Categories Berita

Tugas dan wewenang MRP yang masih saja dikebiri (2/2)

Suasana seminar hasil investigasi MRP terhadap konflik di Nduga. – Jubi/Alex

 

Jayapura, Jubi – Sepanjang 2019, sejumlah peristiwa besar telah terjadi di Tanah Papua maupun di luar Tanah Papua, beberapa di antaranya akan selamanya mengubah perjalanan sejarah Papua pada masa mendatang. Ada begitu banyak kerja Majelis Rakyat Papua menyikapi berbagai peristiwa itu, khususnya dalam menjalankan tugas serta wewenangnya untuk memberikan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Catatan ini menjadi bagian kedua dari dua tulisan berjudul “Tugas dan wewenang MRP yang masih saja dikebiri”.

Kerja-kerja lain MRP untuk selamatkan manusia dan Tanah Papua

Pokja Afirmasi juga memegang peran kunci dalam menjalankan program kerja turunan tema “penyelamatan manusia dan tanah Papua”. Saya pernah merasa terkejut dengan sejumlah anak muda yang bertamu ke Pokja Afirmasi. Kebanyakan tamu itu adalah lulusan SMA yang mendaftar dan mengikuti seleksi penerimaan polisi, tentara, atau sekolah ikatan dinas lain seperti Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG).

Saya terkesan karena Pansus Afirmasi seketika menjadi pansus paling sibuk menerima tamu. Pada musim penerimaan dan seleksi sekolah seperti itu, Pansus Afirmasi menjadi pansus yang sibuk mengurus nasib kerja orang asli Papua, demi mencegah terulang kegagalan pemenuhan kuota afirmasi orang asli Papua dalam penerimaan sekolah kedinasan itu.

Kesibukan kerja Pansus Afirmasi berbuah. Tahun ini, Pansus Afirmasi berhasil mengirimkan 16 anak Papua untuk mengikuti pendidikan STMKG di Jakarta. Itu adalah kali pertama STMKG mengalokasi kuota untuk menerima orang Papua melalui jalur afirmasi. “Ini yang pertama kali kami kirim. Kami harap tahun depan kami dapat jatah lagi,” kata Ketua Pansus Afirmasi, Edison Tanati pada November lalu.

Motor lain dari kerja MRP menjalankan program kerja turunan tema “penyelamatan manusia dan tanah Papua” adalah Pansus Kependudukan. Apalagi, Otsus Papua tidak serta merta menghentikan gelombang pasang migrasi penduduk ke Papua. Di sisi lain, Otsus Papua juga tidak menghentikan pembunuhan dan kematian orang asli Papua.

Populasi orang asli Papua di Papua terus menimbulkan tanya tanya besar. Ketua Pansus Kependudukan, Markus Kajoi dan timnya mencoba menjawab pertanyaan besar itu dengan merancang aplikasi pendataan orang asli Papua. Aplikasi itu diberi nama Sistem Informasi Data Orang asli Papua atau SI-DOA.

Kajoi menyatakan proses pembuatan aplikasi pendataaan orang asli Papua itu telah rampung 80 persen. Ia menyatakan SI-DOA dibuat karena hingga saat ini data populasi orang asli Papua masih simpang siur. “Kami mau memastikan jumlah orang asli Papua, supaya tidak menduga-duga jumlah orang asli Papua,” ungkap Kayoi kepada Jubi pada Juni 2019 lalu.

Pada 2019, Otsus Papua telah berumur 18 tahun. Nyatanya, hingga 18 tahun pelaksanaan Otsus Papua, kekerasan dan pelanggaran HAM tetap saja terjadi di Tanah Papua. Konflik bersenjata di Nduga telah berlangsung sejak 2 Desember 2018, dan hingga kini ratusan ribu warga sipil Nduga masih mengungsi demi menghindari bentrokan antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Pansus Hukum dan HAM yang dipimpin Aman Jikwa membentuk tim dan melakukan investigasi kondisi para pengungsi Nduga. Pada 9 Desember 2019, MRP meluncurkan buku “Kekerasan tak Berujung di Nduga”, yang merupakan hasil investigasi MRP terhadap situasi yang dialami para pengungsi konflik bersenjata Nduga.

