upaya konsesi ulang  kepemilikan area pertambangan PT. Freeport Indonesia.

“Kami mendukung perjuangan Bupati Omaleng. Freeport itu milik wilayah Kabupaten Mimika,” ungkap Nikolaus Degey, kepada Jubi, di Jayapura, Rabu (12/2/2020).

Kata dia, kelompok suku atau kabupaten manapun tidak bisa klaim wilayah itu miliknya karena secara fakta geografis, wilayah tambang Freeport itu adalah milik orang Amungme.

“Freeport ini secara geografisnya wilayah orang Amungme. Ada beberapa suku sekitar tetapi pemilik hak itu orang Amungme,” ungkapnya.

Karena itu, kata dia, pihak manapun tidak boleh intervensi atau klaim wilayah adat orang Amungme.

“Ini tidak bisa ini wilayah saya, wilayah dia, dan apa yang dikatakan Bupati Omaleng itu benar,” ungkapnya.

Pekan lalu, Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, menolak klaim tiga kabupaten -Kabupaten Intan Jaya, Paniai, dan Puncak- yang mengklaim area PT Freeport juga wilayah mereka.

“Kita tidak bisa gugat menggugat karena ada UU pembentukan kabupaten,” ungkapnya sebagaimana yang dilansir Antara Papua.com.

Kata dia, tiga kabupaten itu tidak punya alasan untuk menggugat karena tiga kabupaten itu bukan pemekaran dari Mimika tetapi Intan Jaya pemekaran dari Paniai, Kabupaten Paniai dari Nabire, dan Puncak dari Jayawijaya.

Ketua Dewan Adat Papua, hasil konferensi luar biasa di Baliem, Dominikus Surabut, mengatakan salain klaim itu tidak akan berdampak pada pembangunan Papua.

“Itu hanya klaim dan konflik elit mengejar ambisinya. Masyarakat pemilik hak akan begitu saja,” ungkapnya.

Kata dia, klaim atau konflik itu hanya memperluas konflik atas nama pengamanan objek vital negara. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More