Pansus Hukum dan HAM mencatat jumlah korban jiwa karena pembunuhan dan kematian akibat lapar dan penyakit mencapai 180 orang. Jumlah warga sipil yang masih mengungsi mencapai 45 ribu orang. MRP ingin mengajak semua pihak berfikir dan mengetahui kondisi rakyat Nduga sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang terabaikan hak-haknya. “Apakah rakyat Nduga itu bukan warga negara Indonesia? Kita semua harus serius memikirkan hal itu,” kata Jikwa.

Harapan dan rekomendasi Rakyat Nduga yang bebas dan damai tersampaikan melalui peluncuran buku “Kekerasan tak Berujung di Nduga”. Akan tetapi, apa daya, pada 20 Desember 2019 kita justru mendengar pembunuhan kembali terjadi di Nduga, kali ini dialami Hendrik Lokbere. Pasca itu, pemerintah justru menambah aparat keamanan yang ditempatkan di Nduga.

***

Di luar kerja sejumlah pansus itu, MRP secara kelembagaan juga menerbitkan sembilan maklumat terkait perlindungan orang asli Papua. Salah satu maklumat yang paling kontroversial adalah maklumat terkait seruan agar para mahasiswa asli Papua yang berkuliah di luar Papua untuk pulang ke Papua. Maklumat itu terbit pasca persekusi dan tindakan rasisme oknum TNI dan organisasi kemasyarakatan terhadap mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019 lalu.

Banyak pihak menuding Maklumat MRP Nomor 5/MRP/2019 itu sebagai pemantik eksodus para mahasiswa Papua dari berbagai kota studi di luar Papua. Faktanya, Maklumat tentang Seruan kepada Mahasiswa Papua di Semua Kota Studi pada Wilayah Negera Kesatuan RI untuk Kembali ke Tanah Papua itu terbit pada 21 Agustus 2019.

Maklumat itu terbit setelah MRP menerima aspirasi dari banyak pihak, dan menelusuri sendiri situasi keamanan mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Papua. Selain mencemaskan persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di, MRP juga mencemaskan keselamatan para mahasiswa Papua di Sulawesi.

Pada 19 Agustus 2019, sekelompok orang yang diduga anggota organisasi kemasyarakatan menyerang Asrama Mahasiswa Papua di Makassar. Bentrokan itu juga terjadi di Jalan Lanto Daeng Pasewang, Kecamatan Makassar, Kota Makassar. Dari rentetan peristiwa itulah Maklumat MRP Nomor 5/MRP/2019 ditetapkan.

***

Uraian di atas menunjukkan bagaimana MRP berusaha bekerja menjalankan tugas dan wewenangnya dalam memproteksi orang asli Papua. Akan tetapi, hasil kerja MRP itu belum bisa memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam melindungi hak-hak orang asli Papua.

Ada banyak hal yang membuat kerja MRP, berikut ketetapan maupun maklumat yang diterbitkan MRP, belum memiliki kekuatan mengikat. Faktanya, kerja-kerja lembaga serta keputusan lembaga MRP dikebiri sendiri oleh UU Otsus, UU yang menjadi dasar terbentuknya MRP.

Saya melihat perumusan Pasal 19 hingga Pasal 25 UU Otsus selalu menggantung, karena setiap rumusan wewenang MRP selalu ditutup dengan satu ayat tambahan yang mendelegasikan pengaturan tara cara penggunaan wewenang itu kepada aturan perundangan seperti Peraturan Daerah Khusus atau Peraturan Pemerintah.

Rumusan Pasal 19 ayat (2) UU Otsus misalnya, menyatakan “Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan perdasus”. Atau, contoh lainnya, rumusan Pasal 21 ayat (1) tentang hak MRP yang terdiri empat poin dikebiri dengan ayat (2) pasal itu, yang menyatakan  “pelaksanaan Pasal 1 diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.

Pendelegasian pengaturan itu mengerdilkan program dan keputusan MRP.  Di situlah letak kelemahan UU Otsus Papua.

Kelemahan seperti itulah yang membuat masyarakat adat Papua bisa mengatakan, sebenarnya UU Otsus Papua gagal sebelum dilaksanakan. Akan tetapi, para elit politik yang tidak membaca kelemahan perumusan UU Otsus Papua terlanjur menginginkan kedudukan dan uang Otsus Papua. Kini, ketika masa berlaku kucuran uang Otsus Papua tinggal dua tahun lagi, tugas dan wewenang MRP memproteksi orang asli Papua tetap terkebiri.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Tugas dan wewenang MRP yang masih saja dikebiri (1/2)

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib – Jubi/Agus Pabika.

 

Jayapura, Jubi – Sepanjang 2019, sejumlah peristiwa besar telah terjadi di Tanah Papua maupun di luar Tanah Papua, beberapa di antaranya akan selamanya mengubah perjalanan sejarah Papua pada masa mendatang. Ada begitu banyak kerja Majelis Rakyat Papua menyikapi berbagai peristiwa itu, khususnya dalam menjalankan tugas serta wewenangnya untuk memberikan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Catatan ini menjadi bagian pertama dari dua tulisan berjudul “Tugas dan wewenang MRP yang masih saja dikebiri”. 

Menyelamatkan manusia Papua, menyelamatkan Tanah Papua

Tidak terasa, Majelis Rakyat Papua atau MRP telah menutup program kerja tahun 2019. Sebagai jurnalis Jubi, saya meliput aktivitas MRP sejak pertengahan 2019, dalam rangka kerja sama pemberitaan antara MRP dan Jubi.

Sejak itu, saya telah menjumpai 50 dari 51 anggota MRP. Ada yang saya jumpai dalam persapaan yang berlanjut dengan diskusi. Ada lagi yang saya jumpai hanya dengan berpapasan dan berlalu. Ada juga yang hanya saya lihat saat duduk di ruang sidang atau pertemuan internal.

Dari diskusi dengan sejumlah anggota MRP, saya mendengar dan melihat bahwa MRP tidak tinggal diam. Anggota yang terdiri dari perwakilan adat, agama dan perempuan begitu beragam pembawaannya. Ada yang berbicara lembut, normal, namun ada pula yang berbicara keras dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) mengamanahkan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. UU Otsus Papua memberikan wewenang bagi MRP untuk memberikan perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Pasal 19 hingga Pasal 25 UU Otsus Papua mengatur lebih lanjut keberadaan MRP. Pasal 20 Ayat (1) mengatur enam dalam rangka melindungi hak-hak hidup dan hak milik orang asli Papua.

Pertama, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon dan wakil gubernur yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua). Kedua, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah provinsi Papua yang diusulkan DPR Papua.

Ketiga, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah khusus (Perdasus) yang diajukan DPR Papua bersama Gubernur. Keempat, memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rancangan perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah maupun Pemerintah Provinsi Papua dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Kelima, memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pegaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Keenam, memberikan pertimbangan kepada DPR Papua, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota, serta bupati/walikota mengenai hal yang terkait perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Pasal 21 dan 22 UU Otsus Papua mengatur tentang hak-hak MRP dan anggota MRP. Pasal 23 mengatur tentang kewajiban MRP. Sedangkan Pasal 24 dan 25 mengatur tentang pemilihan dan penetapan anggota MRP terpilih.

MRP berusaha melaksanakan tugas dan kewenangan itu melalui tiga kelompok kerja (pokja), yaitu Pokja Adat, Agama, dan Perempuan. MRP juga dapat membentuk panitia khusus (Pansus) yang bersifat temporer sesuai dengan pokok masalah. Sepanjang pengalaman saya meliput, saya mengetahui  MRP memiliki Pansus Pokok-pokok Pikiran, Pansus Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Pansus Kependudukan, Pansus Afirmasi. Ada kemungkinan MRP memiliki pansus lain yang tidak saya ketahui.

Dalam peliputan dan kerja jurnalistik saya, saya banyak berdiskusi dengan Ketua MRP Timotius Murib, Ketua Pokja Adat Demas Tokoro, Ketua Pansus Afirmasi Edison Tanati, Ketua Pansus Kependudukan Markus Kajoi, Ketua Pansus Hukum dan HAM Aman Jikwa. Saya berdiskusi tentang apa yang menjadi perhatian MRP secara kelembagaan.

Ketua MRP Timotius Murib menyatakan MRP periode ketiga itu memilih tema kerja “penyelamatan manusia dan tanah Papua”. Murib menyebut perlindungan tanah menjadi penting karena itu kehidupan orang Papua sangat bertumpu kepada tanah ulayatnya.

Segala macam yang ada di dalam tanah dan tumbuh di atas tanah menjadi sumber penghidupan dan kesejahteraan orang asli Papua. “Karena itu kami serukan [kepada] orang asli Papua [untuk] tidak menjual tanah,” kata Murib.

Pokja Adat menjadi salah satu pemeran kunci dalam menjalankan program kerja turunan tema “penyelamatan manusia dan tanah Papua”. Ketua Pokja Adat, Ondofolo Demas Tokoro mengatakan Pokja Adat adakan secara rutin menggelar rapat dengar pendapat dengan masyarakat adat, sesuai dengan pengaduan yang diterima MRP. “Ada banyak pengaduan masyarakat tentang tanah dan hutan,” kata Tokoro yang juga Ketua Dewan Adat Suku Sentani itu.

Menurut Tokoro, MRP berupaya memfasilitasi pertemuan dengan para pemangku kepentingan dalam masalah yang diadukan masyarakat adat kepada MRP, dan membangun proses penyelesaian. Sepanjang 2019, MRP berhasil memfasilitasi proses penyelesaian tiga sengketa tanah yang diadukan masyarakat adat.

Pada pertengahan November 2019, MRP menetapkan keputusan lembaga itu atas hasil penelusuran kepemilikan tiga persil tanah yang disengketakan oleh masyarakat adat di Papua. Para pihak yang saat ini menggunakan ketiga persis tanah itu harus membayar ganti rugi kepada masing-masing pemilik hak ulayat ketiga persil tanah itu. Hal itu disampaikan Tokoro pada 19 November 2019 lalu. “MRP sudah menetapkan keputusan [tentang hasil penelusuran kepemilikan] tiga bidang tanah,”kata Tokoro.

Ketiga persil tanah yang diadukan masyarakat adat kepada MRP itu berada di lokasi yang berbeda-beda. Ketiga persil tanah itu adalah sebidang tanah di Kabupaten Yapen yang saat ini digunakan PT Pertamina Persero (seluas 5 hektar), sebidang tanah di Padang Bulan, Kota Jayapura yang saat ini digunakan Balai Kesehatan Provinsi Papua (seluas 12 hektar), dan sebidang tanah seluas 13 hektar di Kampwolker, Kota Jayapura yang dibeli oleh PT Skylane Kurnia.

Tokoro menyatakan sebidang tanah di Kabupaten Yapen diperkarakan keluarga Tanawani di MRP, karena selama 40 tahun dipakai PT Pertamina Persero. eluarga Tanawani menyatakan belum pernah melepaskan hak ulayatnya atas bidang tanah itu, dan tidak tidak pernah menerima ganti rugi.

Hal yang sama juga terjadi terhadap bidang tanah di Padang Bulan, yang selama 18 tahun digunakan Balai Kesehatan Provinsi Papua. Hal penelusuran MRP menyimpulkan tanah itu merupakan tanah ulayat yang secara kolektif dimiliki masyarakat adat Kampung Ayapo. Masyarakat adat Kampung Ayapo belum perah melepaskan hak ulayat mereka, dan tidak pernah menerima ganti rugi atas tanah seluas 12 hektar itu.

Tokoro menyebut, dalam kasus sengketa tanah seluas 13 hektar di Kampwolker, MRP menemukan adanya pelepasan tanah adat yang tidak sah saat tanah itu dibeli PT Skylane Kurnia. MRP menyimpulkan pelepasan tanah bukan dibuat oleh pemilik tanah itu, meskipun orang itu berasal dari marga yang sama dengan marga pemilik tanah.

Dengan keputusan MRP itu, Tokoro menyebut para pihak yang saat ini menggunakan tiga persil tanah itu harus membayar ganti rugi kepada para pemilik hak ulayat tanah tersebut. “Konsekuensi keputusan itu, suka tidak suka, perusahaan bayar kepada masyarakat adat. Kalau tidak [membayar, berarti] tanah [harus] kembali kepada masyarakat adat,” tegas Tokoro soal keputusan MRP yang menembus kebuntuan sengketa tanah ulayat di Papua itu. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More